Apa dan Siapa WKICU Admin Apa dan Siapa WKICU Admin

Jambore 2023

Ditulis oleh Cynthia (Thia)

TubuhKu untuk Hidup Dunia (Ekaristi)” adalah tema Jambore KKI USA – Canada yang telah diselenggarakan di Houston, Texas tepatnya di Torrey Pines Conference Center (TPCC) pada tanggal 27-29 Mei 2023. Di lokasi inilah 16 KKI dari seluruh Amerika berkumpul. Gak tanggung-tanggung, ajang pertemuan itu mampu menghadirkan 340 peserta, belum ditambah 23 imam, 6 orang suster, dan 2 calon suster. Dalam acara Jambore itu WKICU bisa sedikit ikut senang dan berbangga telah ambil bagian. KKI Houston dan tetangganya, KKI Austin memang paling mendominasi jumlah peserta dalam ajang itu. Meski kita hanya mampu mengumpulkan limabelas orang perwakilan, tetapi yah paling tidak cukup menggenapi kelengkapan peserta Jambore.

Bendera semua KKI yang hadir

Romo-romo dengan putra/i altar

Persiapan matang menjelang keikutsertaan Jambore 2023 sudah dirancang oleh pengurus WKICU sejak undangan dilayangkan oleh KKI Houston. Agar menarik minat dan partisipasi umat untuk hadir dalam acara itu, pengurus WKICU merancang program subsidi, dan tentu saja untuk menutupi biaya itu penggalangan dana melalui fund raising penjualan makanan adalah salah satu cara cepat, cermat dan effektif yang biasa kita lakukan. Team fund raising yang dikepalai oleh Susanti Kho alias Mei-Mei – dibantu Cynthia (Thia), Marcella dan Agem – bergerak cepat mengumpulkan vendor makanan, merancang flyer, meng-kalkulasi harga serta memasarkannya kepada umat.

Satu bulan sebelum berangkat ke Houston, 15 peserta dari WKICU yang akan berangkat sudah siap dengan berkoordinasi melalui WAG (WhatsApp Group) untuk latihan koor. Kita mendapat jatah dari panitia acara untuk menyanyikan lagu penutup untuk misa hari ke-dua (dari tiga hari rangkaian pelaksanaannya). Persiapan latihan yang meski terasa sulit dalam mengumpulkan peserta, akhirnya terlaksana juga. Latihan dadakan di rumah Agem satu minggu sebelum keberangkatan terasa masih sangat kurang. Untungnya setelah sampai Houston, di hari ke-dua, kami dibantu oleh pemain piano KKI Houston, Widianto (Anto) untuk latihan sekali lagi sebelum misa Pantekosta dimulai. Anto dengan semangat dan senang hati membantu group WKICU untuk latihan di menit terakhir sehingga kami semua bisa bernyanyi dengan baik. Setelah misa selesai, WKICU mendapat banyak masukan yang cukup baik terutama karena lagu nya, Anggur Baru adalah lagu yang bisa membuat orang ikut bergoyang.

Peserta WKICU

Peserta WKICU

Panitia Jambore Houston, Windra Sugiaman (ketua KKI Houston) dan sang suami Frankie Sugiaman yang bertindak selaku ketua Jambore telah merencanakan acara besar ini dengan pasukan mereka yang sangat kompak dan penuh semangat.

Ada tiga kelompok yang dibagi oleh panitia dalam program acara; bincang-bincang dengan romo/suster, peserta dewasa dan OMK (remaja-anak kuliah), juga program untuk anak-anak. Para Panitia Jambore mendapat bimbingan dari Chaplain KKI Houston, Romo John Taosan–Archdiocese Of Houston Galveston. Beberapa acara yang disiapkan oleh panitia adalah acara perkenalan KKI, talks, talent show, dan games. Romo Tarsius Puling, SVD menjadi MC (Master Ceremony) yang jempolan. Dengan lelucon dan gayanya yang kocak dan santai beliau mampu menarik perhatian seluruh peserta.

Acara Jambore selama 3 hari itu menekankan kutipan kitab Yohanes 6:51 yang berbunyi “Akulah roti yang telah turun dari sorga. Jikalau seseorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.”

Penekanan kutipan itu mengajak para peserta untuk merenungkan hubungan intim mereka dengan Kristus, yang mengasihi kita tanpa syarat, dan untuk menegaskan kembali keyakinan kita akan kehadiran nyata-Nya di setiap Ekaristi. Hal itu dicapai melalui berbagai kegiatan antara lain tiga ceramah, tiga misa, adorasi dan doa/refleksi subuh. Salah satu pesan yang disampaikan oleh Romo Albertus Joni, SCJ adalah “Jangan takut, percaya saja”.

Sementara, di group OMK, beberapa romo dan Suster Skolastika Wea, SSpS mendiskusikan tentang “kekurangan panggilan agama.” Pembicaraan mengenai kurangnya orang yang masuk dunia agama sangatlah penting karena berkaitan dengan tema utama Jambore yaitu Ekaristi, karena kalau imam/romo berkurang, maka akan berkurang pula umat-umat yang menerima Sakramen Ekaristi.

Acara-acara yang lain seperti permainan, temu kenal romo/suster, talent show, perkenalan KKI, dan adorasi/pengakuan dosa juga sangat berkesan karena dalam kesempatan itu semua peserta dari semua KKI yang hadir bisa berkenalan satu dengan yang lain. Saat itu kita merasa sangat akrab, banyak orang bisa saling kenal, berbincang, bertawa ria, dan saling menguatkan iman bersama-sama dengan bimbingan para Romo dan suster.

Acara itu juga menjadi semakin meriah dengan tampilan pembuka acara lewat tarian daerah dengan pakaian adatnya yang sangat penuh corak warna-warni dan menarik. Seluruh dekorasi ajang itu juga sangat Indonesia. Mengingatkan slogan yang pernah didengungkan oleh Romo Soegija Pranata, SJ; “100 persen Katolik, 100 persen Indonesia.”

Penari Tor-Tor

Penari Lenggang Nyai

Pada misa hari terakhir, Jambore kita kedatangan tamu kehormatan. Uskup Italo hadir dan memberikan sambutan dengan didampingi oleh dua diakon dan 23 Romo. Uskup Italo sempat berpesan kepada semua Romo Indonesia supaya iman mereka tetap kuat terutama yang bertugas di Amerika Serikat sehubungan dengan banyaknya pengaruh-pengaruh buruk. Kepada umat yang hadir, beliau sangat senang melihat rasa kebersamaan dan ikatan keluarga Katolik Indonesia - Canada melalui Jambore.

Romo-romo bersama diakon dan Uskup Italo

Foto group peserta Jambore 2023

Ketua KKI Houston, Windra Sugiaman menjelaskan secara singkat bahwa persiapan akomodasi sudah dari tiga setengah tahun sebelumnya tetapi dikarenakan pandemic rencana mereka mundur terus walaupun tempat sudah di booking dari jauh hari dan deposit sudah dibayar.

“Rencana semula kita akan mengadakan Jambore ini tahun 2021,” terang Windra

“Persiapan konsumsi dan acara di mulai enam bulan sebelumnya, sekitar dari Januari 2023. Latihan menyanyi koor dan menari secara tetap dan teratur sekitar tiga bulan sebelumnya. Sedangkan mencari pembicara, kami cari setahun sebelumnya. Di antara kami (panitia Jambore), banyak juga yang mendapat tugas double, namun semua itu kami kerjakan dengan senang hati dan penuh semangat. Peranan para romo dan seluruh ketua KKI sangat penting untuk terus menerus memberikan dorongan dan semangat kepada kami selaku panitia acara. Komunitas kami di sini tidak banyak….,” jelas Windra

“Kami dibantu oleh Romo John yang berperan besar mengurus surat-surat undangan kepada para romo lain untuk hadir di Jambore, sekaligus mengurus surat suitability ke keuskupan. Tetapi tidak semua romo yang diundang bisa hadir karena perlu waktu untuk urusan visa, ijin pimpinan dan lain-lainnya. Di tambah pula karena kami mengundang pembicara dari Indonesia, mungkin kalau dari US akan lebih mudah. Target kami waktu masa persiapan adalah untuk sekitar 300 orang dan kami juga berminat untuk mengundang seluruh mudika (generasi KKI yang seterusnya) di acara Jambore tahun ini. Tidak disangka, banyak yang berminat sehingga melewati target kami sampai 340 padahal masih termasuk masa pandemi. Semua  acara berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan,” papar Windra dengan nada puas dan penuh syukur.

Berikut beberapa kesan dari peserta WKICU yang hadir dalam Jambore itu:

-“Menyenangkan, berjejaring dan dapat berdiskusi dengan orang-orang dari KKI lain.” - Gio

- “Kesan keseluruhan bagus. Saya sendiri, sebagai peserta yang baru pertama kali ikut Jambore merasa senang bisa bertemu dan menjalin ikatan dengan sesama Katolik Indonesia lainnya dari bagian lain Amerika Serikat. Pasti saya akan merekomendasikannya kepada orang lain untuk ikut acara Jambore berikut.”- Budi

-“Itu bagus secara keseluruhan! Penataan kamarnya bagus dalam artian banyak OMK jadi kami bisa bonding. Tapi banyak OMK yang tidak tinggal bersama kami yang ditinggalkan yang agak menyedihkan (mis: Diandra tinggal sendiri) dan agak terburu-buru di akhir. Harusnya menyisakan slot waktu untuk sekadar mengisi waktu luang dengan OMK/Romo lainnya karena baru kenalnya kemaren soalnya. Juga, berpasangan dengan Romo dan rotasi adalah cara yang baik untuk mengenal sebagian besar para Romo dan suster yang hadir. Johanes (OMK Houston) memainkan gitar dan sementara Evan (OMK LA) main piano buat acara OMK talk. Di hari pertama dimana kita harus memakai baju beda warna buat semua peserta KKI beda itu keren karena membuat anda melihat betapa berbedanya KKI dari area berbeda bersatu. Itu benar-benar menunjukkan seberapa besar komunitas katolik dan bahwa anda tidak sendirian dalam iman anda. Dalam hal OMK khususnya, melihat OMK lain dari negara bagian lain sangat mengagumkan. Peluang bagus untuk terhubung dan membuat cara kreatif yang keren untuk berkolaborasi.” - Jenifer

-“Saya selalu menikmati dan bersenang-senang di Jambore. Itu memungkinkan saya untuk bertemu orang baru dari berbagai KKI di seluruh AS. Juga, itu memungkinkan saya untuk menerima berkah karena bisa bertemu begitu banyak Romo dan suster di satu tempat. Pasti akan pergi ke yang berikutnya. Semoga lebih banyak orang dari WKICU yang datang juga. Pujian besar untuk KKI Houston atas kerja keras dan kesuksesan Jambore tahun ini dan karena sangat akomodatif dan ramah terutama kepada para tetua dengan menyediakan transportasi di sekitar fasilitas. Hanya sayang kalau sebagian dari peserta WKICU dan KKI lain nya serta beberapa Romo dan suster harus terburu-buru naik bis untuk ke airport pada akhir terakhir setelah misa dengan Uskup Italo jadi tidak bisa meyaksikan acara tari penutup dan acara pementasan angklung” – Cynthia (Thia)

Pak Ade, ketua KKI Seattle menerima patung “Good Shepherd” dari Ibu Windra, ketua KKI Houston sebagai host Jambore 2025

Secara keseluruhan acara Jambore 2023 ini sangatlah sukses. Banyak sekali hal-hal baru dan positif yang didapatkan para peserta.

Pelaksanaan Jambore KKI USA - Canada 2023 telah berlangsung dangan sukses dan meriah, saatnya kini menyongsong Jambore berikutnya tahun 2025. Semoga dari setiap pelaksanaan Jambore yang telah terselenggara akan menghasilkan pembelajaran dan pengalaman bagi kita semua untuk mempersiapkan ajang perhelatan besar Komunitas Katolik Indonesia ini menjadi lebih baik dan semakin berkembang. Membangun ikatan persaudaraan di antara umat beriman adalah panggilan tugas kita. Seperti Allah sendiri berfirman dalam Matius 18:20 _

“Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”

Mari rangkai dan kuatkan jalinan ikatan iman kita dengan semangat pelayanan tanpa lelah. Mempersiapkan segalanya bagi terlaksananya pertemuan akbar seperti Jambore ini adalah juga melaksanakan kehendak Allah.

Pesan kami bagi saudara seiman di Seattle, jangan khawatir dan ragu…..DIA akan beserta kalian dalam setiap langkah dan rencana persiapan. Mempersiapkan kehadiran Allah di tengah-tengah kita janganlah dijadikan sebuah beban. Bersuka citalah, karena Dia akan hadir bersama kalian mulai dari awal hingga akhir. Semua jalan dan pintu akan terbuka. Dengan penyertaan-Nya dalam setiap langkah dan rencana, hambatan dan rintangan malah akan menjadikan iman kita semakin kuat.

Sampai jumpa di Seattle di tahun 2025 yang akan datang! Selamat bekerja, KKI Seattle.

Tuhan menyertai kalian dan kita semua! 

Read More
Apa dan Siapa WKICU Admin Apa dan Siapa WKICU Admin

Hock Chuan dan Swan Oey

Seperti apa yang telah diyakini oleh tante Swan dalam kisah perjalanan hidup ini —Jalan Tuhan itu memang luar biasa—

Ditulis oleh Agem

Cuaca cerah pagi hari menemani saat melintas freeway 580 East menuju daerah San Ramon. Hangatnya sinar matahari meletupkan semangat saya berkendara menuju rumah pasangan sepuh WKICU yang akrab kita sapa Om Hock Chuan dan Tante Swan. Sudah lama team ebulletin ingin menulis kisah dan perjalanan hidup pasangan bersahaja ini. Team ebulletin yakin, apapun cerita tentang mereka selalu akan menarik dan sangat meng-inspirasi.

Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Mobil meluncur pelan memasuki daerah perumahan yang tampak hijau di kanan-kiri jalannya. Mata saya melirik layar The Global Positioning System (GPS) yang terpasang di dashboard mobil sambil sesekali memperhatikan nomor rumah tujuan.

……………..“The destination is on your right…” terdengar suara perempuan dari si-mesin pintar itu. Apa selalu suara seorang perempuan yang keluar? Entahlah

Saya angkat kaki dari pedal gas mengurangi laju kendaraan, nomor rumah tujuan sudah terlihat. Saya berhenti di depan halaman yang terlihat asri. Dari dalam mobil tampak seseorang membuka pintu rumah lebar-lebar.  Tante Swan muncul dengan wajah yang cerah penuh senyum. Di belakangnya berdiri sang suami, Om Hock Chuan dengan senyum tak kalah cerah. Dalam sekejap saya sudah turun mobil menemui mereka dan saling bertegur salam, bertanya kabar dan kemudian kami bertiga masuk ke dalam rumah menuju ruang tamu. Di situ ada sofa putih bersih dan rapih. Mata saya sempat melihat sekeliling ruangan sebelum duduk manis. Terlihat furniture, hiasan dan ornament di rumah itu tertata apik, tidak ada yang tidak sesuai pada tempatnya. Semua begitu serasi. ––“Pasti repot dan capek sekali mengurus rumah tetap rapih kayak gini,” gumam saya dalam hati.

***

Perbincangan kami di ruang tamu pagi itu terasa akrab dan hangat. Tante Swan menjadi juru bicara dalam obrolan hari itu. Beliau-lah yang lebih banyak bercerita dan memberikan penjelasan. Seperti sudah siap dengan arah wawancara, Tante Swan juga telah menyiapkan beberapa photo kenangan yang akan semakin memperkuat cerita hidup mereka. Om Hock Chuan yang duduk bersama di ruangan itu, dalam perbincangan lebih hanya meng-iya-kan dan menambahkan sedikit keterangan yang masih beliau ingat. Om sedikit kesulitan mengingat dan menangkap pertanyaan saya oleh karena di usianya yang menjelang 89 tahun itu pendengaran beliau sudah kurang mendukung. Beruntung bahwa sang istri sudah menemani beliau selama 53 tahun. Segala peristiwa dan jalan hidup sang suami adalah jalan dan cerita hidupnya juga. ––“Mereka telah menjadi satu, bukan lagi dua.”–– Matius 19:6

Dalam pertemuan itu saya melihat wajah Om Hock Chuan berbinar mengingat segala kenangan, sesekali menerawang membayangkan masa-masa ketika cerita itu terjadi. Saya duduk berdampingan dengan Om di sofa panjang. Saya melihat beliau begitu asyik mendengarkan sang istri merangkai setiap kenangan hidup mereka. Dari sofa seberang yang berhadap-hadapan – dibatasi meja kaca bening bertaplak putih pada bagian tengahnya– tampak Tante Swan sesekali memandang dan bertanya kepada sang suami untuk lebih meyakinkan cerita.

Om Hock Chuan yang duduk di sebelah saya adalah pria ramah baik hati dan murah senyum. Selain juga seorang deacon beliau adalah salah satu pentolan pendiri kelompok Katolik Indonesia California Utara (WKICU). Beliau memiliki nama lengkap Hock Chuan Oey. Lahir di Caracas, sebuah desa kecil di Jawa Barat pada 18 Februari 1934. Lulusan biochemistry sebuah perguruan tinggi negeri terkenal di Bandung, Institut Teknologi Bandung (ITB).

Hock Chuan Oey adalah anak pertama dari enam bersaudara (tiga laki-laki dan tiga saudari perempuan). Hanya beliau sendiri yang hijrah ke Amerika sementara orang tua dan kelima adiknya tetap berada di Cirebon, Jawa barat.

***

**Pertemuan yang merubah jalan hidup.

Menurut cerita, yang dijelaskan oleh sang istri dan dibenarkan oleh Hock Chuan sendiri, mereka berada di Amerika ini hanya karena kejadian biasa. Kejadian biasa yang kemudian menuntun mereka ke jalan hidup yang luar biasa.

Kisah ini dimulai dari mengantar seorang teman baik Hock Chuan ke airport untuk kembali pulang ke Utah, Amerika setelah kunjungannya ke Bandung. Dalam perjalanan itu terjadi percakapan diantara dua orang sahabat.

“Kamu enak yah bisa tinggal, berkarier dan hidup di Amerika,” tanya Hock Chuan kepada sahabatnya itu.

“Loh, kamu bisa saja ke Amerika kalau mau. Kamu seorang biochemist dan punya pengalaman di laboratorium. Kenapa nggak?” ujar sahabatnya itu.

“Kamu-kan sudah punya rumah sendiri? Kalau itu dijual, cukup untuk modal ke Amerika,” sambungnya lagi.

Dari percakapan sepanjang jalan ke bandara itu Hock Chuan muda merasa jadi sangat bersemangat dan terbangkitkan impiannya. Sebagai anak muda yang memang menyukai tantangan, pekerja keras, ulet dan punya impian besar Hock Chuan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mencoba saran itu. Dengan modal nekat dan tekad beberapa hari kemudian, dari desanya Caracas beliau lari ke Jakarta menuju Kedutaan Besar Amerika untuk mengajukan visa immigrasi. Berbekal ilmu biochemistry yang didapat dari ITB tempatnya kuliah serta pengalaman kerjanya di laboratorium penelitian selama beberapa tahun setelah kelulusannya – dan tentunya ditambah saran menjual rumah sebagai modal – Hock Chuan muda melangkah dengan pasti.

**Asam di gunung dan garam di laut, bersatu dalam belanga.

“Enam bulan kemudian pengajuan visa itu diterima,” terang Tante Swan membuka cerita.

Harapan terbentang luas bagi Hock Chuan muda. Kabar gembira segera menyeruak dalam keluarga, tetapi kegembiraan itu rupanya tidak dirasakan oleh seluruh keluarga. Kegembiraan itu hadir bersamaan dengan ganjalan dalam hati sang Ibu. Hock Chuan, sebagai putra pertama ini terlalu sibuk belajar dan bekerja hingga di usianya yang sudah kepala tiga (baca usia 30-an) belum juga menemukan pasangan hidup. Sang ibu pun menyarankan Hock Chuan sebaiknya menikah dahulu sebelum berangkat ke Amerika.

Swan Oey lahir pada 11 November 1948 di Surabaya, Jawa Timur dengan nama asli Swan Hoo, yang kemudian mendapat tambahan nama Oey dibelakangnya setelah menikah. Beliau lahir dan besar di pusat kota Surabaya, tepatnya di sekitar Jembatan Merah yang bersejarah itu.

Swan Hoo adalah anak bontot dari lima (5) bersaudara. Salah satu saudaranya meninggal sejak kecil dan Swan Hoo hidup dengan tiga saudara perempuan dan satu laki-laki.

“Sebetulnya saya lima bersaudara tetapi yang nomor tiga meninggal. Kakak pertama saya laki-laki tidak tinggal bersama kami sejak lahir. Waktu Ibu saya akan melahirkan anak pertama mengalami masalah, dokter memberikan pilihan sulit. Dia bilang, anaknya yang mati atau mama yang mati. Yah, tentu saja Ayah saya berharap kalau bisa dua-duanya jangan mati,” cerita Tante Swan.

Baik mama atau kakak laki-lakinya berhasil diselamatkan tetapi sebagai gantinya, dan mengikuti kepercayaan orang tionghoa umumnya, kakaknya harus diberikan kepada keluarga lain, maka jadilah sang kakak diasuh oleh nenek –mama dari Ibunya Tante Swan– dan dianggap sebagai anak.

“Kakak pertama saya memanggil mamanya dengan sebutan tante,” jelasnya sambil tertawa.

Kemudian kakaknya yang nomor dua lahir, seorang perempuan. Diceritakan Tante Swan bahwa kakak nomor duanya ini adalah kesayangan ayahnya. Lalu lahir anak ke tiga tetapi kemudian meninggal. Setelah itu lahir kakak nomor 4, laki-laki dan dia menjadi anak kesayangan sang Ibu.

“Tinggal saya yang paling bontot tidak kebagian apa-apa. Orang sering bilang bahwa anak bontot itu paling disayang. No way, no way. —Ayah saya bilang ke saya; kamu adalah satu-satunya anak yang kita tidak kasih apa-apa — Rasanya mau nangis waktu itu tetapi saya malah mengatakan; “Pah, jangan khawatir, doa restunya saja. Doa restu papa sudah cukup…,” kenang Tante Swan dengan mata berkaca-kaca.

Tante Swan berhenti sejenak ketika menceritakan kisah masa lalunya. Om Hock Chuan yang duduk disamping saya melihat wajah sang istri dengan tatapan lembut.

“Saya kenal si Om dari kakak perempuan saya yang nomor dua, Lien. Mereka satu angkatan dan kebetulan mengambil jurusan yang sama di ITB. Kalau main ke tempat kakak di Bandung, saya sering bertemu dengan si Om. Dan memang akhirnya saya tinggal di rumah kakak saya untuk membantu mengurus anaknya” lanjut Tante Swan.

“Jalan Tuhan itu memang luar biasa. Setelah pengajuan imigrasi ke kedutaan Amerika diterima, Om langsung memasukkan nama saya ke dalam permohonan visa. Waktu itu padahal kita belum menikah tetapi tanpa kesulitan dan hambatan penambahan nama saya langsung disetujui kedutaan. Maka itu saya bilang, ini memang sudah jalannya Tuhan,” terang Tante Swan penuh keyakinan.

Pasangan ini kemudian menikah di bulan Desember tahun 1970 di Surabaya dan tidak sampai satu tahun berselang mereka berangkat ke Amerika tepatnya di bulan Mei, tahun 1971.

***

**Menjalin kisah hidup di Amerika.

Bagi Hock Chuan Oey, Amerika adalah harapan masa depan keluarga yang akan mereka bina, terutama untuk pekerjaan dan karir beliau sebagai peneliti di laboratorium dan juga masa depan anak yang mereka harapkan kelak.

Mereka masuk melalui Hawaii dan mendapatkan green card dari sana, kemudian dari Hawaii mereka terbang ke Los Angeles.

“Saya gak tahu kenapa harus masuk lewat Hawaii dulu. Pokoknya port of entry kita waktu itu di Hawaii,” jelas tante Swan.

Meski sudah mengantongi green card dan masuk resmi dengan lancar tidak berarti perjuangan hidup mereka tanpa rintangan. Sesampai di Los Angeles, harapan Hock Chuan untuk bisa bersekolah di Medical Technologies kandas. Sekolah ini adalah satu-satunya harapannya karena dengan bersekolah di sana berarti Hock Chuan dapat menimba ilmu secara gratis sekaligus mendapat bayaran karena mereka juga mempekerjakan para pelajar di laboratorium milik sekolah itu.

“Saya sudah telat mendaftar waku itu, dan kalau mau masuk harus nunggu pembukaan berikutnya, tiga tahun lagi. Om bisa-nya cuma kerja di bidang itu, di laboratorium. Kita gak bisa nunggu begitu lama. Bagaimana membiayai hidup?” Om Hock Chuan dengan wajah serius menjelaskan.

Tante Swan menambahkan. “Kalau masuk sekolah itu tidak bayar, malah si om dibayar. Ada gajinya karena sekaligus kerja di rumah sakit sekolah itu.”

Tutupnya pendaftaran sekolah yang diidamkan menjadi batu hambatan pertama pupusnya harapan tinggal di California. California adalah tujuan dan tempat impian mereka untuk memulai hidup baru di Amerika, saat itu Los Angeles seperti menutup pintu bagi kedatangan mereka.

Tidak mau menunggu tiga tahun untuk apa yang ingin diraih sang suami, Swan teringat akan sang kakak perempuan nomor duanya, Lien yang mempertemukan mereka. Diceritakan pula oleh Tante Swan bahwa kakak perempuannya ini, setelah lulus kuliah kemudian menikah dengan seorang dokter yang bertugas di kepolisian dan mereka menetap di Bandung. Beliau dan suaminya ini pernah mengajukan visa ke Amerika tetapi ditolak.

“Waktu itu kalau mengajukan visa berdasarkan profesi, kakak saya dan suaminya menggunakan profesi suami sebagai dokter. Mereka ditolak karena sudah banyak dokter. Kemudian kakak saya mencoba lagi dengan menggunakan profesinya sebagai seorang biochemist, eh… akhirnya malah diterima. Mereka berdua berangkat ke Amerika dan tinggal di Texas satu tahun lebih dulu dari kita,” jelas Tante lagi.

“Kita itu gak bawa uang banyak waktu ke sini. Kalau dibandingkan kakak perempuan saya dan suaminya yang dokter, uang kita gak ada apa-apanya,” sambung Tante Swan sambil tersenyum.

Sewaktu menerima telpon dari tante Swan, sang kakak menjelaskan bahwa di Texas juga ada sekolah Medical Technologies seperti di LA. Gratis tidak dipungut bayaran akan tetapi mereka tidak mempekerjakan para pelajarnya sehingga tidak ada gaji atau bayaran bagi mereka yang bersekolah di situ. Sang kakak lantas juga berbaik hati menawarkan mereka untuk tinggal di rumahnya dan menyarankan Hock Chuan untuk melamar ke rumah sakit tempat dia dan suaminya bekerja karena di sana masih butuh biochemist. Hock Chuan pun kemudian dapat bekerja di rumah sakit itu sambil melanjutkan sekolah memperdalam ilmu yang digelutinya. Saat itu Swan Oey dengan setia menemani dan mengurus sang suami sekaligus membantu sang kakak mengurus rumah.

Selang tiga belas bulan kemudian Hock Chuan dan Swan Oey memutuskan untuk menyewa apartement dan hidup mandiri. Mereka menyewa sebuah apartment sederhana di downtown Texas. Swan mengambil kesempatan itu untuk mencari pekerjaan di sebuah perusahaan pembuat pakaian yang men-supply celana untuk JC Penney.

“Om selalu bilang kalau cari apartement itu jangan yang sewanya mahal karena kalau sewa berarti uang hilang. Kita cari yang paling murah agar ada uang yang bisa ditabung untuk beli rumah,” kata tante mengenang ucapan suaminya.

