Senyum itu Sehat Eliza Kertayasa Senyum itu Sehat Eliza Kertayasa

Tanding Bola di Alam Baka

Siapa yang menang?

tanding bola.png

Di alam baka, Santo Petrus dan Setan sedang bertengkar tentang sepakbola. Maka Setan mengusulkan diadakan pertandingan antara tim dari penghuni surga dan dari penghuni neraka.

"Baiklah," kata penjaga pintu surga, "Tapi Engkau harus sadar, bahwa kami punya semua pemain bagus dan pelatih terbaik."

"Aku tahu, dan itu tidak ada masalah," jawab Setan tidak gentar, "Kita punya semua wasit di sini."

 
Read More
Tulisan Romo Redaksi E-Bulletin Tulisan Romo Redaksi E-Bulletin

Yesus Sang Cinta Sejati

Yesus, ampunilah aku yang kurang mencintai. Tambahkan cintaMu setiap saat…Amin

Yesus cinta sejati.png

Kalau mencermati berita tentang Covid-19 di U.S., ada satu hal yg menarik hatiku yaitu korban yang mati. Tiap hari ada yang mati. Sudah ribuan pasien mati. Dan aku tidak kaget dengan hal itu. Tiap beberapa jam kudengar sirene meraung-raung dari ‘highway’ dekat kamar. Bayanganku: satu jenazah yang masih hangat lewat. Hidup begitu akrab dengan kematian.

Kembali lagi kalau membedah statistik dari korban yang mati maka jelas seperti kristal fakta yang ada. Ras (race) ‘Hispanic, Blacks dan Asian’ mendominasi. Apakah virus itu ‘racist’? Sepengetahuanku tidak. Kecuali aku salah. Tapi dimana nama para Senator, bintang film, pemain NBA, NFL dalam daftar kematian? Mengapa mereka bertahan hidup? Mengapa yang lain mati? Karena mereka ‘super kaya’ yang punya ‘power’ (kuasa). Mereka mungkin sudah mati kalau ‘gembel’, ‘homeless’, ‘worker’ dan lainnya. Dan bagi para penguasa, lebih banyak pasien lebih cepat mati lebih baik. Daripada menghabiskan uang dan tenaga. Dan itu juga bukti kalau mereka kaum lemah (‘weak’). Tidak masuk seleksi "Survival of the Fittest" (hukum rimba). Yang lemah layak musnah. ‘Economy first’.

Apakah para penguasa itu begitu jahat? Tidak juga. Mereka hanya mencoba ‘survive’ dengan melibas yang lemah. Jika tidak, mereka yang tergilas. Itulah bedanya dengan Yesus. Dia begitu berkuasa tapi digunakan untuk merangkul, menyembuhkan dan mencinta tanpa pandang ras, status dan gender. Dia membuka hati dan mencintai orang kaya, penguasa, orang miskin, pendosa, gadis cantik, jelek, janda, emak-emak, pelacur, koruptor, orang kafir, orang asing, bahkan musuhnya. Semua Dia cintai, meskipun Dia tetap dibunuh oleh orang-orang yang Dia cintai.

Tubuh Yesus memang kalah, tapi CINTA nya tidak pernah kalah.
Yesus, ampunilah aku yang kurang mencintai. Tambahkan cinta-Mu setiap saat...Amin.

"ALLAH adalah KASIH" (1 Yoh 4:8)

Romo Paulus Dwintarto, CM
(pasien Covid-19 & pneumonia)
Kamar isolasi

NY April 9, 2020

 
Read More
Tulisan Romo Eliza Kertayasa Tulisan Romo Eliza Kertayasa

Pergumulanku dengan Tuhan

Pertanyaanku kepada Tuhan “ Mengapa aku harus mengalami sakit tertular COVID-19?”

Carmel Beach CA

Pengalaman sakit, apalagi sakit yang mematikan seperti Covid-19 mau nggak mau membuatku bergumul dengan Tuhan. Pengalaman yg eksistensial. Menyentuh jati diriku. membuatku mempertanyakan dan “menantang" Penciptaku. Tapi jujur saja keyakinanku (semoga bisa menjadi penghayatanku) tentang Tuhan yang adalah kasih membuatku tidak merasa "wow" atau "ekstase" dengan pengalaman "smelling the hell" ini. Aku yakin kalau Tuhan punya rencana. Dan rencana Nya selalu indah meski mungkin perlu kesabaran untuk bisa memaknainya. Pergulatan awalku adalah: "Mengapa harus aku yang sakit, Tuhan. Kenapa bukan orang2 yang sembrono di jalanan, mall, bar atau pusat keramaian lainnya? Kenapa aku? Bukankah aku sudah doa, meditasi, adorasi, ibadat harian, dan ekaristi tiap hari? Bukankah aku telah menyembah dan mengagungkan namaMu? Bukankah aku sudah sering membasuh tanganku selama 20 detik, social distancing, dan tinggal dan bertahan di rumah jauh-jauh hari sebelum lockdown? Bukankah aku sudah hidup sehat dengan makan sayur, buah dan ikan? Bukankah aku sudah olahraga rutin tiap hari selama 1 jam? Mengapa yg sakit bukan anak-anak muda yg mengacaukan anjuran pemerintah? Itulah protesku di awal. Tapi nggak kencang2 amat sih.

