Refleksi Satu Tahun Tahbisan Imamat (Bagian 5 - Selesai): Merayakan Natal Bersama Orang - Orang Kudus
Mengenal Santo Tomas More yang merupakan Santo Pelindung bagi para ahli hukum, saya pun berpikir bahwa masih ada harapan untuk seorang lawyer seperti saya untuk masuk surga.
Refleksi Satu Tahun Tahbisan Imamat (Bagian 5 - Selesai)
Merayakan Natal Bersama Orang - Orang Kudus
(My Christmas with the Saints)
S. Hendrianto, SJ
Pengantar
Natal tahun Ini adalah Natal kedua yang saya rayakan sebagai seorang rohaniawan Katolik. Mengingat Natal tahun Ini sangat berbeda dengan Natal - Natal tahun sebelumnya, karena kita semua masih dalam situasi pandemi, maka saya pun mencoba merenungkan dan mengingat kembali pengalaman - pengalaman Natal saya.
Saya tidak besar di keluarga Katolik, meski demikian orang tua saya mengirim saya menempuh pendidikan di SD Katolik. SD tempat saya bersekolah mengambil nama Santa pelindung Santa Teresia Kanak - Kanak Yesus. Jadi dia adalah orang Kudus pertama yang saya kenal. Sebagai anak yang bersekolah di sekolah Katolik, kita juga harus ikut hadir di misa meski kita tidak mengerti makna misa tersebut. Ketika duduk di kelas V, saya mulai mengenal Santo Fransiskus Xaverius sebagai orang pertama yang menyebarkan agama Katolik di Indonesia. Pada saat yang bersamaan, saya mengikuti program katekumen di sekolah dan kemudian di baptis.
Sejak mengikuti program Katekumen dan setelah dibaptis, saya pun mulai merayakan Natal di Gereja tempat saya dibaptis, yaitu Gereja Santo Petrus. Karena di rumah kita tidak merayakan Natal, maka pengalaman saya hanya terbatas di Gereja dan sekolah saja. Meski demikian saya percaya bahwa pengalaman Natal saya tidak kalah meriahnya dengan teman - teman saya yang berasal dari Keluarga Katolik, karena saya merayakan Natal bersama orang - orang kudus, Santa Teresia Kanak - Kanak Yesus dan Santo Fransiskus Xaverius yang merupakan Santo dan Santa Pelindung Kaum Misionaris dan juga Santo Petrus.
Ketika duduk di bangku SMA, saya tentu sudah lebih sering merayakan Natal. Saya masih ingat dalam salah satu perayaan Natal di SMA, para panitia malah sibuk memutar lagu Black or White dari Michael Jackson yang sedang ngepop saat itu. Dalam hati saya berpikir, apakah saya benar - benar merayakan Natal karena sama sekali tidak terdengar lagu Natal. Meski demikian saya percaya bahwa Santo Yosef, sebagai Santo pelindung SMA saya ikut hadir di tengah - tengah kami dan saya bisa merasakan kehadiran dia dan merayakan bersama ayah duniawi Yesus.
Setelah saya pindah ke Yogya dan duduk di bangku kuliah, saya rutin Ikut misa hari Minggu di Kapel Sanatha Dharma. Meski saya tidak kuliah di Santha Dharma, tapi karena saya tinggal tidak jauh dari kampus Santha Dharma, saya pun sering misa ke Kapel Santo Bellarminus. Selama lima tahun lebih tinggal di Yogya saya mempunyai banyak kenangan indah dalam merayakan perayaan ekaristi di Kapel tersebut, khususnya pada hari Natal. Di Kapel tersebut juga saya pertama kali mendengar lagu Handel Messiah di perdengarkan pas Misa Natal.
