Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

One Blesses Six

“Pernahkah kita menyadari bahwa hari Minggu juga berarti hari awal pekan, hari pembuka, hari yang menguatkan iman, pengharapan dan cinta kita kepada Tuhan, sembari memohon tuntunan Roh Kudus untuk pekan yang baru?”

Mungkin banyak di antara kita yang selama ini memandang & memanfaatkan hari Minggu sebagai hari akhir pekan, karena memang dalam bahasa Inggris hari Minggu termasuk satu dari dua hari weekend, sedangkan terjemahan weekend itu sendiri adalah akhir pekan.
Siapa yang tidak suka hari Minggu ? No one. Semua orang suka weekend, dan selalu menyambut weekend dengan senang hati karena pada umumnya weekend adalah waktu istirahat & refreshing setelah bekerja sepanjang pekan dari hari Senin sampai Jum’at (atau bahkan Sabtu). Selain untuk refreshing, hari Minggu kemudian diisi dengan ibadah di gereja, mengucap syukur akan segala berkat & penyertaan Tuhan di sepanjang pekan yang telah berlalu.
Tidak ada yang salah dengan semuanya itu.

Tetapi apakah sesimple itu?. Pernahkah kita menyadari bahwa hari Minggu juga berarti hari awal pekan, hari pembuka, hari yang menguatkan iman, pengharapan dan cinta kita kepada Tuhan, sembari memohon tuntunan Roh Kudus untuk pekan yang baru ?.

Ibarat sebuah mobil perlu diisi bahan bakar, atau electric car perlu di-charged dulu sebelum drivernya melakukan perjalanan jauh, rohani kita juga perlu diisi dengan firman-firman Tuhan yang dibacakan dalam misa, oleh ibadat sabda dan yang terpenting yakni Ekaristi. Jadi hari Minggu adalah hari di mana kita memohon berkat Tuhan (dalam misa) untuk hari-hari di sepanjang pekan yang baru. Dan berkat hari Minggu menyertai hari Senin sampai Sabtu.; One blesses Six.

Dengan demikian setiap hari di sepanjang pekan yang baru, telah dinaungi oleh berkat yang kita terima di misa Ekaristi hari Minggu yang mendahului pekan itu. Berkat itu sungguh memampukan kita menjalani hari-2 Senin sampai Sabtu. Itu menenangkan, sehingga dalam hari-2 weekdays berikutnya tidak perlu lagi kita merasa was-was atau khawatir berlebihan, sebab semua kekhawatiran telah kita sampaikan kepada Tuhan; dan semua harapan telah kita serahkan ke hadirat Tuhan pula.

Memulai satu pekan dengan berkat di hari Minggu, selaras dengan rutinitas para rohaniwan seperti para romo dan suster.
Para biarawan dan biarawati memulai hari mereka dengan sesi doa di pagi hari, mungkin satu jam atau bahkan lebih. Mereka tahu untuk memberikan waktu terbaik untuk Tuhan, yakni di awal hari, sebelum melakukan semua rutinitas lainnya.
Tentu saja di misa hari Minggu kita juga kemudian mengucap syukur untuk hari-2 di minggu yang baru berlalu.

Mari kita memohon & menjadikan berkat dalam misa Ekaristi hari Minggu sebagai kekuatan rohani untuk menjalani weekdays kita. Semoga kita selalu haus & terpanggil untuk menerima berkat itu - bagaikan rusa mendamba air - sehingga jiwa kita bisa berkata ‘AMIN’, bahwa hadir di misa mingguan & menerima Ekaristi kudus adalah suatu berkat yang selalu urgent dan mandatory, bukan sesuatu yang optional & bisa ditawar-tawar.

Semoga.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Martha dan Maria

"Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."

(Luk 10:38-42) Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah kampung. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya.
Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."
Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."

"Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."

Bacaan Injil beberapa minggu yang lalu - yakni tentang Martha dan Maria - masih sangat melekat dalam ingatan saya. Bukan hanya karena tidaklah mudah untuk 100% membenarkan Maria atau 100% menyalahkan Martha, tetapi mungkin karena kita masing-masing juga memiliki gabungan sifat, sikap, dan keadaan yang serupa dari kedua pribadi tokoh itu.

Di satu sisi kita ingin selalu dekat dengan Yesus, merasakan keintiman rohani yang memang menyenangkan hati Yesus dan menguatkan hidup rohani kita. Dengan kata lain, mendengarkan firman tuhan.
Tetapi di lain sisi kita sering terperangkap dalam lingkaran dan rutinitas yang mau tidak mau harus dijalankan, sebab jika tidak maka kita akan mengalami kesulitan setidaknya secara finansial. Bagaimana bisa membayar tagihan bulanan, cicilan, dan begitu banyaknya kebutuhan - jika tidak sibuk bekerja dan bekerja ?.

Ini menarik, sebab Yesus dalam bacaan Injil tidak pernah melarang atau menyalahkan Martha karena telah bekerja dan bersusah payah ‘mempersiapkan segalanya’ dan melayani Yesus. Anehnya, Yesus juga tidak memuji atau berterima kasih atas segala pelayanannya itu. Pun, Yesus tidak menyalahkan Maria.

Ada seorang teman yang berpendapat bahwa jika Martha tidak ‘komplain’ ke Yesus, maka semuanya akan baik-baik saja dan Yesus pun akan diam saja.

I don’t think so. Sebab kalaupun Martha tidak sampai ‘komplain’ ke Yesus,..apakah itu berarti Yesus tidak akan pernah tahu apa yang dia rasakan?. (Martha merasakan ketidakadilan - sebab dia seorang saja yang ‘bekerja’ sementara saudaranya duduk-duduk saja mendengarkan Yesus). Sebab sebagai anak Allah, tentu saja Yesus akan tahu juga meskipun Martha tidak komplain bicara.

Jika demikian, Martha harus bagaimana? Bicara komplain salah, tetapi diam dan komplain dalam hati juga salahkah ?.

Sekali lagi, Yesus tidak pernah menyalahkan Martha oleh karena pelayanannya itu. Pelayanannya itu sudah pasti menyenangkan dan berkenan bagi Yesus. Tidak ada yang salah dalam melayani Yesus, sebab itu juga adalah bentuk cinta dan hormat dari seorang Martha kepada gurunya dan tamunya.
Begitu juga Maria, yang dalam perwujudan cinta dan hormatnya kepada guru dan tamu mereka, memilih duduk tenang mendengarkan Yesus.

Terus, apa yang salah jika demikian halnya?.
Salahnya, adalah Martha komplain.
Dan tidak peduli apakah komplain itu diucapkan atau tidak (sebab Tuhan tahu segalanya yang terucap ataupun tidak ).

Salahnya, adalah Martha komplain karena membandingkan apa yang dia lakukan dan apa yang Maria lakukan.
Karena dia membandingkan cara dia melayani Yesus dengan cara Maria ‘melayani’ Yesus.
Karena dia merasa apa yg dilakukanya lebih penting (sehingga Maria sampai kudu / harus ikut membantunya).
Karena kemudian timbul ketidaksukaan dan iri.
Karena dia berpikir Maria lebih ‘enak’, dan dirinya merasa lebih susah. (Renungan: apakah sesungguhnya dalam pelayanan itu susah???)
Maka patutlah Yesus mengingatkannya "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara”. Ini termasuk perkara membanding-bandingkan pelayanannya dengan bentuk pelayanan orang lain sesamanya.

Lebih parahnya lagi, Martha mengusulkan agar Maria meninggalkan posisinya dan menggantikannya dengan melakukan tugas seperti yang dia (Martha) lakukan. Ini sama saja artinya dengan meinggalkan kedekatan dan hubungan yang baik dengan Yesus. Ini sangat salah. Maka dari itu Yesus selanjutnya berkata : “…tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."
Saat Yesus datang, hanya satu saja yang perlu: bersama dengan Yesus, mendengarkan Dia, atau berkomunikasi dengan Dia. Dalam kehidupan sehari-hari tanpa kehadiran yesus - mungkin saja Maria sama sibuknya dengan Martha, bekerja sama rajinnya. Tetapi ketika Yesus hadir ! Ya Ketika Yesus datang, ketika Yesus menyapa: ketika Yesus mengetuk pintu: hanya satu saja yang terbaik: mendengarkan suaraNya, firmanNya. Ingat lagu “When you hear His voice today, harden not your heart..”.
Maria memilih itu. Dan itu dikatakan Yesus sebagai “bagian yang terbaik”.

Coba saja kalau dalam pelayanannya itu, Martha selalu bersuka hati, penuh syukur dan bahkan bernyanyi-nyanyi. Pasti tidak kuatir & susah.
Dan coba dalam keseharian dan pelayanan kita, kita selalu mengucap syukur.
Maka Martha dan kita tidak akan komplain, tidak akan saling membandingkan utk mencari yang terbaik. Sebab sesungguhnya semuanya baik dan berkenan bagi Tuhan, semuanya dipanggil untuk melayani Tuhan Yesus dengan kemampuan, rahmat dan talenta yang berbeda beda. Panggilan Maria, Martha, dan kita masing-2: berbeda-beda bentuknya walaupun satu tujuannya: melayani & menyenangkan Tuhan.
Ada orang yang terpanggil untuk melakukan pelayanan aktif, dan ada juga yang terpanggil untuk karya kontemplatif. Keduanya sama-sama eksis dan saling melengkapi, tidak untuk saling meniadakan.

Sekarang tinggallah satu tantangan lagi utk kita: kapan dan seberapa sering kita mengundang Yesus datang ?. Dan di saat-saat doa bersama Yesus itu, seperti seorang Maria, maukah anda meninggalkan semua hal lain, tenang dan khidmat mendengarkan suaraNya yang halus berbicara dalam lubuk hati terdalam ?. Mencari tahu apa yang Yesus harapkan darimu, dan menceritakan apa yang engkau butuh dari Yesus. Adakah saat yang lebih baik, lebih penting, dan lebih indah dari itu?.

Newark, 17 August 2022.

(English translation)

The Bible reading a few weeks ago - about Martha and Mary - is still very much in my memory. Not only because it's not easy to 100% justify Maria or 100% blame Martha, but maybe because each of us also has a combination of similar traits, attitudes, and circumstances from the two personalities.

On the one hand, we want to always be close to Jesus, to feel spiritual intimacy which really pleases Jesus and strengthens our spiritual life. In other words, listening to God's word. But on the other hand we are often trapped in a circle and routines that we inevitably have to carry out, because otherwise we will likely experience difficulties, at least financially. How can you pay your monthly bills, installments, and so many necessities - if you're not busy working and working?.

This is interesting, because Jesus in the Gospel reading never forbids or blames Martha for having worked and gone to great lengths to 'prepare everything' and serve Jesus. Surprisingly, Jesus also did not praise or thank her for all of his ministry. Nor, Jesus blame Mary.

There is a friend of mine who thinks that if Martha does not verbally 'complain' to Jesus, then everything will be fine and Jesus will be just silent.

I don't think so. Because even if Martha doesn't verbally 'complain' to Jesus, does that mean Jesus will never know how she feels? (Martha feels injustice - because she is the only one who 'works' while her sister sits around listening to Jesus). Because as the Son of the Father, of course Jesus would know too, even though Martha didn't say.

If so, what should Martha do? Verbally complaining is wrong, but being silent and complaining in your heart is also wrong?

Again, Jesus never blamed Martha for her service. Her ministry was certainly pleasing and pleasing to Jesus. There is nothing wrong in serving Jesus, because that too is a form of love and respect from a Martha to her teacher and guest. Likewise, Mary, who in the expression of her love and respect for their teachers and guest, chose to sit quietly listening to Jesus.

So, what's wrong if that's the case?. The fault is, that Martha complained. Because she compared the way she served Jesus with the way Mary 'served' Jesus. Because she felt what she was doing was more important part (so that Mary had to help her). Because then hatred and envy arose. Because she felt Maria took an easy part, while hers she found it as more difficult. (Reflection: is it really difficult in ministry ???)
So Jesus should remind her "Martha, Martha, you are worried and troubled with many things". That is, it is a matter of comparing her ministry with other people's ministry.

Worse, Martha suggested that Mary need to leave her position and asked her to do and be same as (Martha) herself. This is the same as suggesting to taking away the good & intimate relationship with Jesus. This is very wrong. That is why then Jesus continues “…but only one thing is necessary: ​​Mary has chosen the best part, which will not be taken away from her.”
When Jesus comes, only one thing is necessary: ​​to be with him wholeheartedly, to listen to Him, or to communicate with Him. In daily life without Jesus presence - maybe Mary is just as busy as Martha, working just as diligently. But when Jesus is present! Yes When Jesus comes around, when Jesus greets, when Jesus knocks on the door: only one thing is best: to listen to His voice, His word. Remember the song "When you hear His voice today, harden not your heart.." Mary chose that. And Jesus said it was "the best part".

Imagine if in her service, Martha is always happy, full of gratitude and even sings. Definitely not worried & difficult. And imagine if in our daily life and service, we always give thanks to the Lord. So Martha and we will not complain, nor will we compare each other to claim to be the best. Because actually everything is good and pleasing to God, all of them are called to serve the Lord Jesus with different abilities, graces and talents. The call of Mary, Martha, and each of us: are different forms although there is only one goal: to serve & please God.
There are people who are called to do active ministries, while others are called to contemplative works. Both exist and are complementary to each other, not to cancel each other out.

Now there is only one more challenge for us: when and how often do we invite Jesus to come?. And in those prayerful moments with Jesus, like a Mary, will you leave everything else behind, quietly listening to His soft voice speak in your deepest heart? To find out what Jesus expects from you, and you tell Jesus what you need from him. Is there a better, more important, and more beautiful moment than that ?

Newark, August 17, 2022.




Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Reparation, Restoration, and Elevation

Ada tiga penyangkalan dan sebelumnya tiga kali pernyataan kasih.
Apakah semua ini sebuah kebetulan belaka? Tentu saja tidak, semuanya telah diantisipasi oleh Yesus.

Perbaikan, Pemulihan, dan Pengangkatan

Dalam kisah sengsara Tuhan kita Yesus Kristus, diceritakan bagaimana Simon Petrus telah menyangkal Yesus sampai tiga kali, sebelum kemudian terdengar kokok ayam jantan yang menyadarkan sekaligus mengingatkannya kembali akan perkataan Yesus bahwa hal itu akan terjadi. (Mat 26:34)

Terjadinya penyangkalan itu terasa begitu menyentak hati dan menimbulkan sesal yang mendalam dalam diri Petrus, seorang murid yang begitu dekat dan dikasihi oleh Yesus. Seolah adalah sebuah kesalahan dan dosa yang begitu serius, berat, dan tidak terampuni. Seolah adalah sebuah akhir yang menyakitkan dari hubungan baik dan kedekatan yang terjalin begitu berarti dari seorang murid dengan sang guru yang dikasihinya. Seolah adalah sebuah kenyataan yang tidak perlu terjadi.
Ya,.. saya pun awalnya berpikir itu tidak perlu terjadi.

Tetapi saya pun beriman bahwa bagi Tuhan, tidak ada sesuatu pun yang sia-sia, termasuk peristiwa itu. Maka jadilah saya bertanya-tanya dan merenungkan dalam hati, mengapa Tuhan membiarkan penyangkalan itu terjadi. Terlebih lagi, apa yang Tuhan kehendaki dari peristiwa itu.