Dengan prinsip kuat dan kerja keras akhirnya mereka mampu membeli rumah di Texas tahun 1973. Rumah idaman seharga $28.000 (dua puluh delapan ribu dolar) dengan 3 kamar tidur dan 2 kamar mandi menjadi milik mereka. Di rumah itu, James Howard Oey, anak lelaki mereka lahir. Rumah dengan halaman cukup luas itu menjadi tempat nyaman dalam membesarkan dan merawat si buah hati.

“Waktu itu Om sampai harus bekerja di dua tempat loh. Kerja full time di sebuah laboratorium milik seorang dokter dan satu lagi part time di rumah sakit di tempat kakak saya bekerja. Om kerja di laboratorium itu sejak baru berdiri. Dokter pemilik usaha itu mengatakan kepada Om untuk sama-sama membangun. Istilahnya seperti kerja sama begitu,” jelas Tante Swan.

Seperti halnya kerja sama yang dilakukan dalam memulai sebuah usaha (startup business) mereka berjuang bersama sejak awal, dan Hock Chuan dijanjikan profit sharing oleh sang dokter pemilik laboratorium itu, dimana tentunya akan ada pembagian keuntungan yang jelas dan adil ketika usaha itu maju dan berkembang.

Dengan memiliki ilmu dan banyak pengalaman di laboratorium sewaktu di Indonesia bukanlah hal yang mustahil bagi beliau membuat usaha itu jadi maju dan berkembang.

“Waktu di Indonesia Om pernah punya pengalaman membangun rumah sakit di Bandung dengan para dokter, bangun rumah sakit Maranatha,” sambung Tante Swan.

Seiring waktu usaha mereka berjalan sangat baik dan berkembang pesat. Dari berkantor di gedung kecil hingga pindah ke gedung kantor lebih besar. Sampailah saat dimana Hock Chuan harus bicara kepada sang dokter pemilik laboratorium soal pembagian keuntungan yang dijanjikan.

“Mana profit sharing untuk saya,” begitu tanya Om saat itu dan dijawab dengan santai tanpa rasa berdosa oleh sang dokter pemilik laboratorium; “Well, kalau kamu gak happy kerja di sini yah kamu boleh keluar.”

Mendapat jawaban tak terduga penuh dusta itu membuat hati Hock Chuan patah, berkecamuk segudang rasa. Marah, tak percaya dan kecewa dengan jawaban dari sang partner membuat Hock Chuan terpukul. Padahal, demi membangun laboratorium itu hingga berkembang dan maju beliau sampai meninggalkan pekerjaan paruh waktu-nya di rumah sakit. Hock Chuan memusatkan harapan dan impiannya di situ. Segala usaha, tenaga, waktu dan pikiran yang beliau curahkan sepenuhnya saat itu seketika lenyap tak berbekas. Impiannya terhempas.

“Kita sih waktu itu memang benar-benar nggak ngerti soal kerja sama dengan perjanjian profit sharing. Seharusnya pakai pengacara (lawyer) dan ada surat tertulis. Kita terlalu percaya hanya dengan omongan saja,” terang Tante Swan.

Karena kejadian itu Hock Chuan mengambil keputusan bulat untuk keluar dari laboratorium dan bahkan berniat pindah ke lain kota meninggalkan segala pengalaman dan kenangan pahitnya.

Yuk, kita pindah saja. Kamu mau pindah kemana? Dallas? Houston?” ajak Om kepada sang istri.

No, saya nggak mau. Kita kembali ke California saja,” jawab sang istri dengan pasti.

Seperti apa yang telah diyakini oleh Tante Swan dalam kisah perjalanan hidup ini —Jalan Tuhan itu memang luar biasa— Mereka mengerti bahwa keputusan meninggalkan Texas dan memulai kembali ke tempat impian mereka, California bukanlah hal mudah. Rintangan dan tantangan pastinya akan banyak mereka hadapi.

“Waktu itu Om berangkat ke California sendirian dengan naik mobil. Saya menunggu di rumah (Texas) hanya dengan anak saya sampai Om mendapat pekerjaan dan apartment untuk kami tinggal,” kenang Tante Swan.

“Uang yang kita kumpulkan dari Texas tidak banyak, jadi Om harus mendapatkan pekerjaan dulu di tempatnya yang baru untuk menyewa apartment,” sambungnya.

Rencana Tuhan sungguh indah dan luar biasa. Hock Chuan akhirnya mendapat pekerjaan di Encino, Los Angeles. Entah bagaimana di sana beliau mendapat pertolongan dari seseorang yang baru dijumpainya di tempat kerja itu. Seorang bule yang baik hati telah dikirim Tuhan untuk menolong. Si bule itu menawarkan beliau untuk tinggal di rumahnya.

“Mungkin dia kasihan melihat Om waktu itu karena semua barang bawaan disumpel dalam mobil, bahkan sampai ditumpuk di atas mobil. Habis mau ditaruh dimana? kan dia belum dapat apartment,” kenang tante.

Tak sampai satu bulan menumpang, dari gaji yang didapat dari tempat kerja baru itu Hock Chuan akhirnya mampu menyewa sebuah apartment. Dan kemudian segera menyuruh sang istri beserta anaknya untuk menyusul.

“Rumah di Texas kita jual murah sekali. Kita jual rugi. Saya dan anak saya kemudian terbang ke LA menyusul Om,” jelas Tante Swan.

Selesai mengatakan itu, Tante Swan menatap wajah sang suami tercinta sambil tersenyum. Ada kehangatan yang menyeruak dari moment itu. Dari kenyataan masa lalu dan masa kini yang mereka alami, mengingatkan kesadaran dan keyakinan saya tentang sebuah renungan iman; Tuhan punya rencana terhadap hidup setiap manusia. Rencana besar itu akan indah pada akhirnya jika kita mau dengan ikhlas menyerahkan hidup ini ke dalam tanganNya, hanya pada kehendakNya.

***

** Catatan redaksi:

Kisah ini akan berlanjut lebih seru dan menarik di bagian ke dua nanti. Akan ada kisah perjuangan lainnya dimana Tuhan menuntun mereka ke Bay Area dan akhirnya terbentuk WKICU.

Di tunggu yah…!!







Read More
Apa dan Siapa WKICU admin Apa dan Siapa WKICU admin

Pelayan Penabur Kasih (Bagian 1)

“Apakah kamu tidak berminat untuk lebih serius membantu dan melayani gereja dengan menjadi deacon?” tanya mereka.

Ditulis oleh Agem

Hampir dua bulan yang lalu, saya ditahbiskan menjadi Deacon di Cathedral of Saint Mary of the Assumption di San Francisco. Perjalanan panjang ini berawal sekitar 6 tahun lalu. Pada suatu pertemuan di sebuah acara ulang tahun salah satu umat WKICU, Romo Effendi Kusuma Sunur S.J. dan Deacon Oey Hock Chuan menghampiri dan bertanya kepada saya: 

 “Apakah kamu tidak berminat untuk lebih serius membantu dan melayani gereja dengan menjadi deacon?” tanya mereka.

Perbincangan tentang itu berlangsung hanya sekitar 30 menit, tetapi dari pertemuan itu mampu memberikan kekuatan yang menggerakkan saya. Dua hari setelah itu saya mulai mencari informasi mengenai pendaftaran menjadi calon deacon. Proses ke arah itu cukup lama, karena ternyata pendaftaran sudah ditutup untuk tahun itu.  Satu tahun kemudian saya mencoba mendaftar kembali, dan akhirnya Keuskupan Agung San Francisco mengijinkan saya untuk mulai mengikuti pendidikan deacon.  

Tidak bisa dipungkiri, peran besar Romo Effendi dalam merekrut saya, tapi Deacon Hock Chuanlah yang benar-benar menginspirasi saya.  

Pada saat pendidikan deacon, Deacon Hock Chuan bekerja di tiga perusahaan. Beliau adalah suami dari Tante Swan Oey dan ayah dari James Oey. 

Deacon Hock Chuan memasuki sekolah deacon dengan tidak mudah karena sudah melewati batas usia yang ditetapkan, tapi Uskup John Cummings (Uskup Oakland pada waktu itu) memberikan dispensasi. Dengan semangat yang luar biasa, beliau menyelesaikan pendidikan deacon itu dan ditahbiskan pada tahun 2000.  Hebat kan?!

 Mengenang cerita beliau, Deacon Hock Chuan baru dibaptis menjadi Katolik itu pada usia 42 tahun dan lalu terpanggil menjadi deacon pada usia yang tidak muda juga. Perjalanan rohani beliau ini seperti pepatah: tidak peduli kapan anda memulai, tetapi yang lebih penting adalah di mana anda mengakhirinya. 

Suami yang baik, ayah yang bijaksana, pekerja keras dan pelayan gereja yang setia. Inilah jejak Deacon Hock Chuan yang ingin saya ikuti.   

Foto kami yang diambil oleh Irwan Sie pada hari pentahbisan saya. Deacon Hock Chuan yang sudah pensiun dari kegiatan aktif membantu gereja dan saya yang baru saja memulai tugas itu. Tante Swan memberi tema foto ini: The Young and The Restless

Tulisan di atas adalah kiriman dari Iwan Soegiharto yang kami terima sebelum merampungkan tulisan ini. Kami pikir sangat bagus jika tulisan beliau sendiri menjadi pembuka. Tulisan ini memberikan arti, pesan dan makna yang mendalam sebagai awal tulisan.

—-000—-

Iwan Soegiharto, lahir di Malang, Jawa Timur pada tanggal 6 Februari 1969.  Anak nomor sembilan dari sepuluh saudara pasangan Robertus Soekamto dan Theresia Halimah ini adalah anak lelaki paling kecil. Dan sebagai anak laki paling kecil, meski bukan anak bontot Iwan merasa sangat beruntung karena disayang oleh orangtua dan saudara-saudaranya.

Iwan bersama lima kakak lelaki dan empat saudara perempuannya tidak dibesarkan secara khusus Katolik, tapi lebih pada perpaduan budaya Tionghoa, Kalimantan dan Jawa. Kedua orangtuanya mengurus dan merawat anak-anaknya dengan sangat baik, penuh kasih sayang. Meski memiliki keyakinan sendiri, orangtua Iwan tetap memasukkan anak-anaknya ke sekolah Katolik. Dari situlah iman Katolik tumbuh dan merengkuh seluruh keluarganya. 

“Kakak pertamaku yang mengenalkan ajaran Katolik di keluarga. Ayah dan Ibuku adalah orang terakhir yang dibaptis setelah anak-anaknya. Aku itu lahir dari keluarga yang gak kenal agama,” kenang Iwan.

Adapun Stephanus Supriyadi Wiratno, kakak sulung di keluarga yang membuat Iwan kecil mau dibaptis sewaktu masih kelas enam SD. Kakak pertamanya ini sudah duluan menjadi Katolik dan hari-harinya sangat sibuk dengan kegiatan gereja. Pengaruh iman dari kakaknya mampu membuat seluruh keluarga, termasuk orangtuanya menjadi Katolik. Yang menarik adalah, dari enam orang anak laki-laki di keluarga, hanya Iwan-lah yang rupanya pernah berpikiran untuk menjadi romo. Diakuinya, sejak dibaptis keinginan menjadi biarawan itu semakin membesar hingga saat kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP), Iwan pernah mengutarakan niatnya kepada sang Ibu untuk masuk sekolah seminari dan ingin menjadi seorang romo. 

Mendengar itu, sang Ibu yang saat itu belum menjadi Katolik tak mampu menahan tawa, memandangnya penuh kasih dan berkata, “Kamu baru putus sama pacarmu yah? Jangan karena putus pacar langsung mau jadi romo. Kamu lihat itu kakakmu, gonta-ganti pacar. Putus cari lagi, putus cari lagi….” jawab sang Ibu dengan tawa berderai.

“Waktu itu salah satu kakakku memang bagai Arjuna mencari cinta. Pacarnya buanyak dan gonta-ganti,” jelas Iwan sambil tertawa ngakak. 

“Saatnya salah dan gak tepat aja waktu aku bilang itu. Sejak itu keinginan menjadi romo kandas. Gak pernah ada lagi. Hahahaha…,” sambungnya sambil geleng-geleng kepala. 


Sebagai anak bontot nomor dua, Iwan merasa sangat beruntung karena begitu mendapat perhatian dan dukungan penuh dari kakak-kakaknya. Kuliahnya di San Francisco State University hingga berhasil meraih gelar di bidang business tak lepas dari usaha patungan kakak-kakaknya itu.  

“Semua kakakku banyak membantu baik dalam biaya sekolah maupun doa yang tidak pernah putus,” jelasnya.

Sebelum menginjakkan kaki dan melanjutkan sekolah di Amerika, Iwan telah lulus dari Universitas Brawijaya fakultas Ekonomi.  Sempat bekerja di Asuransi Wahana Tata mengurusi klaim sambil merawat sang Ibu yang sedang sakit. Iwan tetap bertahan dan tidak berpikir untuk pergi jauh demi menunggui dan merawat sang Ibu, hingga beliau meninggal dunia tahun 1995 di sebuah rumah sakit di Jakarta. 

Sepeninggalan sang Ibu, Iwan merasa tidak ada lagi alasan untuk tetap tinggal di Indonesia, maka ketika kakak-kakaknya menawarkan untuk melanjutkan sekolah di Amerika, tanpa pikir panjang dia setuju. Di sinilah awal perjalanan hidup menuntunnya hingga ber-transformasi menjadi seorang deacon .

—-000—-

Berikut adalah wawancara santai Ebulletin dengan Iwan Soegiharto:


Ebulletin: Bisa cerita bagaimana awalnya terlibat di WKICU?

“Aku datang ke California tahun 1995 setelah Ibu meninggal. Aku ke sini menyusul kakakku nomor delapan yang sudah lebih dulu sekolah di sini,” terang Iwan membuka perbincangan.

“Dari dialah aku kenal WKICU. Kakakku itu pernah mendapat telpon dari salah seorang tante, kalau gak salah dari tante Swan Oey mengenai adanya kelompok Katolik Indonesia. Waktu itu di San Francisco ada perkumpulan doa Rosario di rumahnya tante Louis. Aku dan kakakku datang dan bertemu para tante dan om di situ. Tidak ada anak mudanya. Sejarah awal perkenalanku dengan WKICU dimulai lewat para om dan tante.”


Ebulletin: Pertemuan doa Rosario di San Francisco itu menjadi awal?

“Ya itu, para tante dan om dari situ akhirnya mengajak aku untuk ikut misa. Misa WKICU waktu itu di San Francisco. Pengaturan kerjanya gak seperti sekarang, waktu itu gak jelas karena belum ada ketua wilayah, jadi yang mengurusi wilayah juga gak jelas sementara umat yang misa di gereja St Stephen cukup banyak. WKICU belum membagi misa menjadi tiga wilayah. Kayaknya setelah San Francisco, baru ada misa di Union City dan setelah itu Santa Clara yang terakhir.” jelasnya.

“Waktu itu selain para om dan tante, banyak anggota yang sudah tua-tua juga di sana. Aku masih bujangan, masih punya banyak tenaga, jadi aku hanya ingin membantu mereka. Aku kasihan, gak sampai hati kalau diam dan gak ngapa-ngapain. Pertama kali misa itu aku langsung dimintain tolong mengurus sakristi karena orang yang biasa mengurus akan kembali ke Indonesia. Aku di-training sama dia, tetapi yah itu, setelah dia pulang ke Indonesia akhirnya malah gak cuma urus sakristi dan altar…. juga buka gereja, photo copy teks misa, urus konsumsi, ambil makanan, sampe bersihin hall dan kamar mandi setelah selesai acara ramah tamah. Waktu itu ambil makanan dari ci Wenny dan bawa ke gereja,” sambungnya.

“Aku juga jadi seksi penjemputan, maksudnya supir antar jemput orang-orang tua yang gak bisa ke gereja, termasuk antar jemput orang-orang Indonesia yang baru datang dan mau ikut misa – coba kamu tanya ko Tony dan ci Wilsa, dulu aku sempat antar jemput mereka dan ketiga anaknya waktu baru datang dari Indonesia. Setiap misa aku datang paling dulu dan pulang paling belakangan karena masih harus bersih-bersih dan mengantar kembali orang-orang yang aku jemput. Semuanya nyaris aku kerjakan sendiri. Kadang satu dua orang ikut membantu. Aku sampai gak sempat ikut misa, jadi aku misa dulu hari Sabtunya,” tambahnya lagi. 


Ebulletin: Kepedulian dan pelayanan yang sungguh luar biasa, meskipun terkesan semua karena kasihan dengan para tante dan om-om?

“Mulanya memang mungkin dari kasihan dulu. Aku kasihan dengan (almarhumah) tante Eva, aku kasihan dengan om Lucas dan tante Martha dan aku kasihan dengan umat yang sudah tua-tua itu…Tuhan bisa menyentuh kita dari perasaan kasihan itu tadi, dan akhirnya terpupuk menjadi rasa belas kasih. Belas kasih akan mewujudkan tindakan yang dapat menjadi kepanjangan tangan Tuhan,” jawabnya serius.

“Bicara soal kasihan, dalam tugasku membantu WKICU, suatu ketika aku dipanggil suster Mary Catherine Boudreau. Suster Cathy ini adalah suster bule yang membantu WKICU mengurus RCIA. Waktu itu beliau dibantu Evy, istrinya Aming (Lime Tree). Suster Cathy ini pernah bekerja 13 tahun di Indonesia. Beliau minta tolong aku untuk mengajar salah satu topik RCIA. Aku iya-kan permintaan itu. Lagi-lagi karena aku kasihan sebab beliau sudah tua. Hahaha…,” lanjutnya.

“Suster Cathy akhirnya pensiun dan pindah ke New Jersey. Karyanya dilanjutkan oleh Evy Pranoto dan Maya Desiana. Setelah itu, aku menggantikan mereka.” katanya menambahkan.


Ebulletin: Loh, kakakmu yang memperkenalkan malah kabur. Gak ikut bantu?

“Dia balik ke Indonesia gak lama setelah aku datang. Boss tempat dia bekerja dulu menelponnya untuk kembali kerja. Kalau gak salah dia malah belum menyelesaikan gelar Masternya dan baru menyelesaikannya di Australia setahun kemudian.”


Ebulletin: Memang kadang berkah dan musibah bisa datang bersamaan. Bergabungnya kamu di WKICU itu berkah sekaligus musibah buat kamu yah?

“Hahaha…. aku gak melihatnya begitu kok. Aku hanya bersyukur atas berkat dan rejeki yang telah aku terima selama aku di sini. Kebutuhanku sudah tercukupi dari Senin sampai Sabtu. Aku memang niat untuk menyediakan hari Minggu khusus untuk Tuhan. Sabtu aku agak longgar jadi sempat misa dulu di paroki-ku, St. Cecilia. Besoknya aku datang lagi ke gereja St. Stephen untuk membantu dan melayani WKICU. Kalau cuma ikut misa, yah belum melayani Tuhan namanya…”

“Sejak terlibat di WKICU, satu-dua tahun setelah datang ke San Francisco (tahun 1996-1997), aku merasakan dituntun oleh Tuhan. Seperti ada kekuatan yang selalu menggerakkan aku untuk terus melayani. Waktu itu Om Hok Chuan (sebelum menjadi deacon) yang menjadi ketua WKICU.

Romo Hartono Budi, S.J. adalah romo yang aku kenal pertama sebagai pembimbing WKICU. Selama belajar di Berkeley, Romo Hartono lebih suka kita jemput karena dengan demikian ada kesempatan berkomunikasi lebih banyak. Kalau misa di Union City, aku jemput beliau dan kita banyak berbagi cerita,” kenangnya.

“Untuk Union City aku masih bisa jemput romo Hartono, tetapi untuk San Francisco sudah gak kepegang. Untungnya Om Haribowo dan om-om yang lain bersedia bergantian antar jemput beliau dari Berkeley ke SF.”

“Oh Yah, aku dulu juga pernah menjadi wakil ketua Mudika ketika Betti (Magoolaghan) menjadi ketuanya, dan di situlah aku ketemu istriku, Lily,” tambahnya


Ebulletin: Ada suka duka yang bisa diceritakan?

“Dulu mobilku itu mobil bekas yang umurnya sudah 10 tahunan. AC-nya rusak, gak nyala. Kalau aku mengantar jemput umat, mengantar Romo, om-om dan tante pas waktu musim panas, apalagi pas sedang kena macet, para penumpang di dalam mobilku itu pada kayak ikan mas kepanasan. Ngap-ngap…. ha ha ha,” tawa Iwan membahana.


Ebulletin: Kesal dan capek hati dong ngerjain kerjaan sebanyak itu?

“Rasa kesal dan capek hati itu wajar menurut aku, tetapi aku selalu ingat niat awal yaitu untuk melayani Tuhan. Aku hanya ingin memastikan semua berjalan lancar dan umat bisa ikut misa, karena dengan begitu aku telah membantu mempersiapkan segala sesuatu untuk kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita.”


Ebulletin: Melayani Tuhan dengan setia dan semangat seperti kamu ini bisa menjadi inspirasi. Seperti inspirasi yang kamu dapat dari sosok deacon Hok Chuan. Bisa berikan “pencerahan” untuk umat kita yang masih ogah dan sulit sekali jika diminta membantu melayani WKICU? 

“Jangan takut, jangan malas dan jangan ragu untuk melayani Tuhan. Gak cuma di WKICU, di gereja kamu atau di mana aja. Pegang satu niat bahwa ini hanya untuk Tuhan. Jika memang bantuan atau layanan yang kita lakukan adalah untuk Tuhan, pasti kita akan dibantu olehNya,” jawabnya.

“Jadikan ini pribadi, antara kita dengan Tuhan. Seperti kalau kita doa…berdoa itu berdialog dengan Tuhan. Tetapi, untuk kita lebih dekat dan mengenal Tuhan secara pribadi tentu tidak hanya cukup dengan dialog, tetapi juga harus berjalan bersama Dia. Berbuat sesuatu dalam pelayanan itu seperti berjalan bersama Dia. Maka bilang “ya” dulu kalau diminta untuk melayani Tuhan, jangan pikir soal untung rugi, jangan pikir nanti gak ada waktu, nanti repot, gak bisa, gak ngerti dan macem-macem. Seperti apa yang aku alami selama melayani. Aku gak berpikiran terlalu ruwet. Aku jalanin aja… Ketika aku menjawab “ya”, aku yakin Tuhan akan memberikan banyak bantuan. Aku merasakan dan mengalami itu soalnya.”

“Waktu menerima saran romo Effendi dan deacon Hok Chuan menjadi deacon, juga begitu. Aku cari informasi dan daftar dulu aja, soal kendala dan apakah akan jadi deacon atau tidak, gak aku pikirin. Jadi deacon itu bukan hal gampang loh, pendidikannya 5 tahun. Disamping keluarga yang masih menjadi tanggungjawabku, aku dan istriku harus kerja fulltime. Aku gak yakin bisa menjalankan semua itu tanpa bantuan Tuhan. Selama proses itu aku merasakan sangat banyak sekali bantuan dan berkah yang aku terima. Semua jalan sepertinya dibuka oleh Tuhan,” jelas Iwan dengan wajah penuh syukur.

---000---


Pengalaman dan pelayanan se-abreg Iwan Soegiharto dalam kisahnya ini menunjukkan penyerahan diri yang utuh kepada kehendak Allah. Iwan menyerahkan hati sepenuhnya kepada Allah untuk dibentuk. Hati yang penuh belas kasih, seperti katanya; “Mampu menjadi kepanjangan tangan Tuhan.”

Bagi kita, Deacon Hok Chuan yang begitu menginspirasi Iwan Soegiharto hingga tergerak hatinya untuk bersedia melanjutkan pelayanan sebagai deacon adalah dua orang luar biasa dan baik hati. Semua perjalanan pelayanan mereka mengajarkan kita makna kesetiaan dan cinta yang tak kenal lelah melayani dalam keadaan dan suasana apapun. 

Deacon Oey Hok Chuan dan Deacon Iwan Soegiharto, secara nyata telah menjadi pengikat tali persahabatan dan tali semangat persaudaraan di dalam komunitas kita. WKICU sebagai gereja kecil tempat berkumpulnya umat menjadi lebih kuat, utuh dan bertumbuh dalam iman karena pernyataan yang di-materai-kan mereka ketika menjawab panggilan menjadi deacon. Allah sendiri yang telah memilih dan memberi pelindung serta pelayan bagi Warga Katolik Indonesia California Utara dari antara kita.



Iklan artikel:

______Tunggu artikel wawancara bagian ke II. Wawancara nanti akan penuh dengan hal dan seluk-beluk mengenai panggilan beliau menjadi deacon. Bagaimana sih menjadi deacon? Apa sih tugas deacon? Suka-dukanya apa sih? Ada gajinya gak? Dan masih banyak lagi informasi yang bisa kamu dapat ….. Kalau kalian penasaran, tunggu artikel wawancara bagian II kami dengan deacon Iwan Soegiharto. __________ 

Read More
Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin

Santa Rita dari Cascia

Santa Pelindung akan kasus-kasus yang mustahil, serta pernikahan yang sulit.

St. Rita of Cascia


Patron Saint of Lost and Impossible Causes and Difficult Marriages

Hari Raya: 22 Mei

Pelindung: kasus-kasus yang mustahil, pernikahan yang sulit.

Kelahiran: 1381, Kematian: 1472

Beatifikasi: oleh Paus Urbanus VII pada tahun 1627

Dikanonisasi: oleh Paus Leo XIII pada 24 Mei 1900

Gambar St. Rita

Santa Rita lahir sebagai Margherita Lotti di Roccaporena, Italia pada tahun 1381. Sehari setelah pembaptisannya, Rita dikelilingi oleh segerombolan lebah putih, yang masuk dan keluar dari mulut bayinya tanpa menyakitinya. Alih-alih khawatir, keluarganya percaya bahwa dia ditandai sebagai orang yang berbudi luhur dan berbakti kepada Tuhan.

Pada usia dini, dia memohon kepada orang tuanya untuk mengizinkannya masuk biara tetapi malah diatur untuk menikah dengan pria kejam bernama Paolo Mancini. Rita muda menjadi seorang istri dan ibu pada usia dua belas tahun dan suaminya adalah pria yang pemarah. Dalam kemarahan, ia sering menganiaya Rita secara verbal dan fisik. Dia juga dikenal mengejar wanita lain dan dia memiliki banyak musuh.

Paolo memiliki banyak musuh di Cascia, tetapi pengaruh Rita terhadapnya akhirnya membawanya menjadi pria yang lebih baik. Dia bahkan meninggalkan perseteruan keluarga antara Mancini dan Chiquis. Sayangnya, perseteruan antara keluarga Mancini dan Cascia semakin bergejolak sehingga Paolo dikhianati terbunuh oleh salah seorang sekutunya sendiri.

Setelah kematian suaminya, Rita memberikan pengampunan publik kepada pembunuhnya, tetapi saudara laki-laki Paolo, Bernardo, masih marah dan mendorong kedua putra Rita, Giovanni Antonio dan Paulo Maria, untuk bergabung dalam permusuhan. Di bawah kepemimpinan paman mereka, kedua anak laki-laki Rita menjadi lebih seperti ayah mereka sebelum Rita menikah dengannya, dan mereka ingin membalas pembunuhan ayah mereka.

Rita berusaha menghentikan mereka, tetapi kedua putranya bertekad untuk membalas dendam kematian ayah mereka. Rita berdoa kepada Tuhan, meminta Tuhan untuk mengambil anak-anaknya sebelum mereka kehilangan jiwa mereka oleh karena dosa besar pembunuhan. Satu tahun kemudian, doanya terkabul ketika kedua putranya terkena disentri dan meninggal.

Setelah kematian putra-putranya, Rita berusaha memasuki biara Santa Maria Magdalena di Cascia, tetapi dia tidak diizinkan untuk bergabung. Meskipun karakter dan kesalehan Rita diakui, hubungan suaminya dengan perseteruan keluarga sangat ditakuti.

