Dari Kekagetan Menuju Tindakan: Refleksi Sepenggal Hidup di Yogyakarta dalam Masa Covid
Menciptakan Suatu Cara yang Berguna untuk Berjalan Bersama dan Bertahan dalam Masa Pandemi sekarang.
Oleh: Effendi Kusuma Sunur, SJ
Para Sahabat WKICU,
Setelah Presiden Jokowi mengumumkan adanya orang yang terjangkit virus Covid-19 pada tanggal 2 Maret 2020, dunia saya langsung berubah drastis. Saya masih sempat memimpin misa pemberkatan sebuah klinik di Semarang tanggal 9 Maret 2020, namun setelah itu, Keuskupan Agung Semarang memulai menghentikan misa di gereja-gereja bagi umat dan menggantikannya dengan misa “online” pada tanggal 20 Maret 2020 agar “social distancing” terbentuk dan terjaga. Keputusan itu diperpanjang hingga tanggal 31 Mei 2020 dan kemungkinan besar akan diperpanjang lagi untuk tetap melakukan misa “online”.
Semuanya itu berlangsung cepat dan sebagaimana biasanya, perubahan yang cepat membuat kaget banyak orang. Saya termasuk salah satunya. Semua rencana kerja Pusat pastoral Mahasiswa DIY (PPM DIY), tempat saya hidup dan bekerja, yang disusun akhir tahun 2019 untuk dilaksanakan tahun ini terpaksa dibatalkan atau ditunda. Juga, semua rencana acara saya di kota-kota seperti Jakarta, Semarang dan Solo dibatalkan atas nama keselamatan dan kesehatan banyak orang dan saya. Lebih lanjut, pengajaran tatap muka di kelas-kelas UGM (Universitas Gadjah Mada) juga diubah menjadi kelas “online” dan kelas seminar saya di Seminari Tinggi Kentungan terpaksa dihentikan di tengah jalan. Semuanya seakan berhenti bergerak seketika dan saya pun merasa ikut “macet” bersama dunia. Saya ingin bergerak, namun pembatasan membuat saya merasa senewen (bingung dan hilang akal). Di balik kesenewenan itu, saya sering berkelakar dengan sesama teman Yesuit bahwa “saya di pra-covid adalah pengangguran terselubung sedangkan saya di masa covid ini adalah jelas-jelas pengangguran.”
Di bulan April, saya merasa bahwa saya harus meninggalkan “kekagetan” saya dan mulai mencoba untuk ber-“discernment” apa yang Tuhan ingin saya lakukan. Satu hasil ber-“discernment” yang saya pegang sampai saat ini adalah prinsip moderasi, tak jatuh dalam dua titik ekstrim yang sering saya amati ada dalam hidup banyak orang di masa pandemi ini. Yang pertama, sikap tak peduli yang melihat bahwa ancaman virus ini tak nyata karena tak terlihat. Sikap ini membuat penularan virus covid menjadi lebih mudah dan luas dampaknya. Yang kedua, sikap takut berlebihan sehingga bahkan menjadi murung dan tak bahagia. Lebih dari itu, sikap ini juga tanpa sadar menjadi penebar negativitas dengan mengirim berita apapun di sosial media yang membuat tarikan menjadi pesimis bagi orang yang mengonsumsi berita tersebut. Saya cermati bahwa orang-orang jenis ini biasanya:
[1] tak membaca habis beritanya, dan mungkin hanya judulnya,
[2] tak pernah menelaah secara seksama apa yang dibacanya, dan
[3] tak pernah mengecek kebenaran beritanya dengan mencari sumber lainnya yang dapat dipercaya.
Di bulan April pula, saya, dari hasil proses “discernment,” saya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berguna di masa pandemi ini daripada hanya menunggu berakhirnya masa pandemi ini dan tak melakukan apa-apa. Yang menarik adalah bahwa keputusan “discernment” ini sepertinya langsung ditetapkan dan disetujui oleh Tuhan sendiri dengan membawa alumni Kolese Johanes de Britto (JB), SMA Yesuit yang terkenal di Jogja, untuk mendirikan posko peduli Covid-19 di tempat saya, Pusat Pastoral Mahasiswa Daerah Istimewa Yogyakarta (PPM DIY). Saya melihat peluang untuk menggunakan sarana Gereja ini untuk menjadi kepanjangan tangan Tuhan bagi para medis di daerah pedesaan Jawa dan juga di luar Jawa. Lebih dari itu, beberapa organisasi masyarakat Katolik yang mempunyai Sekretariat Bersama di PPM DIY juga mengadakan gerakan untuk membantu masyarakat terdampak wabah ini. Maka, lengkaplah PPM DIY menjadi satu bagian kecil dari Gereja di Yogyakarta dalam berpartisipasi mengatasi dampak sosial dari wabah Covid-19 ini.