Dalam Mat 26:31-35 kita membaca bagaimana Simon Petrus dengan yakinnya berkata bahwa dia sesekali tidak akan pernah menyangkal Yesus meskipun dia harus mati bersamaNya. Bahwa meskipun iman semua orang lain goyah, imannya kepada Yesus tidak akan tergoyahkan. Sebuah pernyataan iman yang mungkin (bagi kita) terdengar begitu membesarkan hati, tetapi mungkin Yesus tidak ingin Petrus menonjolkan diri, merasa lebih hebat dan lebih kuat imannya daripada murid-murid yang lain ataupun orang lain. Yesus tidak ingin Petrus memiliki kesombongan rohani, Yesus tidak ingin Petrus menjadi lupa diri bahwa kemampuan manusia mempertahankan iman (seperti itu) hanya mungkin jika Roh Kudus bekerja bersamanya. Bukan keinginan dan kemampuan manusiawi semata.

Maka penyangkalan itu terjadi membawa makna akan perlunya penyertaan Roh Kudus dalam hidup pengikut Kristus, teristimewa dalam menghadapi masalah-masalah yang terasa berat. Itu terjadi agar kita, pengikut Kristus, selalu mengikutsertakan bahkan mengandalkan Roh Kudus. Penyangkalan itu terjadi sebagai pengingat abadi bahwa kita tidak sempurna, sang batu karang tidaklah sempurna, dan gereja tidaklah sempurna. Kesadaran yang membuahkan kerendahan hati untuk selalu mau bangkit dan memperbaiki diri agar tidak terjadi lagi penyangkalan-penyangkalan yang lain.

Dan penyangkalan itu sendiri ternyata bukanlah akhir buruk hubungan Petrus dengan gurunya. Petrus menyadari dan menyesali kesalahannya dan bertobat. Di sinilah terjadinya perbaikan (“reparation”) oleh kuasa Roh Kudus. Roh Kudus memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh diri Simon Petrus.

Tidak hanya berhenti pada penyesalan dan tobat, tetapi Simon Petrus juga bangkit, bersekutu dan membangun umat gereja pertama yang hakikatnya adalah gereja yang didirikan Tuhan Yesus sendiri. Di sinilah terjadinya pemulihan (“restoration”) oleh kuasa Roh Kudus.
Dan lihatlah bahwa Yesus memenuhi janjinya bahwa gereja yang didirikanNya akan bertahan sampai akhir jaman, sebagaimana tertulis dalam Mat 28: 20 “Dan ajarilah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir jaman”). Amanat Suci ini adalah bukti bahwa Yesus mengangkat (“elevate”) martabat & peran Simon Petrus untuk melanjutkan karya keselamatan Yesus bagi semua orang yang percaya.

Bila kita bandingkan, semuanya ini sangat bertolak belakang dengan tragisnya nasib Yudas Iskariot yang justru malah mengakhiri hidupnya setelah juga berdosa terhadap Kristus (menjual, menyerahkan Yesus kepada pemuka agama dan ahli taurat). Ini sekali lagi menunjukkan bahwa tanpa rahmat dan penyertaan Roh Kudus yang menggiring kepada pertobatan hati, manusia tidak akan beroleh kekuatan dan keselamatan.

Kalau kita mau jujur, seperti Petrus - kita pun seringkali menyangkal Kristus dalam hidup sehari-hari. Dalam banyak hal, entah karena kepentingan pribadi atau alasan cari aman, kita menolak menjalankan atau menunjukkan iman kekatolikan kita terutama bila sedang bersama orang lain. Semakin jarang atau bahkan hanpir tidak pernah lagi kita melihat orang membuat tanda salib di luar gereja Katolik sendiri. Selain menyangkal Yesus, kita pun menyangkal orang-orang yang terdekat dengan kita, meskipun kita tidak pernah benar-benar menginginkan hal itu terjadi. Sama seperti Simon Petrus yang tidak pernah ingin menyangkal gurunya.
Kita bisa mensyukuri “reparation, restoration, dan elevation” yang dialami oleh Simon Petrus, dan kita pun bisa memohon agar rahmat itu terjadi juga pada kita, terutama saat kita terjatuh melawan godaan dan cobaan hidup.


Bila di awal tulisan kita seolah melihat penyangkalan Petrus sebagai sebuah kesalahan dan dosa yang begitu serius, berat, dan tidak terampuni; tampaknya sekarang itu bisa jadi statement yang keliru. Mengapa?. Karena ternyata sebelum Petrus menyangkal Yesus tiga kali, telah sebanyak tiga kali pula Simon Petrus menyatakan kasih dan cintanya kepada Tuhan Yesus. Dalam Yoh:21:15-17 Yesus bertanya kepada Petrus: Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?. Dan Tiap kali, Simon menjawab “Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau”.

Inilah pernyataan cinta kasih yang keluar dari hati yang terdalam dari seorang Simon Petrus, yang setelah Yesus mendengarnya kemudian berkenan memberikan amanat suci “Gembalakanlah domba-dombaku”. Kita melihat sekarang, bahwa ada tiga kali penyangkalan dan ada tiga kali pernyataan kasih. Simon Petrus menyangkal tiga kali tetapi tidak sebelum dia menyatakan kasihnya yang begitu tulus dan besar kepada Yesus gurunya.

Setiap penyangkalan itu telah disangkal pula oleh setiap pernyataan kasih dan amanat suci.
Apakah semua ini sebuah kebetulan belaka? Tentu saja tidak. Artinya Yesus telah mempersiapkan & mengantisipasi segala sesuatunya. Yesus tidak ingin Simon Petrus menjadi goyah imannya oleh karena penyangkalan itu. Terlebih pernyataan kasih telah didengar oleh Yesus dari Petrus sendiri, dan amanat suci (“Gembalakanlah domba-dombaku”) telah diberikan kepadanya.

Sungguh Kasih lebih besar daripada segalanya, dan mengalahkan segalanya. Sebab Allah sendiri adalah kasih. Semoga kita selalu mengutamakan kasih itu terhadap Tuhan dan sesama, sehingga seperti Petrus yang penyangkalannya diampuni serta mengalami “reparation, restoration, and elevation”, kitapun dimampukan oleh Roh Kudus untuk bangkit dalam setiap kejatuhan iman kita.

Amin.

Sumber: Terinspirasi dari Homili Misa Minggu 1 Mei 2022


English Translation

Reparation, Restoration, and Elevation.

In the story of the passion of our Lord Jesus Christ, it is told how Simon Peter had denied Jesus three times, before he heard the crowing of a rooster awakening and reminding him of Jesus' words that this would happen. (Mt 26:34)

The occurrence of this denial felt so heartbreaking and caused deep regret in Peter, a disciple who was so close and loved by Jesus. As if it is a serious and unforgiveable mistake and sin. As if it is a painful ending of the good relationship and the closeness that is so meaningful between a disciple and the teacher he loves. As if it is a fact that does not need to happen. Yes, at first, I don't think that needs to happen either.

But I also have faith that for God nothing is in vain, including that event. So I wondered and pondered in my heart, why God allowed this denial to happen. What's more, what God wants from that event.

In Matthew 26:31-35 we read how Simon Peter confidently said that he would never deny Jesus sometimes even if he had to die with Him. That even though if everyone else's faith was shaken, his faith in Jesus would not. A statement of faith that may (to us) sound so encouraging, but perhaps Jesus did not want Peter to stand out, feel greater and stronger in his faith than the other disciples or anyone else. Jesus didn't want Peter to have spiritual pride, Jesus didn't want Peter to forget that the human ability to maintain such faith is only possible with the permission of the Father. Not mere human desires and abilities.

So that denial takes place to mean the need for the inclusion of the Holy Spirit in the lives of Christ's followers, especially in dealing with difficult problems. It happens so that we, followers of Christ, always include and even rely on the Holy Spirit. The denial comes as a perpetual reminder that we are imperfect, the ‘Rock’ is not perfect, and the church is no different. Awareness that produces humility to always want to get up and improve yourself so that other denials don't happen again.

And the denial itself turned out to be not a bad end to Peter's relationship with his teacher. Peter realized and regretted his mistake and repented. This is where the repair ("reparation") by the power of the Holy Spirit. The Holy Spirit corrected what was wrong with Simon Peter.

Not only did he stop at repentance and repentance, but Simon Peter also rose, fellowshiped and built the first church people, which is essentially the church that the Lord Jesus himself founded. This is where the restoration ("restoration") by the power of the Holy Spirit.

And see that Jesus fulfilled his promise that the church he built would endure to the end of time, as it is written in Matthew 28:20 “And teach them to do all things that I have commanded you. And behold, I am with you always, even to the end of the age." This Holy Commission is proof that Jesus entrusted and raised ("elevate") the dignity of Simon Peter to continue the work of Jesus' salvation for all who believe.

If we compare, all of this is in stark contrast to the tragic fate of Judas Iscariot who actually ended his life after also sinning against Christ (selling, handing Jesus over to religious leaders and scribes). This once again shows that without the grace and inclusion of the Holy Spirit which leads to conversion of the heart, humans will not have the necessary strength and salvation.

If we are being honest, like Peter - we often deny Christ in our daily lives. In many cases, whether for personal reasons or for safety reasons, we refuse to practice or demonstrate our catholic faith especially in our interactions with other people. Rarely or almost never again do we see people making the sign of the cross outside the Catholic church itself.

In addition to denying Jesus, we also deny those closest to us, although we never want that to happen. Just as Simon Peter never meant to deny his teacher.

We can be grateful for the “reparation, restoration, and elevation” that was experienced by Simon Peter, and we can also ask for that grace to happen to us, especially when we fall against the temptations and trials of life.

When at the beginning of the writing we seem to see Peter's denial as a mistake and a sin that is so serious and unforgivable; now it seems that it could be a false statement.

Why?. Because apparently before Peter denied Jesus three times, something much important had proceeded where Simon Peter had expressed his love and affection for the Lord Jesus three times. In John:21:15-17 Jesus asked Peter: Simon, son of John, do you love me? And each time, Simon answered "Lord, you know that I love you". This is a very significant confession and proclamation. This is a statement of love that comes from the deepest heart of a Simon Peter, who after Jesus heard it then deigned to give the sacred message "Feed my sheep".

We see now, that there are three times of denial and three times of expression of love.

Simon Peter denied three times but not before he expressed his sincere and great love for his teacher Jesus. Every denial has been refuted by every declaration of love and sacred commission.

Is all this a mere coincidence? Of course not.

This means that Father and Jesus have prepared everything. The declaration of love that has been heard by Jesus, and the sacred commission (“Feed my sheep”) that has been given - are so fundamental, so that Peter’s faith did not have to shaken because of the denials. Here, we see how God loves his people and Jesus’ salvation mission (through Holy Spirit) continues.

Truly Love is greater than all, and conquers all, because God Himself is love. May we always put love for God and others first, so that like Peter, whose denial was forgiven and experienced “reparation, restoration, and elevation”, we too are enabled by the Holy Spirit to rise in every fall of our faith.

Amen.

(Writing inspired from the Sunday Mass Homily May 1st, 2022)

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

"Terganggu"

Tanpa bola meriam, dunia akan kehilangan satu orang suci lagi untuk membimbing kita, kita juga tidak akan memiliki Gereja St Ignatius atau Jesuit. Bola meriam itu merupakan gangguan, dan bagaimana St. Ignatius menghadapinya mengubah hidupnya dan jutaan orang lainnya.

Tidak dapat disangkal bahwa kita hidup di dunia yang sibuk. Tuntutan hidup yang tiada henti – keluarga, pekerjaan, perawatan diri, dan banyak lagi – seolah berlomba untuk mendapatkan perhatian kita, sedemikian rupa sehingga kita selalu terburu-buru dan hampir tidak punya waktu untuk sekedar bernafas dan memperhatikan arah hidup kita. Waktu berlalu, kalender berlari menuju akhir tahun, dan kita kemudian bertanya-tanya ke mana perginya hari-hari itu. Kita – para Martha yang khawatir dan terganggu – disibukkan dengan obrolan, gangguan, dan kesenangan dunia, semua hal yang kita pikir kita tidak akan bisa hidup tanpanya.

Kemudian tragedi demi tragedi terjadi: meninggalnya orang yang dicintai, penyakit kritis, pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan besar dengan pasangan atau teman - memaksa kita untuk melepaskan keasyikan dan komitmen penting kita. Tiba-tiba hidup kita berubah, dan kita dikejutkan dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan eksistensial, “Mengapa ini terjadi pada saya? Mengapa saya? Bagaimana sekarang? Apa arti dan tujuan hidup saya? Apakah ada kehidupan yang lebih dari semuanya ini?”

Ini adalah pertanyaan yang biasanya tidak kita tanyakan ketika semuanya berjalan dengan baik. Namun, masa-masa perjuangan dan keputusasaan sesungguhnya sering menandai awal dari babak baru dalam hidup kita. Ini adalah undangan untuk meninjau kembali hidup kita, ketika kita mulai mempertanyakan keberadaan kita dan mencari sesuatu yang berarti.


St. Ignatius dari Loyola adalah contoh klasik. Dalam peperangan, dia terkena bola meriam, melukai satu kaki dan mematahkan yang lain. Bola meriam itu sungguh telah mengganggu kehidupannya yang penuh warna di istana dengan permainan pedang dan para dayang istana. Dalam masa pemulihan, ia menghabiskan berbulan-bulan menganggur, sebagian besar dalam rasa sakit dan kebosanan, yang memberinya waktu yang signifikan dalam keheningan dan kesendirian untuk membaca dan merenungkan tentang hidupnya, kehidupan Kristus, dan orang-orang kudus. Dia mulai memperhatikan gerakan batinnya – sesuatu yang tidak akan bisa dia lakukan jika dia tetap sibuk dengan urusan duniawinya. Dia mulai menyaring bahwa pikiran dan keinginan ini membawa penghiburan atau kesedihan. Cederanya memungkinkan dia untuk melihat Tuhan bekerja dalam dirinya dan hidupnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk memilih Kristus daripada kehidupan yang dia jalani sebelumnya.

Dalam masa pemulihan, ia menghabiskan berbulan-bulan menganggur, sebagian besar dalam rasa sakit dan kebosanan, yang memberinya waktu yang signifikan dalam keheningan dan kesendirian untuk membaca dan merenungkan tentang hidupnya, kehidupan Kristus, dan orang-orang kudus.


Kisah kita mungkin tidak sedramatis pertobatan St Ignatius, tetapi kita dapat yakin bahwa Tuhan selalu menjangkau kita setiap saat. Tuhan menyela hidup kita karena suatu alasan, dan kita perlu memperhatikannya. Interupsinya menunjukkan kepada kita apa yang membuat kita tertawan. Hanya kemanusiaan kitalah yang membuat kita lumpuh. Namun, kerentanan kita memungkinkan Dia untuk melakukan terobosan. Ini membuka kita pada kemungkinan yang belum pernah kita pertimbangkan sebelumnya dan potensi yang ditawarkan masa depan kita.