Ketika Rita bersikeras, biara memberitahunya bahwa dia bisa bergabung jika dia bisa menemukan cara untuk memperbaiki luka antara Chiquis dan Mancini. Setelah meminta Yohanes Pembaptis, Agustinus dari Hippo, dan Nicholas dari Tolentino untuk membantunya dalam tugasnya, dia berusaha untuk mengakhiri perseteruan. Wabah pes telah menyebar ke seluruh Italia pada waktu itu, dan ketika Bernardo Mancini terinfeksi, dia akhirnya menghapus perseteruan dengan keluarga Chiqui.

Setelah konflik diselesaikan, Rita diizinkan masuk biara pada usia tiga puluh enam tahun. Dikatakan bahwa dia diangkut ke biara Santo Magdalena melalui pengangkatan pada malam hari oleh tiga santo pelindung yang dia undang.
Selama di biara, Rita menjalankan tugasnya dengan setia dan sering menerima sakramen. Rita memiliki pengabdian yang besar pada Sengsara Kristus, dan suatu hari, ketika dia berusia enam puluh tahun, dia bertanya, "Tolong biarkan aku menderita sepertimu, Juru Selamat Ilahi."

Setelah permintaannya, luka muncul di dahinya, seolah-olah duri dari mahkota Kristus telah menusuknya. Itu meninggalkan luka yang dalam, yang tidak sembuh-sembuh, dan itu menyebabkan dia menderita sampai hari dia meninggal.

Dikatakan bahwa saat dia mendekati akhir hidupnya, Rita terbaring di tempat tidur karena TBC. Saat itulah dia meminta seorang sepupu yang datang berkunjung untuk mengambil mawar dari taman di rumah lamanya. Karena saat itu bulan Januari, sepupunya tidak berharap akan menemukan bunga mawar, tetapi ternyata memang ada satu bunga mawar yang sedang mekar, yang kemudian dibawa kembali ke Rita di biara.

Dia meninggal empat bulan kemudian, pada 22 Mei 1457.

Setelah kematiannya, dia dimakamkan di basilika Cascia, dan kemudian ditemukan tidak rusak. Tubuhnya dapat ditemukan hari ini di kuil Saint Rita di Cascia.

Rita dibeatifikasi oleh Paus Urbanus VIII pada 1627 dan dikanonisasi oleh Paus Leo XII pada 24 Mei 1900.

Saint Rita sering digambarkan dalam kebiasaan hitam, yang secara historis tidak akurat karena seragam biarawati di Biara Saint Magdalena adalah warna krem ​​atau cokelat. Dia juga sering ditampilkan memegang duri, Salib besar, atau daun palem dengan tiga duri untuk mewakili suami dan dua putranya. Dalam beberapa gambar, Saint Rita terlihat memiliki luka di dahinya, memegang bunga mawar, atau dikelilingi lebah.



Doa untuk Santa kasus-kasus Mustahil

O St. Rita yang luar biasa, pembuat mukjizat, dari tempat kudus-Mu di Cascia, di mana dalam segala keindahanmu engkau tidur dalam damai, di mana relikmu menghembuskan nafas surga, arahkan mata belas kasihmu kepadaku yang menderita dan menangis!

Engkau melihat hatiku yang malang yang berdarah dikelilingi oleh duri-duri. Engkau melihat, O Orang Suci yang terkasih, bahwa mataku tidak memiliki air mata lagi untuk ditumpahkan, begitu banyak aku menangis! Lelah dan putus asa seperti saya, saya merasakan doa yang sangat sekarat di bibir saya.

Haruskah saya putus asa dalam krisis hidup saya ini? O datang, St. Rita, datanglah untuk membantu saya dan membantu saya. Bukankah engkau disebut Orang Suci dari Kemustahilan, Pembela mereka yang putus asa? Maka hormatilah nama-Mu, berikan untukku dari Allah perkenanan yang aku minta.

[Di sini minta bantuan yang ingin Anda dapatkan.]

Semua orang memuji keagungan-Mu, semua orang menceritakan mujizat paling menakjubkan yang dilakukan melalui-Mu, haruskah aku sendiri kecewa karena Engkau tidak mendengarku? Ah tidak! Berdoalah kemudian doakan aku kepada Tuhanmu Yesus yang manis agar Dia tergerak untuk kasihan dengan masalahku dan agar, melaluimu, O St. Rita yang baik, aku dapat memperoleh apa yang sangat diinginkan hatiku.



Diterjemahkan dari https://www.catholic.org/saints/saint.php?saint_id=205

Read More
Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin

St. Anthony the Abbot (Santo Anthony Kepala Biara)

Anthony berseru, "Tuhan, di mana Engkau saat aku membutuhkanmu?" Tuhan menjawab, "Aku di sini. Aku melihat perjuanganmu. Karena kamu tidak menyerah, aku akan tinggal bersamamu dan melindungimu selamanya."

Hari Santo Anthony dirayakan pada tanggal 17 Januari.

Ketika orang tuanya meninggal, Anthony baru berusia sekitar delapan belas atau dua puluh tahun. Dia mewarisi tiga ratus hektar tanah mereka dan tanggung jawab untuk seorang adik perempuan. Suatu hari di gereja, dia mendengar bacaan Matius 19:21: "Jika kamu ingin menjadi sempurna, pergilah, jual hartamu, dan berikan uangnya kepada orang miskin, dan kamu akan memiliki harta di surga; maka ikutlah Aku." Tidak puas untuk duduk diam dan merenungkan dan merenungkan kata-kata Yesus dia berjalan keluar pintu gereja segera dan memberikan semua harta miliknya kecuali apa yang dia dan saudara perempuannya butuhkan untuk hidup.
Mendengar Matius 6:34, "Jadi jangan khawatir tentang hari esok, karena besok akan membawa kekhawatirannya sendiri. Masalah hari ini sudah cukup untuk hari ini," dia memberikan segalanya, menitipkan saudara perempuannya ke biara, dan pergi ke luar desa. untuk menjalani kehidupan berdoa, puasa, dan kerja kasar. Tidak cukup hanya mendengarkan kata-kata, dia harus menjadi apa yang Yesus katakan.

Setiap kali dia mendengar tentang orang suci, dia akan melakukan perjalanan untuk melihat orang itu. Tapi dia tidak mencari kata-kata bijak, dia mencari untuk menjadi. Jadi jika dia mengagumi keteguhan seseorang dalam doa atau kesopanan atau kesabaran, dia akan menirunya. Kemudian dia akan kembali ke rumah.

Anthony melanjutkan dengan memberi tahu para filsuf Yunani bahwa argumen mereka tidak akan pernah sekuat iman. Dia menunjukkan bahwa semua retorika, semua argumen, tidak peduli seberapa kompleks, seberapa kuat, diciptakan oleh manusia. Tapi iman diciptakan oleh Tuhan. Jika mereka ingin mengikuti cita-cita terbesar, mereka harus mengikuti keyakinan mereka.

Anthony tahu betapa sulitnya ini. Sepanjang hidupnya ia berdebat dan benar-benar bergulat dengan iblis. Godaan pertamanya untuk meninggalkan kehidupan pertapaannya adalah argumen yang akan sulit kami tolak -- kecemasan tentang saudara perempuannya, kerinduan akan kerabatnya, pemikiran tentang bagaimana dia dapat menggunakan hartanya untuk tujuan yang baik, keinginan akan kekuasaan dan uang. Ketika Anthony mampu melawannya, iblis kemudian mencoba sanjungan, memberi tahu Anthony betapa kuatnya Anthony untuk mengalahkannya. Antonius mengandalkan nama Yesus untuk membebaskan dirinya dari iblis. Itu bukan yang terakhir kalinya. Suatu kali, pertarungannya dengan iblis membuatnya dipukuli, teman-temannya mengira dia sudah mati dan membawanya ke gereja. Anthony sulit menerima ini. Setelah satu perjuangan yang sulit, dia melihat seberkas cahaya muncul di makam yang dia tinggali. Mengetahui bahwa itu adalah Tuhan, Anthony berseru, "Di mana kamu saat aku membutuhkanmu?" Tuhan menjawab, "Aku di sini. Aku melihat perjuanganmu. Karena kamu tidak menyerah, aku akan tinggal bersamamu dan melindungimu selamanya."

Dengan jaminan dan persetujuan dari Tuhan semacam itu, banyak orang akan menetap, puas dengan tempat mereka berada. Tetapi reaksi Anthony adalah bangkit dan mencari tantangan berikutnya -- pindah ke padang gurun.

Antonius selalu mengatakan kepada orang-orang yang datang mengunjunginya bahwa kunci kehidupan pertapaan adalah ketekunan, bukan untuk berpikir dengan bangga, "Kami telah menjalani kehidupan pertapaan untuk waktu yang lama" tetapi memperlakukan setiap hari seolah-olah itu adalah awal. Bagi banyak orang, ketekunan berarti tidak menyerah, bertahan di sana. Tetapi bagi Anthony, ketekunan berarti bangun setiap hari dengan semangat yang sama seperti hari pertama. Tidaklah cukup bahwa dia telah menyerahkan semua hartanya suatu hari nanti. Apa yang akan dia lakukan keesokan harinya?

Begitu dia selamat di dekat kota, dia pindah ke makam sedikit lebih jauh. Setelah itu dia pindah ke padang pasir. Tidak ada yang pernah menerjang gurun sebelumnya. Dia tinggal disegel di sebuah ruangan selama dua puluh tahun, sementara teman-temannya menyediakan roti. Orang-orang datang untuk berbicara dengannya, untuk disembuhkan olehnya, tetapi dia menolak untuk keluar. Akhirnya mereka mendobrak pintu. Anthony muncul, tidak marah, tapi tenang. Beberapa yang berbicara dengannya disembuhkan secara fisik, banyak yang dihibur oleh kata-katanya, dan yang lain tetap tinggal untuk belajar darinya. Mereka yang tetap tinggal membentuk apa yang kita anggap sebagai komunitas monastik pertama, meskipun tidak seperti yang kita pikirkan tentang kehidupan religius saat ini. Semua biarawan hidup terpisah, berkumpul hanya untuk beribadah dan mendengar Anthony berbicara.

Tapi setelah beberapa saat, terlalu banyak orang yang datang untuk mencari Anthony. Dia menjadi takut bahwa dia akan menjadi terlalu sombong atau orang-orang akan menyembah dia alih-alih Tuhan. Jadi dia pergi di tengah malam, berpikir untuk pergi ke bagian lain dari Mesir di mana dia tidak dikenal. Kemudian dia mendengar suara yang memberitahunya bahwa satu-satunya cara untuk menyendiri adalah pergi ke padang pasir. Dia menemukan beberapa Saracen yang membawanya jauh ke padang pasir ke oasis gunung. Mereka memberinya makan sampai teman-temannya menemukannya lagi.

Anthony meninggal ketika dia berusia seratus lima tahun. Kehidupan yang menyendiri, berpuasa, dan bekerja kasar dalam pelayanan Tuhan telah membuatnya menjadi pria yang sehat dan kuat sampai akhir hayatnya. Dan dia tidak pernah berhenti menantang dirinya sendiri untuk melangkah lebih jauh dalam imannya.

Sumber: https://www.catholic.org/saints

Read More
Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin

Santa Agnes - Perawan dan martir

Setiap kali seorang pria ingin menikahi Agnes, dia akan selalu berkata, "Yesus Kristus adalah satu-satunya Mempelaiku."

St. Agnes dari Roma lahir pada tahun 291 M dan dibesarkan dalam keluarga Kristen. Agnes sangat cantik dan berasal dari keluarga kaya. Tangannya dalam pernikahan sangat didambakan banyak pria, dan dia memiliki banyak pria berpangkat tinggi yang mengejarnya. Namun, Agnes berjanji kepada Tuhan untuk tidak pernah menodai kesuciannya. Kasihnya kepada Tuhan sangat besar dan dia membenci dosa bahkan lebih dari kematian!

Santa Pelindung Anak-anak Maria

Setiap kali seorang pria ingin menikahi Agnes, dia akan selalu berkata, "Yesus Kristus adalah satu-satunya Mempelaiku."

Menurut legenda, para pemuda yang ditolaknya menjadi sangat marah dan terhina oleh pengabdiannya kepada Tuhan dan kemurniannya sehingga mereka mulai menyerahkan namanya kepada pihak berwenang sebagai pengikut Kristen.

Dalam satu kejadian, Procop, putra Gubernur, menjadi sangat marah ketika dia menolaknya. Dia mencoba memenangkannya untuk istrinya dengan hadiah dan janji yang kaya, tetapi gadis muda yang cantik itu terus berkata, "Saya sudah dijanjikan kepada Tuhan Semesta Alam. Dia lebih indah dari matahari dan bintang-bintang, dan Dia telah mengatakan Dia tidak akan pernah meninggalkanku!"

Dalam kemarahan besar, Procop menuduhnya sebagai seorang Kristen dan membawanya ke ayahnya, Gubernur. Gubernur menjanjikan Agnes hadiah yang luar biasa jika dia mau menyangkal Tuhan, tetapi Agnes menolak. Dia mencoba mengubah pikirannya dengan mengikatnya, tetapi wajahnya yang cantik bersinar dengan sukacita.

Selanjutnya dia mengirimnya ke tempat dosa, tetapi seorang Malaikat melindunginya. Akhirnya, dia dihukum mati. Bahkan orang-orang kafir menangis melihat gadis yang begitu muda dan cantik akan mati. Meski demikian, Agnes tak kalah bahagia layaknya pengantin di hari pernikahannya. Dia tidak memperhatikan mereka yang memohon padanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri. "Saya akan menyinggung Pasangan saya," katanya, "jika saya mencoba menyenangkan Anda. Dia memilih saya terlebih dahulu dan Dia akan memiliki saya!" Kemudian dia berdoa dan menundukkan kepalanya untuk menerima pukulan maut dari pedang.

Catatan lain tentang kehidupan Agnes membuat Prefek Sempronius bertanggung jawab atas kemartirannya. Dikatakan dia mengutuk gadis muda itu untuk diarak di jalan-jalan dengan telanjang. Beberapa versi legenda menyebutkan bahwa rambut Agnes langsung tumbuh menutupi seluruh tubuhnya dan semua pria yang mencoba memperkosa gadis cantik itu langsung dibutakan.

Cerita selanjutnya menjelaskan bahwa pria lain memimpin persidangan Agnes setelah Sempronius minta diri. Pria baru itu memvonis Agnes dengan hukuman mati. Awalnya, Agnes diikat ke sebuah tiang, tapi entah kayunya tidak mau terbakar atau apinya menjauh darinya. Hal ini mendorong seorang petugas untuk menghunus pedangnya dan memenggal kepala gadis itu. Diyakini bahwa darahnya, yang mengalir ke stadion, direndam dengan kain oleh orang-orang Kristen.

Dia meninggal sebagai martir perawan pada usia 12 atau 13 pada 21 Januari 304.

Agnes dimakamkan di samping Via Nomentana di Roma. Tulang-tulangnya saat ini disimpan di bawah altar tinggi di gereja Sant'Angese fuori le mura di Roma, yang dibangun di atas katakombe yang menampung makamnya. Tengkoraknya diawetkan di gereja Sant'Agnese di Agone di Piazza Navona Roma.

Pada tahun 1858, Pastor Caspar Rehrl, seorang misionaris Austria mendirikan Kongregasi Suster St. Agnes.

St Agnes secara luas dikenal sebagai santo pelindung gadis-gadis muda. Dia juga santo pelindung kesucian, korban pemerkosaan dan Anak-Anak Maria. Dia sering diwakili dengan anak domba, simbol kepolosan perawan, dan cabang palem, seperti martir lainnya. Dia ditampilkan sebagai seorang gadis muda berjubah memegang cabang pohon palem dengan domba baik di kakinya atau di lengannya.

Hari rayanya dirayakan pada tanggal 21 Januari. Pada hari rayanya, merupakan kebiasaan untuk membawa dua ekor domba untuk diberkati oleh paus. Pada Kamis Putih, bulu domba dilepas dan ditenun menjadi pallium yang diberikan paus kepada seorang uskup agung yang baru ditahbiskan sebagai tanda kekuasaan dan persatuannya dengan paus.

Tuhan yang mahakuasa dan kekal, Engkau memilih yang lemah di dunia ini untuk mengacaukan yang kuat. Saat kami merayakan ulang tahun kemartiran St.Agnes, semoga kami seperti dia tetap teguh dalam iman.

Amin.

Sumber: https://www.catholic.org/saints

Read More
Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin

St. John the Cross: “God speaks in the Night”

Through his life, writing and teaching, St. John the Cross repeatedly declared that God’s Love is meant for all mankind and our life is a continuous love story with God who inviting us for a deeper Union with Him.

(Summarized & Rewritten by Yanli S. Guerzon)

Feast Day: December 14.

Poet, Monk and Saint

Origin:
St. John the Cross was born as Juan de Yepes y Álvarez in 1542, in the city of Fontiveros, Spain. He was born on June 24 which is the feast day of Saint John of the Baptist. The city of Fontiveros is about 30 miles from the city of Avila.

St. John’s father - Gonzalo de Yepes - is from an affluent family of rich silk merchants. Gonzalo left his family’s wealth to marry Catalina Alvarez, a poor weaver beneath his social class.

Shortly after their marriage, Spain was experiencing a calamity where the country was attacked by the plague of locusts. Spain as a country went to bankruptcy, leaving starving farmers and villagers to poverty. Therefore, John and his two brothers - Francisco and Luis - were born into poverty. His father’s death was followed by Luis who died from malnutrition. His mother tried to ask help from his father’s family but she was dismissed cruelly by her in-laws.


Religious Life
:
John learned his basic education of reading and writing through vocational school for the orphans. During his adolescence years, he left the orphanage school and went to live in the Hospital of the Conception where he devoted his times to the victims of the plague and venereal diseases. Afterwards, as an exchange of his nursing services, he was allowed to attend the local Jesuit college. John who was naturally intelligent studied Latin, Greek, rhetoric, Spanish classics and religion. Instead of choosing to be promoted as the hospital Chaplain, he chosen to be growing in love for solitude. As a result, he then decided to enter the religious Order of Carmelite. He took the religious name of Fray Juan De Santo Matía. He was sent by the Carmelites order to study at the University of Salamanca, the finest European university at the time.


Friendship with St. Teresa of Avila:
Toward the end of his religious study, he almost decided to entering the Carthusian monastery where he thought he can practiced his life of solitude. When he finally became ordained into a Carmelite priest and did his first Mass in Medina del Campo, he met Teresa of Avila.

Attempting to leads her nuns back to the original rules of the order, community life, fasting, silence, poverty, and prayer, Teresa founded a renewed monasteries for the Order Carmelite of Discalced (OCD). Discalced means “without shoes” or “barefoot”. To balance their daily living, Teresa incorporated period of recreation into the rule so that the nuns have more time to pray, talk, work and rest.

When Teresa of Avila met John, she knew she has founded a leader to started the OCD community for men who in search of solitude living. While John considered Teresa as his mentor for she is 27 years of his senior, Teresa recognized John as her spiritual director. Finally accompanied by another friar, John started the new discalced men community at Duruelo, outskirts of Avila. He took a new religious name as Juan de la Cruz, or John the Cross in English. The rest was history. More and more young men started joining John in his new reformed Carmelite order.


Transfiguration in Toledo:
The reformed that was originally supported by some leaders in the Carmelite Order became a source of disagreement and anger amongst some of the friars. The devil works through the human’s jealousy and created tension among the Carmelites. After a brief meeting, they decided and condemned the reform movement; thus, John was identified as a rebel within the Carmelites.
John was then arrested by his own Carmelite brothers and was imprisoned in Toledo at the height of cold winter on December 2, 1577. He was flogged, starved and told to forsake his rebellious commitment and to return to the old style of primitive living rules of the Carmelite.

God speaks to John in the nights, he was transfigured in Toledo. The endurance of nine months of sufferings transformed John into his dark nights. Then, at his stark of emptiness, images flowed from the depths of his soul. He poured all of these into his poetic masterpiece, “The Dark Night of the Soul”, and “The Spiritual Canticle.” He encountered God’s separation and yet His Divine Love from a distance. Through God’s mercy and John’s perseverance, he was able to escape and hid in one of the OCD nuns convent in Toledo. The poems he wrote during his imprisonment became the Spanish Poet masterpiece. John of the Cross was truly a mystic, poet, theologian and a master of spiritual direction.


John the Cross Spirituality
The followings are the central themes of John teachings:

“On Fire with Love”, passion for God’s Love. A willingness response to overwhelming the presence of Divine love in our life.

“Compassion for the Poor & the Sick”, his earlier service in hospital for caring for the poor and sick people has made him a person with compassionate heart Christlike.

Sensitivity to Spiritual needs”, John felt that people were best served through a gentle direction that drew everyone to love God.

“Detachment”, in order to love God’s completely, ones need to detach his or her life from all earthly things. This purification will leads the dark night of the senses and eventually the dark night of the soul.

“ Humility”, being humble is the key of all spiritual enrichment.

“Trust in God”, the need of trusting God’s Providence completely.

“Love of Solitude”, Being in solitude will nourish one’s spiritual strength and intimacy with God.

Devotion to Mary”, Marian Consecration is a need for getting into eternal life.

John the Cross lived a full life, and finally at the age of 49, he died on December 14, 1591 in Ubeda. He was declared as a saint in 1726 and later on, St. John the Cross was proclaimed as a Doctor of the Church by Pope Pius XI. Through his life, writing and teaching, St. John the Cross repeatedly declared that God’s Love is meant for all mankind and our life is a continuous love story with God who inviting us for a deeper Union with Him.



Read More
Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin

Apakah Arti Seorang ‘Paus’ Dalam Hidup Seorang Katolik

Apakah arti seorang ‘Paus’ dalam hidup seorang Katolik?

Menjadi Katolik serasa hanya sebuah identitas saja sampai saat Roh Kudus ‘menjamah’ hati ku. Secara hirarki dalam gereja Katolik, aku mengerti siapa Paus itu. Lebih dari itu…… aku tidak tertarik, mungkin juga aku tidak perduli.

Tapi saat Roh Kudus ‘bekerja’, banyak hal hal ke-Katolik-an yang sebelumnya tidak pernah ‘nyambung’ baik ke pemikiran maupun ke hati, menjadi terasa berarti untuk pertumbuhan iman, mungkin ini yang sering kita sebut sebagai pencerahan dari Roh Kudus. Salah satu pencerahan yang aku alami adalah sedikit pengertian tentang arti seorang Paus, sedikitnya untuk hidup ke imananku. Aku katakan sedikit karena aku percaya Roh Kudus memberikan pencerahan ‘secukupnya’ sesuai dengan keterbatasanku dan kemampuanku saat itu.

Dimulai dari seorang kawan baik di gereja yang sering aku kunjungi meminjamkan aku DVD tentang hidup Paus Yohanes Paul II. Aku tidak ingat bilamana tepat nya, namun ini terjadi setelah Paus meninggal ditahun 2005 dan sebelum kanonikasi menjadi Santo. Kawan lain memberikanku sebuah buku tentang beliau pula.
Dengan banyaknya pembicaraan tentang beliau baik berupa artikel, video, berita di televisi, dan juga buku, rasa ingin tahu tentang beliau menjadi tinggi. Dengan keterbatasan waktu, aku memutuskan untuk menonton DVD daripada membaca buku. Ternyata DVD ini menceritakan bagian hidup beliau sebelum menjadi Paus. Entah apa, yang pasti setelah menonton DVD ini, aku menjadi sangat menghormati beliau. Mungkin karena kesusahan, tantangan dan perjuangan hidup yang di alami beliau. Di keluarga, beliau adalah anak bungsu dari tiga saudara. Kakak perempuan tertua meninggal saat masih bayi. Ibunya meninggal saat beliau berumur 9. Kakak lelaki nya meninggal 3 tahun setelah itu.

Menjadikan sebagian besar kehidupan beliau di jalankan bersama ayahnya, seorang Katolik yang beriman kuat. Ayahnyalah yang memberikan peran penting dalam hidup beliau yang menjadikan beliau sangat mencintai Tuhan Yesus dan setia menjalani iman kehidupannya. Ayah beliau meninggal saat beliau berumur 21.
Tantangan lainnya, beliau hidup saat penjajahan Nazi (komunis) di Polandia. Panggilan untuk menjadi romo menjadi sebuah tantangan berat dalam situasi politik saat itu, termasuk penderitaan beliau karena di curigai dan di mata-matai. Saat menonton DVD itu, aku merasakan tantangan-tantangan lain yang dialami beliau saat seminari, menjadi romo, uskup, cardinal dan akhirnya menjadi Paus ke 263 tahun 1978, saat beliau umur 58. DVD berakhir disini.

Selain membuat aku menghormati beliau, aku belum merasakan pencerahan lain nya yang menyentuh imanku. Aku tidak tahu ternyata ada DVD ke 2, yang menceritakan kehidupan beliau sejak menjadi Paus sampai beliau meninggal.
Karena tidak tahu, akupun tidak mencari. Rupanya Roh Kudus belum selesai ‘bekerja’ dalam hal ini. Tidak terencana, seorang kawan lain menyewa DVD ke 2 dan mengajak aku untuk menonton bersama.

Aku hanya berkata, aku sudah menonton DVD tersebut, tetapi tidak keberatan untuk menemani dia dan menonton untuk kedua kalinya. Baru kemudian aku sadari, DVD ini menceritakan kelanjutan hidup Paus Yohanes Paulus II. Kesan dan arti ‘Paus’ menjadi sangat mendalam dalam pikiran dan hatiku. Sekali lagi, dengan keterbatasanku, aku menyadari betapa berat tugas seorang Paus. Setiap saat beliau harus siap untuk ‘berperang’ melawan musuh-musuhnya. Perlahan dan secara damai beliau mengusir komunis dari Eropa Timur. Tanggung jawab. Mata dunia selalu tertuju oleh tindakan dan kata-kata beliau. Konsekrasi Russia. Di tembak. Mengampuni penembak. ‘Divine Mercy Sunday’ dan ‘the Year of Mercy’ tahun 2000. Membuka dialog antara umat Yahudi dan Muslim. Banyak lagi…..

Beliau menjadi Paus terlama, 27 tahun, sampai beliau meninggal di usia 85 tahun, di hari ‘Divine Mercy Sunday’ tahun 2005. Beliau adalah Santo Pelindung Hari Pemuda Sedunia (Patron of World Youth Day).

Aku tidak ingat apakah aku menangis saat beliau meninggal (2005), yang pasti banyak air mata terurai saat menonton DVD ke 2 ini.

‘Tak kenal maka tak sayang’
Buah-buah pencerahan; Rasa hormatku yang dalam untuk beliau; mengenali cinta beliau untuk manusia dan kemanusiaan, cinta beliau untuk anak muda (World Youth Day), cinta beliau untuk bunda Maria dan Tuhan Yesus (Totus Tuus), keberanian beliau menyatakan ajaran Gereja kepada dunia, kesetiaan dan kekuatan iman beliau pada Tuhan Yesus.

Aku melihat dengan nyata bahwa Tuhan selalu bersama beliau dalam situasi apapun karena kesetiaan dan ketaatan beliau kepada Tuhan sampai beliau dipanggil olehNya. Pada akhirnya, ini adalah tantangan iman untuk kita semua; mampukah kita memanggul salibNya dan menjalani hidup kita sesuai kehendakNya dengan taat dan setia sampai kita dipanggil olehNya?

Santo Yohanes Paulus II, doakanlah kami…..

Ditulis untuk memperingati ‘the feast of St John Paul II’ pada tanggal Oktober 22.

With deep respect,

Metanoia

Historical source: https://www.jp2shrine.org/en/about/jp2bio.html

Read More
Apa dan Siapa WKICU Admin Apa dan Siapa WKICU Admin

Is it Okay to Celebrate Halloween as Catholics?