Tentunya masalah ekonomis yang ditimbulkan dari wabah ini juga berdampak terhadap mahasiswa perantauan yang karena beberapa alasan tak dapat kembali ke kampung halaman mereka. Mungkin mereka tak mempunyai dana untuk biaya pulang ke kampung mereka, atau mungkin saja karena pelarangan untuk kembali ke daerah asal oleh pemerintah daerah terkait dengan pencegahan penyebaran wabah. Dalam permenungan, saya melihat pentingnya mengetuk hati orang-orang yang masih bisa bertahan dalam kesesakan masa ini untuk menolong mereka yang paling menderita, dalam hal ini adalah mahasiswa-mahasiswi perantauan. Tentunya mengetuk pintu hati orang-orang yang bermurah hati bukan hanya satu-satunya cara. Langkah berikutnya adalah menciptakan sebuah cara untuk bertahan dalam lingkungan yang mendesak. Ini tentunya harus memperhatikan konteks di mana mahasiswa-mahasiswi berada dan sumber daya yang dimiliki. Ini yang harus dilakukan untuk menjawab situasi ini yang diperkirakan akan mencapai sampai beberapa bulan kemudian di Indonesia. Langkah terakhir ini lebih menantang karena itu berarti ada usaha untuk memanfaat peluang di tengah kesulitan global ini dalam konteks lokal. Sebuah usaha untuk membentuk mekanisme di mana kita berjalan bersama dengan mereka yang paling membutuhkan dan terdampak dalam masa ini.
Para Sahabat,
Refleksi kecil saya ini dikuatkan dengan sabda Yesus, “Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu (Yoh. 14:12).” Saya percaya bahwa apa yang ditanamkan Tuhan dalam batin kita, bila didengarkan dan dilaksanakan, sungguh menghasilkan buah berlimpah. Saya butuh doa-doa Anda sekalian dan saya juga mengingat Anda sekalian dalam doa saya. Tuhan memberkati dan melindungi kita semua.
Sedia Payung Sebelum Hujan
Apakah ‘Social Distancing’ Keharusan atau Kebiasaan?
Kata-kata ini sangat bermakna…
untuk menjalani ‘Social Distancing’ karena epidemi virus Corona.
Sebenarnya sejak pindah ke San Francisco Bay Area, saya sudah lebih mengenal cara menjaga kesehatan diri alias mandiri.
Makan vitamin dan jangan sentuh barang bukan milik sendiri tanpa pakai tisu dan perlunya sering cuci tangan. Kalau bisa, buka pintu didorong dengan kaki. Menjaga jarak dari orang batuk pilek karena flu atau alergi.
Keluarga di Indonesia anggap kebiasaan baru itu berlebihan, tapi setelah dipikir lagi, apalagi setelah ada epidemi, menjadi keharusan.
Lebih baik mencegah daripada kena penyakit dari orang baru yang ketemu di jalan. Biaya pengobatan mahal dan sulit bertemu dokter setiap saat. Untung bisa bertanya ‘Mbah Google’ setiap ada gejala penyakit jadi tahu harus minum obat atau vitamin apa supaya tidak tambah menderita dan tentu disertai doa mohon pengampunan dan penyembuhan dari Yang Kuasa.
Seharusnya lebih siap menghadapi kondisi epidemi, tapi ternyata kadar takut tertular makin menghantui sampai tidak berani belanja kebutuhan hidup sehari-hari. Takut akan kematian kalau sampai sesak nafas, lupa kalau hidup kita di dunia memang ada batas. Tapi sebagai seorang Kristiani, masih ada harapan kehidupan abadi di hadirat-Nya. Setelah melewati penghakiman apa kita masuk neraka atau surga.
Apakah kita sudah bersiap diri memaknai dan mengisi kehidupan untuk lebih berarti sebelum kita tinggalkan? Apakah kita sudah mempersiapkan masa depan? Apakah masih ada ‘Seven Deadly Sins” yang tersisa dalam diri kita? Hawa nafsu/ lust, Kerakusan/ gluttony, Ketamakan/ greed, Kemalasan/ sloth, Kemarahan/ wrath, Iri hati/ envy dan Kesombongan/ pride.
Apakah kita sudah ada ‘Seven Heavenly Virtues’ untuk melawan godaan dosa?
Kesucian/ Chastity, Kesederhanaan/ Temperance, Kasih/ Charity, Ketekunan/ Diligence, Kesabaran/ Patience. Kebaikan Hati/ Kindness dan Kerendahan Hati / Humility.
Jika jatuh dalam dosa, apa kita sudah memohon ampun kepada Tuhan? Apakah kita terus mau belajar dan mengampuni kesalahan orang lain serta percaya rencana dan kehendak Tuhan dalam kehidupan ini? Sudahkah kita menjadi orang yang bersyukur dan tabah dalam menghadapi segala rintangan?
