The Elder Brother

The Elder Brother (Of The Prodigal Son)



Saya tidak tahu bagaimana harus memahami perbedaan antara sikap sang Anak Sulung dan sikap sang ayah – dalam kisah the Prodigal Son (Luk 15:11-32).

Karena tidak mudah untuk dipahami, mungkin bukan tanpa alasan bahwa Yesus terlebih dahulu memberikan dua perumpamaan sebelum pada puncaknya memberikan perumpamaan anak yang hilang ini; yakni perumpamaan tentang domba yang hilang dan perumpamaan tentang dirham yang hilang. Lewat dua perumpamaan itu, mungkin Yesus ingin mencontohkan kebahagiaan dan suka cita yang dirasakan sang ayah ketika anak bungsunya kembali; sama seperti kebahagiaan sang gembala yang menemukan kembali seekor dombanya yg tersesat, atau kebahagiaan seorang perempuan yang menemukan kembali dirhamnya yang hilang.

“Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa..”

Ketika sang anak bungsu kembali ke rumah bapanya, sang bapa berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia (ayat 20) dan dengan bersuka cita berkata 'Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali' (ayat 24).

Lain halnya dengan sang anak sulung. Dia tidak serta merta senang dengan kepulangan adiknya, dan sikapnya 180 derajat berbeda dengan sikap bapanya itu. Dia menolak masuk ke rumah, dan katanya 'Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.'


Jadilah saya bertanya-tanya. Apakah semua hal yang dikatakannya itu sungguh adalah sebab penolakannya itu?. Mari kita lihat satu per satu.

Katanya.. 'Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku'.

Sekarang. Seandainya .. sekali lagi seandainya,.. bapanya pernah memberikan seekor kambing kepadanya untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatnya.

Lantas apakah kemudian dia akan menerima adiknya itu?. Apakah sikapnya akan berbeda ?.
I do not think so. Menurut saya dia akan tetap masih menolak kepulangan adiknya meskipun bapa mereka pernah memberikannya seekor kambing untuk bersuka cita.
Jadi jika demikian halnya,.. maka argumennya itu tidak relevan. Alasan itu tidaklah tepat. Lantas apa ?


Katanya lagi.. 'Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.' Ini poin-poin ucapannya itu:

  1. anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa

  2. .. bersama-sama dengan pelacur-pelacur

  3. bapa menyembelih anak lembu tambun untuk dia

Mari kita lihat alasan itu satu per satu
1. anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa.
Seandainya adiknya pulang dengan harta yang berlimpah, lebih banyak daripada yang dulu dibawanya pergi.

Coba kita renungkan… apakah dia lantas akan menerima adiknya itu?.
Kalau ya, berarti dia (si Sulung) adalah seorang yang mata duitan, materialistis, atau memandang harta sebagai ukuran dalam menilai orang lain. Baginya, harta lebih penting daripada kasih sayang persaudaraan; dan ketika adiknya pulang dalam ketiadaan dan kemiskinan, diapun enggan menunjukkan kasih, sekalipun itu adalah adiknya satu-satunya.

Still, menurut saya dia tetap akan menolak kepulangan adiknya itu, meskipun is datang dengan lebih banyak harta. Sehingga, adiknya kehabisan harta bukanlah menjadi alasan yang sesungguhnya. Lantas apa?

2. ..bersama-sama dengan pelacur-pelacur
Entah bagaimana dia bisa tahu bahwa adiknya bersama-sama dengan pelacur-pelacur sewaktu di negeri asing, tapi anggaplah itu benar.
Pertanyaannya,.. kalau ternyata adiknya tidak hidup demikian, kalau ternyata adiknya hidup ‘benar’ selama di negeri asing. Coba kita renungkan.. apakah dia lantas akan menerima adiknya itu?.
Kalau ya, berarti dia hanya mau menerima adiknya kalau adiknya itu adalah seorang yang 'suci' dan tanpa kesalahan, tidak berkekurangan dan tidak punya kelemahan. Dia tidak memiliki simpati bagi orang yang melukai hati bapa mereka. Baginya, orang lain harus berkualitas lebih baik atau sekurang-kurangnya sama baiknya dengan dia, baru dia bisa menerima. Alih-alih saudaranya itu perlu dibantu oleh karena segala kesulitan dan kepahitan selama hidup di negeri asing, dia malah sebaliknya menolak, dihukum atau mengucilkan adiknya itu. Seolah dialah orang yang paling berhak untuk menghukum dan mengadili.

Tapi still, meskipun adiknya ternyata hidup ‘benar’ di negeri orang, Sang anak sulung akan tetap menolaknya. Jadi ini juga bukan alasan penolakan yang sesungguhnya. Lantas apa?

3. ..bapa menyembelih anak lembu tambun untuk dia
Betulkah dia marah hanya karena bapanya menyembelih seekor anak lembu tambun untuk pesta itu?.
Seandainya,.. tidak ada seekor anak lembu tambun yang disembelih, seandainya tidak ada pesta besar-besaran..
Apakah dia lantas akan mau menerima adiknya itu?.
Tidak juga. Jadi sepertinya alasan itu tidak relevan juga. Ada atau tidaknya seekor anak lembu tambun disembelih (atau kambing, atau ayam dan ternak potong lainnya) rasanya tidak berpengaruh. Sepertinya dia akan tetap menolak kepulangan adiknya itu, dan enggan masuk ke dalam rumah bapanya.

Dari pembahasan di atas, ternyata kata-kata amarah sang anak Sulung tidak mewakili alasan penolakannya atas kepulangan adiknya. Jadi,.. lantas apa sebetulnya yang menjadi dasar, alasan penolakannya atas adiknya sendiri?.

Jawabannya mungkin ada di dasar hati kita masing-masing.
Bila kita kurang bersyukur dan selalu merasa kurang,.. mungkin kita sedang bersikap seperti anak sulung.
Bila kita tidak bisa melawan amarah,.. kita tidak ubahnya sedang berlaku seperti anak sulung.
Bila kita sering diam-diam menghakimi orang lain dan merasa paling benar dan paling suci,.. kita sedang manjadi seperti anak sulung
Dan bila kita sering gagal untuk mengampuni mereka yang bersalah,.. kita pun menjadi seperti anak sulung.
Demikian juga ketika kita mengutamakan harta & posisi sosial di atas nilai-nilai kemanusiaan dan kasih, kita adalah anak sulung itu.

Memahami sikap sang anak Sulung ternyata tidak ubahnya dengan memahami kerohanian saya sendiri, memahami kelemahan, sifat-sifat duniawi, emosi, keterbatasan dan kekurangan saya. Lewat perumpamaan yang Yesus berikan ini, saya berharap bisa belajar untuk menjadi lebih bijaksana dan tidak mudah menghakimi sesama yang kurang beruntung, terutama di saat saya merasa sudah berada di pihak yang benar. Mudah-mudahan kita mau dan mampu untuk melihat segala sesuatu dalam kehidupan ini dengan kacamata sang Bapa, kacamata Kasih, yang tidak bersyarat, the unconditional love.

Newark, 09_22_22

Previous
Previous

The Elder Brother Of The Prodigal Son - part 2

Next
Next

Sang Ilahi dan CiptaanNya