Ketika sebuah bola meriam mengenai St Ignatius, hal terakhir yang bisa dia bayangkan adalah jalan yang pada akhirnya akan menuntunnya untuk menulis Latihan Rohani Ignatius dan mendirikan Serikat Yesus. Tanpa bola meriam, dunia akan kehilangan satu orang suci lagi untuk membimbing kita, kita juga tidak akan memiliki Gereja St Ignatius atau Jesuit. Bola meriam itu merupakan gangguan, dan bagaimana St. Ignatius menghadapinya mengubah hidupnya dan jutaan orang lainnya.


Apa bola meriam kita? Dan bagaimana kita menanggapinya? Jika kita benar-benar percaya bahwa Tuhan akan menjaga kita, bukankah masuk akal jika kita akan melihat dan mengikuti bisikan Roh dengan setia, meskipun kita tidak tahu apa yang ada di depan? Mari kita berdoa kepada Tuhan agar Dia mengungkapkan kepada kita apa yang telah menawan kita begitu lama. Dan agar Dia memberi kita penglihatan untuk mengenali gangguan-Nya dan keberanian untuk keluar dari kurungan kita dan menuju kebebasan.
(RS)

— Peringatan Santo Ignatius jatuh pada tanggal 31 Juli —

Sumber: Terjemahan dari tulisan Rosina Simon berjudul “Interrupted”

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Immersed in Prayer

Mathematically speaking, the only logical answer would be when her will is equal to His will, which would only be possible if she completely surrendered her will and submitted to Him.

Immersed in Prayer

She was immersing herself in the hot water in a quiet morning when three generations of females entered the onsen. Even though she tried to keep to herself, she couldn’t help but notice the young girl, her mother, and her grandmother. Two things caught her attention. The young girl’s smooth porcelain skin, the mother’s well-maintained appearance and yet the onset of aging was apparent, and the grandmother’s deep lines and wrinkles. And their dispositions were noticeably different. The young girl was lively and chatty, the mother refined and eloquent, and the grandmother serenely paying attention and occasionally chimed in the conversation. 

The three generations made interesting contrasts - the evolving physical, mental, and perhaps intellectual progress was clear to see. No one could stop the deterioration of the physique over time, regardless of what one does. Most would develop mentally and intellectually, as one learns from and goes through education and life experiences. The girl has noticed the evolution in herself. Those were exterior, visible, and observable. Then a thought crossed her mind. How about the invisible, the deeper self? Would there be growth in the interiority as well? 

Somehow, she could not put down the thought and started pondering about her faith and prayer. Especially her struggle in understanding free will and God’s will. She was taught that man has free will; and yet “Thy will be done” was also imparted and repeated often in prayers. The peculiar dichotomy. 

She remembered praying as a child and adolescent, petitioning for certain favors, such as getting good grades for her exams, requesting presents for her birthdays, wishing for a certain boy to notice her, et cetera. She was praying and expecting that her prayers would be granted. And to increase the odds, she would promise to be good and try to be super nice and helpful to her family and friends. It was always about her will, and she was bargaining and buying grace. It did not occur to her that God has will. The conversation was a one-way street. Her speaking, Him listening.

Slowly she learned that she did not always get what she asked for. And occasionally, she learned to accept when people reminded her that maybe a certain outcome was not God’s will. Such as when her childhood best friend was diagnosed with leukemia. As a mature adult, she prayed hard and prayed for intercessions, and her friend’s leukemia was cured. She was elated. God was good, and He answered her prayer. When cancer recurred six years later, she prayed harder and added Novenas and weekly fasting while reciting “Thy will be done.” Perhaps it was more in the lips than in the heart, for she was devastated when her friend passed on. Even though she could accept that it was God’s will, and it was best for her friend, she could not help but question the contradiction of her will versus His will.

How could this paradox ever be resolved? Mathematically speaking, the only logical answer would be when her will is equal to His will, which would only be possible if she completely surrendered her will and submitted to Him. If she totally believed that He knows her better than she knows herself, that He loves her more than she loves herself, that His ways are higher than hers. Ceding control. Willingness to enter the unknown. Complete trust. Complete faith. Like Jesus on the Cross. Was that even possible? 

Her thoughts were interrupted by their laughter. The young girl’s gullible chuckle and the grandmother’s gentle laugh. Her eyes were drawn to the grandmother’s wrinkled face. A face that has seen and lived through a bountiful of joys and sorrows. A wise, peaceful soul. Perhaps it is possible. (RS).    

*onsen = Japanese hot spring    

(Translation in Bahasa Indonesia)

Tenggelam dalam Doa

Seorang wanita membenamkan dirinya di air panas di pagi yang tenang ketika tiga wanita dari tiga generasi berbeda memasuki onsen. Meskipun dia mencoba untuk tidak memperhatikan, dia tidak bisa tidak memperhatikan gadis muda itu, ibunya, dan neneknya. Ada dua hal yang menarik perhatiannya. Kulit porselen halus gadis muda itu, penampilan sang ibu yang terpelihara dengan baik namun permulaan penuaan tampak jelas, dan garis-garis dalam dan kerutan sang nenek. Dan disposisi mereka sangat berbeda. Gadis muda itu lincah dan cerewet, ibunya halus dan fasih berbicara, dan neneknya dengan tenang memperhatikan dan kadang-kadang menimpali dalam percakapan.

Tiga generasi membuat kontras yang menarik - kemajuan fisik, mental, dan mungkin intelektual yang berkembang jelas terlihat. Tidak ada yang bisa menghentikan kerusakan fisik dari waktu ke waktu, terlepas dari apa yang dilakukan. Sebagian besar akan berkembang secara mental dan intelektual, ketika seseorang belajar dari dan melalui pendidikan dan pengalaman hidup. Gadis itu telah memperhatikan evolusi dalam dirinya. Itu adalah eksterior, terlihat, dan dapat diamati. Kemudian sebuah pikiran terlintas di benaknya. Bagaimana dengan yang tak terlihat, diri yang lebih dalam? Akankah ada pertumbuhan dalam interioritas juga?

Entah bagaimana, dia tidak bisa mengesampingkan pikiran itu dan mulai merenungkan tentang iman dan doanya. Terutama perjuangannya dalam memahami kehendak bebas dan kehendak Tuhan. Dia diajari bahwa manusia memiliki kehendak bebas; namun "Jadilah kehendak-Mu" juga disampaikan dan sering diulang dalam doa. Dikotomi yang khas.

Dia ingat berdoa sebagai seorang anak dan remaja, memohon bantuan tertentu, seperti mendapatkan nilai bagus untuk ujiannya, meminta hadiah untuk ulang tahunnya, berharap seorang anak laki-laki memperhatikannya, dan lain-lain. Dia berdoa dan berharap doanya akan dikabulkan. Dan untuk meningkatkan peluang, dia akan berjanji untuk menjadi baik dan berusaha menjadi sangat baik dan membantu keluarga dan teman-temannya. Itu selalu tentang keinginannya, dan dia menawar dan membeli anugerah. Tidak terpikir olehnya bahwa Tuhan memiliki kehendak. Percakapan adalah jalan satu arah. Dia berbicara, Dia mendengarkan.

Perlahan dia belajar bahwa dia tidak selalu mendapatkan apa yang dia minta. Dan terkadang, dia belajar menerima ketika orang mengingatkannya bahwa mungkin hasil tertentu bukanlah kehendak Tuhan. Seperti ketika sahabat masa kecilnya didiagnosis menderita leukemia. Sebagai orang dewasa yang matang, dia berdoa dengan sungguh-sungguh dan berdoa untuk syafaat, dan leukemia temannya disembuhkan. Dia sangat gembira. Tuhan itu baik, dan Dia menjawab doanya. Ketika kanker kambuh enam tahun kemudian, dia berdoa lebih keras dan menambahkan Novenas dan puasa mingguan sambil membaca "Jadilah kehendak-Mu." Mungkin itu lebih di bibir daripada di hati, karena dia hancur ketika temannya meninggal. Meskipun dia bisa menerima bahwa itu adalah kehendak Tuhan, dan itu yang terbaik untuk temannya, dia tidak bisa tidak mempertanyakan kontradiksi antara kehendaknya dengan kehendak-Nya.

Bagaimana paradoks ini bisa diselesaikan? Secara matematis, satu-satunya jawaban logis adalah ketika kehendaknya sama dengan kehendak-Nya, yang hanya mungkin jika dia sepenuhnya menyerahkan kehendaknya dan tunduk kepada-Nya. Jika dia benar-benar percaya bahwa Dia mengenalnya lebih baik daripada dia mengenal dirinya sendiri, bahwa Dia mencintainya lebih dari dia mencintai dirinya sendiri, bahwa jalan-Nya lebih tinggi daripada miliknya. Kontrol penyerahan. Kesediaan untuk memasuki yang tidak diketahui. Kepercayaan penuh. Iman yang lengkap. Seperti Yesus di Kayu Salib. Apakah itu mungkin?

Pikirannya terganggu oleh tawa mereka. Tawa gadis muda yang mudah tertipu dan tawa lembut sang nenek. Matanya tertuju pada wajah nenek yang keriput. Wajah yang telah melihat dan menjalani banyak suka dan duka. Jiwa yang bijaksana dan damai. Mungkin itu mungkin. (RS).

*onsen = pemandian air panas Jepang

Read More
Artikel & Renungan WKICU Admin Artikel & Renungan WKICU Admin

Divine Mercy

Dan marilah kita meletakkan hati kita yang penuh penyesalan di telapak tangan kasih-Nya dan membiarkan Kerahiman Ilahi menyembuhkan luka dosa dan kesalahan kita.

The verse “For God so loved the world that he gave his only Son, so that everyone who believes in him may not perish but may have eternal life” (Jn 3:16) is often used to describe the depth of God’s love for us.  This verse is quite unfathomable, as our human mind simply can’t comprehend this profound expression of love. 

In the recent Lenten Triduum recollection, a speaker used an analogy of a fruit fly: it is like a mighty human who loves fruit flies so dearly that the human became one to save them.  That comparison is intriguing.  Could we imagine leaving our comfortable life as a human being willingly and stooping down to be born as the humblest of the fruit flies to save the sinful and the ungrateful flies, accepting the gravity of the suffering and sacrifice that await us? 

Perhaps we can’t, but God did.  “God proves His love for us in that while we were sinners, Christ died for us” (Rom 5:8).  He who loves us first; He who loves us when we are still sinners.  God’s love and mercy for us is inseparable from human existence – the mercy shown to Adam and Eve for their disobedience and rebellion, to Cain for his act of violence, to humanity’s present days’ malice and cruelty.  The Living Word continues to offer His mercy to us, the prodigal son, the lost sheep, the adulteress woman, the thief on the Cross.  His final utterance on the Cross, ”Father, forgive them, for they do not know what they do,” says it all. 

Indeed, God says what He means, and He means what He says.  Alas, despite the unending exhortations and living proofs, humanity continues to doubt and forget.  In the last century, when the world plunged into darkness, besieged by two world wars and their aftermaths, Jesus sent another messenger, Sr. Faustina Kowalska (d. 1938) – a Polish nun and mystic, to remind the world yet again of His faithfulness: 

He who trusts in My mercy will not perish, for all his affairs are Mine [723].

Let the weak, sinful soul have no fear to approach Me, for even if it had more sins than there are grains of sand in the world, all would be drowned in the unmeasurable depths of My mercy [1059].

Tell souls that from this fount of mercy souls draw graces solely with the vessel of trust.  If their trust is great, there is no limit to My generosity [1062].

I have opened My Heart as a living fountain of mercy.  Let all souls draw life from it.  Let them approach this sea of mercy with great trust...  Whoever places his trust in My mercy will be filled with My divine peace at the hour of death [1520].

Sr. Faustina’s diary reminds us that Jesus refuses no one if they turn with trust to His Mercy and seek forgiveness for their sins.  No sin is too grave for Jesus to forgive.  All we have to do is open our hearts to receive the gift.  A gift we can never repay and can only accept, one that must be experienced and not simply understood.  For it is in experiencing this unconditional forgiveness that we can extend forgiveness to the others.

It takes two to hold hands.  Our God is a generous God who never tires of giving.  Jesus continues to extend His hand to us.  Are we responding to His invitation?  When we pray Our Father, when we do the examen of consciousness, when we seek His mercy at Mass and in the sacrament of Reconciliation, do we mean what we say and say what we mean?

We are in the joyous Easter season, a season where we celebrate the victory of Light over darkness.  Jesus Christ’s blood has redeemed us, transforming us from the beloved dust into the precious child of God.  In the excitement of the Easter celebration, let us call out to the Lord with conviction, “Jesus, I trust in You.”  And let us place our contrite heart in His loving palm and allow the Divine Mercy to heal the wounds of our sins and guilts. 
(RS)

Ayat “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16) sering digunakan untuk menggambarkan kedalaman kasih Allah kepada kita. Ayat ini sangat sulit untuk diselami, karena pikiran manusia kita tidak dapat memahami ungkapan cinta yang sangat mendalam ini.

Dalam ingatan Triduum Prapaskah baru-baru ini, seorang pembicara menggunakan analogi lalat buah: seperti manusia perkasa yang sangat mencintai lalat buah sehingga manusia menjadi satu untuk menyelamatkan mereka. Perbandingan ini amat menarik. Bisakah kita membayangkan meninggalkan kehidupan kita yang nyaman sebagai manusia dengan rela dan membungkuk untuk dilahirkan sebagai lalat buah yang paling rendah hati untuk menyelamatkan lalat yang berdosa dan tidak tahu berterima kasih, menerima beratnya penderitaan dan pengorbanan yang menunggu kita?

Mungkin kita tidak bisa, tapi Tuhan bisa. “Allah membuktikan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rm 5:8). Dia yang mencintai kita lebih dulu; Dia yang mengasihi kita ketika kita masih berdosa. Kasih dan belas kasihan Tuhan bagi kita tidak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia – belas kasihan yang ditunjukkan kepada Adam dan Hawa atas ketidaktaatan dan pemberontakan mereka, kepada Kain atas tindakan kekerasannya, terhadap kedengkian dan kekejaman umat manusia saat ini. Sabda yang Hidup terus menawarkan belas kasihan-Nya kepada kita, anak yang hilang, domba yang hilang, wanita pezina, pencuri di kayu Salib. Ucapan terakhir-Nya di kayu Salib, "Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan," menyatakan itu semua.

Sungguh, Tuhan menyatakan apa yang Dia maksudkan, dan Dia bersungguh-sungguh dengan apa yang Dia firmankan. Sayangnya, terlepas dari nasihat dan bukti hidup yang tak ada habisnya, umat manusia terus ragu dan lupa. Pada abad terakhir, ketika dunia jatuh ke dalam kegelapan, dikepung oleh dua perang dunia dan akibatnya, Yesus mengirim utusan lain, Sr. Faustina Kowalska (wafat 1938) – seorang biarawati dan mistik Polandia, untuk mengingatkan dunia sekali lagi akan Dia. kesetiaan:

Dia yang mengandalkan belas kasihan-Ku tidak akan binasa, karena semua urusannya adalah milik-Ku [723].

Biarlah jiwa yang lemah dan berdosa tidak takut untuk mendekati-Ku, karena meskipun memiliki lebih banyak dosa daripada butiran pasir di dunia, semuanya akan tenggelam dalam kedalaman rahmat-Ku yang tak terukur [1059].

Beritahu jiwa-jiwa bahwa dari sumber rahmat ini jiwa-jiwa menarik rahmat hanya dengan bejana kepercayaan. Jika kepercayaan mereka besar, tidak ada batasan untuk kemurahan hati-Ku [1062].