Mungkin karena aku bingung dengan diriku sendiri. Karena sakit panas dan badan lemas bisa lebih dari seminggu. Belum pernah kualami sebelumnya. Biasanya 3 hari tidur sudah sembuh. Aku sudah minum obat (=racun) yang berbeda-beda selama 2 minggu. Maka jujur, saat ditest Covid-19 di Urgent Health Centre dan dinyatakan positif aku malah lega. Terima kasih Tuhan. ‘Now, I know it’. Aku masih punya waktu untuk bertempur melawan virus mematikan ini. Dan sudah jelas perawatan yg harus kujalani. Bantu aku Tuhan dalam pertempuran panjang ini! Dan lihatlah Tuhan mengirim bantuan. Anggota komunitas CM, keluarga dan Komunitas Katolik Indonesia di USA sangat ‘supportive’. Berdoa tiada henti. Kirim WA dukungan. Kirim makanan, vitamin dan alat kesehatan. Wow...Tuhan di pihakku. Aku tidak takut! Ya karena saat kritis, saat dimana aku merangkak ke lubang toilet untuk mengeluarkan dahak akibat batuk dan sesak nafas, aku sempat berteriak: “Tuhan kenapa Kau siksa aku! Kalau mau Kau ambil, ambillah. Tapi beri aku kematian yg damai. Kasihanilah aku Tuhan”...sambil merintih kesakitan memegangi dada yang nyeri. Kalau ingat malam-malam itu aku hampir menyerah. Tapi Tuhan mengirim terus dukungan Nya.

Membuatku bertekad: aku bisa!! Kalau Tuhan di pihakku, siapa yg kutakuti! Kini aku melewati masa kritis dan seiring dengan masa pemulihan ini aku sudah melihat titik terang bahwa Tuhan sedang mendidik. Seperti ayahku dulu mendidik, tidak hanya dengan memanjakanku tapi juga menghajarku. Supaya aku kuat dan supaya aku menghargainya. Ya betul kini aku lebih menghargai karya Mu Tuhan terutama melalui orang2 yang dengan tulus mencintaiku, padahal aku tidak berbuat banyak pada mereka. Mereka adalah perwujudan Mu Tuhan. Tuhan yg menghajar tapi tetap merangkul dengan penuh cinta.

Terima kasih atas sakit ini yang membuatku semakin yakin bahwa Engkau adalah KASIH. Membuat segalanya indah pada waktunya.

New York, 17 April 2020

Rm. Paulus Dwintarto, CM

(atas inspirasi Rm. Arm CM)

 
Read More
Tulisan Romo Eliza Kertayasa Tulisan Romo Eliza Kertayasa

COVID-19 Survivor

Kisah Perjuangan Romo Paulus Menghadapi Covid-19 di New York

Saudari/i ku kubagikan kilas balik kisahku terkena Covid-19 dan perjuangan mengatasinya. Semoga berguna.

Sabtu 21 Maret, aku demam karena sariawan di lidah. 5 buah. Perih. Terbiasa sakit ini sejak kecil. Sariawan pertanda ‘immune’ sedang lemah. Bisa karena kurang vitamin atau stress. Terus aku konsumsi NyQuil untuk malam. Biar bisa tidur dan disembuhkan oleh tidur. Aku tidur 18-20 jam sehari. Sariawan sembuh setelah 5 hari. Panas turun. Selama itu aku banyak makan bawang putih mentah (untuk ‘immune’) dan air kacang hijau. Resep tradisional yang sudah kujalani bertahun-tahun. Efek samping bawang putih mentah adalah menurunkan tensi. Padahal aku cenderung darah rendah.

R.Paulus.jpg

Kamis 26 Maret jam 8.42 a.m, aku pingsan saat adorasi. Para Romo dan Frater panik membangunkan aku. Aku ‘passed out’. Dituntun ke dapur, dibuatkan teh manis hangat. Mungkin tekanan darah drop karena bawang putih. Trus sarapan. Seminggu istirahat total dengan minum Mucinex.

Seminggu berikutnya, Jumat 3 April, aku periksa ke ‘Health Center’. Terkonfirmasi positif Covid-19 dan Pneumonia. Gejala batuk berdahak, panas dan sesak. Aku nggak pernah keluar. Darimana datangnya virus ini. Mungkin terbawa salah satu Seminarian (teman asrama) saat belanja atau dari tamu. Atau dari paket barang. Mungkin saja. Aku tidak bisa dan tidak boleh menghakimi tanpa bukti. Karena ‘carrier’ kan tidak selalu orang sakit. Orang sehat atau paket barang bisa membawa virus. Apalagi New York pusatnya Covid-19 di Amerika. Puluhan ribu meninggal. Udara New York sudah tercemar virus ini. Ditambah ‘immune’ ku yang pas lemah. Klop.

