Monika Fuun dan Secuil Kenangan
Perjuangan dan dedikasinya menunjukkan komitmen akan cinta dan rasa syukur kepada Tuhan yang hanya dapat beliau lakukan lewat WKICU.
Ditulis oleh Agem Rahardjo
(Mengenang satu tahun meninggalnya Tante Monik)
** Bahan tulisan oleh Imman Chiang.
Sinar matahari siang itu menyengat cukup panas membakar kulit kering yang lupa dibaluri sunblock. Saya menyingkir dan masuk ke dalam tenda sesekali untuk berteduh sebentar di bawah kain terpalnya yang melebar panjang. Ada hembusan angin dingin yang menusuk ketika bersembunyi dari sorotan tajam sang mentari. Saya berada di cosmopolitan gathering place, Union Square di pusat kota San Francisco saat itu. Kalau ingatan saya tidak salah, waktu itu sekitar pertengahan bulan September tahun 2012. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) menyelenggarakan acara Indonesia Day----- peringatan rutin tahunan perayaan Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia yang sebenarnya jatuh pada tanggal 17 Agustus, dan bagi kita di Indonesia peringatan itu cukup diucap tujuh belasan.
Saya membantu Konsulat Jendral Republik Indonesia menunggui stand mereka. Sebuah tenda yang tersedia sebagai pusat informasi dan promosi mengenai Indonesia berdiri di sudut deretan akhir di antara tenda-tenda yang menjual makanan dan jajanan khas Indonesia. Di dalam tenda itu, di atas meja ber-taplak kain batik berjejer brocure dan leaflet yang memperkenalkan dan menampilkan pariwisata serta keragaman budaya. Ada juga buku-buku karya sastra Indonesia baik asli maupun terjemahan yang diapit hiasan payung Bali dan beberapa patung wayang. Stand yang saya tunggui hanya sedikit menarik pengunjung yang datang. Mengherankan sekaligus juga menyedihkan. Panggung besar di sisi tengah lapangan tempat menyajikan acara utama seperti tari-tarian dan bermacam kebudayaan Indonesia punya nasib baik. Suara gamelan, tari-tarian dan nyanyian lagu-lagu Batak serta permainan alat musik Kolintang yang keluar dari pengeras suara berhasil menarik banyak pengunjung.
Matahari mulai meninggi, orang yang datang bertambah semakin banyak. Mereka berserakan disetiap sudut lapangan berebut tempat dengan sinar matahari yang cepat menyebar memenuhi tempat bernama Union Square itu. Dari dalam tenda saya melihat sebagian besar lainnya tampak berjubel dengan semangat 45 bagai pejuang-pejuang kemerdekaan yang tak kenal menyerah mengular antri di tenda-tenda makanan dan jajanan khas Indonesia di pinggir lapangan berharap tidak kehabisan Nasi Padang, Lontong Sayur ataupun Es Cendol. Beberapa yang telah mendapat makanan asyik menyantap sambil menyaksikan sisa pertunjukkan yang tidak sempat diperhatikan sewaktu mengantri tadi…. sebagian lain yang telah memborong berbungkus-bungkus langsung pulang karena takut makanan dan jajanan itu basi atau rusak karena terlalu lama di kantong plastik dalam cuaca panas.
Ingatan mengenai acara itu masih menggantung di kepala, tetapi ada satu hal yang tetap melekat resap di hati yang mendorong saya menyelesaikan tulisan ini. Secuil kenangan yang menyadarkan banyak hal….secuil saja, karena sebiji sesawi juga mampu memindah gunung.
Tengah hari menjelang sore, seorang wanita tiba-tiba saja masuk ke dalam tenda dengan senyum ramah agak malu-malu. Mata yang terbuka lebar menyapa tepat ketika saya selesai menghabiskan kotak nasi makan siang pembagian dari panitia. Saya membalas sapaan ramahnya. Saya mengenal beliau di gereja Union City. Wanita itu bernama Monika Fuun atau yang akrab kita panggil Tante Monik. Kalau boleh saya menyuruh ingatan kembali ke masa itu, rasa-rasanya beliau adalah umat wkicu pertama yang berbicara hati ke hati, penuh kehangatan dan keakraban kepada saya.
Obrolan di antara kami terjadi. Beliau tinggal seorang diri di downtown San Francisco. “Saya sih cuma tinggal jalan kaki aja sampe.” Begitu katanya menjawab pertanyaan saya soal tempat tinggalnya. Mendengar jawaban itu, saya yang belum genap dua tahun berada di Amerika dan belum juga berhasil mendapat pekerjaan segera menduga bahwa Tante Monik ini pasti bekerja di tempat yang sangat baik dan bergaji besar karena jika tidak, mana mungkin akan sanggup membayar tempat tinggal yang jaraknya hanya tinggal selangkahan kaki saja dari Union Square?
Monika Fuun berasal dari Maluku. Dilahirkan 13 Desember 1956 di desa Sofianin kepulauan Tanimbar, tepatnya di sebuah pulau kecil bernama Fordate yang terletak di sebelah tenggara kepulauan Maluku. Desa kelahirannya terpencil sekali hingga saya kesulitan mencari keterangan mengenai daerah itu meskipun dibantu oleh tuan Google. Sebagai anak tukang kayu pasangan Theodorus Fuun dan Wilhelmina Bungaa, beliau telah terdidik hidup keras dan menjadi kuat. Sejak lulus SMP telah sangat terampil dan cekatan membantu ayahnya.
Saat umur 19 tahun pindah ke Jakarta bersama ketiga saudaranya dan kemudian diboyong ke kota Bogor bekerja di sebuah rumah makan. Hijrahnya ke Bogor inilah yang kemudian merubah perjalanan hidup Monika Fuun hingga akhir hayatnya. Sejak rumah makan tempatnya bekerja tutup setelah pemiliknya meninggal dunia, beliau mendapat pekerjaan baru di sebuah Apotik (toko obat) yang berlokasi di kota yang sama, hingga akhirnya tahun 1995 diajak ke Amerika oleh salah satu anak pemilik Apotik tersebut untuk membantunya mengurus keluarga dan merawat anak-anak mereka. Lama setelah bekerja membantu keluarga ini beliau memutuskan untuk mencari pengalaman baru. Dengan bantuan seorang teman akhirnya beliau berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah hotel/penginapan khusus yang merawat orang-orang tua yang terletak di tengah kota San Francisco. Dan atas kebaikan pemilik perusahaan tersebut beliau diijinkan menempati salah satu kamar di sana.
Dari cerita dan obrolan kami di dalam tenda sepanjang siang hingga sore itu menjadikan saya paham mengenai apa yang dikerjakan selama kedatangannya di Amerika. Dengan status keimigrasian yang tidak jelas, keterbatasan bahasa dan pendidikan yang menurut beliau sama sekali tidak dapat diandalkan untuk mendapat pekerjaan dan hidup layak telah membuatnya lebih kuat dan tahan banting. Keyakinan diri dan penyerahan jalan hidupnya kepada Tuhan telah membawanya pada sebuah keajaiban akan berkat berkelimpahan dari Allah yang memampukannya melewati segala rintangan dan mendapatkan apa yang menurut beliau sudah lebih dari cukup. Berkat dari harapan sederhana yang beliau inginkan untuk menjalani kehidupan seorang diri di Amerika sudah diterima. “Tuhan itu baik sekali. Semua yang saya minta dalam doa selalu dikasih, Saya mau terima kasih sama Tuhan. Pengen melayani dan selalu kasih waktu untuk Dia,” jelasnya ketika saya tanyakan mengapa sering terlihat di gereja Union City sementara beliau tinggal di San Francisco.