Aku telah membuka HatiKu sebagai mata air belas kasih yang hidup. Biarkan semua jiwa menarik kehidupan darinya. Biarlah mereka mendekati lautan rahmat ini dengan kepercayaan yang besar... Barangsiapa menaruh kepercayaannya pada belas kasihan-Ku akan dipenuhi dengan kedamaian ilahi-Ku pada saat kematian [1520].

Buku harian Sr. Faustina mengingatkan kita bahwa Yesus tidak menolak siapa pun jika mereka berpaling dengan percaya kepada Kerahiman-Nya dan mencari pengampunan atas dosa-dosa mereka. Tidak ada dosa yang terlalu berat untuk diampuni oleh Yesus. Yang harus kita lakukan adalah membuka hati kita untuk menerima hadiah itu. Sebuah hadiah yang tidak akan pernah bisa kita balas dan hanya bisa kita terima, hadiah yang harus dialami dan tidak hanya dipahami. Karena dengan mengalami pengampunan tanpa syarat inilah kita dapat memberikan pengampunan kepada orang lain.

Dibutuhkan dua orang untuk berpegangan tangan. Tuhan kita adalah Tuhan yang murah hati yang tidak pernah lelah memberi. Yesus terus mengulurkan tangan-Nya kepada kita. Apakah kita menanggapi undangan-Nya? Ketika kita berdoa Bapa Kami, ketika kita melakukan pemeriksaan kesadaran, ketika kita mencari belas kasihan-Nya dalam Misa dan dalam Sakramen Tobat, apakah yang kita maksudkan dengan apa yang kita katakan dan katakan apa yang kita maksudkan?

Kita berada di musim Paskah yang menggembirakan, musim di mana kita merayakan kemenangan Terang atas kegelapan. Darah Yesus Kristus telah menebus kita, mengubah kita dari debu terkasih menjadi anak Allah yang berharga. Dalam kegembiraan perayaan Paskah, marilah kita berseru kepada Tuhan dengan keyakinan, “Yesus, aku percaya kepada-Mu.” Dan marilah kita meletakkan hati kita yang penuh penyesalan di telapak tangan kasih-Nya dan membiarkan Kerahiman Ilahi menyembuhkan luka dosa dan kesalahan kita.
(RS)

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Who is Your King ?

Siapakah rajamu, yang kepadaNya engkau rela menyerahkan nyawamu ?

If I was never born,.. what difference(s) it would be to the World ?.

Ketika kita bertanya kepada diri sendiri: Apa tujuan hidupku terlahir di dunia ini?
Kemungkinan besar kita akan sulit menjawabnya.


Namun ketika pertanyaannya dibalik menjadi: “Kalau saya tidak pernah terlahir di duni ini, apa ada bedanya bagi dunia ?.” Otomatis kita berpikir lebih keras lagi untuk mencari jawaban-jawabannya. Karena kegagalan untuk menjawabnya berarti adalah kegagalan untuk memberikan justifikasi atas keberadaan kita. Dan tidak seorangpun ingin bila kebearadannya di dunia tidak berarti apa-2.


Saat menuliskan ini, invasi Rusia ke Ukraina telah memasuki hari ke sepuluh, dan ratusan korban jiwa telah berjatuhan dari kedua belah pihak. Sebagian besar korban dari pihak Rusia adalah para tentara, karena memang pihak tentara Rusia diperintahkan pemimpin negaranya untuk memasuki wilayah negara Ukraina. Jatuhnya korban para tentara ini (meskipun dalam sebuah perang itu adalah sebuah keniscayaan dan sebuah konsekuensi wajar), tetap saja membuat saya berpikir: 'Ah, sungguh kasihan, sungguh sangat disayangkan, nyawa hilang dalam perang melawan sesama manusia'.


Mengapa disayangkan? Bukankah mereka adalah tentara? Bukankah memang tugas tentara adalah tunduk kepada perintah pemimpin negara, berperang membela dan mempertahankan negara ?.

Iya betul, memang para tentara harus taat kepada pemimpinnya (raja, presiden, panglima tentara) dan tidak boleh menolak perintah, disuruh apapun harus turut perintah, disuruh perang ya perang, disuruh latihan ya latihan. Tetapi bagaimana dengan nyawa-nyawa mereka itu, Apakah kerelaan MEREKA menyerahkan nyawanya untuk berperang, sungguh-sungguh adalah tujuan yang paling penting, mengalahkan pentingnya semua tujuan hidup lain di dunia ini?.

Saya tidak bisa menerka jawabannya. Saya terdiam, lama.

Apakah kalau mati dalam perang akan masuk Sorga ?.
Kalau tidak masuk Sorga, lantas mengapa bersedia menjadi tentara dan membunuh sesama ?.

Pertanyaan-pertanyaan ini terasa begitu mendasar dan penting untuk dijawab. Sebab jika semua tentara telah menyerahkan nyawanya atas nama ketaatan kepada pemimpin (dunia), yang tidak menjamin keselamatan kekal, bagaimana mereka menempatkan ketaatan mereka kepada Tuhan, yang sungguh menjanjikan keselamatan kekal ?.
Ataukah semua tentara tidak percaya akan adanya keselamatan kekal ?. Ataukah sebaliknya mereka percaya bahwa berperang (dan membunuh pihak musuh) akan menghantarkan jiwa mereka kepada keselamatan kekal?.


Jika sungguh sebuah ketaatan adalah kunci mencapai keselamatan kekal, bagaimana kalau Tuhan, sebagai raja kita, memerintahkan kita untuk berperang melawan dosa?. Tidakkah perintah itu adalah jauh lebih penting daripada semua peperangan fisik di dunia?.

Jika ya, akahkah kita rela menyerahkan nyawa demi perintah Tuhan itu? Apakah kita rela mati seperti para tentara yang rela mati mematuhi perintah pemimpin negaranya ?.


Masa Prapaskah adalah masa yang baik untuk memperbaiki diri dan berperang melawan dosa. Dan semoga kita mau melihat kembali apa arti dan tujuan keberadaan kita di dunia ini. Siapakah raja sejati bagi kita, dan apakah kita sudah taat dan rela mati untuk Sang Raja, seperti ketaatan para tentara yang telah rela mati di medan perang.
Sebab Yesus telah menunjukkan kerelaanNya sampai mati di kayu salib, demi ketaatanNya kepada perintah Bapa. Dan dengan menyerahkan nyawaNya, sungguh Dia telah memperoleh kembali hidupNya.


Newark, CA March 5, 2022



Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

The Purpose of Life - Tujuan Hidup

“Tuhan menciptakan aku, supaya aku mengenalNya, mencintaiNya, dan melayaniNya di dunia ini dan bahagia bersamaNya selamanya di Sorga”

Pernahkah anda bertanya : “Apakah sebetulnya tujuan hidup ini ?”

Dalam Katekismus lama ada pertanyaan, “Mengapa Tuhan menciptakanmu?”

Jawabannya: “Tuhan menciptakan aku, supaya aku mengenalNya, mencintaiNya, dan melayaniNya di dunia ini dan bahagia bersamaNya selamanya di Sorga.”

Di sini lah, dalam hanya 18 kata ini, adalah rangkuman seluruh alasan keberadaan kita di dunia.
Yesus bahkan menjawab pertanyaan itu dengan lebih singkat lagi: “Aku datang supaya kamu memiliki hidup dan memilikinya lebih berkelimpahan” (Yohanes 10:10)



Rencana Tuhan untuk Anda sederhana.
Bapa yang maha pengasih ingin memberimu semua hal yang baik - terutama kehidupan kekal. Yesus rela mati di kayu salib untuk menyelamatkan kita semua dari dosa dan keterpisahan kekal dari Allah yang disebabkan oleh dosa (KGK 599-623).

Ketika Dia menyelamatkan kita, Dia menjadikan kita bagian dari Tubuh-Nya, yaitu Gereja (1 Kor.12:27-30). Dengan demikian kita menjadi bersatu dengan Dia dan dengan orang-orang Kristen di manapun (di bumi, di surga, di api penyucian).

Source: Catholic Answer booklet

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Mengapa Orang Katolik menyembah patung ? (Sebuah pertanyaan yang keliru).

Dalam Keluaran 20:4-5, Tuhan melarang pembuatan patung untuk tujuan disembah, tetapi Tuhan sama sekali tidak melarang pembuatan patung.

Mengapa Orang Katolik menyembah patung ? Ada banyak patung di gereja Katolik !.


Anda mungkin belum pernah ditanyai seseorang secara langsung seperti seperti itu.
Tapi bila anda seperti saya dan banyak orang Katolik lain yang pernah mengalaminya, pertanyaan ini sontak terdengar seperti sebuah tuudingan yang tidak bersahabat dan mengusik rasa damai dalam hati.

Mari kita simak akan hal ini, agar kita bisa memberikan jawaban yang benar - sekaligus membuktikan bahwa pemahaman dan tudingan mereka tidaklah tepat.


Dasar yang paling mungkin dipakai oleh orang yang bertanya tentang ini, adalah ayat 4 dan 5 kitab Keluaran bab 20 yang bunyinya adalah seperti ini: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.
Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku.”


Katolik tentu tidak menyembah patung, atau apapun hasil buatan manusia. Gereja Katolik mengajarkan bahwa hanya Tuhan yang harus disembah. Menyembah apa pun yang diciptakan adalah sebuah dosa serius penyembahan berhala. Dalam Keluaran 20:4-5, Tuhan melarang pembuatan patung untuk tujuan disembah, tetapi Tuhan sama sekali tidak melarang pembuatan patung.
Dalam Keluaran 25:18-19, Tuhan memerintahkan Musa untuk membuat patung malaikat (Kerubim). Dalam Bilangan 21:8, Tuhan menyuruh Musa membuat ular tembaga (seraph), yang harus dibuat oleh orang Israel untuk dilihat agar mereka bisa disembuhkan. Orang-orang Yahudi juga menggunakan banyak patung ukiran di Bait Suci, termasuk kerub, lembu, singa, pohon palem, dan bunga (1 Raja-raja 6 dan 7).


Umat Katolik menggunakan patung dan gambar lain untuk mengingat orang-orang suci yang mereka wakili: Yesus, para malaikat, dan orang-orang kudus. Untuk alasan yang sama, orang Protestan juga menggunakan adegan kelahiran Natal untuk menggambarkan orang suci yang sama: Yesus, para malaikat, dan orang-orang kudus. Bedanya hanya saja, umat Katolik menggunakan patung dan gambar dalam sepanjang tahun dalam rangkaian kebaktian mereka.



Penolakan terhadap patung dan gambar lainnya dalam kehidupan kebaktian Gereja adalah bid'ah yang dikenal sebagai "ikonoklasme". Ini pertama kali terlihat dalam agama Kristen pada abad kedelapan ketika Kaisar jahat Leo Isauria, yang dipengaruhi oleh agama baru Islam (didirikan pada 622 M), mulai menyerang penggunaan patung dan ikon di Gereja. Dalam Konsili Nicea Kedua pada tahun 787 M, Gereja mengutuk bid’ah ini. Ikonoklasme itu kemudian tidak pernah muncul kembali dalam agama Kristen, sampai pada masa terjadinya Reformasi (sekitar th 1520).


Sekarang kita tahu dan siap memberikan jawaban atas pertanyaan (yg didasarkan pandangan yg keliru) di atas.
Dan semoga semakin banyak orang yang menjadi tahu dan mengerti akan ajaran dan tradisi gereja kita yang satu, kudus, katolik, dan apostolik.

Source: San Juan Catholic Seminars




Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

SETIAP PERSEMBAHANMU HARUSLAH KAU BUBUHI GARAM

“Dan setiap persembahan kurban sajianmu haruslah kau bubuhi garam, dan janganlah garam perjanjian Allahmu kurang dari kurban sajianmu, dengan semua persembahanmu haruslah kau persembahkan garam”.

SETIAP PERSEMBAHANMU HARUSLAH KAU BUBUHI GARAM

Mariana Berliana Ali

 

Judul artikel ini adalah ungkapan yang diambil dari Imamat 2 ayat 13 yang berbunyi, “Dan setiap persembahan kurban sajianmu haruslah kau bubuhi garam, dan janganlah garam perjanjian Allahmu kurang dari kurban sajianmu, dengan semua persembahanmu haruslah kau persembahkan garam.” Ayat ini mengandung kata Ibrani minḥāh untuk “kurban sajian” dan melaḥ untuk “garam” yang muncul masing-masing dua dan tiga kali. Artikel ini berusaha menjelaskan unsur-unsur itu dalam konteksnya dan bagaimana kedua unsur tersebut digunakan dalam Perjanjian Baru (PB). Sebagai penutup akan diuraikan pengikut Kristus sebagai kurban dan garam dunia.

 

Konteks

Di Kitab Imamat, kata minḥāh adalah istilah teknis yang digunakan hanya untuk “kurban sajian”, yaitu persembahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Di luar Kitab Imamat, istilah tersebut dapat merujuk bukan saja ke persembahan biji-bijian, melainkan juga hewan yang dikenal sebagai kurban bakaran. Misalnya, baik kurban sajian Kain dan kurban hewan Habel disebut minḥāh (lih. Kej. 4:4-5). Kurban sajian adalah salah satu dari tiga jenis kurban (kurban bakaran dalam Im. 1 dan kurban keselamatan dalam Im. 3) yang menghasilkan “aroma yang menyenangkan bagi Tuhan” (Im. 1:9, 17; 2:2, 9, 12; 3:5, 16).

Kurban sajian resmi dipersembahkan setelah kurban bakaran setiap hari (Bil. 28). Baik kurban bakaran maupun kurban sajian sering disebut bersama-sama dalam kitab-kitab sejarah (Yos. 22:23, 29; Hak. 13:19, 23; 1 Raj. 8:64; 2 Raj. 16:13, 15). Maka wajarlah jika kurban sajian dalam Im. 2 dijelaskan setelah kurban bakaran dalam Im. 1. Tidak seperti kurban bakaran dan kurban keselamatan, kurban sajian bukanlah kurban binatang. Dalam kurban bakaran seluruh hewan yang dipersembahkan dibakar, sedangkan dalam kurban sajian hanya segenggam yang dibakar dalam api dan selebihnya adalah untuk para imam (lih. Im. 2:3, 10).

Apabila seseorang hendak memberi persembahan berupa kurban sajian kepada Tuhan, persembahannya itu harus berupa tepung terbaik yang dituangi minyak zaitun dan dibubuhkan kemenyan di atasnya (Im. 2:1). Tepung bisa dipersembahkan dalam keadaan mentah atau dimasak. Ada tiga cara untuk memasaknya: dipanggang dalam oven (ay. 4), dimasak di atas wajan dengan sedikit minyak (ay. 5) atau digoreng dalam wajan (ay. 7). Sementara ragi dan madu dilarang (ay. 11; lih. Kel. 23:18; 34:25), garam harus ditambahkan ke dalam kurban sajian (ay. 13). Sebelum kita bahas mengenai tambahan garam yang diharuskan ini, marilah kita memahami dahulu makna dan maksud dari kurban sajian.