Malamnya dibawa ke Rumah Sakit. Opname. Dikasih Oxygen, disuntik tiap pagi, dan 1 butir obat kecil, putih dan pahit (Chloroquine). Setelah 5 hari disuruh pulang karena Rumah Sakit penuh. Diminta ‘self quarantine’ 2 minggu di rumah. Kalau ada darurat disuruh telpon 911.

Virus ini memang mengerikan. Aku hidup sehat dgn doa, tidur, ‘study’ serta olahraga rutin dan makan sehat (salmon, lemon, strawberry, alpokat, segala sayuran dan buah). Aku kuat jalan kaki di Manhattan 5 jam. Basket 2 jam. Lari 1 jam. Eh tumbang juga 😊.

Bagaimana dengan teman serumah (2 Romo dan 7 Frater)? Jujur aku tidak tahu pasti. Kuduga mereka juga terkena. Tetapi karena ketahanan tubuh tiap orang berbeda, mereka tidak perlu test. Kalau separah aku baru bisa test. Antrinya lama karena New York pusat virus.

Saat ini aku membaik. Suhu tubuh normal. Tinggal batuk dan sesak nafas yang bikin kesakitan. Tanda lain adalah doyan makan. Makan sangat penting untuk memperkuat ‘immune’. Selain itu dokter sudah tidak memberi obat lagi. Karena obatnya berbahaya. Mematikan katanya. Saat parah makan 2 - 3 sendok sudah mual. Sekarang lahap. Bisa 6 kali sehari. Sepiring tiap kali makan.

Terima kasih kepada ibu-ibu di New York, Philadelphia, Delaware, Dallas, Atlanta, New Hampshire yang kirim makanan, air, alat kesehatan dan vitamin/supplement. Dan untuk Ika Surabaya yang melakukan ‘healing’. 

Selain itu harus kreatif. Aneh-aneh sedikit nggak apa. Nyanyi, nulis, ‘dance’, nonton komedi, film, yoga, berjemur, apapun yang membuat gembira dan sehat. Tidak olahraga berat dulu. Nafas bisa berhenti mendadak. Yang penting hati riang. Meningkatkan kekebalan tubuh. Jaga kesehatan. ‘Social distancing’ penting. Virus menular lewat orang sakit, orang sehat, maupun barang-barang. Tapi hidup sehat dan bergembira adalah penangkal yang jitu karena itu meningkatkan daya tahan tubuh. Benteng terhadap virus apapun.

Salam sehat dan gembira!

Tuhan memberkati! 🙏🤗

Rm. Paulus Dwintarto, CM

New York - USA

 
Read More
Tulisan Romo Eliza Kertayasa Tulisan Romo Eliza Kertayasa

Dari Kekagetan Menuju Tindakan: Refleksi Sepenggal Hidup di Yogyakarta dalam Masa Covid

Menciptakan Suatu Cara yang Berguna untuk Berjalan Bersama dan Bertahan dalam Masa Pandemi sekarang.

Oleh: Effendi Kusuma Sunur, SJ

Para Sahabat WKICU,

Setelah Presiden Jokowi mengumumkan adanya orang yang terjangkit virus Covid-19 pada tanggal 2 Maret 2020, dunia saya langsung berubah drastis. Saya masih sempat memimpin misa pemberkatan sebuah klinik di Semarang tanggal 9 Maret 2020, namun setelah itu, Keuskupan Agung Semarang memulai menghentikan misa di gereja-gereja bagi umat dan menggantikannya dengan misa “online” pada tanggal 20 Maret 2020 agar “social distancing” terbentuk dan terjaga. Keputusan itu diperpanjang hingga tanggal 31 Mei 2020 dan kemungkinan besar akan diperpanjang lagi untuk tetap melakukan misa “online”.

Semuanya itu berlangsung cepat dan sebagaimana biasanya, perubahan yang cepat membuat kaget banyak orang. Saya termasuk salah satunya. Semua rencana kerja Pusat pastoral Mahasiswa DIY (PPM DIY), tempat saya hidup dan bekerja, yang disusun akhir tahun 2019 untuk dilaksanakan tahun ini terpaksa dibatalkan atau ditunda. Juga, semua rencana acara saya di kota-kota seperti Jakarta, Semarang dan Solo dibatalkan atas nama keselamatan dan kesehatan banyak orang dan saya. Lebih lanjut, pengajaran tatap muka di kelas-kelas UGM (Universitas Gadjah Mada) juga diubah menjadi kelas “online” dan kelas seminar saya di Seminari Tinggi Kentungan terpaksa dihentikan di tengah jalan. Semuanya seakan berhenti bergerak seketika dan saya pun merasa ikut “macet” bersama dunia. Saya ingin bergerak, namun pembatasan membuat saya merasa senewen (bingung dan hilang akal). Di balik kesenewenan itu, saya sering berkelakar dengan sesama teman Yesuit bahwa “saya di pra-covid adalah pengangguran terselubung sedangkan saya di masa covid ini adalah jelas-jelas pengangguran.”