Monika Fuun selalu hadir di tiga wilayah misa WKICU setiap bulan, San Francisco, Santa Clara dan Union City. Bahkan beliau masih menyempatkan diri hadir di misa Minggu keempat bersama KKI Sacramento…..belum lagi beliau selalu muncul dengan semangat tinggi di beberapa undangan acara doa Rosario, Persekutuan Doa, dan kegiatan religius lain tanpa perduli jarak yang membentang menghadang. Perjuangan dan dedikasinya menunjukkan komitmen akan cinta dan rasa syukur kepada Tuhan yang hanya dapat beliau lakukan lewat WKICU. Niat adalah api yang membakar, dan perjuangan sebagai perwujudannya. Beliau mengajarkan kepada saya dan juga kepada kita bagaimana seharusnya melayani Tuhan sekaligus mencintai komunitas ini. Mungkin saya terbiasa bersembunyi dibalik alasan-alasan ketidak mampuan, tidak ada waktu, dan sifat terbiasa dilayani hingga niat yang seharusnya ada di dalam diri terkubur dalam-dalam, tinggal tunggu waktu sampai akhirnya mengikis cinta….
Di tenda berukuran kurang lebih 8 x 10 feet itu saya asyik mendengarkan rangkaian rasa syukur yang meluncur tanpa hambatan dari mulutnya. Tanpa beban kisah demi kisah terus mengalir. Saya tidak melihat ada rasa sombong dan sikap merasa hebat. Tertangkap semua tutur cerita dan ujaran kata yang keluar dari mulutnya penuh ketulusan. Takjub atas segala penyertaan Tuhan dan terjawabnya semua doa-doa serta harapan. Harapan dalam ujud permohonan yang begitu sederhana untuk hanya bisa diberi tempat tinggal dan berteduh, mendapatkan makan, diberi waktu luang untuk melayani, dan kemampuan menyimpan sedikit uang lebih sekedar membantu keluarga di kampungnya. Dengan wajah serius sambil menatap ke luar tenda sempat terucap keinginannya membantu menyekolahkan seorang keponakannya. Keinginan dari keterbatasan dan kesederhanaannya yang menyentuh hati. Suara gamelan yang dimainkan oleh para bule dari tengah panggung menambah suasana perbincangan kami. Ada nuansa magis tercipta yang mengingatkan ujaran; Ketulusan datang dari dasar hati yang paling dalam…..jika hati seumpama lautan dalam, ketulusan bersemayam di dasar sana. Kita harus sanggup dan mau turun menyelam ke bawah dan terus ke bawah, merendahkan diri dan hati kita serendah-rendahnya agar dapat menyentuh, merasakan dan sampai ke sana. Jangan biarkan tubuh, ego dan kesombongan mengangkatmu kembali ke atas.
Tante Monik orang yang selalu mencari Tuhan dan berusaha dekat denganNya. Dengan segala keterbatasan, beliau telah menyentuh lini setiap sudut ruang hati kita. Rasa gerah dan tidak senang akan sikapnya yang sering kita salah artikan mampu merubah suasana hati menjadi rasa nyaman, tenang dan aman ketika bekerja dan berada di sekitarnya. Seperti apa yang pernah dirasakan oleh Imman, keponakannya yang tinggal di LA, “Personally, growing up in Bogor with her I always felt safe when she is around for she is strong and brave and very protective of us as children at that time. And I know she loved us her nephew, she always remember to called each of us on our birthdays and even on our wedding anniversary. So very thoughtful of her.”
Monika Fuun telah pergi meninggalkan kita semua dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dua hari sebelum beliau meninggal dunia, saya mendapat sms dan pesan wa dari beberapa umat yang bertanya tentang keberadaannya. Beliau yang tidak pernah absen dari acara-acara religius tiba-tiba menghilang tanpa pesan. Tak ada sms atau whatsapp yang terkirim darinya. Handphone yang tak pernah lepas dari tangannya juga diam seribu bahasa tanpa pernah menjawab panggilan. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya dimana rutinitas kesehariannya adalah memberi perhatian melalui kiriman doa dan renungan lewat pesan whatsapp. Menelpon saya dan beberapa teman lain untuk minta bersama-sama mendoakan kesembuhan salah seorang umat atau seseorang yang dekat dengannya. Mengingatkan akan ulang tahun dan tahbisan para Romo, juga selalu menawarkan diri untuk membantu acara-acara WKICU tanpa kita minta.
Tengah malam di bulan November tahun 2019 usaha pencarian berhenti setelah mendapat kabar beliau ditemukan tergeletak di dalam kamarnya dalam keadan sudah meninggal dunia. Kabar itu menyengat kesadaran tentang betapa tipis dan dekatnya sebuah kematian pada diri kita. Dimensi ruang antara hidup dan mati bagai sebuah jaring internet yang tak terlihat namun mampu memindah partikel pesan ketempat yang jauhnya ribuan, bahkan jutaan kilometer dengan tertekannya tombol send sekejapan saja. We are a messenger, saya pernah dengar ungkapan itu. Hidup membawa pesan yang akan kita goreskan ….jika nanti pada gilirannya tombol send kita itu tertekan, pesan apakah yang sudah dan akan kita tulis agar tersurat di layar kehidupan?
Saya termenung di sudut rumah sambil menatap sebuah meja kecil yang sengaja tersedia khusus untuk menaruh sebuah box berisi urn----tempat berbentuk kendi yang di dalamnya bersemayam abu kremasi Tante Monik. Di luar rumah suasana muram dan sepi. Hanya suara kicau burung dan angin bertiup lamban yang tak mampu menggerakkan daun-daun di pepohonan sekedar melambai pelan untuk mengucap salam perpisahan. Saya nyalakan dua batang lilin kecil di samping kanan-kiri sebuah photo. Photo almarhumah yang sedang tersenyum bahagia berdiri persis di depan box berisi urn itu. Ada seuntai Rosario berwarna biru kesayangan beliau yang selalu menemaninya setiap saat masuk ke dalam doa, baik di rumah ataupun di dalam kendaraan umum yang menjadi alat transportasinya setiap hari. Salib Yesus dan patung Bunda Maria mengapit abu jenazahnya dengan rapih.