Mengingat kembali pengalaman Natal saya di kapel Sanatha Dharma, saya juga yakin bahwa saya merayakan Natal bersama orang - orang Kudus, khususnya Santo Robertus Bellarminus sebagai penlindung Kapel dan juga orang kudus lainnya dari Serikat Yesus, yaitu Santo Bernardus Realino. Pada awalnya saya tidak tahu bahwa Realino adalah nama seorang Santo. Saya cuma tahu bahwa Asrama Mahasiswa Realino adalah rumah bagi mahasiswa, khusus laki - laki, yang cukup terpandang di Yogyakarta. Asrama Itu sendiri telah ditutup sekitar tahun 1990, dua tahun sebelum saya tiba di Yogja. Ketika saya tiba di Yogya, yang tersisa hanyalah Lembaga Studi Realino. Baru belakangan saya tahu bahwa Santo Bernardus Realino adalah seorang pengacara dan bekerja di pemerintahan kota di Napels sebelum masuk Serikat Yesus pada tanggal 13 October 1564. Ketika Itu saya sedang duduk di bangku Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, dan saya percaya bahwa Santo Bernardus Realino telah berdoa buat saya jauh - jauh hari dan akan terus berdoa buat saya.
Akan tetapi menjelang akhir masa kuliah saya di Yogya, saya pun mulai meninggalkan Gereja, karena berbagai macam alasan yang membuat Iman saya terguncang. Setelah Itu saya pun tidak pernah lagi merayakan Natal sampai pada akirnya setelah saya pindah ke Jakarta, saya kembali ke Gereja pada awalnya hanya karena ajakan mantan pacar saya. Mulai lah saya merayakan Natal di Gereja Katedral Santa Perawan Maria Di Angkat ke Surga yang kebetulan juga di ampu oleh para Romo Serikat Yesus. Jadi disini saya mendapat kesempatan merayakan Natal bersama Santa Perawan Maria sendiri. Setelah berminggu - minggu ke Gereja, hati saya pun mulai tersentuh kembali dan mulai kembali ke Gereja dengan kemauan saya sendiri dan bukan karena pacar saya.
Di Gereja Katedral juga pertama kali saya mendengar nama Santo Tomas More dari seorang Romo Yesuit yang berkhotbah tentang Santo yang mati demi membela Gereja Katolik karena dia menolak mendukung Raja Henry VIII yang Ingin memisahkan diri dari Gereja Katolik. Mengenal Santo Tomas More yang merupakan Santo Pelindung bagi para ahli hukum, saya pun berpikir bahwa masih ada harapan untuk seorang lawyer seperti saya untuk masuk surga.
Setelah saya pindah ke Amerika Serikat, khususnya di Seattle, rumah spiritual saya adalah University of Washington Catholic Newman Center. Di sini lah saya pengalaman spiritual saya mulai tumbuh lebih mendalam dan kemudian akhirnya benih panggilan tumbuh. Selama kurang lebih lima tahun tinggal di Seattle, saya selalu merayakan Natal di Newman Center, yang mana saya percaya bahwa saya merayakan besama Santo John Henry Cardinal Newman sebagai santo pelindung Newman Center.
Pada suatu hari, setelah misa Natal di Newman Center, ada seorang mahasiswa dari South Korea yang mengatakan saya, mengapa kamu datang sendirian ke Gereja malam ini. Mengapa kamu tidak datang bersama keluargamu? Dalam hati saya berpikir aneh juga pertanyaan orang Ini, akan tetapi mungkin dia berpikir bahwa teman - teman dari Mudika Seattle yang sering bersama saya ke Newman adalah anggota keluarga saya. Mungkin malam Itu saya datang sendirian, tapi saya yakin para orang Kudus Ikut hadir dan merayakan Natal bersama saya.
Tahun 2008, saya menyelesaikan studi doktoral saya dan mempertahan disertasi saya pada tanggal 14 November, yang merupakan peringatan Santo Yosef Pignateli, SJ, seorang Santo dari Serikat Yesus. Santo Yosef Pignatelli, adalah pemimpin Serikat Yesus selama masa Serikat Yesus di bubarkan oleh Paus dan para Imam Yesuit harus hidup di pembuangan. Saya juga yakin bahwa dia telah berdoa untuk saya jauh sebelum saya menyelsaikan program doktoral dan akan terus berdoa untuk saya dalam perjalanan hidup saya. Jadi di Natal tahun 2008, saya mendapatkan seorang teman baru dalam merayakan Natal yaitu Santo Yosef Pignatelli, SJ.