Di bulan April, saya merasa bahwa saya harus meninggalkan “kekagetan” saya dan mulai mencoba untuk ber-“discernment” apa yang Tuhan ingin saya lakukan. Satu hasil ber-“discernment” yang saya pegang sampai saat ini adalah prinsip moderasi, tak jatuh dalam dua titik ekstrim yang sering saya amati ada dalam hidup banyak orang di masa pandemi ini. Yang pertama, sikap tak peduli yang melihat bahwa ancaman virus ini tak nyata karena tak terlihat. Sikap ini membuat penularan virus covid menjadi lebih mudah dan luas dampaknya. Yang kedua, sikap takut berlebihan sehingga bahkan menjadi murung dan tak bahagia. Lebih dari itu, sikap ini juga tanpa sadar menjadi penebar negativitas dengan mengirim berita apapun di sosial media yang membuat tarikan menjadi pesimis bagi orang yang mengonsumsi berita tersebut. Saya cermati bahwa orang-orang jenis ini biasanya:

[1] tak membaca habis beritanya, dan mungkin hanya judulnya,

[2] tak pernah menelaah secara seksama apa yang dibacanya, dan

[3] tak pernah mengecek kebenaran beritanya dengan mencari sumber lainnya yang dapat dipercaya.

Di bulan April pula, saya, dari hasil proses “discernment,” saya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berguna di masa pandemi ini daripada hanya menunggu berakhirnya masa pandemi ini dan tak melakukan apa-apa. Yang menarik adalah bahwa keputusan “discernment” ini sepertinya langsung ditetapkan dan disetujui oleh Tuhan sendiri dengan membawa alumni Kolese Johanes de Britto (JB), SMA Yesuit yang terkenal di Jogja, untuk mendirikan posko peduli Covid-19 di tempat saya, Pusat Pastoral Mahasiswa Daerah Istimewa Yogyakarta (PPM DIY). Saya melihat peluang untuk menggunakan sarana Gereja ini untuk menjadi kepanjangan tangan Tuhan bagi para medis di daerah pedesaan Jawa dan juga di luar Jawa. Lebih dari itu, beberapa organisasi masyarakat Katolik yang mempunyai Sekretariat Bersama di PPM DIY juga mengadakan gerakan untuk membantu masyarakat terdampak wabah ini. Maka, lengkaplah PPM DIY menjadi satu bagian kecil dari Gereja di Yogyakarta dalam berpartisipasi mengatasi dampak sosial dari wabah Covid-19 ini.

Tentunya masalah ekonomis yang ditimbulkan dari wabah ini juga berdampak terhadap mahasiswa perantauan yang karena beberapa alasan tak dapat kembali ke kampung halaman mereka. Mungkin mereka tak mempunyai dana untuk biaya pulang ke kampung mereka, atau mungkin saja karena pelarangan untuk kembali ke daerah asal oleh pemerintah daerah terkait dengan pencegahan penyebaran wabah. Dalam permenungan, saya melihat pentingnya mengetuk hati orang-orang yang masih bisa bertahan dalam kesesakan masa ini untuk menolong mereka yang paling menderita, dalam hal ini adalah mahasiswa-mahasiswi perantauan. Tentunya mengetuk pintu hati orang-orang yang bermurah hati bukan hanya satu-satunya cara. Langkah berikutnya adalah menciptakan sebuah cara untuk bertahan dalam lingkungan yang mendesak. Ini tentunya harus memperhatikan konteks di mana mahasiswa-mahasiswi berada dan sumber daya yang dimiliki. Ini yang harus dilakukan untuk menjawab situasi ini yang diperkirakan akan mencapai sampai beberapa bulan kemudian di Indonesia. Langkah terakhir ini lebih menantang karena itu berarti ada usaha untuk memanfaat peluang di tengah kesulitan global ini dalam konteks lokal. Sebuah usaha untuk membentuk mekanisme di mana kita berjalan bersama dengan mereka yang paling membutuhkan dan terdampak dalam masa ini.

Para Sahabat,

Refleksi kecil saya ini dikuatkan dengan sabda Yesus, “Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu (Yoh. 14:12).” Saya percaya bahwa apa yang ditanamkan Tuhan dalam batin kita, bila didengarkan dan dilaksanakan, sungguh menghasilkan buah berlimpah. Saya butuh doa-doa Anda sekalian dan saya juga mengingat Anda sekalian dalam doa saya. Tuhan memberkati dan melindungi kita semua.