”Suatu hari nanti saya pasti nginep di rumah kamu,” katanya saat menolak halus tawaran saya untuk menginap. Masih teringat jelas kedatangan beliau bersama romo-romo tamu yang dihantarnya ke rumah saya menginap satu hingga dua malam dalam program “romo tamu” WKICU sebagai usaha membantu memimpin misa karena ketiadaan romo. Sungguh tak mengira kamu memenuhi janji itu setelah menjadi abu. Tak juga menyangka bahwa usaha kamu yang tak kenal lelah mengajak umat datang ke misa San Francisco akhirnya menjadi nyata. Lebih dari 200 orang telah berbondong ikut misa, meski itu untuk menghadiri misa pemakamanmu. Misa pemakaman yang megah dan indah di St. Ignatius Church, San Francisco telah Tuhan Yesus sediakan menghantar kepergianmu ke rumah Bapa.
Sabtu pagi hari kedua, keponakan beliau datang menjemput abu jenazahnya. Pertemuan hangat dengan sang keponakan (Imman dan istrinya) mengalirkan cerita dan kenangan baik tentang seorang tante yang sangat dicintai oleh keluarga dan saudara-saudaranya. Terlontar kabar hari itu bahwa harapan yang pernah beliau katakan di dalam tenda telah terlaksana. Suri, keponakan perempuannya di Indonesia telah berhasil disekolahkannya hingga bangku kuliah. Imman dan istrinya pamit pulang tak lama berselang dan mengatakan akan mampir dahulu menikmati pemandangan sepanjang pantai Monterey sebelum perjalanan kembali menuju Los Angeles. “Istri saya ingin jalan-jalan kesana.” Kata Imman. Bagai tersengat listrik mendengar itu saya berujar dalam hati, “Oh Tante…..indah betul cara Tuhan membalas ketulusan dan kesederhanaan cintamu.” Betapa Tante Monik sangat menyukai indahnya pantai Monterey hingga selalu menyarankan saya untuk membawa para romo yang menginap di rumah untuk pelesir ke sana. “Saya suka sekali ke Monterey. Pemandangan pantainya sungguh indah. Nggak pernah bosen saya!” Katanya menjelaskan ketika saya tanya mengapa harus selalu pergi ke sana?…………sudah menjadi abu-pun kamu masih diberi kesempatan menikmati pantai kecintaanmu.
Menyadari apa yang barusan saja terjadi, ketika melihat mobil keponakannya itu menghilang di tikungan jalan saya tergesa masuk rumah. Meraih handphone di atas meja. Teringat pesan terakhirnya yang terkirim satu minggu sebelum beliau meninggal yang isinya pesanan gado-gado dan telur balado untuk acara rekoleksi para suster Putri Carmel. Jempol ini dengan cepat mengetik kata, “Terima kasih tante! Saya akan pastikan tidak ada yang mengganti menu pilihan ini.” Jempol menekan tombol send…..Terkirim! Entah siapa yang membaca pesan balasan itu di hp-nya. Saya hanya ingin menambah terwujudnya satu keinginan beliau, dari sekian banyak permintaan dan keinginannya yang secara ajaib telah terpenuhi.
Sambil merapihkan kembali meja kecil, lilin, Salib Yesus dan patung Bunda Maria bekas tempat meletakkan box berisi urn tadi pikiran saya terbang mengembara. Ada rasa damai nan membahagiakan ketika membayangkan Tante Monik sedang bergandengan tangan berjalan di sepanjang pantai Monterey bersama sosok tubuh seseorang yang dibalut cahaya benderang. Mereka berjalan mesra beriringan, sesekali terlihat menari lincah….deburan ombak mengiringi lamat-lamat sebuah lagu riang yang terbawa angin pantai,
Maumere da gale kota Ende
Pepin gisong gasong
Le'le Luk Ele Rebin Ha
La Le Le Luk Si La Sol
Mi Fa Mi Fa Sol Le'le Tiding Fa Fa
Rebing Mude Mi
Do Do Do Do Mi Do Mi Do Gemu Fa Mi Re
Ele le ... Ele le...
Putar ke kiri e...
Nona manis putarlah ke kiri
ke kiri ke kiri ke kiri
dan ke kiri ke kiri ke kiri
ke kiri manis ee...
Sekarang kanan e...
Nona manis putarlah ke kanan
ke kanan ke kanan ke kanan ke kanan
dan ke kanan ke kanan ke kanan
ke kanan manis ee..
Romo Stefanus Hendrianto, SJ
Aktivis pro-demokrasi Indonesia yang menjadi seorang imam Jesuit.
Aktivis pro-demokrasi Indonesia yang menjadi seorang imam Jesuit.
Romo Stefanus Hendrianto pernah berada di antara kelompok mahasiswa yang terlibat dalam gerakan pro-demokrasi di Indonesia pada tahun 1998 yang akhirnya menjatuhkan rezim otoriter Suharto setelah 32 tahun memerintah dengan tangan besi.
Dia adalah seorang mahasiswa hukum Universitas Gajah Mada di Yogyakarta yang bergabung dengan gerakan mahasiswa dalam protes anti-Suharto. Hendrianto saat itu bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik, salah satu kelompok oposisi utama rezim Suharto. Tak lama setelah jatuhnya Suharto, yang menandai awal era reformasi, Hendrianto memilih untuk mengasingkan diri dari aktivisme dan melanjutkan studi hukumnya di luar negeri.
Sebuah keputusan yang akan membawanya ke cara hidup yang sama sekali berbeda - kehidupan seorang imam. Dia menggambarkan perubahan dalam cara hidupnya sebagai "sebuah misteri" dan sepenuhnya tidak direncanakan.
"Ketika saya masih kecil dan tinggal di Indonesia, niat saya sama sekali bukan untuk menjadi seorang imam," katanya kepada ucanews.com.
Setelah tumbangnya Suharto, Hendrianto memilih untuk mengejar gelar master dalam bidang hukum di Universitas Utrecht di Belanda, sementara rekan-rekan aktivisnya tetap memilih untuk menempuh jalur politik. Setelah mendapatkan gelar, ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai peneliti hukum untuk Kantor Dana Moneter Internasional di Jakarta.
Sekembalinya ke Indonesia, Hendrianto tetap merasakan ada yang kosong dalam kehidupan dan dia mencoba mencari jawaban atas makna kehidupan dengan memutuskan untuk melanjutkan program doktor di University of Washington Law School di Seattle. Di sana, katanya, perjalanan hidupnya berubah, terutama setelah interaksinya dengan Mudika Seattle.
"Mereka banyak membantu saya dalam perjalanan iman saya dan akhirnya menuntun saya ke imamat," katanya.
Hendrianto mengatakan bahwa benih panggilan imamat tumbuh lebih kuat ketika dia menjadi aktif di UW Newman Center yang dikelola oleh para Romo Dominikan. Akan tetapi Dominikan hanya menanam benih panggilan dan Yesuit yang memetik hasilnya. Suatu hari, UW Newman Center mengadakan acara diskusi tentang iman Katolik dan filsafat politik, dibawakan oleh Imam Jesuit Fr. Robert Spitzer, yang waktu itu adalah presiden Universitas Gonzaga. Diskusi tersebut memiliki pengaruh yang sangat dalam bagi panggilan Hendrianto.
"Pada waktu itu, saya pikir, jika saya ingin menjadi seorang imam, harus seperti Fr. Spitzer," katanya.