Selama tinggal di Seattle, saya pun mulai merenunggkan panggilan menjadi seorang Imam dan puncaknya. Mengapa saya akhirnya memutuskan masuk Serikat Yesus karena saya pun tersadar setelah melihat ke belakang persentuhan saya dengan para Romo Yesuit di Indonesia, baik mulai dari masa saya di Yogya dan kemudian pindah ke Jakarta. Di tambah lagi dengan dukungan para orang - orang Kudus Serikat Yesus yang telah saya kenal selama hidup saya.
Setelah masuk ke Novitatie Serikat Yesus dan menjalani proses formasi, saya terus merasakan kedekatan dengan para orang Kudus. Di Novitiate, tentu saya kembali merayakan Natal bersama Santo Fransiskus Xaverius yang merupakan Santo Pelindung Novitate. Setelah mengucapkan kaul pertama dan melanjutkan studi Filsafat di Chicago, saya semakin dekat dengan Santo Ignatius dari Loyola, pendiri Serikat Yesus karena saya merasakan pengalaman yang sama dengan beliau. Santo Ignatius harus belajar bahasa Latin bersama para anak - anak, sementara saya harus belajar filsafat bersama para anak - anak undergraduate. Selama dua tahun tinggal di Chicago, saya pun merayakan Natal bersama Santo Ignatius.
Selama Tahun Orientasi Kerasulan di Santa Clara University, saya banyak mengalami kesulitan dan saya harus sering berdoa kepada orang - orang kudus lainnya meminta pertolongan seperti misalnya Santa Clara dari Asisi dan juga Santa Teresia Benedikta Salib, atau yang lebih dikenal dengan nama Santa Edith Stein. Selama Tahun Orientasi Pastoral di Boston, saya tinggal di komunitas Santo Petrus Faber, dan sebagai seorang pendiri Serikat Yesus, saya juga yakin bahwa dia banyak berdoa buat saya di tengah banyaknya kesulitan yang saya hadapi.
Melihat perjalanan hidup saya, banyak orang yang mungkin tidak percaya bahwa orang seperti saya bisa menjadi seorang Romo. Saya sendiri juga terkadang tidak percaya karena begitu banyaknya kesulitan yang saya harus hadapi dalam perjalanan hidup saya, khsusunya dalam masa formasi sebagai seorang Yesuit. Akan tetapi saya pikir saya punya banyak teman yang membantu, yaitu para orang - orang Kudus yang terus mendoakan saya. Melihat ke belakang, bahwa sebenarnya begitu banyak keajaiban - keajaiban Natal dalam hidup saya, khsusnya bagaimana para orang Kudus membantu saya dalam kehidupan saya.
Setelah tahbisan Imamat saya pada tahun 2019, saya kembali ke Indonesia dan merayakan misa syukur di berbagai tempat, dan salah satunya adalah Kapel Santo Bellarminus di Universitas Sanatha Dharma. Terlampir di bawah ini adalah homili saya pada misa syukur di Kapel Santo Bellarminus yang bisa sedikit menggambarkan perjalanan saya bersama orang Kudus.
(Homily Romo Stefanus Hendrianto, SJ pada misa syukur di Kapel Santo Robertus Bellarminus, Universitas Sanatha Dharma, 28 Juli, 2019)
Saudara - saudari yang terkasih dalam Kristus,
Hari ini adalah hari yang berbahagia sekali buat saya karena saya bisa merayakan misa di Kapel yang merupakan tempat awal panggilan saya. Lebih dari 25 tahun yang lalu saya menghabiskan hari - hari saya di Kapel Ini, khsususnya untuk merayakan misa hari Minggu dan hari - hari suci lainnya, mulai Paskah sampai Natal. Di Kapel ini saya pertama kali mendengar lagu Handel Messiah di perdengarkan pada hari Natal. Saya masih Ingat bagaimana penampilan koor mahasiswa Sanatha Dharma begitu memukau malam itu, sampai - sampai almarhum Romo Giles Gilarso, SJ yang memimpin misa Natal juga tercengang mendengar lagu - lagu Natal yang diperdengarkan malam itu. Di kapel ini lah saya pertama kali bertemu dengan para Romo Yesuit. Meskipun saya tidak mengenal dekat para Romo Yesuit tersebut, mereka meninggalkan kesan mendalam pada saya, yang di kemudian hari tanpa saya sadari mempengaruhi saya untuk menjadi Imam Yesuit.