Halloween, etymology speaking, means All Hallow’s Eve or the Eve of all Saints Day which falls on October 31st every year. In Catholic Church around the world, All Saints Day falls on November 1st every year is a Holy Day of Obligation, per Pope George III in the eight century, where all believers need to attend a mass either on the day or on the eve of the day. The priests usually have special message in their homily on this day to remind us the importance of All Saints Day.  

Halloween (Samhain) in Ireland

Halloween (Samhain) in Ireland

When children and adult alike wear costumes and asking for candies on Halloween, it is not part of the Catholic Church teaching. Rather, it is a cultural celebration and is an English language countries phenomenon. Though, one needs to remember that the initial inspiration did come from the All-Saints Day. The origin of the cultural phenomenon started with the Ancient Celtic festival of Samhain, where people light bonfires and wear costumes to ward off ghosts. Overtime, Halloween evolved into a day of activities like trick-or-treating, carving jack-o-lanterns, festive gatherings, and eating treats.

Jimmy Akin, an internationally known author and speaker at Catholic Answers radio program, stated that scary customs, kids asking for candies are not inartistically wrong. As a matter of fact, scary customs can be a sense of empowerment as it is an exclamation of there is no need to be scary over the customs, etc. Most importantly, Akin said, the Catholic Church does not against anyone to celebrate Halloween since it is entirely up to each individual parent on how they view what is appropriate and what is inappropriate way to celebrate this day.

 Sources:

 “Catholic Answers: Jimmy Akin – Is it ok to let your children celebrate Halloween? Website: https://www.youtube.com/watch?v=gUfQMfyZ8JM

 “Halloween: Origins, Meaning & Traditions.” History.com

Read More
Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin

Simon Soekarno: Pengabdian dan Pelayanan adalah Salib yang dipanggulnya.

 Oleh Agem Rahardjo

 

 

konjen.jpg

Siapa mengira Warga Katolik Indonesia California Utara, WKICU bakal ketambahan umat yang menjabat sebagai Consul General of the  Republic of Indonesia?

Dalam suatu kata sambutan misa Natal WKICU tahun 2019, di depan ratusan umat yang hadir di gereja St. Justin, Santa Clara saya mengatakan bahwa kita telah diberkati dengan kehadiran umat baru di tengah-tengah kita yang menjabat sebagai Konsul Jenderal. Di hadapan beliau, istri dan kedua anak lelakinya yang duduk di deretan depan saya mengatakan dengan jelas bahwa siapapun, orang Indonesia yang beragama Katolik dan tinggal di Bay area adalah umat WKICU.

Bapak Konjen, istri beserta kedua anak lelakinya tersenyum serba salah. Para tante melirik cengar-cengir kearah keluarga konsulat itu.

“Yang membuat peraturan ini bukan saya loh, Pak. Ini sudah ada dalam AD/ART WKICU,” kata saya dengan serius saat itu. “Bapak tidak bisa menolak... sayapun tidak punya pilihan,” sambung saya lagi disusul tawa membahana umat yang hadir.

***

Untuk terbitan ebulletin kita kali ini, dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia ke 76 yang kita rayakan tanggal 17 Agustus nanti, kami mengundang Pak Simon Soekarno wawancara melalui zoom. Kami ingin mengaitkan antara jabatan beliau sebagai  seorang Konsul Jenderal Republik Indonesia, seseorang yang besar dalam didikan keluarga Katolik dan bagaimana tantangan tugasnya melayani dan menjalin ikatan kebangsaan orang-orang Indonesia di Amerika.

Sebelum menuliskan hasil bincang-bincang ini, ada satu kesan mendalam yang ingin saya sampaikan. Pertama kali bertemu dengan Pak Simon, beliau pernah menyodorkan kartu namanya kepada saya dan mengatakan bahwa jangan sungkan untuk menghubungi beliau jika ada keperluan. Waktu itu saya hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih atas tawaran itu. Tidak terpikir untuk menelpon langsung Bapak Konsul Jenderal Republik Indonesia jika ada keperluan pribadi atau keperluan WKICU lainnya. Saya merasa lebih nyaman menghubungi pegawai konsulat yang ada, begitu kira-kira pikiran saya. Sampai suatu ketika ada salah satu umat WKICU yang meninggal dunia dan pihak keluarganya berencana meminta jenazahnya dibawa pulang karena ingin dimakamkan di Indonesia, atau paling tidak berharap bisa membawa abu jenazahnya saja. Kelabakan juga mendapat kabar ini. Bagaimana mengurusnya? Hanya satu yang terpikir untuk menanyakan soal itu….saya segera meraih telpon genggam untuk mencari nomor telpon KJRI SF lewat mbah google, dan entah mengapa tiba-tiba saja teringat dengan tawaran Pak Simon agar segera menelponnya jika ada sesuatu yang penting dan perlu dibantu. Saya ambil kartu nama yang terselip di dompet, memasukkan nama dan nomor telpon beliau ke telpon genggam saya. Sambil menimbang-nimbang dengan perasaan sungkan akhirnya saya memutuskan menghubungi beliau langsung. Saat itu kebetulan hari kerja dan menjelang makan siang. Karena tidak ingin mengganggu, maka saya putuskan mengirim pesan saja. Pesannya pun singkat, hanya berisi maksud keperluan serta menanyakan kapan waktu terbaik untuk bisa bicara lewat telpon.

Tak lama kemudian telpon genggam saya berdering. Muncul sebuah tulisan di layar

——-Simon Soekarno Konjen SF, memanggil…——-

Hari itu, melalui telpon beliau membantu saya dengan penjelasan rinci, kemudian memberikan beberapa nomor telpon orang-orang yang dapat dihubungi untuk segala urusan keperluan itu. Yang mengejutkan, belum sempat saya menelpon orang-orang itu, mereka telah lebih dulu menelpon saya, menanyakan masalah dan menawarkan bantuannya. Rupanya setelah bicara di telpon dengan saya, Pak Simon langsung menghubungi dan menyarankan orang-orang tadi untuk segera menghubungi saya. Bagi beliau ini soal penting dan saya perlu segera dibantu.

Begitulah Pak Simon melayani masyarakat Indonesia yang butuh bantuannya. Cepat tanggap dan sangat peduli. Beliau akan memberikan seluruh kemampuan dan bala bantuan yang ada untuk berjalan bersama kita sampai segalanya selesai tuntas. Masih banyak lagi pengalaman saya sehubungan dengan bantuan yang diberikan oleh Pak Simon. Sayangnya, halaman ebulletin kita ini membatasi saya untuk menulis panjang lebar.

Simon Djatwoko Irwantoro Soekarno SH. MA, yang disingkat Simon Soekarno dan akrab disapa Pak Simon sudah menjabat Konsul Jenderal Republik Indonesia untuk San Francisco sejak 1 Maret, 2019. Lulusan University of Kent (Canterburry, England) dan Universitas Atma Jaya, Jakarta yang  telah didaulat sebagai umat WKICU ini juga pernah menjabat sebagai Konsul Jenderal Republik Indonesia untuk Los Angeles (September 2017 sampai Februari 2019).  Lahir dari keluarga diplomat beragama Katolik yang selalu berpindah dari satu negara ke negara lain, dan melihat bagaimana sang Ayah,  Among Soekarno, melayani masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri dengan semangat dan bekerja sepenuh hati memuluskan hubungan diplomatik antar Indonesia dengan negara tempat beliau bertugas telah membekaskan kenangan yang membulatkan tekad Simon Soekarno kecil untuk mengikuti jejak sang Ayah, meskipun sang Ayah sendiri tidak menghendaki dirinya menjadi seorang diplomat oleh karena kakak laki-lakinya yang tertua dan yang ketiga sudah lebih dulu menjadi diplomat.

Sang Ibu, Sri Hartati Soekarno selalu setia mendampingi suami dan keluarga. Beliau adalah sosok Ibu yang sangat penting dalam memberikan teladan kepada anak-anaknya. Terutama tentang nilai-nilai hidup. Simon Soekarno, anak ke enam dari tujuh bersaudara ini menjadi lebih paham arti kata “melayani” dari sang Ibu.

Konjenfamily.jpg

Ebulletin: Sebagai seorang Katolik, Bagaimana Pak Simon melihat peran bapak sebagai abdi Negara?

“Kalau boleh dibilang, saya mendapat banyak pengaruh dari kedua orangtua saya terutama dari Ibu saya. Beliau selalu mengatakan, jika memberikan pelayanan dan membantu kepada seseorang tidak boleh melihat pamrih. Jangan karena mengharapkan sesuatu. Melayani dan membantu orang itu harus rela sepenuh hati. Tuhan Yesus datang ke dunia ini adalah sebagai pelayan, bukan untuk dilayani. Dan sesungguhnya tugas seorang diplomat dan perwakilannya seperti saya ini adalah pelayan masyarakat yang harus mau melayani,” jelasnya dengan mantab.

Ebulletin: Bagaimana keyakinan itu juga menumbuhkan rasa cinta terhadap Negara?

“Seperti apa yang Ibu saya pesankan kepada saya, jika melayani sesama harus dengan sepenuh hati, tanpa pamrih. Menurut saya, kita tidak akan mampu melayani dengan sepenuh hati tanpa mencintai. Sebagai abdi negara sudah seharusnya saya mencintai bangsa kita. Begitu juga seharusnya dengan orang Indonesia yang berada di sini. Cintailah bangsa kita dengan sepenuh hati, yang berarti mencintai tanpa pamrih juga tentunya” jelasnya dengan wajah berbinar.

Ebulletin: Apa pendapat Bapak mengenai orang Indonesia yang saat ini berada di Amerika, yang barangkali keberadaan mereka di sini karena mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan yang pernah terjadi di Indonesia?

  “Kita tidak bisa merubah atau melupakan apa yang terjadi, namun kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut dan melangkah kedepan untuk membuat perbaikan-perbaikan. Namun saya melihat juga bahwa banyak sekali yang datang ke Amerika ini untuk sekolah dan untuk bekerja, yang intinya untuk membantu keluarga mereka di Indonesia dan juga untuk mendapatkan kesempatan hidup lebih baik, bekerja lebih baik, dan lain-lain. Saya tidak pernah meragukan rasa cinta tanah air kepada teman-teman orang Indonesia di sini, sekalipun mereka sudah menjadi warga negara Amerika. Darah daging mereka masih kental sekali merah putihnya. Kenyataannya bahwa Indonesia memang adalah tempat lahir mereka, negara mereka dan sanak keluarga mereka masih ada di Indonesia,” jawab beliau yakin.

“Kejadian atau peristiwa yang tidak menyenangkan seperti katakanlah peristiwa tahun 1998, yang banyak dialami oleh teman-teman di sini, telah menimbulkan semacam perasaan yang susah mereka lupakan. Kita semua bertanya mengapa kok bisa begitu? Peristiwa dan kejadian itu membuat kita semua susah dan mengalami ketakutan. Pada saat kejadian itu saya berada di Indonesia, dan istri saya sedang melahirkan anak pertama saya di sebuah rumah sakit di Jakarta. Saya mendengar kabar bahwa ada serombongan orang datang ke arah rumah sakit dan mereka merusak segala sesuatu yang dilewati. Saya sangat khawatir sekali dan memutuskan untuk membawa pulang istri dan anak saya meskipun dokter menyarankan anak saya untuk tinggal karena keadaannya yang masih kuning (trombosit tinggi), perlu perawatan. Saya memaksa dan akhirnya harus menandatangani beberapa perjanjian dimana rumah sakit dan dokter menyatakan tidak akan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa karena saya bersikeras membawa pulang anak saya. Waktu itu saya harus mengambil keputusan dan harus menanggung sendiri akibat jika terjadi apa-apa terhadap anak saya. Di situlah saya mengerti sekali bagaimana perasaan mereka, karena saya juga mengalaminya” kenang Pak Simon.

***

Konsul Jenderal yang selain menguasai bahasa Inggris juga fasih berbahasa Jerman dan Spanyol ini kemudian menjelaskan panjang lebar mengenai tugas dan wewenang diplomat serta perwakilannya di luar negri. Tugas utamanya itu adalah membina hubungan baik antar negara. Oleh karena pengembangan hubungan dagang yang perlu mendapat banyak perhatian maka dibutuhkan satu perwakilan Konsulat Jenderal di luar Kedutaan Besar yang ada di Ibu Kota. Alasan lain adalah karena banyaknya warga negara yang perlu dijaga, yang perlu diperhatikan dan layani. Beliau juga menekankan tentang salah satu pasal penting politik luar negri Indonesia yang isinya; Perlindungan terhadap warga negara, yang dalam undang-undang dinyatakan bahwa negara wajib melakukan perlindungan dan pelayanan kepada warga negara Indonesia yang berada di luar negri.

“Terlepas mereka itu sudah menjadi warga negara asing, sudah punya ijin tinggal (green card) atau bahkan yang berada di suatu negara tanpa surat-surat resmi. Kita wajib melindungi mereka semua tanpa terkecuali. Kita tidak melihat status keberadaan mereka di sini. Itu bukan urusan kita. Tugas kita hanya melindungi dan melayani. Banyak warga dan orang Indonesia yang kurang mengerti. Mereka takut berhubungan dengan KJRI karena status mereka, misalnya.”

  “Saya ingin semua warga di sini mengerti dan tidak ingin KJRI itu kelihatan angker. Orang-orang tidak mau datang atau enggan berhubungan dengan KJRI. Saya ingin meyakinkan kepada warga bahwa KJRI itu rumah masyarakat Indonesia di sini. Itu rumah mereka, pintu selalu terbuka. Saya juga menghimbau kepada rekan-rekan kerja di KJRI untuk selalu membantu memberikan pelayanan terbaik kepada mereka. Jika permintaan bantuan itu diluar kemampuan tugas kami, kita akan mencoba mencarikan jalan,” lanjut Pak Simon.

Ebulletin: Sehubungan dengan menanamkan rasa cinta dan akar kebangsaan kepada warga Indonesia di Amerika ini apa yang telah dilakukan KJRI?

“Kepada teman-teman yang mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dan membuat mereka takut atas kejadian-kejadian di Indonesia. Kita memang tidak bisa melupakan atau merubah apa yang pernah terjadi. Marilah kita bersama-sama melihat kedepan dan mendukung apa yang sudah dilakukan pemerintah, dalam hal ini adalah langkah-langkah perbaikan menata masa depan bangsa. Pemerintah kita berjuang keras untuk membuat keadaan menjadi lebih baik, dan kita perlu mendukung usaha baik itu. Pelayanan akan kami maksimalkan dengan merangkul dan mendukung sebanyak mungkin segala kegiatan, baik itu kelompok agama maupun kelompok masyarakat. Kami juga telah membangun Ikatan Diaspora Indonesia yang diharapkan mampu menyambung ikatan kebangsaan itu,” ujarnya.

***

Lahir di Jakarta pada tanggal 28 Oktober, 1966 dan sejak kecil sudah mengikuti orangtuanya bertugas di luar negri. Simon Soekarno memiliki kedekatan tersendiri dengan sang Ibu, Sri Hartati Soekarno. Beliau adalah orang yang selalu hadir merawat dan membimbing anak-anaknya di saat sang ayah bertugas. Nasihat dan petuah-petuah tentang hidup yang diajarkan beliau tertanam kuat di hati Simon Soekarno hingga saat ini. Suami dari Anastasia Eveline Anggraini ini juga begitu yakin bahwa sang Ibu sangat mendukung jalan hidupnya menjadi seorang diplomat.

“Penugasan awal sangat berat bagi saya, itu sekitar tahun 1997. Waktu itu bulan Desember. Saya ditugaskan ke Chile, Santiago. Sebelum saya berangkat, Ibu saya masuk rumah sakit dan dalam keadaan koma karena cancer. Bingung dan berat sekali rasanya meninggalkan beliau. Saya pasrah dan berdoa kepada Tuhan untuk memberikan yang terbaik….entah bagaimana Ibu saya kemudian sadar dan sehat kembali. Seperti tidak terjadi apa-apa, beliau kemudian memanggil saya dan mengatakan; Kamu berangkat. Jangan menunda….melihat Ibu sudah sehat, yah saya berangkat. Baru dua hari sampai di Chile saya mendapat telpon yang mengabarkan Ibu saya koma lagi dan saya disarankan untuk segera pulang. Belum ada seminggu saya di Chile dan waktu itu menjelang Natal,” kisah Pak Simon.

Ayah dari Jason Alexander Pratama Soekarno dan Diego Dwiputranto Soekarno kemudian menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan kisahnya.

“Tuhan itu baik sekali …dari Santiago, Chile yang sangat jauh perjalanannya, kira-kira sekitar dua hari tempuh, dan saat itu juga menjelang Natal, saya dikasih jalan dengan gampang sekali mendapat tiket pesawat dan saya mendapatkan upgrade. Saya segera pulang ke Jakarta dan langsung menuju rumah sakit. Begitu sampai ruang perawatan Ibu saya yang sedang terbaring koma, saya pegang kaki Ibu dan bilang; saya sudah datang…,”suara pak Simon tiba-tiba bergetar. Kenangan terakhirnya bersama sang Ibu di ruang ICU rumah sakit itu tak urung membuat obrolan kami terhenti sejenak.

“Saya pegang kaki Ibu sambil mengatakan; Ibu, saya sudah datang... selesai saya mengatakan itu… denyut jantung pada alat perekam detak jantung Ibu langsung garis lurus… Rupanya, Ibu menunggu saya datang sebelum beliau pergi untuk selamanya,” lanjut Pak Simon sambil tak kuasa menahan air matanya.

“Itulah mengapa penugasan pertama saya menjadi sangat berat. Tetapi sekaligus juga saya merasakan sekali penyertaan Tuhan di dalam hidup saya,” katanya dengan suara masih bergetar haru.

 

***

Sebelum mengakhiri wawancara, Pak Konjen Simon menyampaikan bahwa mengingat KJRI tidak mungkin bisa menjangkau seluruh masyarakat atau diaspora Indonesia yang berada di delapan (8) negara bagian yang dilayani KJRI San Francisco diantaranya, Alaska, Northern California, Northen Nevada, Idaho, Montana, Oregon, Washington, dan Wyoming. Maka dengan sangat Pak Simon mengharapkan agar masyarakat Indonesia bisa mem-follow media sosial KJRI San Francisco ( Facebook, Instagram dan Twitter), karena melalui sarana media sosial tersebut, KJRI menyebarkan imbauan-imbauan dan penjelasan berita terkini, dimana saat ini keadaan di Amerika dan khususnya di Indonesia sedang menghadapi pandemi covid-19 serta juga meningkatnya Asian Hate Crime yang terjadi di Amerika Serikat.

** Photo: kumpulan photo pribadi Simon Soekarno.

 

Read More
Apa dan Siapa WKICU Admin Apa dan Siapa WKICU Admin

Sang Legenda Telah Pergi

Selamat jalan kepada sang legenda…

sanglegenda.jpg

Ditulis oleh Agem

Penggagas dan pendiri komunitas kita tercinta telah pergi. Tak sempat meninggalkan pesan apapun. Seperti juga sinar mentari yang muncul di pagi pertama. Seperti hujan yang tercurah membasahi tanah penuh bunga dan pohon-pohon…..semua dapat seketika saja berlalu, pergi terganti gelapnya malam atau terbawa oleh angin tanpa kita sadari.


Dr. Hok Kan Lim, penggagas dan pendiri WKICU yang ramah, baik hati dan murah senyum telah pergi meninggalkan kita semua. Sosok yang akrab kita panggil Om Hok Kan ini adalah orang yang akan selalu menjadi buah bibir. Keberhasilannya menyatukan umat Katolik Indonesia di Bay Area telah menggoreskan sesuatu yang sangat menyentuh hati, sesuatu yang memiliki kesan mendalam. Waktu memang dapat berlalu begitu saja dengan cepat tetapi sesuatu yang memiliki kesan mendalam selalu menimbulkan kenangan tak terlupa sepanjang masa. Om Hok Kan telah meninggalkan harta waris paling berharga, sebuah legacy bersejarah….. Ini sekaligus adalah sebuah monument jati diri beliau yang akan selalu hidup dalam komunitas WKICU, dan juga di hati setiap umat yang bernaung di dalamnya.

hokkan_1corinthians2-9.jpg


Dr. Hok Kan Lim telah berpulang ke rumah Bapa di Surga pada hari Minggu tanggal 20 Juni 2021. Pukul 11:15 malam beliau menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang dan damai di rumah sakit. Tak ada kata duka cita yang mampu meng-ekspresikan perasaan kita semua….hanya doa dan permohonan kepada Allah maha pengampun agar jiwa beliau diterima dan ditempatkan dalam kerajaanNya.

Mengenal Om Hok Kan adalah berkat bagi kita semua. Tanpa beliau mungkin kita semua tidak dapat berkumpul menghadiri misa Indonesia yang dipimpin romo Indonesia, dan belum tentu juga bisa menikmati makanan Indonesia sambil bercengkerama setiap selesai misa. Sebagai pendiri dan pelopor terbentuknya Warga Katolik Indonesia, WKICU, kita juga mendengar tentang peran serta beliau dan istrinya, tante Grace yang dengan perjuangan keras membangun dan menumbuhkan organisasi ini (tante Grace sempat turun tangan sebagai ketua WKICU selama 2 periode, 1997-2001) . Juga karena keseriusan dan kecintaan terhadap WKICU, setelah kematian tante Grace istri tercintanya itu beliau memberikan sejumlah dana tunai ke dalam kas WKICU sebagai pendorong kegiatan. Dengan kata lain, Om Hok Kan ini benar-benar seorang pendiri yang sangat perduli dan memahami betul bahwa untuk menjaga komunitas dapat terus tumbuh besar selain melalui persaudaraan, kita juga perlu dukungan dana sebagai pemantik yang jitu untuk menyalakan api.

Dr. Hok Kan Lim adalah sosok panutan yang tidak bisa diabaikan dalam setiap langkah dan pengambilan keputusan oleh para pengurus WKICU. Sosoknya sederhana, ramah dan selalu perhatian terhadap perkembangan dan kegiatan komunitas. Bersemangat sekali jika diajak membicarakan masa depan WKICU. Pandangan dan pendapat beliau dalam mengarahkan penyelesaian selalu bijaksana….juga sangat generous jika menyangkut soal keuangan. Dan satu hal lagi yang kita semua tahu bahwa di masa tuanya pun beliau masih menyempatkan diri menjadi photographer dan pengumpul dokumentasi yang handal. Banyak dari kita yang selalu diberikan cuma-cuma cetakan photo lengkap dengan kartu ucapan dan buku kalender….photo-photo yang penuh kenangan!


Itulah Om Hok Kan yang kita kenal, yang juga adalah seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Meraih Master of Science dan pernah mengajar sebagai asisten dosen di fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Lahir di Banjarmasin, 23 November, 1934 dan besar di Samarinda, Kalimantan.

family.jpg


Beliau pindah ke Amerika tahun 1966 dan melanjutkan sekolah kedokterannya di UC Berkeley dengan meraih gelar PhD (1967-1970). Kemudian lanjut mengambil gelar MD dari University Of California San Francisco (UCSF) untuk bidang Comparative Pathology. Pathology/Parasitology (1974-1976). Selama tiga belas tahun bekerja di tempatnya bersekolah, UCSF sebagai Associate Research Parasitologist (1966 - 1979), dan enam belas tahun bekerja di rumah sakit sebagai Chief, Pathology Service (1982 - 1998).
Dr. Hok Kan Lim adalah seorang tokoh besar tidak hanya bagi kita umat WKICU. Profesinya sebagai dokter dan aktifnya dalam setiap acara kumpul-kumpul orang Indonesia menjadikan dirinya juga tokoh panutan bagi masyarakat Indonesia di California, khususnya Bay area.

Sang legenda itu telah pergi meninggalkan kita semua….kepergian yang membawa duka sekaligus juga menyentak kesadaran kita, menantang diri kita untuk terus melanjutkan karya dan impian para pendiri WKICU. Pertanyaan besarnya adalah, maukah kita merelakan sedikit waktu dan tenaga kita untuk ikut menjaga dan membangun mimpi beliau? jika WKICU adalah kumpulan orang-orang beriman dalam Yesus, seharusnya menjadi jelas bahwa tugas menjaga dan menumbuhkan itu merupakan panggilan bagi kita semua. Rela mengorbankan waktu, pikiran dan tenaga dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus adalah sebuah tindakan nyata ikut memanggul salib….seperti apa yang Om Hok Kan harapkan setelah kepergiannya, begitu juga yang Tuhan Yesus inginkan dari kematianNya.

**Photo-photo: kumpulan photo pribadi Hok Kan Lim.


beautifuljourney.jpg
Read More
Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin

Hanafi Daud - Pewarta Tangguh Yang Penuh Kasih

Selamat jalan Om Hanafi……doakan kami dari rumah Allah untuk kami yang masih mengembara di dunia ini.

PHOTO-2021-04-24-10-15-31.jpg

Ditulis oleh Agem Rahardjo

Tanah Amerika sudah tak asing lagi bagi Hanafi Daud sejak tahun 1981, tahun saat beliau mulai mempercayakan pendidikan kedua anak lelakinya, Andika dan Nafira di San Francisco State University (SFSU). Keberadaan kedua buah hatinya yang bersekolah inilah yang membuat Hanafi Daud, yang akrab dengan panggilan Om Hanafi sering berkunjung sebelum akhirnya pada tahun 1993 beliau dan istrinya, Bertha Wulandari memutuskan untuk benar-benar hijrah dan menetap di San Francisco, Bay Area.

Lahir dengan nama asli Liem Swan Han pada tanggal 14 Desember 1933 di Cirebon, Jawa Barat. Masa itu Belanda masih menguasai Indonesia, dan tentu saja beliau juga merasakan masa remaja peralihan penjajah dari bangsa Belanda ke bangsa Jepang di tahun 1942-1945. Hanafi Daud adalah saksi sejarah Perang Dunia ke dua (WWII) dan saksi sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Beliau memiliki sejarahnya sendiri di masa itu. Dengan semangat tinggi, kecintaan dan keyakinan luar biasa hidupnya terisi dengan bakti dan perjuangan gigih membantu tanah air melalui gerakan “bawah tanah” bersama teman-teman pewarta. Bermodalkan pena dan mesin ketik beliau menyemangati rakyat dan pejuang kemerdekaan dengan tulisan serta berita melalui koran dan pemberitaan yang dibentuk bersama teman seperjuangan….dan inilah yang mengawali karirnya sebagai wartawan Indonesia hingga hijrahnya ke Amerika.


Saya termasuk salah satu orang yang beruntung telah mengenal Om Hanafi Daud. Pertemuan pertama yang membuat saya merasa benar-benar mengenal Om Hanafi terjadi ketika menghadiri pertemuan sebuah kelompok kecil yang semua anggotanya para orang-orang tua (senior), Persatuan Senior Indonesia (PSI). Saya memang sebelumnya telah mengenal beliau di setiap misa minggu ke tiga, Union City. Pembawaannya kalem, pandangannya tajam dan wajahnya selalu terlihat serius. Sungguh kaku bagi orang seperti saya yang memang tidak pernah serius. Tetapi, di acara itu Om Hanafi yang saya kenal menjadi sosok lain. Pembawaanya yang kalem seketika berubah menjadi periang dan sangat bersahabat, penuh canda dan tawa. Pandangannya yang tajam menyelidik berubah menjadi tatapan teduh penuh perhatian, dan keseriusannya tenggelam bersama celetukan canda dan lelucon yang keluar dari mulutnya…….membuat saya tertawa terbahak-bahak.