Namun, itu bukan pertemuan pertamanya dengan para Jesuit. Selama di Indonesia, ia sering menghabiskan waktu di paroki-paroki yang dilayani oleh para Jesuit.
"Ketika saya masih belajar di Universitas Gajah Mada, saya selalu menghadiri Misa Mingguan di kapel Universitas Sanatha Dharma, yang dilayani oleh para Imam Jesuit," kenangnya di ucanews.com. Setelah pindah ke Jakarta, ia menghadiri Misa di Gereja Kathedral Perawan Maria diangkat ke Surga, yang juga dilayani oleh para Imam Jesuit.
Pada tahun 2009, setelah menyelesaikan gelar doktornya, ia memasuki novisiat Jesuit di Amerika Serikat. Setelah mengucapkan Kaul Pertama pada tahun 2011, ia belajar filsafat di Universitas Loyola, Chicago. Setelah pendidikan filsafat dia menjalani Tahun Orientasi Kerasulan dengan mengajar ilmu hukum dan ilmu politik di Universitas Santa Clara yang dikelola Jesuit di California. Setelah menyelesaikan Tahun Orientasi Kerasulan dia menghabiskan waktu selama satu tahun untuk melakukan penulisan dan penelitian di Institut Kellogg untuk Studi Internasional di Universitas Notre Dame. Pada tahun 2016 dia mulai menempuh pendidikan teologi di Boston College, di mana ia meraih dua gelar Master dalam bidang Keilahian (Master of Divinity) dan Teologi (Master of Theology).
Romo Hendrianto ditahbiskan pada tanggal 8 Juni, 2019 bersama empat Jesuit lainnya di Gereja Our Lady of La Vang di Portland, Oregon. Uskup Agung Portland, Alexander Sample, memimpin Misa Imamat. Romo Hendrianto ditahbiskan sebagai Imam Yesuit dari Provinsi Serikat Yesus Amerika bagian Barat (Jesuits West), yang meliputi negara-negara pantai Barat Amerika Serikat ditambah Alaska dan Hawaii.
Mengingat kembali saat menjadi aktivis mahasiswa, Hendrianto mengatakan itu adalah bagian dari proses sebagai seorang pemuda, yang “idealis dan naif.” Sebagai seorang pemuda, ia merasakan panggilan untuk mengubah dunia dengan bergabung pada gerakan politik mahasiswa, tetapi gagal menunjukan kepada pencarian spiritualnya.
"Hati saya dipenuhi dengan hasrat balas dendam, kemarahan dan kepahitan," katanya. "Semua hal ini membuat hidup saya kosong. Pada prinsipnya, jiwa saya seperti berada di ladang yang kering, tandus dan tanpa air."
Dia mengatakan meskipun dia menjadi seorang Jesuit terlambat dalam hidupnya daripada kebanyakan anak – anak muda lainnya, dia telah menemukan bahwa spiritualitas Ignasian menjawab apa yang selama ini dia cari. Dia bahkan menemukan kesamaan antara dirinya dengan St. Ignatius dari Loyola.
"Jika Anda melihat pengalaman hidup Santo Ignatius dari Loyola, ia juga memutuskan terlambat untuk menjadi seorang imam dan kemudian mendirikan Serikat Yesus."
"Santo Ignatius harus kembali ke sekolah dan belajar bahasa Latin bersama dengan orang yang lebih muda. Saya juga kurang lebih sama dan belajar filsafat dengan mahasiswa generasi milenial," jelasnya.
Meski demikian dia berkata "Saya bangga karena itu berarti saya berjalan di jalan yang sama dengan Santo Ignatius."
{Tulisan di terjemahkan dan disadur dari essay yang dipublikasi UCANews dengan judul Indonesian prodemocracy activist becomes a Jesuit priest, pada tanggal 1 Agustus 2019}
Dr. Hok Kan Lim
Mengenal Dr. Hok Kan Lim layaknya mengenal tokoh-tokoh besar lainnya.
Seorang peneliti berjiwa Indonesia dengan visi besar dan iman Katolik yang kuat.
Dokter penggagas komunitas WKICU
Mengenal Dr.Hok Kan Lim layaknya mengenal tokoh-tokoh besar lainnya. Seorang peneliti Indonesia dengan visi besar dan iman Katolik yang kuat
Sosok sederhana dan murah senyum ini adalah seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Lahir di Banjarmasin, 23 November, 1934 dan besar di Samarinda, Kalimantan. Menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bandung, dan kemudian hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi, Universitas Indonesia. Hok Kan muda berhasil meraih Master of Science dan mengajar sebagai asisten dosen di fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Sebagai orang muda yang berpendidikan tinggi, Dr. Hok Kan Lim memiliki idealisme yang sangat kuat. Beliau sangat tertarik dengan bidang penelitian dan tidak berniat menjadi seorang dokter praktek seperti kebanyakan teman-teman se-profesinya, “Waktu itu profesi seorang dokter sangat menjanjikan dan dapat menghasilkan banyak uang. Sebagian besar teman-teman saya hidup makmur. Tetapi saya tidak tertarik dengan itu. Saya ingin menjadi seorang peneliti, khususnya penelitian bidang parasitology,” jelasnya.
Tahun 1961 Dr. Hok Kan Lim memutuskan untuk menikah dengan gadis pujaan bernama Grace Khouw. Tiga tahun kemudian (1963) beliau pindah ke Bandung karena mendapat pekerjaan menjadi dosen fakultas kedokteran di Universitas Padjadjaran, Bandung. Selama mengajar dan bergabung dalam project-project penelitian mengenai parasitology, hasrat untuk menjadi seorang peneliti kian memuncak tak terbendung. “Menjadi seorang peneliti di Indonesia saat itu sangat sulit. Kita harus memiliki uang yang banyak atau paling tidak ada orang yang mau mensponsori. Pemerintah Indonesia belum berpikir ke situ. Peluang lebih banyak terbuka di Eropa atau Amerika. Mereka lebih membutuhkan banyak peneliti,” begitu penjelasannya.
Antara hasrat, cita-cita dan kenyataan sepertinya bertolak belakang. Keadaan tidak berpihak kepada Dr. Hok Kan Lim pada saat itu sampai di tahun 1965 beliau mendengar kabar bahwa imigrasi Amerika membuka peluang kepada orang-orang non Eropa untuk tinggal dan menetap di Amerika. Keputusan dibuat dan ditandatangani oleh presiden Amerika saat itu, Lyndon B Johnson. Keputusan menetapkan 6 persyaratan utama yang salah satunya adalah memberikan kesempatan kepada para profesional. Waktu itu banyak sekali para professional dari Indonesia yang mencoba mengambil kesempatan. Engineer (insinyur), dokter, tenaga ahli medis dan juga dari berbagai profesi lainnya. Akan tetapi, keputusan imigrasi itu tidak hanya mengutamakan profesi. Ada persyaratan dan ketentuan lain yang harus dipenuhi para imigran seperti, keharusan memiliki sponsor, bukti memiliki pekerjaan di Amerika, dan berapa banyak uang yang dimiliki pada saat mengajukan visa. Para dokter biasanya sudah mendapat tawaran pekerjaan dari rumah sakit - rumah sakit lokal, dan para engineer (insinyur) banyak yang mendapat sponsor dari gereja-gereja. Sementara Dr. Hok Kan Lim yang idealis hanya memiliki ilmu dan keahlian sebagai dokter peneliti, bukan seperti kebanyakan rekan-rekannya yang memiliki banyak uang dengan menjadi dokter di rumah sakit, klinik, dan praktek di rumah.