 

Makna dan Maksud minḥāh

Penggunaan non-religius kurban sajian atau minḥāh sering berarti “upeti”, uang yang dibayarkan seorang raja bawahan kepada tuannya sebagai tanda niat baik dan kesetiaannya yang berkelanjutan (Hak. 3:15, 17-18; 2 Sam. 8:6; 1 Raj. 5:1; 10:25; 2 Raj. 17:3 dst.).[1] Persembahan ini mungkin hanya sebagai “hadiah”, meskipun seringkali menunjukkan bahwa pemberi takut kepada orang yang diberi hadiah dan berusaha untuk mengambil hatinya melalui hadiah. Misalnya, Yakub mengirimkan minḥāh kepada saudaranya Esau (Kej. 32:19 dst.) dan kemudian kepada Yusuf, putranya yang menjabat sebagai perdana menteri Mesir (Kej. 43:11, 15, 25-26).

Makna sekuler minḥāh ini tampaknya kemudian dialihkan ke dunia agama. Kurban sajian dipersembahkan sebagai suatu penghormatan dari penyembah yang setia kepada tuan ilahinya. Ketika sebuah perjanjian dibuat, negara-negara taklukkan diharapkan membawa upeti kepada raja besar. Israel juga terikat oleh perjanjian dengan Allah dan karena itu mereka mempunyai tanggung jawab untuk mengungkapkan kesetiaan mereka dengan membawa persembahan gandum.

Berhubung kurban sajian biasanya dipersembahkan bersama dengan kurban lainnya maka dibutuhkan penjelasan untuk menentukan apa maksud sebenarnya ritus itu dipersembahan. Biasanya kurban sajian dipersembahkan bersama kurban bakaran, tetapi kurban sajian juga dapat dipersembahkan secara sendiri pada hari raya panen (lih. Im. 2:14). Menurut Kitab Ulangan bab 26, saat melaksanakan ibadah itu penyembah harus mengakui belas kasihan Tuhan yang telah membawanya ke tanah perjanjian dan harus menyatakan kesetiaannya pada hukum Tuhan yang berkaitan dengan hasil panen pertama. Tuhan “membawa kami ke tempat ini dan memberikan kami negeri ini, suatu negeri yang berlimpah susu dan madu. Sekarang lihatlah, aku telah membawa hasil pertama dari bumi yang telah Kau berikan kepadaku, ya Tuhan” (Ul. 26:9-10). Dalam doanya, si penyembah mengungkapkan makna persembahan hasil pertamanya: ia menyatakan kesetiaannya kepada Tuhan dan persembahannya menjadi penghormatan bagi-Nya. Dengan mempersembahkan sebagian dari hasil panennya kepada Tuhan sebagai ucapan syukur, dia mengakui kebaikan Tuhan kepadanya.

Kurban sajian merupakan hadiah dari penyembah kepada Tuhan dan biasanya diberikan setelah kurban bakaran. Setelah menerima pengampunan dosa melalui kurban bakaran, si penyembah mempersembahkan sebagian dari hasil buminya sebagai kurban sajian kepada Tuhan. Persembahan tersebut dipandang sebagai tindakan dedikasi dan pengudusan diri di hadapan Allah sebagai Juruselamat dan Raja yang menetapkan perjanjian. Kurban sajian itu bukan hanya untuk mengungkapkan rasa terima kasih, tetapi juga kepatuhan dan kesediaan penyembah untuk menaati hukum. Seperti kurban bakaran, kurban sajian adalah kurban yang sering diulang sepanjang hidup penyembah. Kondisi manusia berdosa mengharuskan dia berulang kali mencari pengampunan Ilahi dan memperbarui dedikasi serta sumpah perjanjiannya kepada Tuhan.

Kurban sajian juga berfungsi untuk tujuan praktis: menyediakan bahan makanan pokok bagi para imam. Berhubung para imam dan orang Lewi tidak memiliki tanah sendiri, mereka bergantung sepenuhnya pada niat baik umat. Orang Lewi mengandalkan persepuluhan, tetapi para imam mengandalkan persembahan kurban, khususnya pada persembahan biji-bijian sebab kurban sajian inilah yang paling sering diberikan kepada para imam. Sebaliknya, para imam juga memberikan sebagian dari pendapatan mereka kepada Allah dengan membakar segenggam dari persembahan kurban sajian di atas mezbah sebagai “peringatan” (lih. Im. 2:2, 9, 16).

 

Mengapa setiap persembahan harus dibubuhi garam?

Dalam Kitab Imamat, kata Ibrani melaḥ untuk “garam” muncul hanya dalam Im. 2:13. Apa yang mengejutkan dalam ayat ini adalah saran untuk “membubuhi garam” bukan hanya dalam kurban sajian, tetapi juga dalam “setiap persembahanmu”, suatu penjelasan yang tidak pernah disebut dalam ritual persembahan yang muncul dalam Imamat bab 1, bab 3 sampai dengan bab 17. Kemungkinan hal ini adalah suatu tambahan yang muncul kemudian, meskipun tidak dapat dipastikan kapan ia diadopsi karena ditemukan juga perintah menabur garam untuk kurban bakaran dalam Yeh. 43:24.

Umumnya penggunaan garam dipandang sebagai lawan dari larangan penggunaan ragi sebab garam mencegah pembusukan, sedangkan ragi memicunya. Namun, hanya sedikit bukti yang mendukung bahwa penjelasan tersebut adalah makna simbolis dari pembubuhan garam yang disebutkan dalam Im. 2:13. Di luar Israel, garam dianggap sebagai bumbu makanan bagi para dewa.[2] Berhubung garam digunakan dalam setiap konsumsi makanan, penggunaannya juga dibutuhkan dalam ibadat yang berkaitan dengan persembahan. Fungsi garam sudah begitu dikenal sehingga tidak butuh penjelasan; saran untuk memberi garam ke setiap kurban juga sudah jelas sehingga ketentuan dasar ini cukup diuraikan sekali saja.[3] Pengiriman garam, antara lain, ke bait suci di Yerusalem semasa pasca-pembuangan tercatat dalam Ezra 6:9 dan 7:22.

Garam juga diasosiasikan dengan perjanjian Allah dalam Im. 2:13, yang menunjukkan bahwa garam digunakan untuk melambangkan perjanjian. Istilah “perjanjian garam” dengan Allah memberi gagasan keramahan dalam makan bersama yang mewajibkan kedua belah pihak untuk setia: di satu sisi, Israel harus mematuhi kewajiban yang terungkap dalam perjanjian; di sisi lain, Allah menjamin pemilihan Israel serta hak-hak mereka dalam perjanjian.[4] Penggunaan garam dalam perjanjian dinilai begitu penting sehingga dalam Bil. 18:19 perjanjian yang dibuat antara Allah dan umat-Nya disebut “perjanjian garam” (berît melaḥ). Melalui ayat tersebut, menjadi jelas bahwa garam ditambahkan bukan hanya dalam kurban sajian, tetapi juga dalam semua kurban.

Di luar konteks ritus kurban, garam juga digunakan sebagai simbol untuk perjanjian yang dicatat dalam 2 Taw. 13:5, “Tuhan, Allah Israel, telah memberikan kuasa kerajaan atas Israel kepada Daud dan anak-anaknya untuk selama-lamanya dengan suatu perjanjian garam (berît melaḥ).” Alasan garam disebut disini tidaklah jelas, sepertinya sudah menjadi suatu tradisi untuk memeteraikan perjanjian dengan garam. Fungsi politis garam juga muncul dalam Ezra 4:14 melalui sepucuk surat protes tentang pembangunan kembali kota dan bait suci di Yerusalem: para penulis surat mengungkapkan hubungan dekat mereka dengan raja Persia, “karena kami makan garam istana ...” menjelaskan bahwa mereka ada dalam aliansi dengan istana atau bergantung pada raja.[5]

Daya pengawetan garam juga sudah diketahui dan bisa menjadi faktor penentu dalam penggunaan metaforisnya sebagai lambang daya tahan. Selain itu, garam memiliki kekuatan pemurnian (bayi yang baru lahir digosok dengan garam: Yeh. 16:4) dan dianggap sebagai sinonim untuk kemurnian dan kekudusan (Kel. 30:35). Walaupun kualitas metaforis garam dalam kehidupan religius dan politik tidak dibahas secara eksplisit, tetapi secara implisit selalu ada.

Kata “garam” yang muncul sebanyak tiga kali dalam Im. 2:13 itu mungkin dimaksudkan untuk menekankan peran dan fungsi garam yang banyak digunakan sepanjang zaman kuno untuk mengawetkan makanan, sehingga ungkapan “perjanjian garam” melambangkan keabadian perjanjian antara Tuhan dan manusia. G. Gesenius menganggap ungkapan tersebut sebagai kiasan untuk ikatan perjanjian yang digunakan oleh penduduk Arab, yang makan garam bersama ketika mereka membuat perjanjian.[6] Dengan memahami “perjanjian garam” sebagai suatu perjanjian yang abadi, tindakan membubuhi garam dalam setiap persembahan dapat menjadi sarana untuk mengingatkan si penyembah akan hubungannya yang abadi dengan Tuhan.

 

“Kurban” dan “Garam” dalam PB

Istilah minḥāh muncul dalam Septuaginta dengan istilah thusia yang diterjemahkan sebagai “kurban” dalam PB. Seperti dalam PL, istilah “kurban” digunakan secara umum untuk kurban bakaran dan kurban sajian (Mrk. 12:33; Ibr. 5:1; 7:27; 8:3; 9:9; 10:1.5.8.11). Istilah “kurban” juga digunakan untuk Kristus Yesus yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai kurban yang harum bagi Allah (Ef. 5:2) dan yang telah menghapus dosa kita dengan kurban-Nya (Ibr. 9:26; 10:12). Dengan dasar ini, kita semua diundang agar senantiasa mempersembahkan kurban pujian kepada Allah dan tidak lalai berbuat baik dan membagikan apa yang kita miliki sebab kurban persembahan ini berkenan kepada Allah (Ibr. 13:15-16). Seperti orang-orang Israel kuno yang mempersembahkan kurban sajian pagi dan petang (1 Raj. 18:36; 2 Raj. 3:20), demikian juga kita dipanggil untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai kurban yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah (Rm. 12:1). Dengan demikian, kurban mejadi pekerjaan dan pengabdian hidup kita kepada Tuhan.

Kata “garam” muncul sebanyak delapan kali dalam PB. Jika dalam Im. 2:13 garam adalah sesuatu yang dibubuhkan dalam setiap persembahan untuk melambangkan perjanjian abadi dengan Allah, dalam PB garam mewakili para murid yang menerima panggilan dari Yesus untuk menjadi garam dunia (Mat. 5:13). Mereka diminta untuk selalu mempunyai garam dalam diri mereka (Mrk. 9:50) dan tidak menjadi hambar (Luk. 14:34). Sebab, setiap orang akan digarami dengan api (Mrk. 9:49), yaitu ia harus melewati segala macam ujian sehingga apa yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dalam dirinya akan dimurnikan. Api itu sendiri yang akan menguji kualitas pekerjaan setiap orang (1 Kor. 3:13). Pada akhirnya, biarlah perkataanmu selalu penuh kasih, dibubuhi dengan garam, supaya kamu tahu bagaimana seharusnya menjawab setiap orang (Kol. 4:6).

 

 Pengikut Kristus sebagai kurban dan garam

Istilah “kurban” dalam PB tidak hanya digunakan untuk kurban bakaran dan kurban sajian, tetapi juga untuk pribadi Kristus dan juga murid-Nya. Begitu pula dengan kata “garam” yang mewakili murid-murid Yesus sebagai garam dunia. Dapat disimpulkan bahwa kedua kata “kurban” dan “garam” digunakan dalam PB untuk para pengikut Kristus yang diundang untuk memberi dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Sebagai garam dunia, murid Yesus akan memberikan dunia rasa persahabatan dengan Allah dan kesetiaan pada perjanjian-Nya. Nilai-nilai ini tidak akan pernah ketinggalan zaman atau merusak budaya, melainkan meningkatkan karakteristik positif budaya tersebut dan melindunginya dari penyimpangan. Dimana garam persahabatan dengan Allah dan kesetiaan pada perjanjian-Nya pudar, maka kehadiran murid Kristus menjadi semakin dibutuhkan.

Panggilan untuk menjadi garam jarang mendapat pujian atau rasa syukur dari pihak dunia, tetapi murid Yesus tidak mengukur kebaikan tindakannya berdasarkan pendapat dunia, melainkan pada hak istimewanya membawa rekonsiliasi dan hikmat Allah. Walaupun garam diperlukan untuk kebaikan makanan, tetapi setelah makan orang tidak akan berseru, “Oh, betapa baiknya garam itu”! Hal ini selaras dengan gambaran pengikut Kristus yang dijelaskan oleh penulis anonim dalam Surat kepada Diognetus: “Orang Kristen mengasihi semua orang, tetapi mereka menganiayanya. Dihukum karena tidak dipahami, mereka dihukum mati, tetapi dibangkitkan kembali. Mereka hidup dalam kemiskinan, tetapi memperkaya banyak orang; mereka benar-benar melarat, tetapi memiliki segala sesuatu yang berlimpah. Mereka menderita penghinaan, tetapi itulah kemuliaan mereka. Mereka difitnah, tetapi dibenarkan. Memberi berkat adalah jawaban mereka terhadap pelecehan, rasa hormat adalah tanggapan mereka terhadap penghinaan. Untuk kebaikan yang mereka lakukan, mereka menerima hukuman dari para penjahat, tetapi mereka tetap bersukacita seolah-olah menerima hadiah kehidupan”. Sebagai pengikut Kristus, marilah kita mempersembahkan diri setiap hari sebagai kurban dengan hidup sesuai panggilan menjadi garam dunia.

 

Daftar Pustaka

G. Deiana, Levitico/nuova versione, introduzione e commento di Giovanni Deiana (Milano 2005).

G. J. Wenham, The Book of Leviticus (Grand Rapids, MI 1979).

H. Thomas, Levitikus 1-15 (HTKAT; Freiburg 2014).

H. Eising, “melaḥ”, TDOT V, 78-82.

J. Behm, “θυσία”, TDNT III, 181-182.

 

Mariana Berliana Ali mengajar Kitab Suci di STF Driyarkara setelah menyelesaikan Licentiat di Pontifical Biblical Institute dan doktoral Teologi Biblis di Universitas Angelicum, Roma.



[1] G. J. Wenham, The Book of Leviticus (Grand Rapids, MI 1979), 67.

[2] Bahkan dalam budaya di luar Alkitab, garam juga digunakan dalam dunia ibadah. Di Assur, para dewa juga terlibat dalam konsumsi garam seperti terungkap dalam doa berikut: “Kamu adalah garam yang dihasilkan di tempat yang murni. Ellil mentakdirkanmu untuk makanan para dewa besar. Tanpamu, tidak ada makan siang yang diselenggarakan di bait suci. Tanpamu, raja, tuan dan pangeran tidak dapat mencium aroma pengorbanan”. Lih. H. Eising, “melaḥ”, TDOT V, 79.

[3] Lih. H. Thomas, Levitikus 1-15 (HTKAT; Freiburg 2014), 210.

[4] Lih. H. Eising, “melaḥ”, 82.

[5] Lih. H. Thomas, Levitikus 1-15, 211.