Dalam pertemuan itu beliau memandu acara dengan saling berbagi pengetahuan mengenai segala sesuatu, termasuk kisah sejarah Indonesia. Dari pemaparannya itu saya mendapat banyak sekali pengetahuan sejarah yang tidak pernah saya dapat dari pelajaran sekolah. Di acara itu beliau bersama Pak Rawi (almarhum), salah satu pendiri yang saat itu juga merangkap ketua PSI tampil bergantian. Kedua orang itu bagi saya adalah pelopor yang memberi “nilai dan jiwa” ke dalam perkumpulan para senior itu. Saya seperti mendapat pencerahan ketika mendengarkan sejarah yang sebenarnya dari sang pelaku sejarah itu sendiri. Mendengarkan cerita dan kisah yang lengkap dengan data, photo dan bukti-bukti asli mengenai apa yang terjadi dan bagaimana sepak terjang beliau pada masa itu menimbulkan kedekatan tersendiri bagi saya, seperti menghubungi kisah-kisah sejarah sesungguhnya yang sering ayah saya ceritakan. Ayah saya lahir tahun 1929 di Surabaya dan memutuskan bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di usianya yang sangat muda (10 tahun), dan lama setelah itu TKR diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mendapat pelajaran sejarah perjuangan kemerdekaan dari ayah saya seolah mendapat lentera pengusir kegelapan dan kesesatan sejarah yang saya dapat dari sekolah melalui buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia keluaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Seperti juga kisah sejarah yang diceritakan Om Hanafi saat itu. Kisah sejarah dan perjuangan mereka memiliki ruangnya sendiri, amat nyata dan menuju pada satu pintu keluar yang mengarah ke tujuan yang sama. Perjuangan yang berawal dari rasa cinta kepada tanah air dan semangat merebut kemerdekaan mengusir penjajah.


Sejak pertemuan itu saya merasa sangat dekat dengan Om Hanafi. Beliau selalu menyapa saya dengan ramah dan sesekali melontarkan canda khasnya ketika bertemu. Dari para sesepuh WKICU saya mendengar kabar bahwa Om Hanafi ini pendukung yang setia. Pernah menjadi ketua WKICU yang ke-empat untuk periode 2001-2003 dan beliau selalu terlibat dalam mengasuh, membesarkan dan memberi arahan setelah itu. Banyak pemikirannya yang melengkapi landasan dasar dan panduan pembentukan aturan bagi Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) WKICU. Kemampuan dan pengalamannya sebagai wartawan disalurkan lewat pembuatan bulletin, menjadi photographer dadakan, juga sekaligus pengumpul arsip dan peristiwa penting perjalanan WKICU. Begitu rapih dan teliti…..tak heran ketika WKICU merayakan perayaan 25 tahun berdirinya, Om Hanafi adalah satu-satunya orang yang tepat untuk merangkai perjalanan itu menjadi sebuah buku. Tanpa kerja keras, kemampuan dan kesetiaan Om Hanafi, sejarah perjalanan komunitas kita tidak akan terbukukan dengan baik.


Kecintaannya pada dunia kewartawanan dan tulis-menulis telah berakar. Tak heran jika beliau mampu menyelesaikan buku memoar yang ditulis dalam bahasa Inggris setebal 132 halaman, Hanafi Daud, My Mosaic: Indonesia 1933-1993 and USA 1993-today……. Sebuah buku perjalanan hidup lengkap yang ditulis dengan kesadaran dan rasa syukur akan berkat rahmat Tuhan dalam hidupnya yang membentuk kematangan pribadi dan ke-taatannya sebagai seorang Katolik yang ingat akan asal-usulnya.

I feel lucky to live in Indonesia for some sixty years. It had given me a wealth of life experiences. I feel lucky to have been a part of the Indonesian Revolution and experienced the fervor of a nation fighting to free itself from Dutch colonization. I feel lucky to live in a transition period in the history of human life, moving from an older era before WWII to fast growing technology era that is changing the world and the way we live in.”


Tahun 2020 di bulan Mei, Om Hanafi mengundang saya bergabung lewat Aneka Ria, group whatsapp yang dibentuk olehnya. Saya adalah anggota termuda di sana dan saya sangat senang Om Hanafi mengundang bergabung dan membolehkan saya untuk nimbrung bercanda bersama. Obrolan kelompok itu dipenuhi kiriman video, saling mengirim kartu bergambar dengan ucapan selamat pagi atau malam yang indah…tak ketinggalan satu yang saya tunggu-tunggu dan selalu menghibur hari-hari saya, yaitu cerita-cerita humor segar yang beliau kirim. Group ini amat unik dan berbeda dari group lain yang saya miliki.

Rabu jam 8 pagi, tanggal 21 April 2021 handphone saya berdenyut tanda sebuah pesan masuk. Saya melihat Om Hanafi Daud mengirim berita ke dalam group. Saya melirik sepintas sebelum melihat isi pesan itu. Pesan pagi itu bukan berisi photo dan bukan humor segar yang biasa beliau kirimkan……di pesan itu tertulis, “This is Nafira, Bertha and Hanafi’s Daud son. Dad just passed away about a couple hours ago….”

Isi kepala saya yang dipenuhi oleh rencana-rencana untuk hari itu lenyap seketika. Suasana tiba-tiba menjadi sunyi dan kosong. Tertegun membaca berulang-ulang pesan itu sebelum akhirnya membalas dan meminta jawaban yang meyakinkan atas berita itu. Beliau meninggal dan kembali ke rumah Allah Bapa di surga dengan tenang dalam tidurnya, begitu keterangan lanjutan yang saya dapat. Masih tidak percaya, kabar duka itu pun segera saya teruskan kepada umat lain dengan iringan doa yang tak putus, dan di setiap kirimannya juga saya sertakan permohonan agar penerima pesan berdoa bersama mengiringi kepergian Om Hanafi yang kita semua cintai.


Bagi saya, Om Hanafi Daud adalah seorang sahabat, seorang guru, seorang panutan dan seperti juga ayah saya, Om Hanafi adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang berjasa. Beliau juga telah berbuat banyak untuk komunitas kita WKICU selama keberadaannya di Bay Area. Dan bagi kami team ebulletin, beliau adalah pengawas, penasihat dan pendukung tulisan yang sangat baik…..

Selamat jalan Om Hanafi……doakan kami dari rumah Allah untuk kami yang masih mengembara di dunia ini.

PHOTO-2021-04-24-10-26-21.jpg


In Memoriam

Hanafi Daud

December 14, 1933 – April 21, 2021





Read More
Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin

Mengenal Lebih Dekat St Bernadette dari Lourdes

Santa Bernadette dari Lourdes, c. 1858
Perawan, Bakti Religius

220px-Bernadette_soubirous_1_publicdomain.jpg

Terlahir : Bernadette Soubirous

Lahir
7 January 1844, Lourdes, Hautes-Pyrénées, Prancis

Meninggal
16 April 1879 (usia 35), Nevers, Nièvre, Prancis

Beatifikasi
14 June 1925, Rome, oleh Pope Pius XI

Kanonisasi
8 December 1933, Rome, oleh Paus Pius XI

Hari Raya / Pesta:
16 April

Patron
Berbagai Penyakit, Lourdes, Prancis, para gembala dan penggembala, melawan kemiskinan, orang-orang diejek karena iman mereka.


st-bernadette1.jpg


Bernadette Soubirous (7 Januari 1844 - 16 April 1879), (juga dikenal sebagai Santa Bernadette dari Lourdes, putri sulung Lourdes) terkenal karena mengalami penampakan dari seorang "wanita muda" yang meminta sebuah kapel untuk dibangun di dekat gua di Massabielle. Penampakan tersebut dikatakan telah terjadi antara 11 Februari dan 16 Juli 1858, dan wanita yang muncul di hadapannya mengidentifikasi dirinya sebagai "Dikandung Tanpa Noda".

Setelah penyelidikan kanonik, laporan Soubirous akhirnya dinyatakan "dapat dipercaya" pada tanggal 18 Februari 1862, dan penampakan Maria dikenal sebagai Our Lady of Lourdes. Sejak kematiannya, tubuh Soubirous tampaknya tetap tidak rusak secara internal. Kuil Maria di Lourdes kemudian menjadi situs ziarah utama, menarik lebih dari lima juta peziarah dari semua denominasi setiap tahun.

Pada 8 Desember 1933, Paus Pius XI, memproklamasikan Soubirous sebagai santa Gereja Katolik. Hari pestanya, yang awalnya ditetapkan 18 Februari (hari Maria berjanji untuk membuatnya bahagia, bukan dalam kehidupan ini, tetapi di masa depan) - sekarang dirayakan di sebagian besar tempat pada tanggal kematiannya, 16 April.


Tahap awal hidupnya
Marie Bernarde Soubirous adalah putri dari François Soubirous (1807–1871), seorang tukang giling, dan Louise (née Casteròt; 1825–1866), seorang binatu. Dia adalah anak tertua dari sembilan bersaudara — Bernadette, Jean (lahir dan meninggal tahun 1845), Toinette (1846–1892), Jean-Marie (1848–1851), Jean-Marie (1851–1919), Justin (1855–1865), Pierre (1859–1931), Jean (lahir dan meninggal tahun 1864), dan bayi bernama Louise yang meninggal segera setelah kelahirannya (1866).

Soubirous lahir pada 7 Januari 1844 dan dibaptis di gereja paroki setempat, St. Pierre's, pada 9 Januari, pada hari ulang tahun pernikahan orang tuanya. Ibu baptisnya adalah Bernarde Casterot, saudara perempuan ibunya, seorang janda cukup kaya yang memiliki kedai minuman. Masa-masa sulit menimpa Prancis dan keluarga itu hidup dalam kemiskinan ekstrem. Soubirous adalah anak yang sakit-sakitan dan mungkin karena ini tingginya hanya 1,4 m (4 ft. 7in.). Dia terjangkit kolera saat masih balita dan menderita asma parah selama sisa hidupnya. Soubirous menghadiri sekolah hari yang dipimpin oleh para Suster Cinta Kasih dan Instruksi Kristen dari Nevers. Berlawanan dengan kepercayaan yang dipopulerkan oleh film-film Hollywood, Soubirous sangat sedikit belajar bahasa Prancis, hanya belajar bahasa Prancis di sekolah setelah usia 13 tahun. Pada saat itu dia hanya dapat membaca dan menulis sangat sedikit karena dia sering sakit. Dia berbicara dalam bahasa Occitan, yang digunakan oleh penduduk lokal di wilayah Pyrenees pada waktu itu dan sampai tingkat yang tersisa sekarang (yang mirip dengan bahasa Catalan yang digunakan di Spanyol timur).

Pada saat kejadian di gua, status keuangan dan sosial keluarga Soubirous telah menurun ke titik di mana mereka tinggal di ruang bawah tanah satu kamar, yang sebelumnya digunakan sebagai penjara, yang disebut le cachot, "penjara bawah tanah", tempat mereka berada. ditampung secara gratis oleh sepupu ibunya, André Sajoux.

Pada 11 Februari 1858, Soubirous, yang saat itu berusia 14 tahun, sedang keluar untuk mengumpulkan kayu bakar bersama saudara perempuannya Toinette dan seorang teman di dekat gua Massabielle (Tuta de Massavielha) ketika dia mengalami penglihatan pertamanya. Sementara gadis-gadis lain menyeberangi sungai kecil di depan gua dan terus berjalan, Soubirous tetap di belakang, mencari tempat untuk menyeberang agar stokingnya tidak basah. Dia akhirnya duduk untuk melepas sepatunya untuk menyeberangi air dan menurunkan stockingnya ketika dia mendengar suara angin kencang, tetapi tidak ada yang bergerak. Namun, sekuntum mawar liar di ceruk alami di dalam gua benar-benar bergerak. Dari ceruk, atau lebih tepatnya ceruk gelap di belakangnya, "muncullah cahaya yang menyilaukan, dan sosok putih". Ini adalah yang pertama dari 18 penglihatan dari apa yang dia sebut sebagai aquero (diucapkan [aˈk (e) ɾɔ], Gascon Occitan) untuk "itu". Dalam kesaksian selanjutnya, dia menyebutnya "wanita muda kecil" (uo petito damizelo). Kakak perempuannya dan temannya menyatakan bahwa mereka tidak melihat apa-apa.

Pada tanggal 14 Februari, setelah Misa Minggu, Soubirous, bersama saudara perempuannya Marie dan beberapa gadis lainnya, kembali ke gua. Soubirous segera berlutut, mengatakan dia melihat penampakan itu lagi dan jatuh ke trans. Ketika salah satu gadis melemparkan air suci ke ceruk dan yang lain melemparkan batu dari atas yang pecah di tanah, penampakan itu menghilang. Pada kunjungan berikutnya, 18 Februari, Soubirous mengatakan bahwa "penglihatan" memintanya untuk kembali ke gua setiap hari selama dua minggu.

Periode penglihatan yang hampir setiap hari ini kemudian dikenal sebagai la Quinzaine sacrée, "dua minggu suci". Awalnya, orang tua Soubirous, terutama ibunya, merasa malu dan berusaha melarangnya pergi. Penampakan yang seharusnya tidak mengidentifikasi dirinya sampai penglihatan ketujuh belas. Meskipun penduduk kota yang percaya bahwa dia mengatakan yang sebenarnya mengira dia melihat Perawan Maria, Soubirous tidak pernah mengklaimnya sebagai Maria, secara konsisten menggunakan kata aquero. Dia menggambarkan wanita itu mengenakan kerudung putih, ikat pinggang biru dan dengan mawar kuning di setiap kakinya - cocok dengan "deskripsi patung Perawan di gereja desa".

Kisah Soubirous menimbulkan sensasi dengan penduduk kota, yang terbagi dalam pendapat mereka tentang apakah dia mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Beberapa percaya dia memiliki penyakit mental dan menuntut dia ditempatkan di rumah sakit jiwa.

Isi lain dari penglihatan yang dilaporkan Soubirous sederhana dan terfokus pada perlunya doa dan penebusan dosa. Pada tanggal 25 Februari dia menjelaskan bahwa penglihatan itu menyuruhnya "untuk meminum air dari mata air itu, untuk membasuhnya dan memakan ramuan yang tumbuh di sana," sebagai tindakan penebusan dosa. Yang mengejutkan semua orang, keesokan harinya gua tidak lagi berlumpur tetapi air jernih mengalir. Pada tanggal 2 Maret, pada tanggal tiga belas dari dugaan penampakan, Soubirous memberi tahu keluarganya bahwa wanita itu berkata bahwa "sebuah kapel harus dibangun dan prosesi dibentuk".

Penglihatan ke-16 Soubirous yang diklaim, yang dia nyatakan berlangsung selama lebih dari satu jam, adalah pada 25 Maret. Menurut keterangannya, selama kunjungan itu, dia kembali menanyakan nama wanita itu tetapi wanita itu hanya balas tersenyum. Dia mengulangi pertanyaan itu tiga kali lagi dan akhirnya mendengar wanita itu berkata, dalam Gascon Occitan, "Aku adalah Pembuahan Tak Bernoda" (Qué soï era immaculado councepcioũ, transkripsi fonetik dari konsepsi immaculada era Que soi).

Beberapa orang yang mewawancarai Soubirous setelah wahyu penglihatannya menganggapnya berpikiran sederhana. Namun, meskipun diwawancarai secara ketat oleh pejabat Gereja Katolik dan pemerintah Prancis, dia tetap konsisten pada ceritanya.

Setelah penyelidikan, otoritas Gereja Katolik mengkonfirmasi keaslian penampakan tersebut pada tahun 1862. Dalam 150 tahun sejak Soubirous menggali musim semi, 69 obat telah diverifikasi oleh Biro Medis Lourdes sebagai "tidak dapat dijelaskan" - setelah apa yang diklaim Gereja Katolik sebagai "pemeriksaan ilmiah dan medis yang sangat ketat" yang gagal menemukan penjelasan yang lain. Komisi Lourdes yang memeriksa Bernadette setelah penglihatan melakukan analisis intensif pada air dan menemukan bahwa, meskipun memiliki kandungan mineral yang tinggi, tidak ada yang luar biasa yang dapat menjelaskan pengobatan yang dikaitkan dengannya. Bernadette berkata bahwa iman dan doalah yang menyembuhkan orang sakit: "Seseorang harus memiliki iman dan berdoa; air tidak akan memiliki kebajikan tanpa iman".

Permintaan Soubirous kepada pendeta setempat untuk membangun kapel di lokasi penglihatannya akhirnya memunculkan sejumlah kapel dan gereja di Lourdes. The Sanctuary of Our Lady of Lourdes sekarang menjadi salah satu situs ziarah Katolik utama di dunia. Salah satu gereja yang dibangun di situs tersebut, Basilika St. Pius X, dapat menampung 25.000 orang dan didedikasikan oleh calon Paus Yohanes XXIII ketika ia menjadi Paus Nuncio di Prancis. Hampir 5 juta peziarah dari seluruh dunia mengunjungi Lourdes (populasi sekitar 15.000) setiap tahun untuk berdoa dan minum air ajaib, percaya bahwa mereka memperoleh kesembuhan tubuh dan roh dari Tuhan.

Tanpa memperdulikan perhatian yang dia terima, Bernadette pergi ke rumah sakit sekolah yang dikelola oleh Sisters of Charity of Nevers tempat dia belajar membaca dan menulis. Meskipun dia mempertimbangkan untuk bergabung dengan Karmelit, kesehatannya yang menghalangi dia untuk memasuki salah satu perintah kontemplatif yang ketat. Pada tanggal 29 Juli 1866, bersama 42 calon lainnya, ia mengambil kebiasaan religius sebagai seorang postulan dan bergabung dengan Suster-suster Charity di rumah induk mereka di Nevers. Nyonya Para Muridnya adalah Suster Marie Therese Vauzou. Ibu Superior pada saat itu mengurus nama Marie-Bernarde untuk menghormati ibu baptisnya yang bernama "Bernarde". Seperti yang diamati Patricia A. McEachern, "Bernadette berbakti kepada Saint Bernard, santo pelindungnya; dia menyalin teks yang berkaitan dengannya di buku catatan dan secarik kertas. Pengalaman menjadi 'Suster Marie-Bernard' menandai titik balik bagi Bernadette dia karena menyadari lebih dari sebelumnya bahwa rahmat besar yang dia terima dari Ratu Surga membawa serta tanggung jawab yang besar. "

Soubirous menghabiskan sisa hidupnya yang singkat di rumah induk, bekerja sebagai asisten di rumah sakit dan kemudian sebagai sakristan, membuat sulaman yang indah untuk kain altar dan jubah. Orang-orang sezamannya mengagumi kerendahan hati dan semangat pengorbanannya. Suatu hari, ketika ditanya tentang penampakan itu, dia menjawab:

Perawan menggunakan saya sebagai sapu untuk menghilangkan debu. Setelah pekerjaan selesai, sapu di depan pintu lagi.

Soubirous telah mengikuti perkembangan Lourdes sebagai tempat ziarah saat dia masih tinggal di Lourdes tetapi tidak hadir untuk konsekrasi Basilika Maria Dikandung Tanpa Noda di sana pada tahun 1876.

Sayangnya, serangan kolera di masa kecil meninggalkan Bernadette dengan asma kronis yang parah, dan akhirnya dia terjangkit TBC paru-paru dan tulang". Selama beberapa bulan sebelum kematiannya, dia tidak dapat minum obat. bagian aktif dalam kehidupan biara. Dia akhirnya meninggal karena penyakit jangka panjangnya pada usia 35 pada tanggal 16 April 1879 (Rabu setelah Paskah), saat berdoa rosario suci. Di ranjang kematiannya, saat dia menderita sakit parah dan sesuai dengan petunjuk Perawan Maria tentang "Penance, Tobat, Tobat," Bernadette menyatakan bahwa "semua ini baik untuk Surga!" Kata-kata terakhirnya adalah, "Santa Maria, Bunda Allah, doakan aku, orang berdosa yang malang, orang berdosa yang malang". Tubuh Soubirous dimakamkan di Biara Saint Gildard.

 
Penggalian

Relic Santa Bernadette dan batu dari Grotto of Lourdes, tempat penampakan Bunda Maria dari Lourdes dikatakan telah muncul.

Uskup Gauthey dari Nevers dan Gereja Katolik menggali jenazah Soubirous pada tanggal 22 September 1909, di hadapan perwakilan yang ditunjuk oleh para postulator penyebabnya, dua dokter dan seorang suster dari komunitas tersebut. Mereka mengklaim bahwa meskipun salib di tangannya dan rosario telah teroksidasi, tubuhnya tampak tidak rusak - diawetkan dari pembusukan. Ini dikutip sebagai salah satu keajaiban untuk mendukung kanonisasinya. Mereka memandikan dan menyatukan kembali tubuhnya sebelum dimakamkan di peti mati ganda yang baru.

Gereja menggali jenazah untuk kedua kalinya pada 3 April 1919. Seorang dokter yang memeriksa jenazah mencatat, "Tubuh itu praktis menjadi mumi, ditutupi dengan bercak jamur dan lapisan garam yang cukup menonjol, yang tampaknya adalah garam kalsium. Kulit telah menghilang di beberapa tempat, tetapi masih ada di sebagian besar bagian tubuh. "

Peninggalan seluruh tubuh dari Bernadette Soubirous. Foto diambil pada penggalian terakhir (18 April 1925). Orang suci yang meninggal 46 tahun sebelum foto ini diambil; wajah dan tangan ditutupi dengan lapisan lilin.

Peninggalan seluruh tubuh dari Bernadette Soubirous. Foto diambil pada penggalian terakhir (18 April 1925). Orang suci yang meninggal 46 tahun sebelum foto ini diambil; wajah dan tangan ditutupi dengan lapisan lilin.

Pada tahun 1925, gereja menggali jenazah untuk ketiga kalinya. Mereka mengambil relik, yang dikirim ke Roma. Sebuah cetakan wajah yang tepat dibentuk sehingga firma Pierre Imans di Paris dapat membuat masker lilin berdasarkan cetakan tersebut dan pada beberapa foto asli untuk ditempatkan di tubuhnya. Ini adalah praktik umum untuk peninggalan di Prancis karena dikhawatirkan semburat kehitaman pada wajah dan mata serta hidung yang cekung akan dipandang sebagai korupsi oleh publik. Jejak tangan juga diambil untuk presentasi jenazah dan pembuatan cetakan lilin. Jenazahnya kemudian ditempatkan dalam relik emas dan kristal di Kapel Saint Bernadette di rumah induk di Nevers.

 

sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Bernadette_Soubirous

Read More
Apa dan Siapa WKICU Admin Apa dan Siapa WKICU Admin

Acara Apresiasi dan Farewell Virtual untuk Romo Hendri SJ.

Acara Apresiasi dan Farewell Virtual untuk Romo Hendri SJ.

WKICU mengadakan acara Apresiasi dan Farewell Virtual untuk Romo Stefanus Hendrianto, SJ yang akan bertugas mengajar di Gregoriana Pontifical University di Roma. Untuk melihat rekaman acara tersebut, umat bisa klik video di bawah ini atau klik link ini ke WKICU YouTube Channel.

Catatan: Jika mau melihat video rekaman dari G-Drive WKICU Events: click link ini.

Read More
Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin

Kisah Petualangan Seorang Anak Dari Tanah Dayak Mengejar Impian Amerika

Hanya satu hal yang penting : hubungan kita dengan Tuhan. Semoga kalian dan keluargamu dapat menghayati keberadaan Tuhan dalam hidupmu sehari-hari.

Kisah Petualangan Seorang Anak Dari Tanah Dayak

Mengejar Impian Amerika 

oleh Hok-Kan Lim 


Desember, 2020
Castro Valley, California USA 

Daftar Isi : 

1.Kata pengantar: Kisah Petualangan … 
2.Samarinda: 1934 – 1948 
3.Bandung 1: 1948 – 1954 
4.Jakarta, FKUI: 1954 – 1960
5.Bandung 2, FK-UNPAD: 1963 – 1966
6.San Francisco, UCSF: 1966 – 1972
7.Kuala Lumpur 1: 1972 – 1974
8.Pacifica: 1974 – 1980
9.Kuala Lumpur 2: 1977 – 1979 
10.Yountville, Veterans Home: 1982 – 1998
11.Castro Valley: 1998 - kini 
12.Meneropong kembali


1. Kata pengantar: Kisah petualangan seorang anak dari Tanah Dayak mengejar impian hidup layak di benua Amerika.
Ola kawan-kawan dan keluarga. Semoga cerita singkat ini menemukan kalian semua dalam keadaan sehat walafiat. Baru-baru ini saya jatuh sakit … dapat stroke ringan. Syukurlah dengan bantuan doa-doa kalian, serta berkat kemurahan hati YME, kesehatan saya berangsur-angsur pulih kembali. Saya sudah dapat mandi sendiri, dan bergerak dalam rumah dengan bantuan tongkat atau walker. Nafsu makan juga mulai kembali, dan fungsi badan lainnya baik. Selama di rumah sakit dan rebah dalam rumah sendiri, banyak kesempatan untuk meneropong sejarah hidup saya. Tuhan membolehkan saya 86 tahun lebih. Ada beberapa pelajaran yang ingin saya bagikan kepada kalian, Yang terpenting adalah : untuk menyadari akan keberadaan Tuhan dalam hidup sehari-hari. Perkenankan saya menguraikan lebih terperinci. 

IMG_6062_frame.JPG


2. Samarinda: 1934 - 48
 
80 tahun yang lalu, dalam ingatan saya, suatu hari saya rebah celentang dalam parit yang digali sekitar pinggiran sekolah... menonton beberapa pesawat tempur Dai Nippon menukik dan menghamburkan bom pada kota Samarinda. Inilah sebuah kota kecil di Kalimantan Timur. Tapi rupanya ada nilai strategis karena ada batu bara serta sumber listrik. Terdengar juga dentuman meriam di bukit sekitarnya, tanda perlawanan tentara Belanda. Tidak lama lagi pasukan darat Jepang memasuki kota. Sebagian besar penduduk kota mengungsi ke dalam hutan sekitarnya. Keluarga saya bergabung dengan beberapa keluarga lain; menyewa beberapa rumah bambu dari penduduk setempat. Kami belajar bercocok tanam dan beternak ayam dan kambing. Singkong adalah makanan utama. Pohonnya dipotong-potong sepanjang 10 cm, lalu dimasukkan dalam tanah. Tidak lama lagi akarnya dapat dimasak. Daun singkong juga enak, terutama daun mudanya. Dalam sungai di dekat perumahan banyak ikan. Anak-anak sungai mengandung air jernih. Dapat kita lihat pada dasarnya banyak udang dan ikan belut. Hampir tiap hari saya bermain dalam air: mendayung sampan, berenang, memancing, dan mandi di bawah air mancur. Malam hari rebah di lantai di atas rumput kering sambil menghitung bintang-bintang di langit. Paginya dibangunkan oleh kokokan ayam. Inilah salah satu masa terbaik bagi seorang anak kecil. Lebih-lebih lagi tidak adanya PR (Pekerjaan Rumah) dari sekolah. Setelah keamanan kembali dalam kota kami pulang kerumah masing-masing. Saya mulai lagi bermain dengan kawan-kawan sekampung: sepak bola, kasti, berenang. Saya masuk sekolah Jepang. Belajar kanji dan bernyanyi Kimigayo tiap pagi. Serta berteriak “ banzai, banzai, banzai “. Semua anak sekolah harus membantu menanam pohon jarak; bijinya menghasilkan minyak yang dapat membantu usaha perang sang saudara tua. Semua besi dan aluminum juga disita. Untunglah penjajahan Jepang tidak lama. Pasukan Sekutu tiba. Sekolah Belanda dibuka kembali. Sekarang namanya herstel school. Tiap 6 bulan naik kelas. Dan tibalah saat perpisahan.