Dengan keyakinan dan harapan besar surat pengajuan imigrasi itu tetap dikirim. Sembilan bulan lebih tidak ada kabar berita. Kembali Dr. Hok Kan Lim mengalami kebuntuan dan ketidak yakinan. Sang istri, Grace tidak mengenal lelah dan terus berusaha memperjuangkan keinginan suaminya. Grace saat itu bekerja dan membantu di kepanduan International School yang banyak kedatangan suster-suster berkebangsaan Amerika yang melakukan volunteer disana. Usaha melobi dan meminta bantuan dari para suster itu akhirnya membuahkan hasil. “Sebenarnya waktu Grace meminta bantuan sponsor dari para suster itu, tidak ada satupun yang sanggup….tetapi dari sana kemudian sebuah mukjizat datang. Beberapa lama setelah itu seorang nyonya mendatangi istri saya dan menanyakan mengenai keinginan kami untuk pindah ke Amerika. Saya bahkan tidak kenal dan tidak tahu nama nyonya itu. Dia memberikan alamat kepada istri saya dan menyuruh istri saya menghubungi seseorang yang dapat membantu,” katanya mengenang.
“Saat itu istri saya langsung memacu scooter nya ke alamat yang diberikan sang nyonya. Dan ternyata itu alamat seorang pastor berkebangsaan Amerika bernama Eugene Linch,” sambungnya. Dari father Eugene ini kemudian mereka direkomendasikan kepada seseorang yang bekerja di Kedutaan Amerika, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, dan akhirnya berhasil mendapat visa.
Mereka kemudian hijrah ke Amerika tahun 1966. Dr. Hok Kan Lim melanjutkan sekolah kedokterannya di UC Berkeley dengan meraih gelar PhD (1967-1970). Beliau kemudian lanjut mengambil gelar MD dari University Of California San Francisco (UCSF) untuk bidang Comparative Pathology. Pathology/Parasitology (1974-1976). Selama tiga belas tahun bekerja di tempatnya bersekolah, UCSF sebagai Associate Research Parasitologist (1966 - 1979), dan enam belas tahun bekerja di rumah sakit sebagai Chief, Pathology Service (1982 - 1998).
Dr. Hok Kan Lim adalah seorang tokoh besar yang memiliki pandangan luas, nasionalisme tinggi dan sangat taat beragama. Sosoknya yang ramah dan bersahaja, profesinya sebagai dokter dan aktifnya beliau dalam setiap acara kumpul-kumpul orang Indonesia menjadikan dirinya tokoh panutan bagi masyarakat Indonesia di California, khususnya Bay area. Dalam kesempatan wawancara dengan media Kabari, sebuah media Indonesia yang terbit di Amerika, beliau sempat bercerita, “Keberadaan saya di Amerika ini bukan karena tekanan, rasa diabaikan atau diusir dari negara Indonesia. Selama lebih dari 30 tahun saya memperoleh pendidikan dan hidup nyaman di sana. Saya sangat berterima kasih kepada Indonesia untuk itu….,” ujarnya dengan lugas. “Dan sebagai seorang Katolik saya meyakini bahwa hidup ini untuk berbagi dan saling melayani demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar,” tambahnya lagi.
Tahun 1998 sang istri, Grace Khouw terdiagnosa penyakit cancer dan meninggal pada tahun 2006. Dari perkawinannya itu Dr. Hok Kan Lim dikarunia dua orang putra dan satu orang putri. Saat ini Dr. Hok Kan Lim tinggal bersama anaknya di Castro Valley…..
Mengenal Dr. Hok Kan Lim layaknya mengenal tokoh-tokoh besar lainnya. Sosok yang selalu mau berbagi pengalaman dan dapat menerima pemikiran-pemikiran orang lain dengan arif. Perhatian dan kecintaan terhadap anak-anaknya telah dibagikan juga kepada sesama orang Indonesia. Salah satu ujud nyatanya adalah dengan mendirikan komunitas Warga Katolik Indonesia California Utara (WKICU). Ujud nyata dari sebuah visi besar seorang peneliti yang berjiwa Indonesia dan memiliki iman Katolik yang kuat.
Dr. Hok Kan Lim pernah menuliskan dalam catatannya mengenai sejarah berdirinya WKICU yang mampu bertahan sampai saat ini.
(kontributor artikel Hanafi Daud —-Bahan diambil dari beberapa sumber)
Catatan asli Dr. Hok Kan Lim:
Indonesians started to emigrate to USA in large numbers in the early 1970’s. A new USA immigration act was signed by President Johson in 1965. This allows more non-European citizens to settle in America. The new law categorized prospective immigrants into 6 preferences. For example, the third preference is for professionals. Many engineers, doctors, dentist, pharmacist from Indonesia came over under this category. Beside eligibility, they needed to fulfill one of 3 requirements: proof of having a job in the US, or sponsorship, or much money before the visa were issued. Doctors usually came with job offers from local hospitals, engineers mostly were sponsored by a church.
My guess is that since that over 10.000 Indonesians emigrated to USA. About 75% were Christians, half of them Catholics. California was the preferred state, mostly because of the good climate and job availability around Los Angeles and San Francisco. Also settling down in California were many Indo-Belandas. When the free Indonesian Republic was established in 1945, about ¼ million Indo-Belandas were returned to Holland. Through some special agreement between Holland and USA, many of them settled in America.
The Indonesian Protestants in California started to organize early on. The Catholic Indonesians around Los Angeles established their KKIA (Keluarga Katolik Indonesia Amerika) in the 1980’s. This group expanded quickly, and at one time had over 1.000 members. Their elders encouraged the Catholic Indonesians in Northern California to organize also. But locally their was little enthousiasm. We in North California were quite comfortable with the local churches.
Sometime in mid summer 1991, I received a call from Dr. Tango, an elder of KKIA. “Would you like to have a faith renewal in your community?” A famous Capuchin priest from Medan will spend a few months in L.A., specially to encourage and renew the faith among the Indonesian Catholic community. KKIA would like to send him up North…would we be interested? I asked around. And again met with indifference and apathy, until I talked with an old friend, Oey Hock Chuan. He was very supportive. Then we gathered a few other friends, like Wisnu Wirawan, and sent out invitations.
The first mass was at St. Joanne d’Arc in San Ramon on November 16, 1991. Romo Victor Tobing OFM came, with Monsignor John Liku Ada, bishop of Ujung Pandang, and about 40 friends from KKIA. About 40 Bay Area Indonesian Catholics came. The next day local attendance had increased. During the masses and meetings, many friends from L.A. gave witness, eg the Tango family, mr. and mrs. Herkata, Sanjaya family. Henry Sanjaya came with a band of about 10 musicians. After the first mass I invited everyone to our house in Yountville (Napa area) for dinner and fellowship. After the second mass we gather in the church hall, and there persuaded someone to maintain the bond and organize the group for future regular meetings. After much efforts we manage to have Arie Go to accept the task. He established a small committee, and we planned for regular meetings.