Sore ini terdengar suara petir dari awan gelap disertai kencangnya angin tanda akan derasnya hujan turun.
Apakah kita sudah sedia payung sebelum hujan…?
LL - 5/6/2020
Trust Jesus In Difficult Times
Percayalah Badai Pasti Berlalu
Dear Friends,
I invite you to consider Matthew 8:23-27.
Christ models for us peace and calm during a tumultuous storm. He called his disciples to trust him and have faith in difficult times. He did not abandon them; instead, trust in Christ transformed the circumstances for the disciples.
In the past month, the depth and challenge of a worldwide pandemic have become very evident to all of us in the human community. As a community of faith, I invite you to act responsibly by following the advice and practices of our medical professionals.
Also, we can help those who are suffering in any way we can through prayer and practice, faith in an all-good, forgiving, and loving God. Although it’s too early in this pandemic to fully understand current and future realities, we must all make changes to how we conduct our activities, and to help one another mitigate the impact of this pandemic.
Most importantly, all of you remain in my daily prayers. We can and will get through this together. Peace and all good,
Br. Henri Djojo, OFM
Perspektif Seorang Putri
Cara Melihat Hitam Putih Suatu Masalah
Dahulu kala di sebuah kota kecil di Italia, seorang pedagang yang malang memiliki hutang yang banyak kepada seorang rentenir. Sang rentenir yang sudah tua dan berhati jahat, mengusulkan kepadanya suatu hal yang mengerikan dan hampir tidak masuk akal. Sang rentenir mengatakan akan melupakan semua hutang sang pedagang, asalkan dia dapat menikahi putri pedagang itu. Baik pedagang maupun sang anak perempuannya yang cantik sangatlah ketakutan dengan tawaran itu. Rentenir yang licik itu menyarankan melakukan sebuah undian, dan katanya biarlah takdir yang akan menentukan.
Kata si rentenir: “Aku akan meletakkan kerikil hitam dan kerikil putih ke dalam karung. Sang putri kemudian harus mengambil salah satu kerikil dari karung itu, dengan tanpa melihat. Jika terambil kerikil hitam, dia akan menjadi milik saya dan hutang ayahnya akan dianggap lunas. Jika kerikil putih yang terambil, maka beruntunglah dia dan tidak perlu menikah denganku, dan hutang ayahnya dianggap lunas juga. Tetapi jika dia menolak untuk mengambil kerikil, ayahnya akan dijebloskan ke penjara.”
Bersama banyak orang, mereka semua memang sedang berada di jalan setapak yang berkerikil. Selagi berbicara, sang rentenir membungkuk untuk mengambil dua kerikil. Namun sang putri sempat melihat bahwa si rentenir telah mengambil dua buah kerikil namun keduanya berwarna hitam, kemudian memasukkannya ke dalam karung. Sang putri kemudian diminta untuk mengambil satu kerikil dari dalam karung itu.
Sekarang, bayangkan anda adalah sang putri itu. Apa yang akan anda lakukan? Atau jika anda harus menegurnya, teguran apa yang akan anda lontarkan kepada si rentenir itu?
1. Sang Putri itu harus menolak untuk mengambil kerikil.
2. Sang Putri itu harus menunjukkan ke semua orang bahwa nyatanya ada dua kerikil hitam di karung, dan membuktikan bahwa si rentenir telah melakukan kecurangan dan penipuan.
3. Sang Putri itu harus mengambil kerikil hitam dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan ayahnya dari hutang dan hukuman penjara.
Luangkan waktu sejenak untuk merenungkan cerita di atas. Pendapat apa yang akan anda berikan kepada sang putri?
Apa yang terjadi kemudian di dalam cerita ini adalah:
Putri itu memasukkan tangannya ke dalam karung dan mengambil sebuah kerikil tanpa meilihatnya. Kemudian sang putri sengaja menjatuhkan kerikir yang diambilnya dari dalam karung hingga terbuang ke jalan setapak yang berkerikil itu. Tentu saja krikil tadi segera menjadi hilang dan bercampur di antara semua kerikil lainnya.
"Oh, betapa cerobohnya aku," katanya. "Tapi tidak apa-apa, jika kamu melihat ke dalam karung, masih ada satu kerikil yang tersisa, dan anda akan tahu kerikil apa yang tadi saya pilih. "
Karena kerikil yang tersisa berwarna hitam, harus diasumsikan bahwa dia telah mengambil yang putih. Dan karena rentenir tidak berani mengakui kecurangannya, sang putri telah mengubah situasi yang tampaknya mustahil menjadi sebaliknya.
MORAL OF THE STORY:
Meskipun rumit dan sulit, semua masalah masih dapat terselesaikan dengan baik; terkadang kita hanya perlu memikirkannya dengan perspektif yang tepat, seperti Sang Putri dalam cerita di atas.