3. Bandung 1: 1948 - 1954 
Di Samarinda tidak ada sekolah menengah. Jadi saya harus ke Jawa. Ayah menyertai saya ke Balikpapan dengan kapal laut. Dari situ saya terbang sendiri ke Jakarta, kemudian ke Bandung dimana saya akan tinggal dengan sepupu saya yang baru berkeluarga. Saya tinggal di Jalan Windu, dan bersekolah naik sepeda ke Jalan Bahureksa (Christelijke Middelbare School), diteruskan Di SMAK - Jalan Dago. Masa sekolah menengah di Bandung adalah salah satu periode mengesankan bagi saya. Dunia luas terbuka. Saya belajar tentang angka-angka, bintang serta alam, sejarah manusia dan tanah di dunia. Akan bahasa dan agama. Terutama akan persahabatan dan kegembiraan masa remaja. Teman-teman sekelas sangat ramah. Kami sering kumpul-kumpul omong kosong, nonton bioskop di daerah Alun-alun, mundar-mandir di jalan Braga (Bragaderen), nongkrong di pondok sate atau lotek Kalipah-apoh dan berenang serta piknik ramai-ramai. Jangan lupa tiap beberapa bulan sekali tunggang-langgang jatuh cinta monyet. Saya lihat hampir semua film Tarzan, Zorro, Gene Autry. Nyanyian yang saya gemari adalah: White Christmas, South of the Border, Always in my Heart, Beyond the Reef. Down in the Valley. Di Daerah Alun-alun banyak kios buku. Saya sering mampir untuk menculik membaca komik. Juga ada beberapa toko buku yang menyewakan buku-buku silat dekat restoran Queen. Jadi saya sering nongkrong di Queen. Juga berkenalan dengan Winnetou dan Count of Monte Cristo dan banyak cerita koboi. Demikianlah masa sekolah menengah berlalu cepat. Tiba pula waktu perpisahan. Sebelumnya kami sekelas telah mengumpulkan kenang-kenangan dalam sebuah naskah ‘ IIB memoirs 1953 ‘ yang memuat tulisan semua kawan sekelas. Saya pindah ke Jakarta FKUI ; banyak teman ke lain kota , atau bersekolah di ITB. 


4. Jakarta, FKUI : 1954-1960
 
Saya anak pertama keluarga kami yang bersekolah tinggi. Tidak ada tetua yang memberi petunjuk akan kehidupan mahasiswa. Maka saya terombang-ambing dalam kegaduhan hidup mahasiswa. Saya menjadi anggota PMKRI. St Bellarminus; juga giat dalam kepanduan Lo Pa Hong. Di Kongregasi Maria saya terpilih sebagai ketua, memimpin sekitar 250 kawan seiman. Dalam semua kegiatan ini saya berkenalan dengan seorang siswi fakultas psikologi. Sering bertemu pada rapat-rapat. Dia memacu scooter, sedang saya naik sepeda. Saya tawarkan untuk menjadi supirnya. Tidak tersangka saya lalu jadi supirnya seumur hidup. Sementara pelajaran di FKUI jadi terlantar. Di tahun 1957 saya dikeluarkan dari fakultas. Ini berhubung penggantian kurikulum. Biasanya kurikulum warisan Belanda adalah 7 tahun untuk menjadi dokter. Dengan petunjuk Universitas California San Francisco, kurikulum diubah menjadi 6 tahun. Tiap tahun harus naik tingkat. Tapi hanya ada tempat untuk 150 mahasiswa. Waktu itu tingkat I ada sekitar 800 siswa; jadi sekitar 650 dikeluarkan. Dan saya termasuk mayoritas Syukurlah dibuka arah pendidikan baru, untuk melatih pengajar-pengajar dalam bidang preklinik. Saya masuk jurusan parasitologi, di bawah pimpinan Prof. Lie Kian Joe, dan selesai sarjana tahun 1960. Lalu bekerja sebagai asisten di bagian parasitologi. Disinilah mulai pengalaman penyelidikan saya. Segala kesibukan dalam PMKRI dan Lo Pa Hong akhirnya membawa hasil baik : gadis idaman … Grace Khouw. Kami menikah 1962 di kapel sekolah Kanisius, jalan Menteng, dengan upacara dipimpin Romo W. Daniels, Bapak pengakuannya Grace. Kawan dari kepanduan membuat barisan kehormatan. Pesta resepsi di hotel Nirmala, dengan pemain piano ulung, Nick Mamahit serta bandnya untuk meriahkan. Kemudian kami tinggal di kampus FKUI, dalam rumah binatang yang berada di belakang kamar mayat. Gedung ini ada ceritanya sendiri. Waktu itu Prof mendapat grant dari US China Medical Board untuk mendirikan sebuah pusat penelitian parasitologi; pemerintah Indonesia membantu menyediakan gedung. Prof Lie membangun ruang kuliah dan laboratorium untuk 200 siswa; lalu fasilitas penelitian untuk asisten nya. Dibangun juga rumah binatang untuk hewan percobaan. Tapi gedung ini diubah menjadi 4 kamar dengan kamar mandi tersendiri, dapur bersama dan ruang tamu luas. Prof membolehkan asistennya tinggal di situ. Saya berdiam di situ 2 tahun; satu tahun sebelum menikah dan satu lagi bersama Grace. Ayke, anak pertama kami lahir di rumah sakit umum, di sebelah rumah. Saya berkenalan dengan anak sulung ini melalui rambutnya yang hitam menonjol perlahan-lahan. Lalu semuanya gelap …listrik mati. Rumah sakit perlu sedikit waktu untuk menghidupkan generator cadangan. Sementara itu sang bayi tidak sabar…ingin keluar. Maka dokternya minta saya pegang batteri (senter) waktu dia mengerjakan episiotomy. Selamat lahir Ayke. Ayke belajar merangkak di rumah itu. Lalu kami pindah ke jalan Buntu Tiangseng, di daerah kota, dimana kakak saya mempunyai rumah sederhana. Gaji saya kecil; Grace juga bekerja sebagai assisten Fakultas Psikologi. Jadi kami dapat 2 karung beras tiap bulannya. Tunjangan pemerintah. Tidaklah kelaparan. Tapi saya masih penasaran akan sekolah kedokteran. Maka saya menghadap Dekan FK UNPAD, Dr Hasan Sadikin. FK UNPAD baru dibuka dan memerlukan banyak pengajar. Saya menawarkan untuk membantu jurusan parasitologi, tapi setelah 2 tahun saya ingin diterima sebagai mahasiswa kedokteran. Dekan setuju dan tahun 1963 kami pindah ke Bandung. 



5. Bandung 2, FK-UNPAD: 1963 -1966 
Sebagai staf pengajar fakultas maka saya berhak untuk dapat perumahan. Sayangnya UNPAD tidak cukup perumahannya. Maka banyak staf pengajar tinggal di hotel termasuk makan. Tapi gaji ditahan sebagian besar, dan diberi uang saku (cukup untuk seminggu). Untunglah Grace juga bekerja di Fakultas Psikologi. Dia juga membuka klinik untuk anak-anak remaja . Lalu usaha membuat baju anak (konveksi) dengan seorang kawannya. Kami tinggal di hotel Jutimto dekat rumah sakit Borromeus. Robby lahir dirumah sakit itu. Raymond lahir di rumah bersalin Suster Liem di jalan Riau. Saya sibuk mengajar parasitologi. Kemudian menjadi siswa kedokteran. Setahun lagi saya akan selesai. Inikah rencana Yang Maha Esa? Saya menyadari kemampuan saya terbatas. Cita-cita dokter umum tidak serasi. Saya lihat banyak kawan yang bekerja keras mengumpulkan uang, bekerja di rumah sakit dan praktek di rumah. Saya tidak tertarik. Lebih cenderung ke jurusan penelitian ; seperti yang dicontohkan Prof. Lie. Tapi di Indonesia, untuk bekerja di bidang riset perlu biaya besar. Pemerintah RI belum berpikir ke arah itu. Di Eropa atau Amerika lebih banyak kemungkinan. Grace banyak membaca tentang Amerika. Maka kami memutuskan untuk hijrah keluar negeri. Kebetulan Amerika Serikat membuat undang-undang imigrasi baru di tahun 1965. Ditandatangani Presiden Johnson. Undang-undang baru itu membolehkan orang bukan berasal Eropa, untuk imigrasi ke Amerika. Maka kami mengajukan permohonan. Ini diterima tidak terlalu lama lagi. Tapi visa hanya dikeluarkan bila dapat memenuhi satu dari 3 syarat: 1. ada pekerjaan di Amerika, 2. adanya sponsor atau, 3. punya banyak dana sendiri. Kami tidak dapat memenuhi salah satu syarat itu. Harapan terbesar ialah adanya sponsor. Tapi dimana mendapatkannya? Tunggu terjadinya mujizat. Dan Tuhan memberkati kami dengan mukjizat. Kami telah pindah ke Jakarta; siap-siap untuk terbang keluar negeri. Sambil berdoa dan menunggu sponsor. Grace sedang membantu regu kepanduan di Sekolah Internasional. Disana dia bertemu beberapa orang biarawati Amerika dan menanyakan soal sponsor. Tapi mereka tidak dapat membantu. Tiba-tiba ada seorang ibu-ibu Amerika mendekati Grace. “Saya dengar kalian memerlukan sponsor? Bolehkah saya bantu”. Dia menelpon, lalu memberikan Grace sebuah alamat. “Segeralah menjumpai orang ini. Dia sering keluar kota, tapi hari ini ada dirumah”. Grace segera memacu scooternya ke Jalan Gunungsari. Ketemu seorang romo, Father Eugene Lynch dari ordo Montfort. Beliau ditugaskan mengepalai Catholic Charity di Jakarta. Father Lynch mendengarkan kisah Grace, lalu menelpon seorang temannya. “Datanglah ke kedutaan besar Amerika besok siang”. Maka saya dan Grace hadir di Jalan Merdeka Selatan. Tapi dimana Mr Vladimir Gold, yang katanya bersedia membantu. Father Lynch juga datang dan kami menanyakan bagian administrasi. “ Mr Gold sudah datang pagi-pagi dan sudah menanda-tangani semua surat-surat yang diperlukan. Staf kedutaan sekarang sedang mempersiapkan visa kalian”. Hari itu juga kami menerima visa. Sorenya saya ajak keluarga mengunjungi keluarga Gold di kebayoran Baru. Saya tanyakan mereka kenapa membantu kami yang tidak dikenalnya. Ternyata mereka imigran baru dari Hungary. Waktu baru tiba di Amerika banyak orang yang mebantu mereka; juga orang yang tidak dikenal. Inilah caranya untuk membayar kembali. Demikianlah kebaikan seseorang dapat menolong orang lain di kemudian hari. Satu persoalan lain ialah bagaimana membiayai hidup di Amerika nanti? Kami telah mengumpulkan dana untuk karcis kapal terbang dan uang hidup untuk setahun. Maka perlu cepat-cepat bekerja. Saya pelajari majalah-majalah kedokteran Amerika. Rupanya di bidang kesehatan masyarakat lebih banyak kemungkinan mendapatkan pekerjaan. Tapi syarat minimal adalah Master of Public Health. Maka saya melamar kebanyak sekolah public health. Saya diterima di Columbia University School of Public Health di New York City. Tapi saya tidak ingin datang di Amerika dengan visa siswa; nanti sukar mendapat ijin bekerja. Maka harapan tetap mendapatkan sponsor. Dengan memegang visa immigrant, maka saya menabahkan hati untuk melanjutkan petualangan ini. 


6. San Francisco, UCSF: 1966 – 1972
Imigrasi ke Amerika, 1966 - …… Saya tiba di San Francisco 4 Oktober 1966, dan menginap di tempat Prof Lie, lalu meneruskan ke New York City. Disana saya menumpang di apartemen seorang kawan. Waktu menghadap dekan Columbia University School of Public Health, beliau mengatakan kursus itu telah mulai beberapa minggu yang lalu. Tidak dapat disusul, maka diminta kembali semester berikutnya. Berarti nganggur 5 bulan. Lalu saya tilpon Prof Lie. Apakah dapat bekerja dalam lab beliau selama beberapa bulan. Kebetulan dalam grant riset Prof masih ada sedikit uang lebih. Maka saya diterima sebagai lab assistant. Tugas sangat mudah. Tiap hari membantu membersihkan laboratorium dengan beratus-ratus aquarium siput air, mengumpulkan tinja binatang-binatang percobaan. Tugas-tugas ini hanya untuk sementara. Tapi kenyataannya saya bekerja di laboratorium itu sampai 13 tahun lebih. Saya sewa apartemen dekat kampus UCSF, di Ninth Avenue. Dua kamar tidur dengan ruang tamu dan dapur. Jadi perumahan ini jauh lebih baik daripada perumahan kami di Bandung. Gaji saya hanya $ 300,- sebulan, sewa apartement $ 155,- Susu 19 sen satu carton. Roti dan beras sangat murah. Dengan hidup hemat Grace dapat menyisihkan $ 100,- sebulannya. Apartment kami 2 blok dari Golden Gate Park. Waktu weekend saya ajak anak-anak dan Grace ke park. Kami rebah di bawah pohon rindang dan membiarkan anak-anak berlarian mengejar capung dan kupu-kupu. Inikah impian yang dikejar? Mungkin selanjutnya saya akan jadi lab assistant tapi Tuhan punya rencana lain. Saya dapat kabar bahwa UCSF ada graduate program bergabung dengan UC Berkeley. di bidang comparative pathology. Saya diterima, syukurlah UCSF mengizinkan saya bekerja penuh sambil mengikuti kuliah di Berkeley dan San Francisco. Jam kerja saya lunasi dengan bekerja weekend dan malam hari. Kadang-kadang masih teringat waktu pulang dari lab pada tengah malam. Berhenti sebentar pada HSW tingkat 16, melihat kota dan Golden Gate Park dibawah. Dan saya yakin anak-anak aman dalam asuhan ibunya. Juga yang menolong adalah student loan. Di Tahun 1970 saya berhasil mempertahankan tesis saya di hadapan 5 professor dan stafnya. Dan sekarang nama saya masuk dalam grantnya Prof Lie. Pangkat menjadi Assistant Research Parasitologist, gaji juga naik. Inikah tujuan yang diharapkan? Lalu ada godaan lain: International Center for Medical Research and Training. Inilah program yang dimulai pemerintah John Kennedy, untuk memperkenalkan ilmuwan Amerika dengan keadaan ilmu di negara-negara lain. Lima universitas di Amerika ditugaskan memimpin ICMRT untuk daerah masing-masing. UC-ICMRT bekerja sama dengan Institute for Medical Research di Kuala Lumpur. Tiap tahun dipilih 20 ahli-ahli dalam bidang kedokteran dan social dan dibiayai untuk 2 tahun. Staf lokal sekitar 80 orang dan saya ditawari untuk turut program ini. Satu langkah maju lagi. Di tahun 1972 kami sekeluarga pindah ke Kuala Lumpur. 


7. Kuala Lumpur 1: 1972 – 1974 
Saya menyewa rumah di Jalan Kuantan, dekat dengan IMR. Rumah ini ada mesin pendinginnya. Dua wanita Melayu bekerja, satu untuk membersihkan rumah, satu lagi untuk mencuci. Seorang pelayan Tionghoa mengurus dapur dan tukang kebun berasal India. Pekarangan rumah luas. Kami menanam beberapa pohon buah. Juga dibangun lapangan badminton untuk anak-anak. Mereka bersekolah Inggris, dan di antar-jemput dengan bus sekolahan. Saya beli mobil Rover untuk mengangkut keluarga ke toko toko dan kepasar. Grace berlaga sebagai nyonya besar. Dia sering berkumpul dengan ibu-ibu dari berbagai konsulat. Makan tengah hari dan minum teh sorenya. Menjadi anggauta Alliance Francaise dan les bahasa Canton. Juga mulai lagi main piano. Pekerjaan saya menyenangkan. Ini berhubungan dengan keong air, dalam rencana membantu pembasmian penyakit cacing schistosomiasis. Sering saya menjelajah hutan dan kali untuk mempelajari keadaan keong air. Suatu kekuatiran dalam peninjauan itu ialah lintah darat dan air. Mereka menggigit dan menghisap darah tanpa menimbulkan rasa sakit. Tiba-tiba darah merembes keluar pakaian. Menurut cerita staf pernah lintah-lintah kecil masuk kedalam alat kelamin dan perlu dibawa kerumah sakit. Maka sepulangnya dari hutan saya langsung mandi serta memeriksa seluruh badan. Dalam antusiasme penyelidikan, masih ada termasuk ketidak-puasan tentang pelajaran kedokteran. Tiap tahun saya melamar ke banyak fakultas kedokteran. Di Tahun 1974 saya diterima di Fakultas Kedokteran Monash University di Melbourne, Australia. Kami mulai bersiap untuk hidup “down under”. Tapi Tuhan mempunyai rencana lain. Lalu datang telegram dari Prof. John Wellington, associate dean dari UCSF. Beliaulah malaikat penjaga kami. Telegram itu mengabarkan bahwa saya diterima sebagai siswa kedokteran. Grace sangat senang akan kembali tinggal di California Bay Area. 


8. Pacifica: 1974 – 1980
Saya mulai bersekolah lagi. Salah seorang siswa tertua di kelas. Mula-mula agak sulit untuk menyesuaikan diri dengan pelajaran kedokteran Amerika. Pendidikan dasar saya dari Indonesia. Tapi berkat petunjuk Yang Maha Esa akhirnya saya tamat juga jadi MD. Selama bekerja di klinik saya mulai sadar bahwa bakat kedokteran saya sangat terbatas. Saya tidak senang dengan pasien yang banya bicara. Maka setelah dapat MD saya pilih spesialis patologi. Saya ambil residency patologi di Kaiser Hospital San Francisco. Tapi Tuhan tidak mengijinkan jalan saya lancar. Sebelum selesai residency patologi, timbul lagi godaan lain. Waktu itu Resident Coordinator (pimpinan setempat) UCICMRT dipegang Prof Lie. Beliau ingin kembali ke rumahnya di San Francisco. Apakah saya bersedia menggantikan posisinya? Ini berarti kenaikan pangkat dan gajih dan kesempatan untuk meninjau tempat-tempat konperensi ilmiah. Maka setelah berunding dengan keluarga, saya putuskan untuk menerima tugas baru ini. Anak-anak sedang dalam masa genting di sekolah menengah. Kami tidak ingin mengganggu rutine mereka. Maka biarlah mereka tinggal di California dengan Grace dan saya kembali ke Kuala Lumpur. 


9. Kuala Lumpur 2: 1977-1979 
Demikianlah saya kembali ke Kuala Lumpur sebagai Resident Coordinator UC-ICMRT. Dalam golongan ini ada sekitar 20 orang ahli dari berbagai bidang. Ada dokter ahli penyakit dalam, penyakit kusta, virology; ada entomologist, geologist, sociologist, parasitologist. Mereka dibantu oleh staf setempat, kira-kira 80 orang. Tugas saya adalah untuk menyelenggarakan program ini supaya lancar. Saya sendiri ada acara penelitian penyakit cacing, meneruskan penyelidikan Prof. Lie. Saya menyewa apartment dekat IMR. Di Daerah itu banyak restoran dan bilik-bilik jajan. Juga ada bioskop, pasar dan pertokoan. Hari minggu saya pergi ke gereja Katedral, yang berada di dekat Chinatown; kemudian mampir makan bakmi atau babi panggang dan nonton film terbaru dari Shaw Brothers. Hidup berjalan lancar. Saya sering menelpon Grace dan anak-anak, serta menulis surat. Kegiatan riset saya adalah sekitar keong air, meneruskan usaha Prof Lie. Antara lain saya ikut dengan proyek bersama dengan ilmuwan-ilmuwan dan profesor dari Bangkok Institute of Tropical Medicine. Kami menyewa beberapa ladang di daerah Khon Kaen untuk mencoba apakah dapat mempergunakan prinsip antagonisme antara trematode untuk mengatasi schistosomiasis. Dalam ladang itu banyak schistosoma burung. Inilah jadi model kami. Setelah setahun maka kelompok kami menyatakan berhasil. Maka ingin kami melanjutkan penyelidikan ini ke daerah schistosomiasis manusia, misalnya di Mesir. Tapi perlu dana besar. NIH di Washington mempelajari usul riset kami dan menyatakan Setuju. Tapi tidak dapat memberi biaya, karena anggaran belanjanya sedang terbatas. Jadi “ approved, but not funded”. Inilah salah satu kekecewaan saya dalam karier penelitian.. Dan Tuhan memberi saya alasan lain untuk mengubah haluan. Timbul rasa ketidak-puasan. Saya perhatikan ada rekan-rekan yang pulang ke Amerika, akhirnya jadi supir taksi. Mencari nafkah di bidang riset bukan pekerjaan yang stabil. Sebaiknya bekerja di lapangan pelayanan. Maka saya pulang ke California dan menyelesaikan residency patologi. Selesai di tahun 1982, saya dapat pekerjaan sebagai pathology di Veterans Home Yountville, Napa county. Disitu saya bekerja 16 tahun sebagai Chief Pathology Service.


10. Yountville, Veterans Home of California: 1982 – 1998 
Veterans Home of California adalah salah satu penaungan tertua khusus untuk veteran berasal California. Sudah berdiri selama 100 tahun lebih, dan dapat menampung 1200 penghuni. Rumah sakitnya ada sekitar 400 ranjang, dan menampung 5 tingkat pelayanan, termasuk Intensive Care Unit. Beberapa gedung lagi ditinggali veteran yang tidak sakit, termasuk suami-istri. Ruang makan besar, ada ruang berkumpul untuk 1000 orang (belakangan ini disewakan kepada kota Napa untuk pertunjukan-pertunjukkan besar), lapangan olahraga, kolam renang dan lapangan golf. Ada kapela untuk 50 orang, yang siap pakai bergantian oleh macam-macam agama. Laboratorium saya di kelola oleh 10 staf, dan melakukan tes klinik. Juga kami mengerjakan surgical pathology, cytology dan autopsy. Staf kedokteran kira-kira 25 orang; kebanyakan ahli penyakit dalam, tapi ada juga ahli bedah, dokter gigi, dan psikolog. Sebulan sekali saya mengadakan clinical pathological conference untuk membahas kasus penting. Rumah saya 10 menit dari Veterans Home dan saya biasanya pulang makan tengah hari. Yountville mempunyai penduduk sekitar 300 orang, di samping penghuni Veterans Home. Kota ini ditonjolkan sebagai kota wisata di daerah anggur. Banyak anggur berkualitas tinggi disalurkan di sini. Dan ada beberapa kursus untuk pemandu anggur. Grace mengambil salah satu kursus seperti itu. Dengan kesudahan yang hampir mencelakakan. Pada tiap pertemuan kursus itu diharuskan mencicipi 10 macam anggur. Semestinya hanya dikulum, lalu dikeluarkan kedalam tempat tersedia. Tapi Grace menelan semuanya. Maka tidak heran, bila dia pulang saya sudah mendengar suaranya dari jauh. Kursus ini hanya menghasilkan sertifikat. Dalam isengnya Grace mencoba macam-macam usaha: Amway, Mary Kay dan bekerja sebagai loan broker. Kami hidup nyaman. Anak-cucu juga sering menginap. Pagi-pagi menonton balon udara meluncur di atas rumah. Saya berkenalan dengan walikota, kepala kantor pos dan room setempat. Inikah Bab terakhir petualangan kami? Tuhan mempunyai rencana sendiri. Grace didiagnosa kanker kandungan di tahun 1998. Dia mengalami beberapa bedah, radiotherapy, chemotherapy, juga herbal therapy dan acupuncture. Saya memutuskan untuk pensiun dan menemani Grace. Saya temani Grace ke Fuda Hospital di Guangzhou 2 kali. Ini rumah sakit khusus yang melakukan cara pengobatan eksperimental. Dokter-dokter nya di latih di Amerika, Eropa dan Jepang. Mereka mempraktekan cara-cara terbaru dan juga traditional Chinese medicine. Tapi pasien tidak diberi makan. Ada cafetaria besar di tingkat bawah, dan banyak restoran di sekitarnya yang dapat menghantarkan hidangan kekamar. Keluarga di ijinkan tinggal dalam kamar pasien. Kami berada disini 2 kali, sebulan tiap kalinya. Dan ini menyebabkan kami hampir bankrupt. Hospital ini khusus untuk mencari uang dari penduduk daerah Asia. Dan mungkin usaha ini telah dapat memperpanjang usia Grace beberapa bulan.


11. Castro Valley: 1998 - kini
 
Kami kembali ke Castro Valley, dan Grace mulai hospice program. Syukurlah dia diberi kesempatan untuk menyatakan selamat tinggal dengan banyak kawan dan keluarga, melalui telepon dan Internet. Juga banyak kawan menengok di rumah. Sambil membawa makanan dan kami berfoya-foya. Ada teman yang main piano dan kami bernyanyi lagu-lagu zaman dahulu. Grace sangat bersemangat. Kami berterima kasih kepada banyak teman, juga romo-romo, termasuk pastor paroki. Demikianlah perjalanan pulang Grace agak lancar. Di Dalam terakhirnya Grace tidur nyenyak. Anak-cucu mendampingi. Baru pagi hari dia terbangun dan kami bersama mendoakannya. Grace meninggal 27 Februari 2006, setelah berkutat dengan kanker selama 8 tahun Dia sangat merindukan Tuhan dan sekarang kembali keharibaan Yang Maha Esa. Terima kasih Bapa.

IMG_6053.jpg




12. Meneropong kembali
Demikianlah bab mengesankan dalam hidup kami tertutup. Sukar sekali menyesuaikan hidup tanpa Grace. Syukurlah Tuhan Maha Pengasih. Beliau memberi kekuatan dan semangat untuk kami sekeluarga melewati masa sulit ini. Saya curahkan kesedihan saya dalam sebuah buku “Learning to be happy with a partially filled glass” , yang selesai dalam 3 bulan dan dicetak tahun 2006. Kawan-kawan dan keluarga banyak memberi hiburan. Lalu ada macam-macam kegiatan dalam WKICU dan PSI. Dan saya dibolehkan meneruskan pelayanan untuk memuliakan nama Tuhan. Belum lama berselang saya dapat stroke ringan. Maka banyak waktu untuk meneropong jalan hidup saya. Tuhan membolehkan saya 86 tahun lebih, mencicipi kemuliaanNya. Semoga Beliau berkenan akan tingkah laku saya. Segala kegaduhan dan usaha mengumpulkan harta dunia meraih nama , bahkan memupuk hubungan baik dengan keluarga dan sahabat, pada akhirnya hanya memberi kepuasan sementara, dan kesia-siaan. Vanity … all is vanity, seperti dijelaskan Ecclesiastes. Hanya satu hal yang penting : hubungan kita dengan Tuhan. Semoga kalian dan keluargamu dapat menghayati keberadaan Tuhan dalam hidupmu sehari-hari. Semoga kita semua masih diberi waktu tersisa untuk memuliakan Nama Tuhan. 


Dengan salam hangat dalam Kristus, serta doa-doa. 



Hok Kan Lim , Ph.D, MD 

Desember, 2020 

Castro Valley, California 

United States of America 





Read More
Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin Apa dan Siapa Redaksi E-Bulletin

Acara Natal Online WKICU - 25 Desember 2020

Mari kita melihat bersama rekaman ‘Acara’ online setelah Misa Natal WKICU…

Tahun ini, 2020, hampir seluruh dunia merasakan yang tidak pernah dialami tahun-tahun sebelumnya, yang berdampak pula di Natal 2020.
Begitu pula dengan Natal WKICU, tidak ada ramah tamah di San Leanders maupun di St. Justin. Tetapi, dengan rahmat Tuhan kita yang selalu bermurah hati, kita dapat menyelenggarakan ‘acara’ online sederhana ini setelah Misa Natal pada tanggal 25 Desember 2020.


Untuk umat yang tidak ‘hadir’ saat acara ini ditayangkan, dapat menikmati rekaman nya. Mudah-mudahan ini menjadi sejarah tak terlupakan untuk kita semua, dan mari kita semua berdoa semoga kita dapat berkumpul kembali sebagai satu komunitas di Natal yang akan datang.

Untuk melihat rekaman acara tersebut, umat bisa klik video di bawah ini atau klik link ini.

Read More
Apa dan Siapa WKICU admin Apa dan Siapa WKICU admin

Monika Fuun dan Secuil Kenangan

Perjuangan dan dedikasinya menunjukkan komitmen akan cinta dan rasa syukur kepada Tuhan yang hanya dapat beliau lakukan lewat WKICU.