Struggling years 1992-1997.
After a committee was formed to developed and maintained the bond among Bay area Indonesian Catholics headed by Arie Go, we encountered two immediate problems. One was to find a church that will allow us to come together and celebrate mass. And another was to find a priest sympatethic to our cause.
The first few gatherings we had were at various local churches, thanks to different members requesting their local pastors, who also celebrated mass with us. And then we managed to get commitment from the University of San Francisco to hold regular meetings al Lone Mountain church. Father Ruland took pity on us.
And the Lord sent us a guardian angel…in the disguise of Sister Felicia Sarati, CSJ. She was head of the ethnic group of the Diocese of Oakland and with encouragement of bishop John Cummins, was building a multi-diversity group. She attended several of our committee meetings and also provided us with some cash funds. With her assistance we were able to use several churches in the area for our regular meetings. We also participated with various multi-diversity activities of the diocese, like the annual Chautauquas, Diocese Jubillee, bishop Cummins birthday and other unter-group celebrations.
In 1993 bishop Cummins officially installed and blessed our leadership during mass at the Mother Seton community center in Pleasanton. Also present were the Indonesian Consul General and his staff. At that time time Oey Hock Chuan was our chairman. And fortunately we also had our first Indonesian priest, Romo Ismartono SJ. Romo Is was on sabbatical and studied at the GTU in Berkeley.
The Lord also blessed us with another priest, Romo Subroto SJ, another Jesuit who also was on sabattical at GTU. After that, three other Jesuits took up residence in Berkeley, Romo Hartono Budi, Romo Deshi Ramadhani and Romo Mutiara Andalas. They nourished our community, each for about 5 years. And all succeeded with their doctoral study and returned to Indonesia. Under their spiritual guidance WKICU expanded and flourished.
Romo Mangun yang Saya “Kenal”
Entah saya sadari atau tidak, dalam sosok Romo Mangun saya melihat sosok Yesus yang hadir membela orang – orang miskin dan menderita.
Oleh: S. Hendrianto, SJ
Saya pertama kali mendengar nama Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang biasa dikenal sebagai Romo Mangun, ketika duduk di bangku SMA. Ketika itu dalam kelas Bahasa Indonesia, guru saya meminta kami membaca beberapa paragraf dari karya beliau Burung–Burung Manyar. Sebagai anak SMA yang masih naif dan bodoh, saya tidak tertarik untuk membaca buku tersebut secara lengkap. Karena kita hanya ditugaskan membaca beberapa paragraph, saya pun berhenti disitu saja.
Di samping kelas Bahasa Indonesia, saya juga mendengar nama Romo Mangun dari kelas Agama Katolik ketika guru saya menceritakan bagaimana Romo Mangun mengancam mogok makan untuk membela orang-orang di Kali Code yang terancam akan digusur oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sehubungan dengan normalisasi sungai. Waktu itu beliau sudah punya nama besar sebagai seorang rohaniawan Katolik, intelektual publik yang disegani, dan sebagai mantan anggota Tentara Pelajar yang terlibat dalam revolusi. Oleh karena itu pemerintah DIY pun berpikir dua kali sebelum menggusur warga di pinggiran Kali Code. Cerita itu cukup berkesan bagi saya karena ada seorang sosok Rohaniawan Katolik yang berani berpihak pada orang-orang kecil dan menderita.
Pada saat yang sama, nama Romo Mangun menjadi perbincangan nasional karena beliau adalah tokoh yang mendampingi warga Kedung Ombo yang menuntut ganti rugi lebih layak atas tanah mereka yang digusur demi pembangunan waduk. Waduk Kedung Ombo mulai diairi tahun 1989 dan diresmikan oleh Soeharto pada tahun 1991. Pada waktu itu banyak mahasiswa yang ikut mendukung Romo Mangun, baik dengan turun langsung membantu beliau ataupun berdemonstrasi di jalanan, khususnya para mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun 1992, saya pindah ke Jogja untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum UGM. Karena saya baru tiba di Jogja setelah kasus Kedung Ombo mereda, saya tidak sempat menyaksikan dari dekat aksi demonstrasi mahasiswa yang menentang pembangunan Kedung Ombo itu. Akan tetapi cerita tentang Romo Mangun yang berani menghadapi militer yang diperintahkan untuk mengepung waduk itu dan bagaimana dia mendampingi warga yang bertahan hingga rumahnya tenggelam, menjadi legenda di kalangan mahasiswa baru seperti saya.
Sebagai mahasiswa baru yang mencari jati diri dan makna kehidupan, saya pun mulai membaca banyak bacaan di luar bangku kuliah. Ketika saya tiba di Jogja pada tahun 1992, Gramedia Pustaka Utama baru saja menerbitkan edisi pertama novel karya Romo Mangun yang berjudul Burung Burung Rantau. Saya pun tergerak untuk membeli dan membaca novel tersebut. Novel itu sangat menyihir saya karena berisi cerita tentang satu keluarga dimana setiap anggotanya memiliki suatu keunikan tersendiri dalam pemahaman filosofi kehidupan yang berbeda. Setting novel itu berpindah-pindah dari Jakarta, Jenewa, Yunani, India, dan Banda Neira. Filosofi sederhana dari novel ini adalah mengenai burung-burung rantau. Burung yang bisa terbang ribuan mil dari tempat asalnya, dari belahan bumi utara ke belahan bumi selatan, tapi pada akhirnya burung-burung tersebut akan pulang dan tahu di mana tempat asalnya.
Dari filsafat burung rantau ini kemudian Romo Mangun mencetuskan gagasan konsep generasi pasca Indonesia. Istilah ‘generasi pasca-Indonesia’ dicetuskan oleh tokoh utama dalam novel ini Marianeti atau Neti saat berdiskusi mengenai generasi dengan ayahnya. “Pasca artinya masih tetap sama sekaligus menjadi lain. “Papi di KTP ... berbangsa Indonesia, tetapi kan tetap orang Jawa yang suka wayang, alias manusia Indonesia pasca-Jawa. Pascasarjana kan tetap sarjana juga, tetapi meningkat.” Bagi Neti, kakaknya, Bowo, pakar fisika nuklir dan astrofisikawan yang bekerja di Jenewa, Swiss sebagai seorang pasca-Indonesia. Singkat cerita pasca-Indonesia berarti bersifat mengglobal tanpa kehilangan sifat lokalnya. Seperti yang dikatakan Neti “Pascanasional dan pasca-Indonesia tidak berarti kami bukan orang Indonesia lagi dan menjadi entah apa, tanpa identitas, tanpa kesadaran nasional, akan tetapi lihatlah kalian generasi tua dulu menjadi nasional, kalian bisa menjadi nasional pasca-Jawa atau tidak berhenti menjadi Jawa.”