Solidaritas Meretas Batas
Aksi Solidaritas Komunitas Seminari Tinggi Santo Paulus Yogyakarta di Masa Pandemi
Saya, Fr. Agustinus Brian Kurniawan sedang menjalani masa formasi di Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, Yogyakarta. Suatu ketika, Romo Anton Galih meminta kepada saya untuk membuat sebuah refleksi terkait dengan aksi solidaritas di masa pandemi Covid-19 yang dilaksanakan oleh komunitas kami.
Kita sungguh menyadari bahwa penyebaran virus Corona mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi, sosial dan politik di tengah-tengah masyarakat. Pembatasan massal oleh pemerintah pun berdampak pada pemutusan kerja secara sepihak, berkurangnya pendapatan para pedagang kecil, penjual koran di trotoar dan tukang becak di sepanjang Jalan Malioboro. Akibatnya, mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan hanya untuk makan sesuap nasi juga kesulitan.
Berhadapan dengan kenyataan Covid-19 itu, sabda Yesus bagi kita sebagai orang beriman terdengar begitu keras dan jelas: “Kamu harus memberi mereka makan!” (Luk 9:13). Sebagai anggota masyarakat para frater dan romo di komunitas seminari dipanggil untuk melihat penderitaan orang lain sebagai penderitaan kami juga. Dana aksi puasa yang kami kumpulkan selama masa Prapaskah pun didonasikan kepada mereka yang terdampak corona. Selain itu, sebagai komunitas kami memasak nasi bungkus untuk makan siang dan dibagikan kepada setiap orang yang lewat Jalan Kaliurang, di depan Seminari Tinggi. Apakah saat membagikan nasi bungkus para frater harus bertanya, “Apakah bapak/ibu Katolik? Tidak!” Tetapi, nasi bungkus itu diberikan kepada siapa saja yang lewat tanpa memandang siapa mereka dan apa agamanya. Prinsipnya, mereka adalah saudaraku yang membutuhkan bantuan.
Solidaritas tidak dibatasi oleh suku, ras, agama dan golongan, tetapi berbicara tentang kemanusiaan. Ibarat tubuh, mereka adalah tangan, kaki, mulut, hidung, telinga dan anggota tubuh lainnya yang saling bekerjasama (bdk. 1 Kor 12:14). Tubuh, tanpa anggota yang lengkap akan menjadi cacat dan mengalami ketimpangan. Komunitas manusia pun terdiri dari berbagai anggota yang seharusnya saling membantu satu sama lain. Memang, ada orang yang berpikir bahwa itu bukan tanggung-jawabnya. Tetapi, mari berkaca dari Yesus. Apakah salib adalah akibat dari dosa-Nya? Tidak, kan. Yesus memeluk salib itu dalam kemerdekaan batin dan ketaatan-Nya kepada Bapa demi manusia.
Frater dan para imam adalah orang pertama yang seharusnya memeluk salib itu. Allah mengangkat kami sebagai Kristus yang lain tidak hanya dalam Ekaristi, tetapi juga untuk memberikan teladan dalam hidup sehari-hari.
Sekarang, kita semua diajak untuk ikut memeluk salib Covid-19 dengan hati yang terbuka dan penuh sukacita.
Yogyakarta, 5 Mei 2020
Nafas Hidup
Nafas Kehidupan,
tak ternilai dan jauh melebihi peran sebuah ventilator
Nafas Kehidupan,
tak ternilai dan jauh melebihi peran sebuah ventilator
Baru-baru ini, seorang pasien pria berusia 93 tahun di Italia dirawat di rumah sakit. Setelah kondisinya membaik, dia segera menuju ruang administrasi untuk membayar tagihan perawatan. Pria tua itu menerima sebuah lembaran kertas yang di situ terdapat keterangan dan angka dalam jumlah cukup besar untuk pemakaian sebuah ventilator.
Orang tua itu menangis seketika, dan kemudian datanglah seorang dokter menghibur menyarankannya untuk tidak menangisi soal tagihan. Pasien tua itu berkata, "Saya bukan menangis karena harus membayar semua ini. Saya dapat membayar tagihan ini. Saya menangis karena selama 93 tahun saya telah menghirup udara yang diberikan Tuhan, tetapi saya tidak pernah harus membayar sepeser pun. Tagihan Ventilator ini 5.000 Euro per hari.”
Kemudian orang tua itu memandang sang dokter dan berkata lirih; “Apakah anda tahu sudah berapa banyak saya berhutang pada Tuhan namun saya tidak pernah menyadari dan berterima kasih pada Nya untuk itu?”
Mendengar perkataan pasien itu sang Dokter menundukkan kepalanya, matanya berkaca-kaca dan ikut menangis.
(Artikel diambil dari berbagai sumber).