 
Read More
Artikel & Renungan WKICU Admin Artikel & Renungan WKICU Admin

Sedia Payung Sebelum Hujan

Apakah ‘Social Distancing’ Keharusan atau Kebiasaan?

Kata-kata ini sangat bermakna…
untuk menjalani ‘Social Distancing’ karena epidemi virus Corona.

Sebenarnya sejak pindah ke San Francisco Bay Area, saya sudah lebih mengenal cara menjaga kesehatan diri alias mandiri.
Makan vitamin dan jangan sentuh barang bukan milik sendiri tanpa pakai tisu dan perlunya sering cuci tangan. Kalau bisa, buka pintu didorong dengan kaki. Menjaga jarak dari orang batuk pilek karena flu atau alergi.

Keluarga di Indonesia anggap kebiasaan baru itu berlebihan, tapi setelah dipikir lagi, apalagi setelah ada epidemi, menjadi keharusan.
Lebih baik mencegah daripada kena penyakit dari orang baru yang ketemu di jalan. Biaya pengobatan mahal dan sulit bertemu dokter setiap saat. Untung bisa bertanya ‘Mbah Google’ setiap ada gejala penyakit jadi tahu harus minum obat atau vitamin apa supaya tidak tambah menderita dan tentu disertai doa mohon pengampunan dan penyembuhan dari Yang Kuasa.

Seharusnya lebih siap menghadapi kondisi epidemi, tapi ternyata kadar takut tertular makin menghantui sampai tidak berani belanja kebutuhan hidup sehari-hari. Takut akan kematian kalau sampai sesak nafas, lupa kalau hidup kita di dunia memang ada batas. Tapi sebagai seorang Kristiani, masih ada harapan kehidupan abadi di hadirat-Nya. Setelah melewati penghakiman apa kita masuk neraka atau surga.

Umbrella_and_leaves.jpg

Apakah kita sudah bersiap diri memaknai dan mengisi kehidupan untuk lebih berarti sebelum kita tinggalkan? Apakah kita sudah mempersiapkan masa depan? Apakah masih ada ‘Seven Deadly Sins” yang tersisa dalam diri kita? Hawa nafsu/ lust, Kerakusan/ gluttony, Ketamakan/ greed, Kemalasan/ sloth, Kemarahan/ wrath, Iri hati/ envy dan Kesombongan/ pride.

Apakah kita sudah ada ‘Seven Heavenly Virtues’ untuk melawan godaan dosa?
Kesucian/ Chastity, Kesederhanaan/ Temperance, Kasih/ Charity, Ketekunan/ Diligence, Kesabaran/ Patience. Kebaikan Hati/ Kindness dan Kerendahan Hati / Humility.

Jika jatuh dalam dosa, apa kita sudah memohon ampun kepada Tuhan? Apakah kita terus mau belajar dan mengampuni kesalahan orang lain serta percaya rencana dan kehendak Tuhan dalam kehidupan ini? Sudahkah kita menjadi orang yang bersyukur dan tabah dalam menghadapi segala rintangan?

Sore ini terdengar suara petir dari awan gelap disertai kencangnya angin tanda akan derasnya hujan turun.

Apakah kita sudah sedia payung sebelum hujan…?

LL - 5/6/2020

 
Read More
Tulisan Romo WKICU Admin Tulisan Romo WKICU Admin

Trust Jesus In Difficult Times

Percayalah Badai Pasti Berlalu

Dear Friends,

I invite you to consider Matthew 8:23-27.
Christ models for us peace and calm during a tumultuous storm. He called his disciples to trust him and have faith in difficult times. He did not abandon them; instead, trust in Christ transformed the circumstances for the disciples.

In the past month, the depth and challenge of a worldwide pandemic have become very evident to all of us in the human community. As a community of faith, I invite you to act responsibly by following the advice and practices of our medical professionals.
Also, we can help those who are suffering in any way we can through prayer and practice, faith in an all-good, forgiving, and loving God. Although it’s too early in this pandemic to fully understand current and future realities, we must all make changes to how we conduct our activities, and to help one another mitigate the impact of this pandemic.

Most importantly, all of you remain in my daily prayers. We can and will get through this together. Peace and all good,

Br. Henri Djojo, OFM

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Tuhan Tidak Pernah Meninggalkan Kita

Saat Semuanya Terlihat Tak Pasti,
Roh Kudus Memberikan Pengertian dan Pencerahan Hati

Bodega Bay, CA

Bodega Bay, CA

Pada suatu masa, saya diterima bekerja di salah satu kantor akuntan publik Internasional di Jakarta, salah satu the ‘big five’ auditors firm.This is my ‘dream job’. Saya sangat menyukai pekerjaan dan tanggung jawab saya sebagai senior auditor yang bisa manage pekerjaan bahkan merekrut staf-staf baru. Saya menjadi ‘tangan kanan’ atasan.
Belum genap setahun saya bekerja di situ, terjadi pemutusan hubungan kerja antara international head office dengan para partner auditor Indonesia. 