Setelah selesai membaca buku tersebut saya pun mulai giat berburu buku – buku Romo Mangun, baik itu Novel atau buku non-fiksi nya. Saya melahap karya lainnya dari Romo Mangun seperti Di Bawah Bayang Bayang Adikuasa, Putri Duyung Yang Mendamba, Durga Umayi, dan tentunya tidak ketinggalan trilogi Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri. Belakangan saya baru membaca karya beliau Burung – Burung Manyar.
Di samping sibuk kuliah dan melanjutkan hobi saya membaca, saya pun mulai aktif dalam kegiatan mahasiswa, khususnya terlibat dalam pers mahasiswa. Ketika itu saya mulai aktif dalam majalah Mahkamah yang merupakan organ pers mahasiswa di Fakultas Hukum. Di samping aktif di pers mahasiswa, saya juga terlibat di Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK), akan tetapi saya merasa bosan dengan KMK karena kegiatan mereka biasanya hanya berdoa dan latihan koor. Saya juga kurang sreg dengan banyak anggota KMK yang seperti memandang rendah mahasiswa miskin seperti saya. Ditambah lagi karena bukan asli Jogja sehingga secara kultural cukup sulit bagi mereka untuk menerima saya. Pengalaman tidak berkesan dengan anggota KMK ini mengingatkan saya kepada Romo Mangun yang berkata bahwa “Negeri ini sungguh-sungguh membutuhkan pemberani-pemberani yang gila, asal cerdas. Bukan yang tahu adat, yang berkepribadian pribumi, yang suka harmoni, yang saleh alim, yang nurut model kuli dan babu.”
Suatu hari, seorang teman dari KMK meminta bantuan karena dia tahu saya sedang belajar menjadi reporter di pers mahasiswa. Teman ini ingin mewawancarai Romo Mangun untuk kepentingan bulletin gereja nya, dan tema yang ingin di angkat adalah masalah pendidikan dasar Katolik. Setelah hingar bingar Waduk Kedungombo mereda, Romo Mangun memfokuskan kegiatannya pada dunia pendidikan. Dia mulai membuat sekolah dasar dengan konsep yang membebaskan, bukan hanya sekedar membuat murid-murid menyalin apa yang ditulis guru di papan tulis dan membuat murid menjadi bebek. Saya pun dengan antusias mengulurkan bantuan membantu teman dari KMK itu untuk mewawancarai Romo Mangun. Meski saya baru belajar menjadi reporter, saya pikir ini adalah kesempatan unik untuk bisa bertemu dengan sosok yang sudah saya kagumi. Saya yakin kesempatan ini hanya datang sekali, jadi meskipun hanya seorang reporter amatiran, saya langsung saja memutuskan untuk maju mewawancarai Romo Mangun.
Pada suatu siang, saya dan teman KMK datang di kediaman Romo Mangun di Gang Kuwera dan mencoba untuk membuat janji wawancara dengan beliau. Ketika itu kita bertemu dengan seorang asistennya; dan kita pun terkaget kaget, karena asisten Mangun ini meminta kita kembali pada sore harinya karena kebetulan beliau ada waktu. Jadilah dalam waktu beberapa jam kita harus mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara..
Sore harinya kita kembali ke Gang Kuwera. Dari luar rumah Romo Mangun yang memiliki seni arsitektur unik, jelas terlihat bahwa rumah tersebut memiliki atap dengan kemiringan yang tajam. Ketika kita masuk di ruang tamu yang terletak di sebelah kiri depan rumah, bisa terlihat ruangan dengan dinding bambu yang seperti dianyam. Setelah menunggu sebentar, kami pun melihat sosok Romo Mangun yang turun melalui tangga papan ke ruang tamu. Beliau memakai baju batik dan menyambut kami dengan ramah. Singkat cerita wawancara berjalan lancar, beberapa hal yang saya masih ingat dari wawancara sore itu adalah bagaimana Romo Mangun ingin menekankan pendidikan Bahasa kepada anak-anak miskin di sekolah eksperimen nya. Beliau berkata bahwa dengan penguasaan Bahasa yang baik, beliau berharap anak-anak didikannya bisa mengartikulasi pemikirannya. Meskipun banyak dari mereka tidak bisa kuliah di perguruan tinggi, paling tidak mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Semisal dengan menjadi awak kapal pesiar, mereka punya kebanggaan sendiri bisa berkunjung ke Rio de Janeiro.
Dalam kesempatan ini Romo Mangun juga menyesalkan Gereja Katolik yang seperti tidak terlalu peduli lagi dengan pendidikan dasar. Dia mengambil contoh IKIP Sanatha Dharma yang ketika memutuskan untuk berubah menjadi Universitas Sanatha Dharma. Beliau sangat menyayangkan keputusan tersebut yang menurut beliau menandakan bahwa Gereja sudah menomorduakan pendidikan dasar.
Yang paling menarik dalam wawancara itu adalah ketika kami menanyakan persoalan kemiskinan dan pendidikan dasar, jawaban beliau adalah, “Ya kalau mau mengatasi masalah kemiskinan di negeri ini, Soeharto harus turun dulu.” Statement ini tentu merupakan statement yang cukup berani pada masa itu karena Soeharto dan rezim Orde Baru masih bercokol kuat. Akan tetapi Romo Mangun bisa berani berkata seperti itu paling tidak karena dua hal. Pertama, Mangun muda pernah menjadi ajudan Mayor Soeharto dalam Batalyon X, yang mana tugasnya adalah sebagai sopir untuk mengantar makanan buat sang Mayor. Kedua, Romo Mangun mempunyai reputasi besar sebagai seorang intelektual publik dan rohaniawan Katolik yang dikenal dunia internasional. Jadi tentu tidak gampang bagi Soeharto untuk “menggebuk” mantan ajudannya semasa revolusi itu.
Kurang lebih satu tahun setelah wawancara dadakan dengan Romo Mangun, saya berkesempatan lagi untuk bertemu beliau. Ketika itu Majalah Mahkamah tempat saya aktif sebagai reporter memutuskan mengundang Romo Mangun menjadi pembicara dalam seminar buku membahas Kedung Ombo. Ketika itu Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi memutuskan bahwa pemerintah harus memberi ganti rugi Rp 9,1 miliar kepada 34 kepala keluarga yang menuntut ganti rugi kepada pemerintah karena tanahnya diambil bagi pembangunan waduk Kedungombo. Karena teman – teman di Mahkamah tahu saya pernah bertemu dengan Romo Mangun dan kebetulan rumah kos saya tidak terlalu jauh dari Gang Kuwera, maka saya pun ditugaskan untuk menemui dan meminta kesediaan beliau menjadi pembicara.
Malam tersebut setelah selesai kursus Bahasa Inggris, sambil berjalan pulang ke tempat kos, saya pun memutuskan untuk mampir ke tempat Romo Mangun. Tidak yakin apakah beliau dapat ditemui, tapi paling tidak saya bisa menitipkan surat undangan kepada asistennya. Ketika masuk ke halaman rumah, ternyata beliau sedang duduk di teras depan dan menerima dua orang wartawan yang sedang mewawancarai. Asisten Romo Mangun mempersilahkan saya masuk dan menunggu di teras. Kabarnya wawancara dengan wartawan sudah hampir selesai, jadi saya bisa sekalian menunggu dan bertemu beliau.