Di Kapel Ini juga saya mengenal dua orang Santo dari Serikat Yesus, yaitu Santo Robertus Bellarminus dan Santo Bernardus Realino. Saya percaya kedua orang kudus dari Serikat Yesus ini telah mendoakan saya sejak saya mahasiswa miskin dan kere di Yogya dan mereka terus mendoakan saya dalam perjalanan hidup saya ke depan. Saya juga pecaya bahwa kedua orang Kudus ini telah mendoakan saya sehingga saya menjadi seorang Romo Yesuit.
Dalam bacaan Injil, Tuhan berkata kepada Abraham, jika kudapati lima puluh orang benar dalam Kota Sodom, maka aku akan mengampuni seluruh kota tersebut dan tidak membinasakannya. Tuhan dan Abraham mencoba tawar – menawar, sampai akhirnya Tuhan berkata sekiranya ku dapati 10 orang benar di sana, aku takkan memusnahkannya. Kita bisa bertanya pada diri kita sendiri, apakah kita masing – masing bisa menemukan 10 orang saleh, kudus atau orang benar.
Mungkin sulit bagi kita untuk menemukan orang kudus dari teman – teman kita sendiri atau lingkungan sekitar kita. Akan tetapi sebenarnya ada kontradiksi dalam kehidupan ini. Kita merasa sulit untuk menemukan orang - orang kudus dalam kehidupan kita, akan tetapi kalau kita menemukan sesorang yang hidup saleh atau hidup suci, kita cenderung mentertawakan atau mencemoohkan orang tersebut. Sebagai contoh, ketika saya masih mahasiswa dulu saya tinggal di daerah Demangan Kidul, akan saya sering menghabiskan waktu di daerah Mrican, khususnya di tempat kost saudara sepupu saya yang tinggal di dekat kampus Sanatha Dharma ini. Di rumah kost tersebut ada seorang anak yang saleh dan rajin berdoa; teman ini rajin mengikuti misa harian di Kapel Santo Bellarminus. Ironisnya kita justru mentertawakan atau mencemoohkan teman yang rajin berdoa ini. Yang menarik adalah teman ini kemudian masuk Serikat Yesus dan saya bertemu lagi dengan dia sepuluh tahun kemudian ketika dia sudah hampir ditahbiskan dan saya sendiri baru sedang akan masuk Novisiat Serikat Yesus.
Kalau kita sadar bahwa menjadi orang kudus adalah panggilan kita semua, tentu kita tidak akan kesulitan mencari orang - orang Kudus di sekitar kita. Kita semua dipanggil untuk menjadi orang kudus dan perlu kita sadari bahwa kehidupan untuk menjadi orang Kudus bukan hanya untuk para Romo dan Suster, tapi juga untuk kalian semua.
Salah satu sarana yang bisa kita pergunakan untuk menjadi orang kudus telah diberikan oleh Gereja, yaitu melalui Sakramen pengampunan dosa. Orang Katolik yang rajin mengaku dosa dan menerima komuni bisa memulai proses panjang untuk menjadi orang kudus. Rahmat yang kita terima dari Sakramen pengakuan dosa bisa membuka mata kita untuk melihat bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang disi oleh para pendosa, orang - orang yang lemah dan mudah tergoda, orang - orang yang telah lari jauh dari Tuhan, dan orang - orang yang telah kehilangan arah dan tujuan. Akan tetapi Tuhan selalu menawarkan pengampunan yang tanpa batas. Melalui pengampunan Tuhan tersebut kita semua bisa menjadi orang kudus.