Oleh karenanya, beberapa partner nasional (termasuk atasan saya) menggabungkan diri dengan kantor akuntan nasional lain. Namun proses penggabungan (merger) seperti itu tidak akan mengikutsertakan semua staff, dengan alasan efisiensi dan sebagainya.

Maka bagi para staf akuntan yang jumlahnya ribuan itu, sebagian bisa merasa tenang karena yakin tidak akan kehilangan pekerjaan, namun banyak juga yang cemas, terutama para staf yang masih relatif baru bergabung dalam perusahaan.

How about me? Saya merasa cukup tenang, karena sebagai asisten dan tangan kanan atasan, saya yakin chance saya lebih baik dibandingkan dengan 3 staf yang baru bergabung.

Atasan memanggil saya, dan memberitahu beliau sudah dalam proses bergabung dengan sebuah kantor akuntan nasional yg cukup bagus pula. Dijelaskannya bahwa hanya tiga orang staff saja yang secara otomatis bisa dia ‘bawa’ bergabung dengan perusahaan yang baru. Sedangkan saya, harus menunggu beberapa minggu, untuk kemudian mengikuti proses rekrutmen layaknya calon karyawan baru, dan saya akan direkomendasikan oleh beliau. Saya merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Saya tersinggung sekali. Saya merasa semua kedekatan, dedikasi dan prestasi kerja yang telah saya tunjukkan selama itu, tidak dihargai. Saya merasa ditinggalkan sendiri. Sebagai orang muda yang punya ambisi besar dan komitmen kerja yang tinggi, saya merasa kecewa. Kehilangan pekerjaan saja sudah menimbulkan rasa stress, tetapi perasaan ditinggalkan bos yg dekat, ternyata lebih sakit lagi. Aku ingin tahu dan terus bertanya, mengapa ..dan mengapa? 

Memang benar satu minggu kemudian saya dijadwalkan untuk mengikuti tes ‘recruitment’ calon karyawan baru. Tesnya seharian, melelahkan, dan terus terang saja saya mulai setengah hati menjalaninya pada saat-saat terakhir, yakni pada session tes kepribadian. Perasaan diabaikan dan jenuh karena harus menjalani tes-tes awal seperti itu, amat mempengaruhi saya. Saya menjalani tes dengan perasaan yang tidak damai. Dua minggu sudah berlalu sejak test itu, namun tidak ada kabar dari mereka.

Sementara itu, saya sudah mengirimkan lamaran kerja ke beberapa perusahaan. Beberapa panggilan interview datang dari dua atau tiga perusahaan. Salah satunya adalah perusahaan manufaktur yang malah dekat dengan tempat tinggal saya, cuma 12 kilometer. Dan tidak kena macet.

Setelah melewati serangkaian tes dan interviews, saya diterima di perusahaan manufaktur itu sebagai Cost Accountant. Jabatan saya malah sangat bagus, dengan kemungkinan jenjang karier yang sangat bagus pula. Gaji saya dua kali lipat dari apa yang saya dapat di kantor akuntan, dan tiga bulan kemudian saya diberi berbagai fasilitas sebagai karyawan tetap. Semuanya sungguh sesuai dengan minat, tugas, dan skill. Saya bersyukur.

Ternyata semua inilah yang Tuhan rencanakan buat saya. Sungguh aku tidak perlu khawatir secara berlebihan, karena Tuhan sungguh tahu apa yang terbaik buat umat Nya. Meskipun kita ditinggalkan oleh orang-orang terdekat, tetapi Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Lalu apa sebenarnya alasan bos saya tidak mengikutkan saya? Saya butuh jawaban ini untuk kedamaian hati saya. Saya butuh kejelasan.

Dia tidak memilih saya, tentu bukan karena faktor prestasi kerja. Bukan pula karena emosi atau pertimbangan non-teknis. Bukan karena dia lebih suka teman-teman saya yang lain. Bukan karena dia tidak suka saya. Bukan karena dia tidak butuh saya. Dan bukan karena tidak menghargai saya. Tetapi justru karena dia percaya saya akan mampu melewati semua tes ‘recruitment’. Dia yakin saya lebih capable dari staf yang baru-baru itu.

Jadi ditariknya teman-teman saya yang "lemah", karena dia tidak yakin mereka akan mampu melewati tes itu. Dengan demikian, bos saya berharap akan bisa mengumpulkan semuanya kembali. Saya melihat kebijaksanaan dari seorang atasan. Terima kasih ya Tuhan, Roh KudusMu sungguh membuka pikiranku dan membawa kedamaian dalam hati.