[6] Lih. G. Deiana, Levitico/nuova versione, introduzione e commento (Milano 2005) 60.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Seorang Waria dan Seorang Pendeta

“Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku”

Seorang waria bertanya kepada seorang pendeta yang baru dikenalnya: “Bapak pendeta, kalau suatu saat nanti saya meninggal, apakah saya akan masuk Sorga?”.
Di usianya yang sudah di atas 60 tahun, sang waria memang tidak muda lagi. Bahkan karena di tahun-tahun terakhir ini sering sakit-sakitan, dia tidak lagi bisa bekerja di salonnya – satu-satunya profesi, sumber penghasilan dan ketrampilan yang dia miliki.
Dia kini tidak memiliki siapa-siapa. Kedua orang tuanya sudah lama tiada, sementara semua saudaranya tidak lagi dekat dengannya sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, sejak mereka tahu bahwa ia bukan seorang laki-laki sejati. Mereka menjaga jarak dan bahkan ada yang secara terang-terangan menolak dia sebagai saudara. Istilah kasarnya, dia seorang yang sudah lama terbuang dari keluarganya.


Menjadi seorang waria sebetulnya bukan keinginannya, dia merasa jiwa dan pribadinya seperti terperangkap dalam tubuh lawan jenis, dan itu sangatlah membingungkan pada awalnya. Bukan hanya keluarganya saja yang menolaknya, bahkan semua masyarakat sekitarnya seolah mencibir dan menjauhi. Dia kini sendiri, dan memang selalu sendiri.


Sang pendeta tampak tidak yakin bagaimana harus menjawabnya. Ia juga tidak yakin ada ayat Alkitab yang secara tegas dan bijaksana bisa memberi jawaban akan pertanyaan yang begitu penting. Maka sejurus sang pendeta terdiam, berpikir keras dan cemas. Ia harus bisa memberikan jawaban, sebab jika tidak, itu akan memberikan konotasi buruk akan jabatannya sebagai seorang pendeta.

Katanya: “Ada harga yang harus kamu bayar, sanggupkah kamu?”

Sang waria membalas “Apa harga yang harus kubayar ?”

“Rumah kamu, salon kamu, uang kamu, bahkan usia kamu”.

Sang waria menjulurkan tangannya sebagai ajakan berjabatan tangan kepada sang pendeta yang langsung menyambutnya. “Iya saya mau pak pendeta, saya relakan semuanya”.

Sejak itu rumah sang waria menjadi 'gereja' di tengah tengah perkampungan kota itu. Setiap minggu sang pendeta melayani umat di situ, yang 100% umatnya adalah para waria ataupun teman-teman mereka. Sebuah rumah sangat sederhana yang dijadikan 'gereja' di pinggir sebuah kali perkotaan, beberapa bagiannya hanya ditutupi terpal plastik, dan umat duduk di kursi plastik yang terkesan murah dan sederhana pula. Khotbah pendeta tidak pernah lama, hanya 10 sampai 15 menit, dan sisa waktu kebaktian banyak diisi dengan lagu-lagu pujian dan lagu rohani, yang bahkan banyak yang bernada dangdut karena memang mereka suka dan terhibur dengan cara seperti itu.

Namun di tengah-tengah kesederhanaan dan kemiskinan seperti itu,..firman Tuhan dibacakan, hadir dan memasuki relung hati mereka. Mereka yang terbuang dan tersingkirkan oleh keluarga, teman, bahkan oleh orang-orang yang belum pernah mengenal mereka sekalipun.
Dan jika mereka selalu merasakan suka cita dan terhibur dalam persekutuan seperti itu, bukan tidak mungkin itu adalah peran Roh Kudus yang bekerja. Roh Kudus yang sama dan juga hadir di banyak gereja-gereja yang besar, terlihat megah dan bersih.
Dan sang pendeta yang selalu setia melayani, adalah anak Tuhan yang menjadi saksi Kristus. Dia punya banyak pilihan tempat melayani, namun dia memilih melayani mereka yang tersisih, tersingkirkan dan ditolak masyarakat.


Dalam Injil Matius 19:16 Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: "Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?". Jawab Yesus: "Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah."

Ayat 20: Kata orang muda itu kepada-Nya: "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" Kata Yesus kepadanya: "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmudan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku."


Bila hari ini anda - dan bukan sang waria - bertanya apakah anda akan masuk Sorga.
Apakah anda sudah tahu apa jawabannya ?.

Sang waria merelakan segala miliknya bahkan hidupnya sendiri bagi kemuliaan Tuhan.
Apakah kita bisa berbuat yang sama?.

Dalam luka-luka masa lalu dan ketakberdayaannya, sang waria sadar betapa harta Surgawi adalah harta dan permata yang sesungguhnya, tujuan hidupnya, dan jawaban atas segala kerinduan hatinya.
Sudahkah kita sampai pada kesadaran seperti ini?


Sang waria menyadari segala dosa dan kelemahannya, namun percaya akan kasih Tuhan yang begitu besar dan tak terhingga. Dia sadar bahwa betapapun kelamnya masa lalunya, pengampunan Tuhan selalu lebih besar.
Dia sadar bahwa memiliki atau sebaliknya menyerahkan betapapun banyaknya harta duniawi tidaklah dapat “membeli” keselamatan kekal; perbuatan baik pun tidak. Namun hanya anugerah kasih dan rahmat Tuhan saja yang sungguh dapat menyelamatkan.
Sadarkah kita?.

Seperti sang pendeta, mampukah kita menyalurkan kasih dan firman Allah kepada mereka orang-orang kecil dan tersingkirkan?. Sebab “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku” (Mat 25:40)



Ditulis berdasarkan kisah nyata yang dituturkan oleh pendeta YK di Surabaya. Year 2021

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Listening to the Lord's Words - (a New Year's resolution)

May all holy Angels and Saints help me with this resolution and may the Holy Spirit helps me to bear the fruit from this resolution

In 2021, The Lord - thru his angel - sent me a book, which guides and teaches the readers how to communicate with Jesus and or answer His calling. It helps the readers to understand and seeing themselves from Jesus's perspective, thru a short and simple daily reading.

I promised myself to read it all the way in year 2022, including the scripture' chapters and verses behind the teaching. May all holy Angels and Saints help me with this resolution and may the Holy Spirit helps me to bear the fruit from this resolution.

-Metanoia-

Read More
Artikel & Renungan WKICU Admin Artikel & Renungan WKICU Admin

Resolusi tahun 2022

Hanya dengan rahmat-Nya saja lah, saya berharap untuk mencapai resolusi ini di satu tahun mendatang.

Selama tahun 2021, saya merasa dunia seakan berputar lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya. Mungkin karena pengaruh pandemi COVID-19, atau mungkin juga karena faktor-faktor lain yang membuat saya merasa seperti ini.

Namun, saya pun merasa bahwa saya lebih bebas dari beban-beban hidup yang saya telah rasakan sekian lama nya. Ini semua karena kasih Tuhan Yesus, sang juru penyelamat kita yang luar biasa. Dengan kuasa penyembuhanNya melalui salah satu keluarga saya, banyak luka batin yang telah terlepas. Puji Tuhan!

Menjelang tahun 2022 ini, saya ingin meneruskan perjalanan iman saya untuk tidak saja semakin dekat dengan Tuhan Yesus dan Bunda Maria; tetapi juga untuk lebih berbaik hati dan lembut terhadap diriku sendiri.

Hanya dengan rahmat-Nya saja lah, saya berharap untuk mencapai resolusi ini di satu tahun mendatang. Amin!

Selamat Hari Natal 2021 & Tahun Baru 2022 !!!

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Own Uniqueness (New Year Resolution)

“…. mengenal kelebihan dan kelemahan diri sendiri dan belajar tidak merasa kekurangan atau berlebihan, dengan kata lain “embrace my own uniqueness”.

Setiap tahun, saya mempunyai resolusi yang sama, yaitu selalu memperbaiki diri lebih baik dari tahun yang lalu. Contohnya seperti jangan berpikiran negatif, makan lebih sehat dan lainnya.

Tapi untuk tahun 2022 ini, hati saya terketuk untuk lebih mengenal diri sendiri, mengenal kelebihan dan kelemahan diri sendiri dan belajar tidak merasa kekurangan atau berlebihan, dengan kata lain “embrace my own uniqueness”.

Tuhan menciptakan setiap manusia dengan pribadi yang unik dan menurut gambar dan rupaNya. Kita diciptakan dengan kemampuan, kelemahan, bakat and sifat masing-masing. Saya diciptakan menurut rencanaNya dan tugas saya adalah untuk lebih mengapresiasi & mensyukuri segala yang telah diberikanNya. Selamat Tahun Baru!

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

A New Perspective - (Sebuah Resolusi Tahun Baru)

Aku harus tahu bahwa melakukan kesalahan dan dosa-dosa meskipun kecil dan kelihatan sepele - tidaklah bisa dibilang oke-oke saja.

Tahun lalu saya bertekad ingin hidup sehat di tahun 2021, lebih banyak berolahraga dan hanya makan makanan yang sehat. Dan yang terutama, saya ingin selalu mampu mematuhi firman Tuhan dan selalu bersikap baik terhadap orang lain.
Sekarang untuk tahun baru 2022, saya berharap agar terhindar selalu dari segala sakit penyakit, dan menghindari konsumsi makanan yang tidak sehat. Menjauhi segala dosa, dan 'memperlakukan' orang lain layaknya sebagaimana saya ingin diperlakukan.

Sekilas keduanya mungkin terdengar sama, hanya cara mengatakannya yang berbeda.
Tapi jika benar sama saja, apa perlunya mengatakannya secara berbeda ?.

Saya mencari jawabannya. Dan berbekal dari keyakinan bahwa apa yang terucap adalah keluar dari hati, maka saya membiarkan suara hati menguraikan apa yang menjadi resolusiku untuk tahun yang baru ini, dan untuk juga fokus pada cara pencapaiannya.
Sebagai contoh, cara untuk menjaga kesehatan adalah dengan mengetahui jenis makanan yang tidak sehat (meskipun terlihat enak dan memang enak). Mengkonsumsinya, tidaklah oke-oke saja.

Aku harus tahu bahwa melakukan kesalahan dan dosa-dosa meskipun kecil dan kelihatan sepele - tidaklah bisa dibilang oke-oke saja.
Mementingkan hal duniawi dan tidak seutuhnya bertumpu akan kasih Tuhan, tidaklah oke saja.
Kurang memberi perhatian kepada orang tua dan saudara, bukanlah sesuatu yang oke.
Dan menghakimi orang lain dalam hati dan pikiran, meski tak ada yang tahu, itu pun tidaklah oke-oke saja.
Mendiamkan orang lain dan selalu ingat kesalahan mereka, itu tidaklah oke-oke saja.
Mengambil sesuatu yang bukan hak saya dan tidak ada yang tahu, itu sangat tidak oke.
Tidak bermurah hati kepada mereka yang berkekurangan dan berhak, itu jauh dari oke.
Dan iri, menginginkan milik orang lain dalam hati,...sangatlah tidak oke.

Saya harus tahu dan sadar dari sekarang, mumpung belum terlambat, bahwa semua itu tidaklah oke-oke saja.

Semoga Tuhan selalu mengajariku untuk senantiasa bergantung dan bertumpu hanya pada kasihNya saja. Hanya berkat dan kasih sayangmu, Ya Tuhan, cukuplah itu bagiku.
Dan arahkanlah mata hatiku, untuk memandang harta duniawi yang tak seberapa ini, sebagai alat semata, bukan sebagai jaminan hidupku. Karena jaminan hidupku adalah kasih dan rahmatMu saja.
Ingatkanlah aku jangan mencari kenikmatan badani dan duniawi, melainkan yang rohani dan Surgawi.
Agar aku terhindar dari keinginan akan rumah sesamaku, atau istrinya, atau apapun yang dipunyainya.
Dan ajarilah aku untuk selalu berkata benar dan suci, meskipun itu pahit dan dibenci.

Semoga dengan menghindari segala sesuatu yang tidak baik, aku akan manjadi pribadi yang lebih baik.
Begitupun dengan mengikis segala egoisme, perlahan namun pasti semoga aku bisa menjadi pribadi yang lebih bijaksana.
Happy New Year 2022.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Proses Pemberian Gelar Santo/Santa

Gelar Santo / Santa adalah bagi mereka yang hidupnya ditandai oleh pelaksanaan kebajikan yang mencapai titik heroik, dan kekudusan mereka dapat dibuktikan dengan argumen-argumen / mujizat dari Tuhan yang diperoleh melalui perantaraan doa orang kudus itu. Hal ini bertujuan untuk membuktikan bahwa ia adalah benar sahabat Allah.
Maka proses kanonisasi dan beatifikasi bukanlah proses ‘pembuatan’ seseorang menjadi Santo/ santa, namun hanya merupakan deklarasi bahwa orang itu adalah orang yang hidup kudus bahkan sejak sebelum proses kanonisasi dimulai.

Proses penentuan seseorang menjadi Santo/ Santa dalam Gereja Katolik memakan waktu yang panjang dan memerlukan bukti yang kuat berupa mujizat-mujizat yang harus ada, bahkan setelah orang tersebut meninggal, untuk membuktikan bahwa Allah memang berkenan kepada perantaraan doa orang tersebut.

Bukan uskup atau Paus yang menentukan seseorang menjadi kudus; Paus hanya menyatakan seseorang menjadi Santa / Santo setelah melalui proses penyelidikan panjang. Prosesnya itu sendiri melibatkan banyak orang, dan harus dibuktikan dengan mukjizat (minimal 2), dan mukjizatnya pun harus diperiksa secara objektif oleh dokter yang ahli. 
Proses kanonisasi bukan sesuatu yang mudah, dan memakan waktu bertahun-tahunNamun justru dalam proses itulah terlihat apakah sungguh Tuhan berkenan menyatakan seseorang tersebut sebagai orang kudus-Nya, melalui mujizat-mujizat yang terjadi setelah bertahun-tahun orang itu meninggal dunia, yaitu melalui permohonan doa syafaat orang kudus tersebut.


Secara garis besar, proses kanonisasi adalah sebagai berikut:

Servant of God (Hamba Allah): Proses yang dimulai di level keuskupan. Uskup (atau ordinaris) membuka kesempatan penyelidikan ‘calon’ para kudus itu, yaitu  dalam hal kebajikannya, sebagai respons dari permohonan umat kaum beriman. Penyelidikan umumnya dilakukan setelah lima tahun orang tersebut meninggal dunia, walaupun untuk kasus tertentu, Paus dapat mempercepat proses ini, seperti dalam kasus Ibu Teresa dan Paus Yohanes Paulus II. Setelah informasi lengkap, uskup mempresentasikannya kepada Roman Curia, lalu kemudian ditunjuk seorang postulator (umumnya dari kongregasi- jika itu dari kalangan religius) untuk sungguh-sungguh menyelidiki informasi selanjutnya tentang kehidupan sang Servant of God/ hamba Allah ini.

Declaration ‘Non Cultus’  (Pernyataan tak ada tahyul):  Pada suatu saat dapat diizinkan untuk memeriksa jenazah sang Servant of God, dan pernyataan bahwa tidak adanya tahyul/ pemujaan yang ditujukan pada sang pelayan Tuhan ini.