Ditulis oleh Agem Rahardjo

(Mengenang satu tahun meninggalnya Tante Monik)

** Bahan tulisan oleh Imman Chiang.

Sinar matahari siang itu menyengat cukup panas membakar kulit kering yang lupa dibaluri sunblock. Saya menyingkir dan masuk ke dalam tenda sesekali untuk berteduh sebentar di bawah kain terpalnya yang melebar panjang. Ada hembusan angin dingin yang menusuk ketika bersembunyi dari sorotan tajam sang mentari. Saya berada di cosmopolitan gathering place, Union Square di pusat kota San Francisco saat itu. Kalau ingatan saya tidak salah, waktu itu sekitar pertengahan bulan September tahun 2012. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) menyelenggarakan acara Indonesia Day----- peringatan rutin tahunan perayaan Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia yang sebenarnya jatuh pada tanggal 17 Agustus, dan bagi kita di Indonesia peringatan itu cukup diucap tujuh belasan

Monik.jpg

Saya membantu Konsulat Jendral Republik Indonesia menunggui stand mereka. Sebuah tenda yang tersedia sebagai pusat informasi dan promosi mengenai Indonesia berdiri di sudut deretan akhir di antara tenda-tenda yang menjual makanan dan jajanan khas Indonesia. Di dalam tenda itu, di atas meja ber-taplak kain batik berjejer brocure dan leaflet yang memperkenalkan dan menampilkan pariwisata serta keragaman budaya. Ada juga buku-buku karya sastra Indonesia baik asli maupun terjemahan yang diapit hiasan payung Bali dan beberapa patung wayang. Stand yang saya tunggui hanya sedikit menarik pengunjung yang datang. Mengherankan sekaligus juga menyedihkan. Panggung besar di sisi tengah lapangan tempat menyajikan acara utama seperti tari-tarian dan bermacam kebudayaan Indonesia punya nasib baik. Suara gamelan, tari-tarian dan nyanyian lagu-lagu Batak serta permainan alat musik Kolintang yang keluar dari pengeras suara berhasil menarik banyak pengunjung.

Matahari mulai meninggi, orang yang datang bertambah semakin banyak. Mereka berserakan disetiap sudut lapangan berebut tempat dengan sinar matahari yang cepat menyebar memenuhi tempat bernama Union Square itu. Dari dalam tenda saya melihat sebagian besar lainnya tampak berjubel dengan semangat 45 bagai pejuang-pejuang kemerdekaan yang tak kenal menyerah mengular antri di tenda-tenda makanan dan jajanan khas Indonesia di pinggir lapangan berharap tidak kehabisan Nasi Padang, Lontong Sayur ataupun Es Cendol. Beberapa yang telah mendapat makanan asyik menyantap sambil menyaksikan sisa pertunjukkan yang tidak sempat diperhatikan sewaktu mengantri tadi…. sebagian lain yang telah memborong berbungkus-bungkus langsung pulang karena takut makanan dan jajanan itu basi atau rusak karena terlalu lama di kantong plastik dalam cuaca panas. 

Ingatan mengenai acara itu masih menggantung di kepala, tetapi ada satu hal yang tetap melekat resap di hati yang mendorong saya menyelesaikan tulisan ini.  Secuil kenangan yang menyadarkan banyak hal….secuil saja, karena sebiji sesawi juga mampu memindah gunung.

Tengah hari menjelang sore, seorang wanita tiba-tiba saja masuk ke dalam tenda dengan senyum ramah agak malu-malu. Mata yang terbuka lebar menyapa tepat ketika saya selesai menghabiskan kotak nasi makan siang pembagian dari panitia. Saya membalas sapaan ramahnya. Saya mengenal beliau di gereja Union City. Wanita itu bernama Monika Fuun atau yang akrab kita panggil Tante Monik. Kalau boleh saya menyuruh ingatan kembali ke masa itu, rasa-rasanya beliau adalah umat wkicu pertama yang berbicara hati ke hati, penuh kehangatan dan keakraban kepada saya.

Obrolan di antara kami terjadi. Beliau tinggal seorang diri di downtown San Francisco. “Saya sih cuma tinggal jalan kaki aja sampe.” Begitu katanya menjawab pertanyaan saya soal tempat tinggalnya. Mendengar jawaban itu, saya yang belum genap dua tahun berada di Amerika dan belum juga berhasil mendapat pekerjaan segera menduga bahwa Tante Monik ini pasti bekerja di tempat yang sangat baik dan bergaji besar karena jika tidak, mana mungkin akan sanggup membayar tempat tinggal yang jaraknya hanya tinggal selangkahan kaki saja dari Union Square? 

Monika Fuun berasal dari Maluku. Dilahirkan 13 Desember 1956 di desa Sofianin kepulauan Tanimbar, tepatnya di sebuah pulau kecil bernama Fordate yang terletak di sebelah tenggara kepulauan Maluku.  Desa kelahirannya terpencil sekali hingga saya kesulitan mencari keterangan mengenai daerah itu meskipun dibantu oleh tuan Google. Sebagai anak tukang kayu pasangan Theodorus Fuun dan Wilhelmina Bungaa, beliau telah terdidik hidup keras dan menjadi kuat. Sejak lulus SMP telah sangat terampil dan cekatan membantu ayahnya. 

Saat umur 19 tahun pindah ke Jakarta bersama ketiga saudaranya dan kemudian diboyong ke kota Bogor bekerja di sebuah rumah makan. Hijrahnya ke Bogor inilah yang kemudian merubah perjalanan hidup Monika Fuun hingga akhir hayatnya. Sejak rumah makan tempatnya bekerja tutup setelah pemiliknya meninggal dunia, beliau mendapat pekerjaan baru di sebuah Apotik (toko obat) yang berlokasi di kota yang sama, hingga akhirnya tahun 1995 diajak ke Amerika oleh salah satu anak pemilik Apotik tersebut untuk membantunya mengurus keluarga dan merawat anak-anak mereka. Lama setelah bekerja membantu keluarga ini beliau memutuskan untuk mencari pengalaman baru. Dengan bantuan seorang teman akhirnya beliau berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah hotel/penginapan khusus yang merawat orang-orang tua yang terletak di tengah kota San Francisco. Dan atas kebaikan pemilik perusahaan tersebut beliau diijinkan menempati salah satu kamar di sana.

Dari cerita dan obrolan kami di dalam tenda sepanjang siang hingga sore itu menjadikan saya paham mengenai apa yang dikerjakan selama kedatangannya di Amerika. Dengan status keimigrasian yang tidak jelas, keterbatasan bahasa dan pendidikan yang menurut beliau sama sekali tidak dapat diandalkan untuk mendapat pekerjaan dan hidup layak telah membuatnya lebih kuat dan tahan banting. Keyakinan diri dan penyerahan jalan hidupnya kepada Tuhan telah membawanya pada sebuah keajaiban akan berkat berkelimpahan dari Allah yang memampukannya melewati segala rintangan dan mendapatkan apa yang menurut beliau sudah lebih dari cukup. Berkat dari harapan sederhana yang beliau inginkan untuk menjalani kehidupan seorang diri di Amerika sudah diterima. “Tuhan itu baik sekali. Semua yang saya minta dalam doa selalu dikasih, Saya mau terima kasih sama Tuhan. Pengen melayani dan selalu kasih waktu untuk Dia,” jelasnya ketika saya tanyakan mengapa sering terlihat di gereja Union City sementara beliau tinggal di San Francisco. 

keyakinan.jpg

Monika Fuun selalu hadir di tiga wilayah misa WKICU setiap bulan, San Francisco, Santa Clara dan Union City. Bahkan beliau masih menyempatkan diri hadir di misa Minggu keempat bersama KKI Sacramento…..belum lagi beliau selalu muncul dengan semangat tinggi di beberapa undangan acara doa Rosario, Persekutuan Doa, dan kegiatan religius lain tanpa perduli jarak yang membentang menghadang. Perjuangan dan dedikasinya menunjukkan komitmen akan cinta dan rasa syukur kepada Tuhan yang hanya dapat beliau lakukan lewat WKICU. Niat adalah api yang membakar, dan perjuangan sebagai perwujudannya. Beliau mengajarkan kepada saya dan juga kepada kita bagaimana seharusnya melayani Tuhan sekaligus mencintai komunitas ini. Mungkin saya terbiasa bersembunyi dibalik alasan-alasan ketidak mampuan, tidak ada waktu, dan sifat terbiasa dilayani hingga niat yang seharusnya ada di dalam diri terkubur dalam-dalam, tinggal tunggu waktu sampai akhirnya mengikis cinta….

Di tenda berukuran kurang lebih 8 x 10 feet itu saya asyik mendengarkan rangkaian rasa syukur yang meluncur tanpa hambatan dari mulutnya. Tanpa beban kisah demi kisah terus mengalir. Saya tidak melihat ada rasa sombong dan sikap merasa hebat. Tertangkap semua tutur cerita dan ujaran kata yang keluar dari mulutnya penuh ketulusan. Takjub atas segala penyertaan Tuhan dan terjawabnya semua doa-doa serta harapan. Harapan dalam ujud permohonan yang begitu sederhana untuk hanya bisa diberi tempat tinggal dan berteduh, mendapatkan makan, diberi waktu luang untuk melayani, dan kemampuan menyimpan sedikit uang lebih sekedar membantu keluarga di kampungnya. Dengan wajah serius sambil menatap ke luar tenda sempat terucap keinginannya membantu menyekolahkan seorang keponakannya. Keinginan dari keterbatasan dan kesederhanaannya yang menyentuh hati. Suara gamelan yang dimainkan oleh para bule dari tengah panggung menambah suasana perbincangan kami. Ada nuansa magis tercipta yang  mengingatkan ujaran; Ketulusan datang dari dasar hati yang paling dalam…..jika hati seumpama lautan dalam, ketulusan bersemayam di dasar sana. Kita harus sanggup dan mau turun menyelam ke bawah dan terus ke bawah, merendahkan diri dan hati kita serendah-rendahnya agar dapat menyentuh, merasakan dan sampai ke sana. Jangan biarkan tubuh, ego dan kesombongan mengangkatmu kembali ke atas. 

Tante Monik orang yang selalu mencari Tuhan dan berusaha dekat denganNya. Dengan segala keterbatasan, beliau telah menyentuh lini setiap sudut ruang hati kita. Rasa gerah dan tidak senang akan sikapnya yang sering kita salah artikan mampu merubah suasana hati menjadi rasa nyaman, tenang dan aman ketika bekerja dan berada di sekitarnya. Seperti apa yang pernah dirasakan oleh Imman, keponakannya yang tinggal di LA, “Personally, growing up in Bogor with her I always felt safe when she is around for she is strong and brave and very protective of us as children at that time. And I know she loved us her nephew,  she always remember to called each of us on our birthdays and even on our wedding anniversary.  So very thoughtful of her.”

flower.jpg

Monika Fuun telah pergi meninggalkan kita semua dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dua hari sebelum beliau meninggal dunia, saya mendapat sms dan pesan wa dari beberapa umat yang bertanya tentang keberadaannya. Beliau yang tidak pernah absen dari acara-acara religius tiba-tiba menghilang tanpa pesan. Tak ada sms atau whatsapp yang terkirim darinya. Handphone yang tak pernah lepas dari tangannya juga diam seribu bahasa tanpa pernah menjawab panggilan. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya dimana rutinitas kesehariannya adalah memberi perhatian melalui kiriman doa dan renungan lewat pesan whatsapp. Menelpon saya dan beberapa teman lain untuk minta bersama-sama mendoakan kesembuhan salah seorang umat atau seseorang yang dekat dengannya. Mengingatkan akan ulang tahun dan tahbisan para Romo, juga selalu menawarkan diri untuk membantu acara-acara WKICU tanpa kita minta. 

Tengah malam di bulan November tahun 2019 usaha pencarian berhenti setelah mendapat kabar beliau ditemukan tergeletak di dalam kamarnya dalam keadan sudah meninggal dunia. Kabar itu menyengat kesadaran tentang betapa tipis dan dekatnya sebuah kematian pada diri kita. Dimensi ruang antara hidup dan mati bagai sebuah jaring internet yang tak terlihat namun mampu memindah partikel pesan ketempat yang jauhnya ribuan, bahkan jutaan kilometer dengan tertekannya tombol send sekejapan saja. We are a messenger, saya pernah dengar ungkapan itu. Hidup membawa pesan yang akan kita goreskan ….jika nanti pada gilirannya tombol send kita itu tertekan, pesan apakah yang sudah dan akan kita tulis agar tersurat di layar kehidupan? 

Saya termenung di sudut rumah sambil menatap sebuah meja kecil yang sengaja tersedia khusus untuk menaruh sebuah box berisi urn----tempat berbentuk kendi yang di dalamnya bersemayam abu kremasi Tante Monik. Di luar rumah suasana muram dan sepi. Hanya suara kicau burung dan angin bertiup lamban yang tak mampu menggerakkan daun-daun di pepohonan sekedar melambai pelan untuk mengucap salam perpisahan. Saya nyalakan dua batang lilin kecil di samping kanan-kiri sebuah photo. Photo almarhumah yang sedang tersenyum bahagia berdiri persis di depan box berisi urn itu. Ada seuntai Rosario berwarna biru kesayangan beliau yang selalu menemaninya setiap saat masuk ke dalam doa, baik di rumah ataupun di dalam kendaraan umum yang menjadi alat transportasinya setiap hari. Salib Yesus dan patung Bunda Maria mengapit abu jenazahnya dengan rapih.

”Suatu hari nanti saya pasti nginep di rumah kamu,” katanya saat menolak halus tawaran saya untuk menginap. Masih teringat jelas kedatangan beliau bersama romo-romo tamu yang dihantarnya ke rumah saya menginap satu hingga dua malam dalam program “romo tamu” WKICU sebagai usaha membantu memimpin misa karena ketiadaan romo. Sungguh tak mengira kamu memenuhi janji itu setelah menjadi abu. Tak juga menyangka bahwa usaha kamu yang tak kenal lelah mengajak umat datang ke misa San Francisco akhirnya menjadi nyata. Lebih dari 200 orang telah berbondong ikut misa, meski itu untuk menghadiri misa pemakamanmu. Misa pemakaman yang megah dan indah di St. Ignatius Church, San Francisco telah Tuhan Yesus sediakan menghantar kepergianmu ke rumah Bapa. 

Sabtu pagi hari kedua, keponakan beliau datang menjemput abu jenazahnya. Pertemuan hangat dengan sang keponakan (Imman dan istrinya) mengalirkan cerita dan kenangan baik tentang seorang tante yang sangat dicintai oleh keluarga dan saudara-saudaranya. Terlontar kabar hari itu bahwa harapan yang pernah beliau katakan di dalam tenda telah terlaksana. Suri, keponakan perempuannya di Indonesia telah berhasil disekolahkannya hingga bangku kuliah. Imman dan istrinya pamit pulang tak lama berselang dan mengatakan akan mampir dahulu menikmati pemandangan sepanjang pantai Monterey sebelum perjalanan kembali menuju Los Angeles. “Istri saya ingin jalan-jalan kesana.” Kata Imman. Bagai tersengat listrik mendengar itu saya berujar dalam hati, “Oh Tante…..indah betul cara Tuhan membalas ketulusan dan kesederhanaan cintamu.” Betapa Tante Monik sangat menyukai indahnya pantai Monterey hingga selalu menyarankan saya untuk membawa para romo yang menginap di rumah untuk pelesir ke sana. “Saya suka sekali ke Monterey. Pemandangan pantainya sungguh indah. Nggak pernah bosen saya!” Katanya menjelaskan ketika saya tanya mengapa harus selalu pergi ke sana?…………sudah menjadi abu-pun kamu masih diberi kesempatan menikmati pantai kecintaanmu. 

Menyadari apa yang barusan saja terjadi, ketika melihat mobil keponakannya itu menghilang di tikungan jalan saya tergesa masuk rumah. Meraih handphone di atas meja. Teringat pesan terakhirnya yang terkirim satu minggu sebelum beliau meninggal yang isinya pesanan gado-gado dan telur balado untuk acara rekoleksi para suster Putri Carmel. Jempol ini dengan cepat mengetik kata, “Terima kasih tante! Saya akan pastikan tidak ada yang mengganti menu pilihan ini.” Jempol menekan tombol send…..Terkirim! Entah siapa yang membaca pesan balasan itu di hp-nya. Saya hanya ingin menambah terwujudnya satu keinginan beliau, dari sekian banyak permintaan dan keinginannya yang secara ajaib telah terpenuhi.  

Sambil merapihkan kembali meja kecil, lilin, Salib Yesus dan patung Bunda Maria bekas tempat meletakkan box berisi urn tadi pikiran saya terbang mengembara. Ada rasa damai nan membahagiakan ketika membayangkan Tante Monik sedang bergandengan tangan berjalan di sepanjang pantai Monterey bersama sosok tubuh seseorang yang dibalut cahaya benderang. Mereka berjalan mesra beriringan, sesekali terlihat menari lincah….deburan ombak mengiringi lamat-lamat sebuah lagu riang yang terbawa angin pantai,

Maumere da gale kota Ende
Pepin gisong gasong
Le'le Luk Ele Rebin Ha

La Le Le Luk Si La Sol
Mi Fa Mi Fa Sol Le'le Tiding Fa Fa
Rebing Mude Mi
Do Do Do Do Mi Do Mi Do Gemu Fa Mi Re
Ele le ... Ele le...

Putar ke kiri e...
Nona manis putarlah ke kiri
ke kiri ke kiri ke kiri
dan ke kiri ke kiri ke kiri
ke kiri manis ee...

Sekarang kanan e...
Nona manis putarlah ke kanan
ke kanan ke kanan ke kanan ke kanan
dan ke kanan ke kanan ke kanan
ke kanan manis ee..

missed2.jpg
Read More
Apa dan Siapa WKICU admin Apa dan Siapa WKICU admin

Romo Stefanus Hendrianto, SJ

Aktivis pro-demokrasi Indonesia yang menjadi seorang imam Jesuit.

Aktivis pro-demokrasi Indonesia yang menjadi seorang imam Jesuit.

RomoHendri.jpg

Romo Stefanus Hendrianto pernah berada di antara kelompok mahasiswa yang terlibat dalam gerakan pro-demokrasi di Indonesia pada tahun 1998 yang akhirnya menjatuhkan rezim otoriter Suharto setelah 32 tahun memerintah dengan tangan besi.  

Dia adalah seorang mahasiswa hukum Universitas Gajah Mada di Yogyakarta yang bergabung dengan gerakan mahasiswa dalam protes anti-Suharto. Hendrianto saat itu bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik, salah satu kelompok oposisi utama rezim Suharto.  Tak lama setelah jatuhnya Suharto, yang menandai awal era reformasi, Hendrianto memilih untuk mengasingkan diri dari aktivisme dan melanjutkan studi hukumnya di luar negeri.  

Sebuah keputusan yang akan membawanya ke cara hidup yang sama sekali berbeda - kehidupan seorang imam.  Dia menggambarkan perubahan dalam cara hidupnya sebagai "sebuah misteri" dan sepenuhnya tidak direncanakan.

"Ketika saya masih kecil dan tinggal di Indonesia, niat saya sama sekali bukan untuk menjadi seorang imam," katanya kepada ucanews.com

Setelah tumbangnya Suharto, Hendrianto memilih untuk mengejar gelar master dalam bidang hukum di Universitas Utrecht di Belanda, sementara rekan-rekan aktivisnya tetap memilih untuk menempuh jalur politik.  Setelah mendapatkan gelar, ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai peneliti hukum untuk Kantor Dana Moneter Internasional di Jakarta.  

Sekembalinya ke Indonesia, Hendrianto tetap merasakan ada yang kosong dalam kehidupan dan dia mencoba mencari jawaban atas makna kehidupan dengan memutuskan untuk melanjutkan program doktor di University of Washington Law School di Seattle.  Di sana, katanya, perjalanan hidupnya berubah, terutama setelah interaksinya dengan Mudika Seattle. 

"Mereka banyak membantu saya dalam perjalanan iman saya dan akhirnya menuntun saya ke imamat," katanya.  

Hendrianto mengatakan bahwa benih panggilan imamat tumbuh lebih kuat ketika dia menjadi aktif di UW Newman Center yang dikelola oleh para Romo Dominikan. Akan tetapi Dominikan hanya menanam benih panggilan dan Yesuit yang memetik hasilnya. Suatu hari, UW Newman Center mengadakan acara diskusi tentang iman Katolik dan filsafat politik, dibawakan oleh Imam Jesuit Fr. Robert Spitzer, yang waktu itu adalah presiden Universitas Gonzaga. Diskusi tersebut memiliki pengaruh yang sangat dalam bagi panggilan Hendrianto. 

"Pada waktu itu, saya pikir, jika saya ingin menjadi seorang imam, harus seperti Fr. Spitzer," katanya.  

Namun, itu bukan pertemuan pertamanya dengan para Jesuit.  Selama di Indonesia, ia sering menghabiskan waktu di paroki-paroki yang dilayani oleh para Jesuit.  

"Ketika saya masih belajar di Universitas Gajah Mada, saya selalu menghadiri Misa Mingguan di kapel Universitas Sanatha Dharma, yang dilayani oleh para Imam Jesuit," kenangnya di ucanews.com.  Setelah pindah ke Jakarta, ia menghadiri Misa di Gereja Kathedral Perawan Maria diangkat ke Surga, yang juga dilayani oleh para Imam Jesuit.  

Pada tahun 2009, setelah menyelesaikan gelar doktornya, ia memasuki novisiat Jesuit di Amerika Serikat. Setelah mengucapkan Kaul Pertama pada tahun 2011, ia belajar filsafat di Universitas Loyola, Chicago. Setelah pendidikan filsafat dia menjalani Tahun Orientasi Kerasulan dengan mengajar ilmu hukum dan ilmu politik di Universitas Santa Clara yang dikelola Jesuit di California. Setelah menyelesaikan Tahun Orientasi Kerasulan dia menghabiskan waktu selama satu tahun untuk melakukan penulisan dan penelitian di Institut Kellogg untuk Studi Internasional di Universitas Notre Dame.  Pada tahun 2016 dia mulai menempuh pendidikan teologi di Boston College, di mana ia  meraih dua gelar Master dalam bidang Keilahian (Master of Divinity) dan Teologi (Master of Theology).

Romo Hendrianto ditahbiskan pada tanggal 8 Juni, 2019 bersama empat Jesuit lainnya di Gereja Our Lady of La Vang di Portland, Oregon. Uskup Agung Portland, Alexander Sample, memimpin Misa Imamat. Romo Hendrianto ditahbiskan sebagai Imam Yesuit dari Provinsi Serikat Yesus Amerika bagian Barat (Jesuits West), yang meliputi negara-negara pantai Barat Amerika Serikat ditambah Alaska dan Hawaii.  

Mengingat kembali saat menjadi aktivis mahasiswa, Hendrianto mengatakan itu adalah bagian dari proses sebagai seorang pemuda, yang “idealis dan naif.” Sebagai seorang pemuda, ia merasakan panggilan untuk mengubah dunia dengan bergabung pada gerakan politik mahasiswa, tetapi gagal menunjukan kepada pencarian spiritualnya.  

"Hati saya dipenuhi dengan hasrat balas dendam, kemarahan dan kepahitan," katanya.  "Semua hal ini membuat hidup saya kosong. Pada prinsipnya, jiwa saya seperti berada di ladang yang kering, tandus dan tanpa air."  

Dia mengatakan meskipun dia menjadi seorang Jesuit terlambat dalam hidupnya daripada kebanyakan anak – anak muda lainnya, dia telah menemukan bahwa spiritualitas Ignasian menjawab apa yang selama ini dia cari. Dia bahkan menemukan kesamaan antara dirinya dengan St. Ignatius dari Loyola.  

"Jika Anda melihat pengalaman hidup Santo Ignatius dari Loyola, ia juga memutuskan terlambat untuk menjadi seorang imam dan kemudian mendirikan Serikat Yesus."  

"Santo Ignatius harus kembali ke sekolah dan belajar bahasa Latin bersama dengan orang yang lebih muda. Saya juga kurang lebih sama dan belajar filsafat dengan mahasiswa generasi milenial," jelasnya.  

Meski demikian dia berkata "Saya bangga karena itu berarti saya berjalan di jalan yang sama dengan Santo Ignatius."  

{Tulisan di terjemahkan dan disadur dari essay yang dipublikasi UCANews dengan judul Indonesian prodemocracy activist becomes a Jesuit priest, pada tanggal 1 Agustus 2019}

 
Read More
Apa dan Siapa WKICU admin Apa dan Siapa WKICU admin

Dr. Hok Kan Lim

Mengenal Dr. Hok Kan Lim layaknya mengenal tokoh-tokoh besar lainnya.

Seorang peneliti berjiwa Indonesia dengan visi besar dan iman Katolik yang kuat.

Dokter penggagas komunitas WKICU

Hokkan.jpg

Mengenal Dr.Hok Kan Lim layaknya mengenal tokoh-tokoh besar lainnya. Seorang peneliti Indonesia dengan visi besar dan iman Katolik yang kuat

Sosok sederhana dan murah senyum ini adalah seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Lahir di Banjarmasin, 23 November, 1934 dan besar di Samarinda, Kalimantan. Menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bandung, dan kemudian hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi, Universitas Indonesia. Hok Kan muda berhasil meraih Master of Science dan mengajar sebagai asisten dosen di fakultas kedokteran Universitas Indonesia. 

Sebagai orang muda yang berpendidikan tinggi, Dr. Hok Kan Lim memiliki idealisme yang sangat kuat. Beliau sangat tertarik dengan bidang penelitian dan tidak berniat menjadi seorang dokter praktek seperti kebanyakan teman-teman se-profesinya, “Waktu itu profesi seorang dokter sangat menjanjikan dan dapat menghasilkan banyak uang. Sebagian besar teman-teman saya hidup makmur. Tetapi saya tidak tertarik dengan itu. Saya ingin menjadi seorang peneliti, khususnya penelitian bidang parasitology,” jelasnya.  

Tahun 1961 Dr. Hok Kan Lim memutuskan untuk menikah dengan gadis pujaan bernama Grace Khouw. Tiga tahun kemudian (1963) beliau pindah ke Bandung karena mendapat pekerjaan menjadi dosen fakultas kedokteran di Universitas Padjadjaran, Bandung. Selama mengajar dan bergabung dalam project-project penelitian mengenai parasitology, hasrat untuk menjadi seorang peneliti kian memuncak tak terbendung. “Menjadi seorang peneliti di Indonesia saat itu sangat sulit. Kita harus memiliki uang yang banyak atau paling tidak ada orang yang mau mensponsori. Pemerintah Indonesia belum berpikir ke situ. Peluang lebih banyak terbuka di Eropa atau Amerika. Mereka lebih membutuhkan banyak peneliti,” begitu penjelasannya. 

Antara hasrat, cita-cita dan kenyataan sepertinya bertolak belakang. Keadaan tidak berpihak kepada Dr. Hok Kan Lim pada saat itu sampai di tahun 1965 beliau mendengar kabar bahwa imigrasi Amerika membuka peluang kepada orang-orang non Eropa untuk tinggal dan menetap di Amerika. Keputusan dibuat dan ditandatangani oleh presiden Amerika saat itu, Lyndon B Johnson. Keputusan menetapkan 6 persyaratan utama yang salah satunya adalah memberikan kesempatan kepada para profesional. Waktu itu banyak sekali para professional dari Indonesia yang mencoba mengambil kesempatan. Engineer (insinyur), dokter, tenaga ahli medis dan juga dari berbagai profesi lainnya. Akan tetapi, keputusan imigrasi itu tidak hanya mengutamakan profesi. Ada persyaratan dan ketentuan lain yang harus dipenuhi para imigran seperti, keharusan memiliki sponsor, bukti memiliki pekerjaan di Amerika, dan berapa banyak uang yang dimiliki pada saat mengajukan visa. Para dokter biasanya sudah mendapat tawaran pekerjaan dari rumah sakit - rumah sakit lokal, dan para engineer (insinyur) banyak yang mendapat sponsor dari gereja-gereja. Sementara Dr. Hok Kan Lim yang idealis hanya memiliki ilmu dan keahlian sebagai dokter peneliti, bukan seperti kebanyakan rekan-rekannya yang memiliki banyak uang dengan menjadi dokter di rumah sakit, klinik, dan praktek di rumah.