Bagi teman-teman yang mengalami kehilangan pekerjaan, kesulitan mendapat pekerjaan, lamaran kerjanya ditolak, dan masaslah-masalah sejenisnya. Tetaplah kuat dan bersabarlah. Bersabarlah, karena waktunya akan datang ketika rencana Tuhan sungguh bekerja bagi anda. Jangan marah, jangan kecewa, jangan merasa benci dan putus asa. Tetaplah kuat dan yakin di dalam Tuhan. Dia tidak pernah mengecewakan. Bawalah permohonan-permohonanmu dalam doa, dan tetaplah bermurah hati terhadap orang lain.

Terkadang kita tidak mengerti apa yang Tuhan telah siapkan bagi kita. Dan kita tidak tahu kapan saatnya itu tiba.

Satu hal yang pasti, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita.

 
Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Perspektif Seorang Putri

Cara Melihat Hitam Putih Suatu Masalah

Dahulu kala di sebuah kota kecil di Italia, seorang pedagang yang malang memiliki hutang yang banyak kepada seorang rentenir. Sang rentenir yang sudah tua dan berhati jahat, mengusulkan kepadanya suatu hal yang mengerikan dan hampir tidak masuk akal. Sang rentenir mengatakan akan melupakan semua hutang sang pedagang, asalkan dia dapat menikahi putri pedagang itu. Baik pedagang maupun sang anak perempuannya yang cantik sangatlah ketakutan dengan tawaran itu. Rentenir yang licik itu menyarankan melakukan sebuah undian, dan katanya biarlah takdir yang akan menentukan.

Kata si rentenir: “Aku akan meletakkan kerikil hitam dan kerikil putih ke dalam karung. Sang putri kemudian harus mengambil salah satu kerikil dari karung itu, dengan tanpa melihat. Jika terambil kerikil hitam, dia akan menjadi milik saya dan hutang ayahnya akan dianggap lunas. Jika kerikil putih yang terambil, maka beruntunglah dia dan tidak perlu menikah denganku, dan hutang ayahnya dianggap lunas juga. Tetapi jika dia menolak untuk mengambil kerikil, ayahnya akan dijebloskan ke penjara.”

Bersama banyak orang, mereka semua memang sedang berada di jalan setapak yang berkerikil. Selagi berbicara, sang rentenir membungkuk untuk mengambil dua kerikil. Namun sang putri sempat melihat bahwa si rentenir telah mengambil dua buah kerikil namun keduanya berwarna hitam, kemudian memasukkannya ke dalam karung. Sang putri kemudian diminta untuk mengambil satu kerikil dari dalam karung itu.

Sekarang, bayangkan anda adalah sang putri itu. Apa yang akan anda lakukan? Atau jika anda harus menegurnya, teguran apa yang akan anda lontarkan kepada si rentenir itu?


1. Sang Putri itu harus menolak untuk mengambil kerikil.

2. Sang Putri itu harus menunjukkan ke semua orang bahwa nyatanya ada dua kerikil hitam di karung, dan membuktikan bahwa si rentenir telah melakukan kecurangan dan penipuan.

3. Sang Putri itu harus mengambil kerikil hitam dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan ayahnya dari hutang dan hukuman penjara.

Luangkan waktu sejenak untuk merenungkan cerita di atas. Pendapat apa yang akan anda berikan kepada sang putri?

Apa yang terjadi kemudian di dalam cerita ini adalah:

Putri itu memasukkan tangannya ke dalam karung dan mengambil sebuah kerikil tanpa meilihatnya. Kemudian sang putri sengaja menjatuhkan kerikir yang diambilnya dari dalam karung hingga terbuang ke jalan setapak yang berkerikil itu. Tentu saja krikil tadi segera menjadi hilang dan bercampur di antara semua kerikil lainnya.

"Oh, betapa cerobohnya aku," katanya. "Tapi tidak apa-apa, jika kamu melihat ke dalam karung, masih ada satu kerikil yang tersisa, dan anda akan tahu kerikil apa yang tadi saya pilih. "

Karena kerikil yang tersisa berwarna hitam, harus diasumsikan bahwa dia telah mengambil yang putih. Dan karena rentenir tidak berani mengakui kecurangannya, sang putri telah mengubah situasi yang tampaknya mustahil menjadi sebaliknya.


MORAL OF THE STORY:

Meskipun rumit dan sulit, semua masalah masih dapat terselesaikan dengan baik; terkadang kita hanya perlu memikirkannya dengan perspektif yang tepat, seperti Sang Putri dalam cerita di atas.

 
Read More
Tulisan Romo Eliza Kertayasa Tulisan Romo Eliza Kertayasa

Solidaritas Meretas Batas

Aksi Solidaritas Komunitas Seminari Tinggi Santo Paulus Yogyakarta di Masa Pandemi

Aksi Solidaritas Komunitas Seminari Tinggi Santo Paulus Yogyakarta di Masa Pandemi

Aksi Solidaritas Komunitas Seminari Tinggi Santo Paulus Yogyakarta di Masa Pandemi

Saya, Fr. Agustinus Brian Kurniawan sedang menjalani masa formasi di Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, Yogyakarta. Suatu ketika, Romo Anton Galih meminta kepada saya untuk membuat sebuah refleksi terkait dengan aksi solidaritas di masa pandemi Covid-19 yang dilaksanakan oleh komunitas kami.