Venerable/Heroic in Virtue (Yang Terhormat/ Heroik dalam kebajikan) : Setelah segala informasi yang diperlukan terkumpul, Bapa Paus mengumumkan teladan kebajikan dari pelayan Tuhan ini (yaitu yang berhubungan kebajikan ilahi dengan iman, pengharapan dan kasih, dan juga kebajikan pokok, yaitu, kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan pengendalian diri, hingga sampai pada tingkat yang heroik.
Pada saat ini dapat dicetak kartu doa yang dibagikan pada umat, sehingga umat dapat memohon doa perantaraan mereka, mohon agar mukjizat dapat diperoleh dari perantaraan doa mereka, sebagai tanda persetujuan Tuhan, untuk menyatakan pelayan Tuhan tersebut sebagai orang kudus.

Blessed (Yang Terberkati): Beatifikasi adalah pernyataan dari Gereja yang menyatakan bahwa kita dapat percaya bahwa sang pelayan Tuhan tersebut berada di surga, dan memandang Allah dalam Beatific Vision. Pesta nama Santa/ Santo tersebut ditentukan, dan boleh dirayakan.
Jika ia seorang martir, maka tidak diperlukan mukjizat lebih lanjut. Namun jika seorang non-martir, maka diperlukan sebuah mukjizat melalui doa yang ditujukan dengan perantaraan sang Venerable ini, untuk membuktikan bahwa ia benar-benar telah berada di Surga, dan Tuhan menjawab doa syafaatnya dengan memberikan mukjizat.
Sekarang ini yang dapat dianggap mukjizat adalah yang melibatkan: 1) pasien yang sakit, 2) yang tidak diketahui bagaimana cara penyembuhannya, 3) doa ditujukan agar Venerable mendoakan kesembuhan pasien, 4) pasien tersebut disembuhkan, 5) Kesembuhannya spontan, instan/ pada saat itu, menyeluruh, dan “lasting“/ tidak berubah, 6) dokter tidak dapat menjelaskan penjelasan normal.

Para orang kudus (Santo, Santa) adalah orang-orang yang semasa hidupnya meneladani Kristus sampai ke titik yang heroik, demikian pula martir, yang bahkan mencontoh Kristus sampai kepada menyerahkan hidupnya demi iman mereka kepada Kristus. Oleh karena itulah, maka gelar Santa- Santo dan martir itu dapat dikatakan diperoleh karena hubungan mereka dengan Kristus, dan yang telah menerima kepenuhan misteri Paskah Kristus, yaitu wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga.

Para nabi di Perjanjian Lama memang dapat juga disebut sebagai orang kudus, namun karena mereka hidup sebelum Kristus, maka mereka tidak mengalami kepenuhan misteri Paskah Kristus. Dan karena para kudus itu adalah menjadi teladan bagi kita dalam hal kekudusan setelah kita dibaptis, maka banyak orang Katolik mengambil nama Baptis dari para orang kudus itu, yang kekudusannya telah diakui sebagai buah dari hidup mereka di dalam Kristus, setelah mereka [para kudus itu] dibaptis di dalam Kristus. Dengan memilih nama seorang  Santo/a sebagai nama Baptis/ Pelindung, maka artinya kita memohon agar Santo/ Santa itu berdoa bagi kita agar kita pun dapat bertumbuh di dalam kekudusan, dan dilindungi dari pengaruh kejahatan.


Source:
https://katolisitas.org/kriteria-seorang-diberi-gelar-santosanta/
https://www.catholicregister.org/

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Adakah peran Malaikat Agung dalam Hidupku?

Tahun ini, pertama kali aku ingin ‘merayakan’ Pesta para malaikat agung; st. Mikael, Gabriel dan Rafael, sedikitnya aku mau rayakan secara istimewa di dalam hati ku.

Apakah kalian percaya dengan malaikat? Pernahkah anda bertemu atau berbincang dengan malaikat? Tahukah anda apa yang gereja Katolik katakan tentang malaikat?


Hari Rabu, tanggal 29 September adalah hari Pesta para malaikat agung; st. Mikael, Gabriel dan Rafael.

Apakah nama-nama ini berarti untuk anda?

Kira-kira 10 tahun lalu, aku diberi rahmat oleh Allah untuk merasakan ‘kehadiran’ st Mikael dalam hidupku. Ini terjadi di hari 9 setelah aku menyelesaikan “Mary Undoer of Knots” novena. Aku sangat terkejut, dan untuk beberapa saat masih belum sadar siapakah yang aku ‘lihat’ itu. Setelah beberapa detik, menyadari baju perang nya, aku sadar bahwa itu st Mikael.

Tidak dapat aku ceritakan apa yang aku rasakan, beberapa perasaan menjadi satu. Selang beberapa waktu, hal itu pun ‘menghilang’ dari pikiran ku. Buah dari doa novena tersebut lebih membekas di hati ku.

Waktu cepat berlalu, sekitar 5 tahun berikutnya, salah satu kawan dekat ku datang berkunjung dari luar negeri. Dia sangat setia dan mendalam iman Katolik nya. Dia memberikan aku sebuah bingkisan kecil. Mengetahui teman baikku ini, hati ku hanya menduga, tentunya barang yang berhubungan dengan iman Katolik.

Setelah ada kesempatan, aku buka bungkusan kecil itu, yang ternyata kaplet st Mikael, yaitu paket kecil berisi manik-manik (butir doa berwarna merah dan putih crystal) dan cara berdoa ke malaikat Agung st Mikael. Aku belum pernah berdoa kepada malaikat dan hanya membaca sekilas doa tersebut. Karena kesibukan dan ‘ketidak tahuan’ ku tentang malaikat, paket itu hanya menjadi hiasan di meja kecil dalam kamar tidur ku selama sekitar 4 tahun.

Selama 9 tahun tersebut, ternyata, tanpa sadar, beberapa kali aku di ‘ajak’ untuk mengingat malaikat agung st Mikael;

1. Misa di ‘Mission San Miguel’, San Miguel, CA. salah satu Mission California. Misa ini tidak di rencanakan dan tidak pernah terpikirkan untuk mengunjungi secara khusus.

2. Dalam salah satu ziarah, aku mengunjungi Santuario Di San Michele Archangelo, di Gargano, Italy. Walau ziarah ini sendiri direncanakan, tapi aku tidak menyadari bahwa aku akan mengunjungi tempat suci ini. Menurut informasi, tempat ini salah satu tempat penampakan St Mikael yang sangat istimewa. Malaikat Agung st Mikael menampakan dirinya 4 kali. Basilica di konsekrasi oleh St Mikael sendiri (daripada oleh Uskup setempat sesuai aturan umum).

3. Membaca bukan hobby ku, aku membaca karena sebuah keharusan. Tetapi entah bagaimana, aku terbentur dengan artikel tentang 7 monastery yang membentuk satu garis lurus yang manjadi Garis Suci melambangkan sebagai pedang pertempuran spiritual Kristiani melawan paganisme.

7 monasteries di mana malaikat agung st. Mikael menampakan dirinya:

- St. Patrick, Skellig Michael, Ireland

- St. Michael’s Mount, England

- Mont Saint Michael, France

- Sacra Di San Michele, Val de Susa, Italy

- Santuario Di San Michele Archangelo, Gargano, Italy

- Symi’s Monastery, in the island of Symi, Greece

- Stella Maris Monastery, Mount Carmel, Haifa, Israel

Jarak antara Mont Saint Michael France ke Sacra Di San Michele, Val de Susa Italy, sama dengan jarak antara Sacra Di San Michele, Val de Susa Italy dan Santuario Di San Michele Archangelo, Gargano, Italy.

Di tahun ke 9, aku berjumpa dengan seorang yang juga sangat setia dengan gereja Katolik. Aku membagikan pengalamanku tentang st Mikael. Singkat kata, dia menganjurkan aku untuk berdoa kaplet St Mikael.

Beberapa hari kemudian, pernyataan itu baru mengendap dan aku teringat bahwa kaplet itu sudah disediakan oleh st Mikael sendiri, yang telah menunggu aku sekitar 4 tahun.

Sejak saat itu, aku berdoa kaplet st Mikael sehari hari dimana aku bisa. Dengan doa ini, aku mengenal sedikit demi sedikit Malaikat Agung lainnya: st Gabriel dan St Rafael, termasuk Malaikat Pelindungku. Juga mulai mengenal 9 paduan suara malaikat: Seraphim, Cherubim, Thrones, Dominions, Virtues, Powers, Principalities, Archangels and Angels.


Aku mulai ‘berbicara’ dengan para malaikat, khususnya Malaikat Agung st Mikael dan Malaikat Pelindungku.

Aku merasa jalanku masih panjang untuk mengenal mereka lebih dalam. Tahun ini, pertama kali aku ingin ‘merayakan’ Pesta para malaikat agung; st. Mikael, Gabriel dan Rafael, sedikitnya aku mau rayakan dalam hati ku.

Bagaimana dengan para pembaca? Apakah ada pengalaman para pembaca yang dapat memperkaya pengalamanku tentang para malaikat? Jika ada, silahkan dan mohon bagikan, bisa dikirim ke redaksi eBulletin. Sangat appreciative.


Oleh Metanoia

Sumber lainnya dari https://catholicexchange.com/understanding-mysterious-sword-st-michael


Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Santa Monika (Teladan Para Ibu)

Sungguh teladan hidup St. Monika menyatakan bahwa doa dan tangisan yang tidak kunjung putus akan didengarkan oleh Tuhan. Ia menjadi teladan istimewa para ibu dalam membesarkan anak-anaknya dan sebagai istri yang setia kepada sang suami.

Monika, juga dikenal sebagai Monika of Hippo, adalah ibu Santo Augustine of Hippo.

Dia lahir pada tahun 331 M di Tagaste, Afrika Utara. 

Ketika dia masih sangat muda, Monika menikah dengan seorang bernama Patrisius, kafir yang tidak percaya kepada Tuhan, dan juga seorang yang sering marah, tidak setia, dan peminum. Monika yang saleh terus berdoa dan memohon Tuhan memberikan rahmat pertobatan kepada Patrisius.

Kehidupan Monika dan suaminya jauh dari kebahagiaan. Monika adalah seorang yang lemah lembut dan penuh ketabahan menghadapi sifat dan tingkah laku suaminya. Monika selalu mengatakan bahwa seorang suami yang sedang marah, sebaiknya jangan dilawan, baik dengan kata-kata maupun perbuatan. Bila suami sudah tenang, itulah waktu yang tepat untuk diajak berbicara dengan baik-baik. Monika menasihati para ibu agar mengingat selalu untuk taat pada suami dan tidak bersikap angkuh. Banyak ibu yang menjalankan nasihat itu dan mereka berhasil. Monika juga seorang ibu yang menjadi penegak yang bijak dan pendamai dalam setiap perselisihan dengan orang lain. Berkat doa Monika yang tidak putus, akhirnya Patrisius dibaptis sesaat sebelum ia meninggal pada tahun 370.

Tiga anak lahir dari Monica dan Patricius: Agustinus, Navigius, dan Perpetua. Agustinus lahir pada tanggal 13 November 354. Ia seorang anak yang nakal, malas dan sering berbohong. Tetapi Agustinus adalah seorang anak yang pandai dan selalu berdoa.  Monika mendidik anaknya dengan rasa keibuan, kasih sayang dan kesabaran.  Monika adalah seorang ibu yang senantiasa mengikutin perjalanan hidup anaknya dan tidak pernah meninggalkannya. Sesuatu saat Agustinus menjauh dari Gereja dan dikemudian hari dia mengatakan, “Karena kebaikan ibuku, aku bisa mendapatkan segala yang terbaik yang telah kuperoleh.”

Pada masa remajanya, Agustinus sering melakukan kejahatan dan percabulan. Tidak ada yang mengingatkan Agustinus akan dosa. Bahkan, ayahnya sendiri bangga akan hal itu. Sebaliknya Monika terus berdoa dan menasihatinya.

Suatu ketika Agustinus membaca buku yang berjudul “Hortensius” dengan tujuan agar dia bisa pandai berbicara. Ternyata dia tersentuh bahwa bukan hawa napsu yang dicari, tetapi kehidupan rohanilah yang memberikan ketenangan. Akan tetapi, dia tidak puas dengan ajaran Kitab Suci, maka dia berkenalan dengan sebuah aliran, Manikheisme. Manikheisme adalah merupakan agama besar yang melihat dunia sebagai terang dan gelap, dan ketika seseorang meninggal, mereka dikeluarkan dari dunia materi dan kembali ke dunia terang, dari mana kehidupan berasal.

Monica menemui seorang uskup dan meminta untuk membantu Agustinus melepaskan dirinya dari aliran Manikheisme. Selama sembilan tahun Agustinus mengikuti aliran itu. Disertai deraian air mata, Monika tidak berhenti berdoa dengan tekun dan setia untuk pertobatan anaknya.

Selama mengikuti aliran itu, Agustinus tidak mendapatkan kepuasan. Kemudian dia berencana untuk ke Roma.

Agustinus juga tidak betah dan merasakan seperti orang asing di Roma. Pada tahun 384 Agustinus pergi ke Milan. Disana dia bertemu dengan uskup Ambrosius, seorang ahli pidato yang terkenal.

Uskup Amborius menyambut Agustinus dengan baik dan penuh perhatiaan. Agustinus menjadi rajin dan setia ke gereja untuk mendengarkan khotbah dari Uskup Ambroius.

Monika menyusuri jejak Agustinus dari Roma hingga ke Milano. Ketika Agustinus bertemu dengan ibunya, dia menceritakan bahwa dia telah lepas dari aliran Manikheisme. Monika berkata bahwa ia percaya demi Kristus bahwa sebelum ia meninggal ia akan melihat puteranya bertobat dan menjadi Katolik. Itu keyakinan dari Monika, seorang ibu yang penuh kepercayaan.

Pergulatan terjadi pada Agustinus setelah dia bertemu dengan uskup Ambrosius. Uskup mengatakan bahwa jalan keselamatan manusia terdapat dalam Tuhan Yesus Kristus dan dalam Kitab Suci. Kata-kata inilah yang mengusik hati Agustinus.

Setelah jangka waktu enam bulan, Agustinus dibaptis oleh Uskup Ambrosius pada tanggal 25 April 387. Monika meneteskan airmata kebahagiaan. Setelah itu mereka kembali ke Afrika.

220px-MonicaSAgostino.jpeg

Monika merasakan bahwa ia telah menyelesaikan pekerjaan yang Allah berikan kepadanya, yaitu mempertobatkan Agustinus. Pada usia 56 tahun, Monika meninggal dunia karena serangan demam yang hebat. Hati Agustinus sedih luar biasa. Dalam kesendiriannya Agustinus mengenang kembali kebaikan dan kesetiaan ibunya yang sangat suci.

Sungguh teladan hidup St. Monika menyatakan bahwa doa dan tangisan yang tidak kunjung putus akan didengarkan oleh Tuhan. Ia menjadi teladan istimewa para ibu dalam membesarkan anak-anaknya dan sebagai istri yang setia kepada sang suami.

Pada setiap tanggal 27 Agustus menjadi hari penghormatan Santa Monika.

 

Doa untuk anak-anak kita

Santa Monika yang kami hormati, pelindung bagi semua ibu dan ayah, tolong peliharalah anak-anak kami, terutama mereka yang telah menjauhi jalan Allah dan gereja-Nya.  Naungilah mereka, lindungilah mereka.  Buatlah agar mereka tetap setia dalam janji baptis mereka.