Sambil duduk saya pun mendengar bagian akhir wawancara. Romo Mangun bercerita tentang kondisi fisiknya yang mulai terbatas sejak di pasang alat pacu jantung beberapa tahun sebelumnya dan karena kondisi itu beliau harus sering kontrol ke dokter. Romo Mangun pun bercanda bahwa hidup dia setelah dipasang alat pacu jantung itu adalah bonus dari Tuhan agar dia bisa terus berbuat baik di dunia ini, “Ben masuk surga,” katanya sambil tertawa.
Setelah wartawan itu selesai dan pergi, giliran saya maju dan menjelaskan bahwa kita berniat mengundang beliau untuk menjadi pembicara dalam diskusi buku di Fakultas Hukum UGM. Beliau langsung menjawab bahwa saat ini sudah menghentikan aktivitasnya sebagai pembicara di berbagai seminar dan diskusi karena kondisi kesehatannya. Saya sendiri belum sempat menjelaskan tema diskusi tentang Kedung Ombo, tapi karena beliau sudah bilang tidak, ya mau bagaimana lagi. Saya pun kemudian berkata, “Baiklah Romo, saya menghargai keputusan Romo, akan tetapi kami sudah menyiapkan buku ini sebagai hadiah kepada Romo, jadi harap diterima.” Saya pun menyodorkan buku berjudul Seputar Kedung Ombo, yang diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Setelah melihat buku tersebut sikap Romo Mangun pun berubah dan berkata, “Kenapa kamu tidak bilang-bilang ini soal Kedung Ombo?” Dalam hati saya bergumam, ya saya tidak sempat bilang apa-apa karena Romo langsung mengatakan tidak. “Baiklah, demi rakyat Kedung Ombo, saya bersedia tampil sebagai pembicara,” kata Romo Mangun. Setelah mencocokan tanggal dan waktu, beliau mengatakan kepada saya bahwa beliau minta dijemput di Rumah Sakit Panti Rapih pada hari tersebut karena sudah ada janji dengan dokter. Singkat cerita, seminar kita berjalan dengan sukses dan Romo Mangun mendapatkan standing ovation dari para peserta yang hadir.
Setelah seminar itu, Romo Mangun hilang dari perhatian saya. Pertama, saya sendiri mulai melahap buku-buku lain yang pada masa itu dianggap sebagai bacaan “subversif” oleh pemerintah Orde Baru. Kedua, saya sendiri mulai sibuk menceburkan diri dalam aktivisme mahasiswa, mulai dari berdiskusi sampai berdemonstrasi di jalanan. Kemudian tibalah Peristiwa 27 Juli 1996, ketika terjadi kerusuhan di Jakarta setelah terjadi konflik antara PDI pendukung Megawati dengan PDI abal-abal yang didukung oleh pemerintah. Kelompok yang didukung pemerintah berusaha mengambil-alih kantor DPP PDIP di jalan Diponegoro, Jakarta, yang berakhir dengan kerusuhan berdarah. Pemerintah Orde Baru menuduh sebuah partai kecil, yakni Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang didirikan oleh anak-anak muda dua minggu sebelum peristiwa berdarah itu, sebagai dalang semua kekacauan politik di Indonesia ketika itu. Militer bergerak dengan cepat menangkapi aktivis-aktivis PRD dan penangkapan pun dibarengi dengan perintah tembak di tempat.
Saya sendiri saat itu bergabung dengan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang merupakan organ kemahasiswaan PRD. Tapi bisa dipastikan bahwa militer tidak akan membedakan yang mana PRD dan yang mana SMID. Karena itu saya dan sejumlah teman-teman mahasiswa di Jogja pun segera memikirkan rencana penyelamatan diri. Seorang aktivis senior di Jogja, menyarankan agar kita meminta bantuan kepada Romo Mangun. Maka kami pun bertemu dengan beliau. Singkat cerita beliau berkata siap membantu; saya masih ingat ketika itu Romo Mangun memberikan analogi Presiden Panama Manuel Noriega yang lari meminta perlindungan di dalam Kedutaan Vatikan di Panama City ketika dikejar oleh tentara Amerika. Romo Mangun mengatakan bahwa sebagai Rohaniawan Katolik, dia harus selalu siap membantu. Kemudian beliau menambahkan, kalau ada Rohaniawan Katolik yang tidak mau membantu seharusnya mereka jangan menyebut dirinya Rohaniawan Katolik. Singkat cerita beliau menyembunyikan kami di beberapa tempat sampai situasi cukup aman.
Dua tahun kemudian pemerintah Orde Baru tumbang dan saya sendiri tidak sempat bertemu lagi dengan Romo Mangun, karena saya sudah terlanjur pindah ke Jakarta setelah lulus dari Fakultas Hukum UGM. Pada tanggal 10 Februari 1999, Romo Mangun meninggal dunia, ketika menghadiri kegiatan yang beliau hindari yaitu seminar bertemakan “Meningkatkan Buku Dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia,” yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia, di Hotel Le Meridien, Jakarta. Kabarnya badannya limbung, nyaris jatuh di tengah acara seminar dan beliau meninggal dunia karena serangan jantung.
Sore itu saya pergi ke Gereja Katedral untuk melayat, tapi sampai di sana saya melihat sudah ada ribuan pelayat. Sementara hari sudah beranjak malam, dan saya pun merasa lapar. Karena tidak sabaran mengantri, saya pun memutuskan untuk keluar gereja dan memutuskan makan malam di Bakmi Gang Kelinci. Selesai makan, saya pun berniat kembali ke kos karena sudah merasa capek untuk kembali ke Katedral dan mengantri lagi. Saya pikir biar lah saya berdoa secara pribadi saja buat beliau. Entah mungkin karena tulah tidak menghormati Romo Mangun atau apa, keesokan harinya saya pun mengalami diare disertai mual dan muntah. Setelah berkali-kali ke toilet, akhirnya badan saya pun lemas. Mungkin saya keracunan makanan dari Bakmi Gang Kelinci atau mungkin juga itu merupakan pelajaran bahwa tidak selayaknya saya meninggalkan acara tuguran Romo Mangun demi mementingkan isi perut saya semata.
Dua puluh tahun setelah beliau meninggal, saya ditahbiskan menjadi seorang Rohaniawan Katolik. Meskipun tidak pernah mengenal Romo Mangun secara dekat, saya harus memberi kredit kepada Romo Mangun bahwa beliau adalah sosok seorang rohaniawan Katolik yang memberi inspirasi kepada saya untuk menjadi seorang Romo. Entah saya sadari atau tidak, dalam sosok Romo Mangun saya melihat sosok Yesus yang hadir membela orang-orang miskin dan menderita. Saya baru saja memulai perjalanan sebagai seorang Rohaniawan Katolik; untuk sementara saya adalah seorang Rohaniawan Katolik generasi pasca Indonesia, bak seekor burung rantau yang terus mengembara dan belum tahu kapan akan pulang.