Kita sungguh menyadari bahwa penyebaran virus Corona mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi, sosial dan politik di tengah-tengah masyarakat. Pembatasan massal oleh pemerintah pun berdampak pada pemutusan kerja secara sepihak, berkurangnya pendapatan para pedagang kecil, penjual koran di trotoar dan tukang becak di sepanjang Jalan Malioboro. Akibatnya, mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan hanya untuk makan sesuap nasi juga kesulitan.

Berhadapan dengan kenyataan Covid-19 itu, sabda Yesus bagi kita sebagai orang beriman terdengar begitu keras dan jelas: “Kamu harus memberi mereka makan!” (Luk 9:13). Sebagai anggota masyarakat para frater dan romo di komunitas seminari dipanggil untuk melihat penderitaan orang lain sebagai penderitaan kami juga. Dana aksi puasa yang kami kumpulkan selama masa Prapaskah pun didonasikan kepada mereka yang terdampak corona. Selain itu, sebagai komunitas kami memasak nasi bungkus untuk makan siang dan dibagikan kepada setiap orang yang lewat Jalan Kaliurang, di depan Seminari Tinggi. Apakah saat membagikan nasi bungkus para frater harus bertanya, “Apakah bapak/ibu Katolik? Tidak!” Tetapi, nasi bungkus itu diberikan kepada siapa saja yang lewat tanpa memandang siapa mereka dan apa agamanya. Prinsipnya, mereka adalah saudaraku yang membutuhkan bantuan.

Solidaritas tidak dibatasi oleh suku, ras, agama dan golongan, tetapi berbicara tentang kemanusiaan. Ibarat tubuh, mereka adalah tangan, kaki, mulut, hidung, telinga dan anggota tubuh lainnya yang saling bekerjasama (bdk. 1 Kor 12:14). Tubuh, tanpa anggota yang lengkap akan menjadi cacat dan mengalami ketimpangan. Komunitas manusia pun terdiri dari berbagai anggota yang seharusnya saling membantu satu sama lain. Memang, ada orang yang berpikir bahwa itu bukan tanggung-jawabnya. Tetapi, mari berkaca dari Yesus. Apakah salib adalah akibat dari dosa-Nya? Tidak, kan. Yesus memeluk salib itu dalam kemerdekaan batin dan ketaatan-Nya kepada Bapa demi manusia.

Frater dan para imam adalah orang pertama yang seharusnya memeluk salib itu. Allah mengangkat kami sebagai Kristus yang lain tidak hanya dalam Ekaristi, tetapi juga untuk memberikan teladan dalam hidup sehari-hari.
Sekarang, kita semua diajak untuk ikut memeluk salib Covid-19 dengan hati yang terbuka dan penuh sukacita.

Yogyakarta, 5 Mei 2020

Memasak nasi bungkus untuk dibagikan bagi yang membutuhkan

Membagikan nasi bungkus kepada setiap orang yang lewat Jalan Kaliurang, di depan Seminari Tinggi.

 
Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Nafas Hidup

Nafas Kehidupan,
tak ternilai dan jauh melebihi peran sebuah ventilator

handthankyou.jpg

Nafas Kehidupan,
tak ternilai dan jauh melebihi peran sebuah ventilator

Baru-baru ini, seorang pasien pria berusia 93 tahun di Italia dirawat di rumah sakit. Setelah kondisinya membaik, dia segera menuju ruang administrasi untuk membayar tagihan perawatan. Pria tua itu menerima sebuah lembaran kertas yang di situ terdapat keterangan dan angka dalam jumlah cukup besar untuk pemakaian sebuah ventilator.

Orang tua itu menangis seketika, dan kemudian datanglah seorang dokter menghibur menyarankannya untuk tidak menangisi soal tagihan. Pasien tua itu berkata, "Saya bukan menangis karena harus membayar semua ini. Saya dapat membayar tagihan ini. Saya menangis karena selama 93 tahun saya telah menghirup udara yang diberikan Tuhan, tetapi saya tidak pernah harus membayar sepeser pun. Tagihan Ventilator ini 5.000 Euro per hari.”

Kemudian orang tua itu memandang sang dokter dan berkata lirih; “Apakah anda tahu sudah berapa banyak saya berhutang pada Tuhan namun saya tidak pernah menyadari dan berterima kasih pada Nya untuk itu?”

Mendengar perkataan pasien itu sang Dokter menundukkan kepalanya, matanya berkaca-kaca dan ikut menangis.

(Artikel diambil dari berbagai sumber).

 
 



Read More