Berilah kekuatan kepada mereka agar selalu menjalani jalan-jalan Tuhan, sekalipun mereka harus mengalami godaan nilai-nilai kehidupan yang palsu yang memenuhi dunia kami sekarang ini.  Biarlah mereka ikut menikmati segala sukacita kehidupan abadi.  Amin.

 

Doa untuk ketenangan dalam keadaan Malang

O Santa Monika yang luhur, engkau telah menerima kebahagiaan karena setelah kehidupan yang penuh kesedihan serta doa-doa yang penuh air mata; akhirnya engkau mengalami pertobatan dari suami dan putera engkau.

setelah puteramu, Agustinus, kembali kepada imannya, engkau berkata : Allah telah mengabulkan ini kepadaku dengan kelimpahan.  Apalagi yang harus kukerjakan disini! Beberapa hari kemudian engkau meninggal dunia dengan bahagia, damai dengan Allah dan dunia-Nya.

Berilah kami damai yang sama serta kepasrahan dalam kehendak Allah.  Supaya kita hidup dalam ketenangan dan sukacita.  Kembali kepada rumah surgawi kita, sadar dan yakin akan keselamatan abadi. Amin.

 

Doa ucapan syukur

Santa Monika yang baik dan lembut hati, kami berpaling kepadamu dengan rasa berterimakasih untuk pengantaraanmu yang ampuh.  Kami yakin, bahwa dengan bantuan engkau itu, Tuhan yang terkasih akan mengabulkan permohonan kami dengan yang terbaik bagi kami dan anak-anak kami.

Sambil kami berterima kasih dengan hati yang tulus, dengan rendah hati kami mohon agar engkau melanjutkan bantuanmu sebagai pengantar keluarga kami dengan Tuhan, dalam kebutuhan kami yang spiritual maupun yang duniawi.  Ilhamilah kami selalu supaya kami menerima kehendak Allah di dalam segala hal. Amin.

  ————— 000 —————

Sumber: https://www.catholic.org/

http://www.hkytegal.org/2011/10/santa-monica-teladan-para-ibu.html

https://kumpulandoakatolik.wordpress.com/

 

 

 

 

 

 

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Peringatan Diangkatnya Santa Perawan Maria ke Surga

Tanggal 15 Agustus ini, umat Katolik dan banyak umat Kristen lainnya merayakan pesta Diangkatnya Santa Perawan Maria ke Surga. Hari raya yang penting ini mengingatkan kepergian rohani dan fisik ibu Yesus Kristus dari bumi, ketika jiwa dan tubuhnya dibawa ke hadirat Allah.

“bulan di bawah kakinya, dan di atas kepalanya sebuah mahkota dari dua belas bintang.”

“bulan di bawah kakinya, dan di atas kepalanya sebuah mahkota dari dua belas bintang.”

Pada tanggal 1 November 1950, Paus Pius XII mendefinisikan secara formal Pengangkatan Maria ke Surga menjadi sebuah dogma iman: “Kami menyatakan, mendeklarasikan dan mendefinisikannya sebagai dogma yang diwahyukan secara ilahi bahwa Bunda Allah yang tak bernoda, Perawan Maria yang kekal, telah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, dan terangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi.” Paus memproklamirkan dogma ini setelah melalui konsultasi luas dengan para uskup, teolog, dan awam. Apa yang dinyatakan dengan sungguh-sungguh oleh paus sudah menjadi kepercayaan umum di Gereja Katolik, meski waktu itu ada beberapa suara yang tidak setuju.

Homili tentang Terangkatnya Maria ke Surga bisa kita telusuri kembali ke abad keenam. Pada abad-abad berikutnya, Gereja-Gereja Timur berpegang teguh pada doktrin tersebut, walaupun beberapa penulis di Barat ragu-ragu. Namun pada abad ke-13 ada kesepakatan universal. Pesta itu dirayakan dengan berbagai nama yang berbeda-beda: Peringatan, Tertidur Nya, Berpulang, Diangkat ke Surga - setidaknya dari abad kelima atau keenam. Sekarang dirayakan sebagai kekhidmatan.


Meskipun pengangkatan tubuh Maria tidak secara eksplisit dicatat dalam Kitab Suci, namun dalam Wahyu 12 ada tertulis tentang seorang wanita yang terjebak dalam pertempuran antara yang baik dan yang jahat. Tradisi Katolik mengidentifikasi Dia dengan "wanita berselubung matahari". Perikop itu menyebut penampakan wanita itu sebagai “suatu tanda besar” yang “muncul di surga,” menunjukkan bahwa dia adalah ibu dari Mesias Yahudi dan memiliki “bulan di bawah kakinya, dan di atas kepalanya sebuah mahkota dari dua belas bintang.” Dengan demikian, ikonografi Katolik tradisi Barat sering menggambarkan pengangkatan Perawan Maria ke surga dengan cara ini.


Selanjutnya, dalam 1 Korintus 15:20, Paulus berbicara tentang kebangkitan Kristus sebagai buah sulung dari mereka yang telah tertidur.

Karena Maria terkait erat dengan semua misteri kehidupan Yesus, tidak mengherankan bahwa Roh Kudus telah memimpin Gereja untuk percaya akan bagian Maria dalam pemuliaan-Nya. Begitu dekat dia dengan Yesus di bumi, dia pasti bersamanya dengan tubuh dan jiwanya di surga.

 Orang Kristen Timur juga secara tradisional menganggap pengangkatan Maria ke surga sebagai komponen penting dari iman mereka. Pius XII mengutip beberapa teks liturgi Bizantium awal, serta teolog Kristen Arab abad kedelapan St. John dari Damaskus, dalam definisi otoritatifnya sendiri tentang asumsinya.

“Itu adalah sebuah kepantasan,” tulis St. Yohanes dari Damaskus dalam sebuah khotbah dengan asumsi, “bahwa Dia, yang telah menjaga keperawanannya tetap utuh saat melahirkan, harus menjaga tubuhnya sendiri bebas dari semua kerusakan bahkan setelah kematian,” dan “bahwa dia, yang telah menggendong Sang Pencipta sebagai seorang anak di dadanya, harus berdiam di dalam tabernakel Ilahi.”

 

Dalam tradisi Kristen Timur, pesta yang sama dirayakan pada tanggal kalender yang sama, meskipun biasanya dikenal sebagai Tertidurnya Maria (tertidur). Perayaan Dormition Katolik Timur didahului dengan periode puasa dua minggu yang mirip dengan Prapaskah. Pius XII, dalam “Munificentissimus Deus,” menyebutkan periode puasa yang sama ini sebagai milik warisan tradisional Kristen Barat juga.


Hari Raya Diangkatnya Maria ke Surga selalu merupakan Hari Suci Kewajiban bagi umat Katolik Roma dan ritus Timur, di mana mereka diwajibkan untuk menghadiri Misa atau Liturgi Ilahi.

 

Sumber :
https://www.catholicnewsagency.com/saint/the-assumption-561

https://www.franciscanmedia.org/saint-of-the-day/assumption-of-the-blessed-virgin-mary



Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Maria Magdalena

Santa Maria Magdalena adalah salah satu santa terbesar dalam Alkitab dan menjadi contoh legendaris akan belas kasihan dan kasih karunia Allah.

Siapakah Santa Maria Magdalena? Ada banyak pernyataan yang kontroversial tentang sosok ‘Maria Magdalena’. Mari kita melihat bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang ini, dan membandingkannya dengan pandangan lain dari luar Gereja Katolik.

MM.jpeg

Gereja Katolik

Hari Raya: 22 Juli

Pelindung: Santa untuk kehidupan kontemplatif, mualaf, penata rambut, pendosa yang bertobat, orang-orang yang diejek karena kesalehan mereka, apoteker, godaan seksual, wanita pada umumnya.

Santa Maria Magdalena adalah salah satu santa terbesar dalam Alkitab dan menjadi contoh legendaris akan belas kasihan dan kasih karunia Allah. Tanggal pasti kelahiran dan kematiannya tidak diketahui, tetapi kita tahu bahwa dia hadir bersama Kristus selama pelayanan publik, di saat kematian Kristus dan kebangkitan-Nya. Namanya disebut sedikitnya 12 kali dalam Injil.

Maria Magdalena telah lama dianggap sebagai pelacur atau tidak bermoral dalam kehidupannya, tetapi paham ini tidak didukung dalam kitab suci. Dia diyakini sebagai seorang seorang wanita Yahudi yang hidup di antara orang-orang bukan Yahudi, hidup layaknya seperti mereka.

Injil setuju bahwa Maria pada mulanya adalah seorang pendosa besar. Ketika Yesus bertemu dengannya, Yesus mengusir tujuh setan keluar darinya. Setelah peritiwa itu, Maria memberi tahu teman-teman wanitanya, dan wanita-wanita ini kemudian juga menjadi pengikut Yesus.

Ada perdebatan apakah Maria Magdalena yang itu adalah sosok yang sama dengan seorang wanita pendosa yang namanya tidak disebutkan, yang menangis dan membasuh kaki Yesus dengan rambutnya seperti yang ditulis dalam Injil Yohanes. Para ahli Alkitab skeptis bahwa ini adalah orang yang sama.

Namun terlepas dari perdebatan tentang latar belakangnya, perubahan apa yang terjadi dalam kehidupannya setelah bertemu Yesus, adalah jauh lebih penting. Dia adalah seorang berdosa yang diselamatkan oleh Yesus, dan ini menjadi bukti bahwa tidak seorangpun luput dari rahmat dan belas kasih Allah.

Selama kehidupan pelayanan Yesus, diyakini bahwa Maria Magdalena (Maria) mengikuti Yesus, dan menjadi bagian dari rombongan yang melayani Yesus dan murid-muridnya.

Maria kemungkinan besar menyaksikan penyaliban dari kejauhan bersama dengan para wanita lain yang mengikuti Kristus selama pelayanan-Nya. Maria hadir ketika Kristus bangkit dari kematian, mengunjungi makam-Nya untuk mengurapi tubuh-Nya namun ternyata menemukan batu makam yang sudah terguling dan melihat Yesus yang hidup. Dia adalah saksi pertama akan kebangkitan Yesus.

Setelah kematian Kristus, sebuah legenda menyatakan bahwa Maria Magdalena tetap berada di antara orang-orang Kristen awal. Setelah empat belas tahun, dia diduga diseberangkan dalam sebuah perahu oleh orang-orang Yahudi, bersama dengan beberapa orang suci lainnya dari Gereja mula-mula, dan terombang-ambing tanpa layar atau dayung. Perahu itu mendarat di Prancis selatan, di mana dia menghabiskan tahun-tahun sisa hidupnya hidup dalam kesendirian, di sebuah gua.


Menurut Injil

Maria Magdalena, kadang-kadang disebut Maria Magdala, atau hanya Magdalena atau Madeleine, adalah seorang wanita yang, menurut empat Injil, bepergian dengan Yesus sebagai salah satu pengikutnya dan menjadi saksi penyaliban-Nya dan sesudahnya. Dia disebutkan namanya dua belas kali dalam Injil, lebih dari kebanyakan rasul dan lebih dari wanita lain dalam Injil, selain keluarga Yesus sendiri. Julukan Maria Magdalena mungkin berarti bahwa dia berasal dari kota Magdala, sebuah kota nelayan di pantai barat Laut Galilea di Yudea Romawi.

Injil Lukas 8:2–3 mencantumkan Maria Magdalena sebagai salah satu wanita yang bepergian bersama Yesus dan membantu mendukung pelayanannya "di luar sumber daya mereka", menunjukkan bahwa dia mungkin relatif kaya. Bagian yang sama juga menyatakan bahwa tujuh setan telah diusir keluar darinya, sebuah pernyataan yang diulangi dalam Markus 16. Dalam keempat Injil kanonik, Maria Magdalena adalah saksi penyaliban Yesus dan, dalam Injil Sinoptik, dia juga hadir di pemakamannya. Keempat Injil mengidentifikasi dia, baik sendiri atau sebagai anggota dari kelompok wanita yang lebih besar yang mencakup ibu Yesus, sebagai yang pertama menyaksikan kubur yang kosong, dan yang pertama menyaksikan kebangkitan Yesus.

Karena alasan ini, Maria Magdalena dikenal dalam beberapa tradisi Kristiani sebagai "Rasul bagi para rasul".

Penafsiran Lainnya

Maria Magdalena menjadi tokoh sentral dalam tulisan-tulisan Kristen Gnostik termasuk Dialog Juru Selamat, Pistis Sophia, Injil Thomas, Injil Filipus, dan Injil Maria. Teks-teks ini menggambarkan Maria Magdalena sebagai rasul, sebagai murid Yesus yang paling dekat dan paling dikasihi dan satu-satunya yang benar-benar memahami ajarannya. Dalam teks-teks Gnostik, atau Injil Gnostik, kedekatan Maria Magdalena dengan Yesus mengakibatkan ketegangan dengan Petrus, karena kecemburuan Petrus terhadap ajaran-ajaran khusus yang diberikan kepadanya. Beberapa fiksi menggambarkannya sebagai istri Yesus.

Penggambaran Maria Magdalena sebagai pelacur dimulai setelah serangkaian khotbah Paskah yang disampaikan pada tahun 591 ketika Paus Gregorius I menggabungkan Maria Magdalena, yang diperkenalkan dalam Lukas 8:2, dengan Maria dari Betania (Lukas 10:39) dan "pendosa" yang tidak disebutkan namanya. “Perempuan" yang mengurapi kaki Yesus dalam Lukas 7:36-50. Hal ini mengakibatkan kepercayaan luas bahwa dia adalah seorang pelacur yang bertobat atau wanita bebas. Legenda abad pertengahan yang rumit dari Eropa Barat menceritakan kisah berlebihan tentang kekayaan dan kecantikan Maria Magdalena, serta dugaan perjalanannya ke Prancis selatan. Identifikasi Maria Magdalena dengan Maria dari Betania dan "wanita berdosa" yang tidak disebutkan namanya adalah kontroversi besar pada tahun-tahun menjelang Reformasi dan beberapa pemimpin Protestan menolaknya. Selama Kontra-Reformasi, Gereja Katolik menekankan Maria Magdalena sebagai simbol penebusan dosa.

Penetapan

Pada tahun 1969, identifikasi Maria Magdalena dengan Maria dari Betania dan "wanita berdosa" telah dihapus dari Kalender Umum Romawi oleh Paus Paulus VI, tetapi pandangannya sebagai mantan pelacur telah bertahan dalam budaya populer.

Maria Magdalena dianggap sebagai orang suci oleh gereja Katolik, Ortodoks Timur, Anglikan, dan Lutheran. Pada tahun 2016 Paus Fransiskus menaikkan tingkat kalendar liturgis pada tanggal 22 Juli dari hari ‘peringatan’ ke ‘pesta’, dan Maria Magdalena disebut sebagai "Rasul para rasul". Gereja-gereja Protestan lainnya menghormatinya sebagai pahlawan iman. Gereja-gereja Ortodoks Timur juga memperingatinya pada hari ‘Minggu Pembawa Mur’, peringatan yang setara dengan dengan salah satu tradisi dunia Barat sebagai hari ‘Tiga Maria’.


Terjemahan dan saduran bebas dari Catholic Online : https://www.catholic.org/saints/saint.php?saint_id=83

Read More