Dengan keyakinan dan harapan besar surat pengajuan imigrasi itu tetap dikirim. Sembilan bulan lebih tidak ada kabar berita. Kembali Dr. Hok Kan Lim mengalami kebuntuan dan ketidak yakinan. Sang istri, Grace tidak mengenal lelah dan terus berusaha memperjuangkan keinginan suaminya. Grace saat itu bekerja dan membantu di kepanduan International School yang banyak kedatangan suster-suster berkebangsaan Amerika yang melakukan volunteer disana. Usaha melobi dan meminta bantuan dari para suster itu akhirnya membuahkan hasil. “Sebenarnya waktu Grace meminta bantuan sponsor dari para suster itu, tidak ada satupun yang sanggup….tetapi dari sana kemudian sebuah mukjizat datang. Beberapa lama setelah itu seorang nyonya mendatangi istri saya dan menanyakan mengenai keinginan kami untuk pindah ke Amerika. Saya bahkan tidak kenal dan tidak tahu nama nyonya itu. Dia memberikan alamat kepada istri saya dan menyuruh istri saya menghubungi seseorang yang dapat membantu,” katanya mengenang.

“Saat itu istri saya langsung memacu scooter nya ke alamat yang diberikan sang nyonya. Dan ternyata itu alamat seorang pastor berkebangsaan Amerika bernama Eugene Linch,” sambungnya. Dari father Eugene ini kemudian mereka direkomendasikan kepada seseorang yang bekerja di Kedutaan Amerika, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, dan akhirnya berhasil mendapat visa.

Mereka kemudian hijrah ke Amerika tahun 1966. Dr. Hok Kan Lim melanjutkan sekolah kedokterannya di UC Berkeley dengan meraih gelar PhD (1967-1970). Beliau kemudian lanjut mengambil gelar MD dari University Of California San Francisco (UCSF) untuk bidang Comparative Pathology. Pathology/Parasitology (1974-1976). Selama tiga belas tahun bekerja di tempatnya bersekolah, UCSF sebagai Associate Research Parasitologist (1966 - 1979), dan enam belas tahun bekerja di rumah sakit sebagai Chief, Pathology Service (1982 - 1998). 

Dr. Hok Kan Lim adalah seorang tokoh besar yang memiliki pandangan luas, nasionalisme tinggi dan sangat taat beragama. Sosoknya yang ramah dan bersahaja, profesinya sebagai dokter dan aktifnya beliau dalam setiap acara kumpul-kumpul orang Indonesia menjadikan dirinya tokoh panutan bagi masyarakat Indonesia di California, khususnya Bay area. Dalam kesempatan wawancara dengan media Kabari, sebuah media Indonesia yang terbit di Amerika, beliau sempat bercerita, “Keberadaan saya di Amerika ini bukan karena tekanan, rasa diabaikan atau diusir dari negara Indonesia. Selama lebih dari 30 tahun saya memperoleh pendidikan dan hidup nyaman di sana. Saya sangat berterima kasih kepada Indonesia untuk itu….,” ujarnya dengan lugas. “Dan sebagai seorang Katolik saya meyakini bahwa hidup ini untuk berbagi dan saling melayani demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar,” tambahnya lagi.

Tahun 1998 sang istri, Grace Khouw terdiagnosa penyakit cancer dan meninggal pada tahun 2006. Dari perkawinannya itu Dr. Hok Kan Lim dikarunia dua orang putra dan satu orang putri. Saat ini Dr. Hok Kan Lim tinggal bersama anaknya di Castro Valley…..

Mengenal Dr. Hok Kan Lim layaknya mengenal tokoh-tokoh besar lainnya. Sosok yang selalu mau berbagi pengalaman dan dapat menerima pemikiran-pemikiran orang lain dengan arif. Perhatian dan kecintaan terhadap anak-anaknya telah dibagikan juga kepada sesama orang Indonesia. Salah satu ujud nyatanya adalah dengan mendirikan komunitas Warga Katolik Indonesia California Utara (WKICU). Ujud nyata dari sebuah visi besar seorang peneliti yang berjiwa Indonesia dan memiliki iman Katolik yang kuat. 

Dr. Hok Kan Lim pernah menuliskan dalam catatannya mengenai sejarah berdirinya WKICU yang mampu bertahan sampai saat ini.

(kontributor artikel Hanafi Daud —-Bahan diambil dari beberapa sumber)


Catatan asli Dr. Hok Kan Lim:


Indonesians started to emigrate to USA in large numbers in the early 1970’s. A new USA immigration act was signed by President Johson in 1965. This allows more non-European citizens to settle in America. The new law categorized prospective immigrants into 6 preferences. For example, the third preference is for professionals. Many engineers, doctors, dentist, pharmacist from Indonesia came over under this category. Beside eligibility, they needed to fulfill one of 3 requirements: proof of having a job in the US, or sponsorship, or much money before the visa were issued. Doctors usually came with job offers from local hospitals, engineers mostly were sponsored by a church.

My guess is that since that over 10.000 Indonesians emigrated to USA. About 75% were Christians, half of them Catholics. California was the preferred state, mostly because of the good climate and job availability around Los Angeles and San Francisco. Also settling down in California were many Indo-Belandas. When the free Indonesian Republic was established in 1945, about ¼ million Indo-Belandas were returned to Holland. Through some special agreement between Holland and USA, many of them settled in America.

The Indonesian Protestants in California started to organize early on. The Catholic Indonesians around Los Angeles established their KKIA (Keluarga Katolik Indonesia Amerika) in the 1980’s. This group expanded quickly, and at one time had over 1.000 members. Their elders encouraged the Catholic Indonesians in Northern California to organize also. But locally their was little enthousiasm. We in North California were quite comfortable with the local churches.

Sometime in mid summer 1991, I received a call from Dr. Tango, an elder of KKIA. “Would you like to have a faith renewal in your community?” A famous Capuchin priest from Medan will spend a few months in L.A., specially to encourage and renew the faith among the Indonesian Catholic community. KKIA would like to send him up North…would we be interested? I asked around. And again met with indifference and apathy, until I talked with an old friend, Oey Hock Chuan. He was very supportive. Then we gathered a few other friends, like Wisnu Wirawan, and sent out invitations.

The first mass was at St. Joanne d’Arc in San Ramon on November 16, 1991. Romo Victor Tobing OFM came, with Monsignor John Liku Ada, bishop of Ujung Pandang, and about 40 friends from KKIA. About 40 Bay Area Indonesian Catholics came. The next day local attendance had increased. During the masses and meetings, many friends from L.A. gave witness, eg the Tango family, mr. and mrs. Herkata, Sanjaya family. Henry Sanjaya came with a band of about 10 musicians. After the first mass I invited everyone to our house in Yountville (Napa area) for dinner and fellowship. After the second mass we gather in the church hall, and there persuaded someone to maintain the bond and organize the group for future regular meetings. After much efforts we manage to have Arie Go to accept the task. He established a small committee, and we planned for regular meetings.

Struggling years 1992-1997.

After a committee was formed to developed and maintained the bond among Bay area Indonesian Catholics headed by Arie Go, we encountered two immediate problems. One was to find a church that will allow us to come together and celebrate mass. And another was to find a priest sympatethic to our cause.

The first few gatherings we had were at various local churches, thanks to different members requesting their local pastors, who also celebrated mass with us. And then we managed to get commitment from the University of San Francisco to hold regular meetings al Lone Mountain church. Father Ruland took pity on us.

And the Lord sent us a guardian angel…in the disguise of Sister Felicia Sarati, CSJ. She was head of the ethnic group of the Diocese of Oakland and with encouragement of bishop John Cummins, was building a multi-diversity group. She attended several of our committee meetings and also provided us with some cash funds. With her assistance we were able to use several churches in the area for our regular meetings. We also participated with various multi-diversity activities of the diocese, like the annual Chautauquas, Diocese Jubillee, bishop Cummins birthday and other unter-group celebrations.

In 1993 bishop Cummins officially installed and blessed our leadership during mass at the Mother Seton community center in Pleasanton. Also present were the Indonesian Consul General and his staff. At that time time Oey Hock Chuan was our chairman. And fortunately we also had our first Indonesian priest, Romo Ismartono SJ. Romo Is was on sabbatical and studied at the GTU in Berkeley.

The Lord also blessed us with another priest, Romo Subroto SJ, another Jesuit who also was on sabattical at GTU. After that, three other Jesuits took up residence in Berkeley, Romo Hartono Budi, Romo Deshi Ramadhani and Romo Mutiara Andalas. They nourished our community, each for about 5 years. And all succeeded with their doctoral study and returned to Indonesia. Under their spiritual guidance WKICU expanded and flourished.

 
Read More
Apa dan Siapa Gemah Rahardjo Apa dan Siapa Gemah Rahardjo

Romo Mangun yang Saya “Kenal”

Entah saya sadari atau tidak, dalam sosok Romo Mangun saya melihat sosok Yesus yang hadir membela orang – orang miskin dan menderita.

Oleh: S. Hendrianto, SJ

romo-mangun.jpg


Saya pertama kali mendengar nama Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang biasa dikenal sebagai Romo Mangun, ketika duduk di bangku SMA. Ketika itu dalam kelas Bahasa Indonesia, guru saya meminta kami membaca beberapa paragraf dari karya beliau Burung–Burung Manyar. Sebagai anak SMA yang masih naif dan bodoh, saya tidak tertarik untuk membaca buku tersebut secara lengkap. Karena kita hanya ditugaskan membaca beberapa paragraph, saya pun berhenti disitu saja.

Di samping kelas Bahasa Indonesia, saya juga mendengar nama Romo Mangun dari kelas Agama Katolik ketika guru saya menceritakan bagaimana Romo Mangun mengancam mogok makan untuk membela orang-orang di Kali Code yang terancam akan digusur oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sehubungan dengan normalisasi sungai. Waktu itu beliau sudah punya nama besar sebagai seorang rohaniawan Katolik, intelektual publik yang disegani, dan sebagai mantan anggota Tentara Pelajar yang terlibat dalam revolusi. Oleh karena itu pemerintah DIY pun berpikir dua kali sebelum menggusur warga di pinggiran Kali Code. Cerita itu cukup berkesan bagi saya karena ada seorang sosok Rohaniawan Katolik yang berani berpihak pada orang-orang kecil dan menderita.

Pada saat yang sama, nama Romo Mangun menjadi perbincangan nasional karena beliau adalah tokoh yang mendampingi warga Kedung Ombo yang menuntut ganti rugi lebih layak atas tanah mereka yang digusur demi pembangunan waduk. Waduk Kedung Ombo mulai diairi tahun 1989 dan diresmikan oleh Soeharto pada tahun 1991. Pada waktu itu banyak mahasiswa yang ikut mendukung Romo Mangun, baik dengan turun langsung membantu beliau ataupun berdemonstrasi di jalanan, khususnya para mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun 1992, saya pindah ke Jogja untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum UGM. Karena saya baru tiba di Jogja setelah kasus Kedung Ombo mereda, saya tidak sempat menyaksikan dari dekat aksi demonstrasi mahasiswa yang menentang pembangunan Kedung Ombo itu. Akan tetapi cerita tentang Romo Mangun yang berani menghadapi militer yang diperintahkan untuk mengepung waduk itu dan bagaimana dia mendampingi warga yang bertahan hingga rumahnya tenggelam, menjadi legenda di kalangan mahasiswa baru seperti saya.

Sebagai mahasiswa baru yang mencari jati diri dan makna kehidupan, saya pun mulai membaca banyak bacaan di luar bangku kuliah. Ketika saya tiba di Jogja pada tahun 1992, Gramedia Pustaka Utama baru saja menerbitkan edisi pertama novel karya Romo Mangun yang berjudul Burung Burung Rantau. Saya pun tergerak untuk membeli dan membaca novel tersebut. Novel itu sangat menyihir saya karena berisi cerita tentang satu keluarga dimana setiap anggotanya memiliki suatu keunikan tersendiri dalam pemahaman filosofi kehidupan yang berbeda. Setting novel itu berpindah-pindah dari Jakarta, Jenewa, Yunani, India, dan Banda Neira. Filosofi sederhana dari novel ini adalah mengenai burung-burung rantau. Burung yang bisa terbang ribuan mil dari tempat asalnya, dari belahan bumi utara ke belahan bumi selatan, tapi pada akhirnya burung-burung tersebut akan pulang dan tahu di mana tempat asalnya.

Dari filsafat burung rantau ini kemudian Romo Mangun mencetuskan gagasan konsep generasi pasca Indonesia. Istilah ‘generasi pasca-Indonesia’ dicetuskan oleh tokoh utama dalam novel ini Marianeti atau Neti saat berdiskusi mengenai generasi dengan ayahnya. “Pasca artinya masih tetap sama sekaligus menjadi lain. “Papi di KTP ... berbangsa Indonesia, tetapi kan tetap orang Jawa yang suka wayang, alias manusia Indonesia pasca-Jawa. Pascasarjana kan tetap sarjana juga, tetapi meningkat.” Bagi Neti, kakaknya, Bowo, pakar fisika nuklir dan astrofisikawan yang bekerja di Jenewa, Swiss sebagai seorang pasca-Indonesia. Singkat cerita pasca-Indonesia berarti bersifat mengglobal tanpa kehilangan sifat lokalnya. Seperti yang dikatakan Neti “Pascanasional dan pasca-Indonesia tidak berarti kami bukan orang Indonesia lagi dan menjadi entah apa, tanpa identitas, tanpa kesadaran nasional, akan tetapi lihatlah kalian generasi tua dulu menjadi nasional, kalian bisa menjadi nasional pasca-Jawa atau tidak berhenti menjadi Jawa.”

Setelah selesai membaca buku tersebut saya pun mulai giat berburu buku – buku Romo Mangun, baik itu Novel atau buku non-fiksi nya. Saya melahap karya lainnya dari Romo Mangun seperti Di Bawah Bayang Bayang Adikuasa, Putri Duyung Yang Mendamba, Durga Umayi, dan tentunya tidak ketinggalan trilogi Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri. Belakangan saya baru membaca karya beliau Burung – Burung Manyar.  

Di samping sibuk kuliah dan melanjutkan hobi saya membaca, saya pun mulai aktif dalam kegiatan mahasiswa, khususnya terlibat dalam pers mahasiswa. Ketika itu saya mulai aktif dalam majalah Mahkamah yang merupakan organ pers mahasiswa di Fakultas Hukum. Di samping aktif di pers mahasiswa, saya juga terlibat di Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK), akan tetapi saya merasa bosan dengan KMK karena kegiatan mereka biasanya hanya berdoa dan latihan koor. Saya juga kurang sreg dengan banyak anggota KMK yang seperti memandang rendah mahasiswa miskin seperti saya. Ditambah lagi karena bukan asli Jogja sehingga secara kultural cukup sulit bagi mereka untuk menerima saya. Pengalaman tidak berkesan dengan anggota KMK ini mengingatkan saya kepada Romo Mangun yang berkata bahwa “Negeri ini sungguh-sungguh membutuhkan pemberani-pemberani yang gila, asal cerdas. Bukan yang tahu adat, yang berkepribadian pribumi, yang suka harmoni, yang saleh alim, yang nurut model kuli dan babu.”

Suatu hari, seorang teman dari KMK meminta bantuan karena dia tahu saya sedang belajar menjadi reporter di pers mahasiswa. Teman ini ingin mewawancarai Romo Mangun untuk kepentingan bulletin gereja nya, dan tema yang ingin di angkat adalah masalah pendidikan dasar Katolik. Setelah hingar bingar Waduk Kedungombo mereda, Romo Mangun memfokuskan kegiatannya pada dunia pendidikan.  Dia mulai membuat sekolah dasar dengan konsep yang membebaskan, bukan hanya sekedar membuat murid-murid menyalin apa yang ditulis guru di papan tulis dan membuat murid menjadi bebek. Saya pun dengan antusias mengulurkan bantuan membantu teman dari KMK itu untuk mewawancarai Romo Mangun. Meski saya baru belajar menjadi reporter, saya pikir ini adalah kesempatan unik untuk bisa bertemu dengan sosok yang sudah saya kagumi. Saya yakin kesempatan ini hanya datang sekali, jadi meskipun hanya seorang reporter amatiran, saya langsung saja memutuskan untuk maju mewawancarai Romo Mangun.

Pada suatu siang, saya dan teman KMK datang di kediaman Romo Mangun di Gang Kuwera dan mencoba untuk membuat janji wawancara dengan beliau. Ketika itu kita bertemu dengan seorang asistennya; dan kita pun terkaget kaget, karena asisten Mangun ini meminta kita kembali pada sore harinya karena kebetulan beliau ada waktu. Jadilah dalam waktu beberapa jam kita harus mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara..

Sore harinya kita kembali ke Gang Kuwera. Dari luar rumah Romo Mangun yang memiliki seni arsitektur unik, jelas terlihat bahwa rumah tersebut memiliki atap dengan kemiringan yang tajam. Ketika kita masuk di ruang tamu yang terletak di sebelah kiri depan rumah, bisa terlihat ruangan dengan dinding bambu yang seperti dianyam. Setelah menunggu sebentar, kami pun melihat sosok Romo Mangun yang turun melalui tangga papan ke ruang tamu. Beliau memakai baju batik dan menyambut kami dengan ramah.  Singkat cerita wawancara berjalan lancar, beberapa hal yang saya masih ingat dari wawancara sore itu adalah bagaimana Romo Mangun ingin menekankan pendidikan Bahasa kepada anak-anak miskin di sekolah eksperimen nya. Beliau berkata bahwa dengan penguasaan Bahasa yang baik, beliau berharap anak-anak didikannya bisa mengartikulasi pemikirannya. Meskipun banyak dari mereka tidak bisa kuliah di perguruan tinggi, paling tidak mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Semisal dengan menjadi awak kapal pesiar, mereka punya kebanggaan sendiri bisa berkunjung ke Rio de Janeiro.

Dalam kesempatan ini Romo Mangun juga menyesalkan Gereja Katolik yang seperti tidak terlalu peduli lagi dengan pendidikan dasar. Dia mengambil contoh IKIP Sanatha Dharma yang ketika memutuskan untuk berubah menjadi Universitas Sanatha Dharma. Beliau sangat menyayangkan keputusan tersebut yang menurut beliau menandakan bahwa Gereja sudah menomorduakan pendidikan dasar.   

Yang paling menarik dalam wawancara itu adalah ketika kami menanyakan persoalan kemiskinan dan pendidikan dasar, jawaban beliau adalah, “Ya kalau mau mengatasi masalah kemiskinan di negeri ini, Soeharto harus turun dulu.” Statement ini tentu merupakan statement yang cukup berani pada masa itu karena Soeharto dan rezim Orde Baru masih bercokol kuat. Akan tetapi Romo Mangun bisa berani berkata seperti itu paling tidak karena dua hal. Pertama, Mangun muda pernah menjadi ajudan Mayor Soeharto dalam Batalyon X, yang mana tugasnya adalah sebagai sopir untuk mengantar makanan buat sang Mayor. Kedua, Romo Mangun mempunyai reputasi besar sebagai seorang intelektual publik dan rohaniawan Katolik yang dikenal dunia internasional. Jadi tentu tidak gampang bagi Soeharto untuk “menggebuk” mantan ajudannya semasa revolusi itu. 

Kurang lebih satu tahun setelah wawancara dadakan dengan Romo Mangun, saya berkesempatan lagi untuk bertemu beliau. Ketika itu Majalah Mahkamah tempat saya aktif sebagai reporter memutuskan mengundang Romo Mangun menjadi pembicara dalam seminar buku membahas Kedung Ombo. Ketika itu Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi memutuskan bahwa pemerintah harus memberi ganti rugi Rp 9,1 miliar kepada 34 kepala keluarga yang menuntut ganti rugi kepada pemerintah karena tanahnya diambil bagi pembangunan waduk Kedungombo. Karena teman – teman di Mahkamah tahu saya pernah bertemu dengan Romo Mangun dan kebetulan rumah kos saya tidak terlalu jauh dari Gang Kuwera, maka saya pun ditugaskan  untuk menemui dan meminta kesediaan beliau menjadi pembicara.

Malam tersebut setelah selesai kursus Bahasa Inggris, sambil berjalan pulang ke tempat kos, saya pun memutuskan untuk mampir ke tempat Romo Mangun. Tidak yakin apakah beliau dapat ditemui, tapi paling tidak saya bisa menitipkan surat undangan kepada asistennya. Ketika masuk ke halaman rumah, ternyata beliau sedang duduk di teras depan dan menerima dua orang wartawan yang sedang mewawancarai. Asisten Romo Mangun mempersilahkan saya masuk dan menunggu di teras. Kabarnya wawancara dengan wartawan sudah hampir selesai, jadi saya bisa sekalian menunggu dan bertemu beliau.

Sambil duduk saya pun mendengar bagian akhir wawancara. Romo Mangun bercerita tentang kondisi fisiknya yang mulai terbatas sejak di pasang alat pacu jantung beberapa tahun sebelumnya dan karena kondisi itu beliau harus sering kontrol ke dokter. Romo Mangun pun bercanda bahwa hidup dia setelah dipasang alat pacu jantung itu adalah bonus dari Tuhan agar dia bisa terus berbuat baik di dunia ini, “Ben masuk surga,” katanya sambil tertawa.

Setelah wartawan itu selesai dan pergi, giliran saya maju dan menjelaskan bahwa kita berniat mengundang beliau untuk menjadi pembicara dalam diskusi buku di Fakultas Hukum UGM. Beliau langsung menjawab bahwa saat ini sudah menghentikan aktivitasnya sebagai pembicara di berbagai seminar dan diskusi karena kondisi kesehatannya. Saya sendiri belum sempat menjelaskan tema diskusi tentang Kedung Ombo, tapi karena beliau sudah bilang tidak, ya mau bagaimana lagi. Saya pun kemudian berkata, “Baiklah Romo, saya menghargai keputusan Romo, akan tetapi kami sudah menyiapkan buku ini sebagai hadiah kepada Romo, jadi harap diterima.” Saya pun menyodorkan buku berjudul Seputar Kedung Ombo, yang diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).  Setelah melihat buku tersebut sikap Romo Mangun pun berubah dan berkata, “Kenapa kamu tidak bilang-bilang ini soal Kedung Ombo?” Dalam hati saya bergumam, ya saya tidak sempat bilang apa-apa karena Romo langsung mengatakan tidak. “Baiklah, demi rakyat Kedung Ombo, saya bersedia tampil sebagai pembicara,” kata Romo Mangun. Setelah mencocokan tanggal dan waktu, beliau mengatakan kepada saya bahwa beliau minta dijemput di Rumah Sakit Panti Rapih pada hari tersebut karena sudah ada janji dengan dokter. Singkat cerita, seminar kita berjalan dengan sukses dan Romo Mangun mendapatkan standing ovation dari para peserta yang hadir.

Setelah seminar itu, Romo Mangun hilang dari perhatian saya. Pertama, saya sendiri mulai melahap buku-buku lain yang pada masa itu dianggap sebagai bacaan “subversif” oleh pemerintah Orde Baru. Kedua, saya sendiri mulai sibuk menceburkan diri dalam aktivisme mahasiswa, mulai dari berdiskusi sampai berdemonstrasi di jalanan.  Kemudian tibalah Peristiwa 27 Juli 1996, ketika terjadi kerusuhan di Jakarta setelah terjadi konflik antara PDI pendukung Megawati dengan PDI abal-abal yang didukung oleh pemerintah. Kelompok yang didukung pemerintah berusaha mengambil-alih kantor DPP PDIP di jalan Diponegoro, Jakarta, yang berakhir dengan kerusuhan berdarah. Pemerintah Orde Baru menuduh sebuah partai kecil, yakni Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang didirikan oleh anak-anak muda dua minggu sebelum peristiwa berdarah itu, sebagai dalang semua kekacauan politik di Indonesia ketika itu. Militer bergerak dengan cepat menangkapi aktivis-aktivis PRD dan penangkapan pun dibarengi dengan perintah tembak di tempat.

Saya sendiri saat itu bergabung dengan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang merupakan organ kemahasiswaan PRD. Tapi bisa dipastikan bahwa militer tidak akan membedakan yang mana PRD dan yang mana SMID. Karena itu saya dan sejumlah teman-teman mahasiswa di Jogja pun segera memikirkan rencana penyelamatan diri. Seorang aktivis senior di Jogja, menyarankan agar kita meminta bantuan kepada Romo Mangun. Maka kami pun bertemu dengan beliau. Singkat cerita beliau berkata siap membantu; saya masih ingat ketika itu Romo Mangun memberikan analogi Presiden Panama Manuel Noriega yang lari meminta perlindungan di dalam Kedutaan Vatikan di Panama City ketika dikejar oleh tentara Amerika. Romo Mangun mengatakan bahwa sebagai Rohaniawan Katolik, dia harus selalu siap membantu. Kemudian beliau menambahkan, kalau ada Rohaniawan Katolik yang tidak mau membantu seharusnya mereka jangan menyebut dirinya Rohaniawan Katolik. Singkat cerita beliau menyembunyikan kami di beberapa tempat sampai situasi cukup aman.

Dua tahun kemudian pemerintah Orde Baru tumbang dan saya sendiri tidak sempat bertemu lagi dengan Romo Mangun, karena saya sudah terlanjur pindah ke Jakarta setelah lulus dari Fakultas Hukum UGM. Pada tanggal 10 Februari 1999, Romo Mangun meninggal dunia, ketika menghadiri kegiatan yang beliau hindari yaitu seminar bertemakan “Meningkatkan Buku Dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia,” yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia, di Hotel Le Meridien, Jakarta. Kabarnya badannya limbung, nyaris jatuh di tengah acara seminar dan beliau meninggal dunia karena serangan jantung.

Sore itu saya pergi ke Gereja Katedral untuk melayat, tapi sampai di sana saya melihat sudah ada ribuan pelayat. Sementara hari sudah beranjak malam, dan saya pun merasa lapar. Karena tidak sabaran mengantri, saya pun memutuskan untuk keluar gereja dan memutuskan makan malam di Bakmi Gang Kelinci. Selesai makan, saya pun berniat kembali ke kos karena sudah merasa capek untuk kembali ke Katedral dan mengantri lagi. Saya pikir biar lah saya berdoa secara pribadi saja buat beliau. Entah mungkin karena tulah tidak menghormati Romo Mangun atau apa, keesokan harinya saya pun mengalami diare disertai mual dan muntah. Setelah berkali-kali ke toilet, akhirnya badan saya pun lemas. Mungkin saya keracunan makanan dari Bakmi Gang Kelinci atau mungkin juga itu merupakan pelajaran bahwa tidak selayaknya saya meninggalkan acara tuguran Romo Mangun demi mementingkan isi perut saya semata.    

Dua puluh tahun setelah beliau meninggal, saya ditahbiskan menjadi seorang Rohaniawan Katolik. Meskipun tidak pernah mengenal Romo Mangun secara dekat, saya harus memberi kredit kepada Romo Mangun bahwa beliau adalah sosok seorang rohaniawan Katolik yang memberi inspirasi kepada saya untuk menjadi seorang Romo. Entah saya sadari atau tidak, dalam sosok Romo Mangun saya melihat sosok Yesus yang hadir membela orang-orang miskin dan menderita. Saya baru saja memulai perjalanan sebagai seorang Rohaniawan Katolik; untuk sementara saya adalah seorang Rohaniawan Katolik generasi pasca Indonesia, bak seekor burung rantau yang terus mengembara dan belum tahu kapan akan pulang.

 

 

 

 

Read More