Leon Bloy, seorang pujangga dan penulis dari Perancis pernah menulis, "kesedihan utama, kegagalan utama, dan tragedy utama dalam kehidupan ini adalah tidak menjadi orang Kudus." Dalam hidupnya Bloy mempunyai dua orang anak murid yang dia kasihi yaitu Raïssa Oumançoff and Jacques Maritain. Ketika Itu Raissa dan Jacques adalah mahasiswa di Sorbone University di Paris, dan tempat mereka kuliah tidak lebih dari padang kering dan tandus dalam kehidupan rohani. Karena mereka merasa kering dalam hidupnya, mereka memutuskan untuk memberi tengat waktu satu tahun untuk menemukan arti kehidupan. Kalau mereka gagal menemukan makna kehidupan, maka mereka memutuskan untuk bunuh diri bersama. Pada saat yang sama mereka mendengar dari teman - teman tentang sosok Leon Bloy, dan teman - teman mereka menganjurkan Raissa dan Jacques bertemu orang tua yang aneh ini. Mereka pun akhirnya bertemu langsung pada tahun 1905; di sosok Leon Bloy, Raissa dan Jacques menemukan sosok manusia yang belum pernah mereka temui. Bloy adalah sosok yang begitu haus dan lapar akan sang Maha Kuasa. Pada saat yang sama Bloy mendoakan agar kedua anak muda ini bisa menjadi orang Kudus. Sejarah mencatat bahwa Jacques Maritains dengan dukungan Raissa akhirnya berpengaruh besar terhadap gereja Katolik, khususnya Konsili Vatikan II.
Di Bacaan injil, hari ini Yesus berkata, mintalah maka kamu akan diberi, carilah maka kamu akan mendapatkan, ketuklah maka pintu akan dibukakan. Ini adalah undangan bagi kita untuk berdoa agar kita bisa menjadi orang Kudus, dan juga kita perlu mendoakan orang - orang di sekitar kita untuk bisa menjadi orang Kudus. Sebagian dari kita mungkin sudah pernah mendengar cerita Santo Ignatius dari Loyola dan Santo Fransiskus Xavier. Ketika mereka masih mahasiwa di Universtas Paris, Fransiskus selalu memandang sebelah mata Ignatius yang lebih tua dan kelihatan ketinggalan jaman. Sementara Ignatius terus berusaha meyakinkan teman mudanya untuk mengikuti Latihan Rohani. Ignatius pun terus berdoa agar teman mudanya ini bisa menjadi orang kudus. Sampai pada akhirnya doa Ignatius terkabul dan Fransiskus Xaverius pun bersedia melakukan Latihan Rohani dan kemudian menjadi seorang misionaris yang menyebarkan agama Katolik ke berbagai penjuru muka bumi.
Mengapa saya saat ini bisa menjadi seorang Romo juga tidak lepas dari doa berbagai pihak, mulai dari Ibu saya sampai teman - teman saya, dan khususnya para Kudus di surga. Di tahun terakhir saya tinggal di Yogya, saya mulai kehilangan pegangan iman dan perlahan lahan meninggalkan Gereja. Ketika pindah ke Jakarta setelah saya lulus dari Fakultas Hukum UGM, saya bertemu dengan seorang teman SMA saya di Jakarta. Ketika itu kita bertemu di Mac Donald di Gadjah Mada Plaza. Saya pun ketika itu langsung memesan burger, sementara teman saya itu mengatakan dia tidak akan pesan apa - apa karena hari itu adalah hari Jumat, yang merupakan hari puasa dan pantang bagi umat Katolik. Saya sedikit merasa aneh bin salah tingkah karena tidak sadar bahwa hari itu adalah hari Jumat pada masa PraPaskah. Akan tetapi setelah itu saya terus menjalani kehidupan yang jauh dari Gereja. Sementara teman saya ini hanya bisa mendoakan orang seperti saya untuk bisa kembali ke jalan yang benar. Doa orang - orang di sekitar saya pun akhirnya terkabul ketika saya merasa terpanggil untuk kembali ke Gereja dan akhirnya memutuskan untuk masuk Serikat Yesus.
Saya baru di tahbiskan 50 hari yang lalu, jadi perjalanan saya masih panjang dan oleh karena itu saya meminta tolong agar kalian semua terus mendoakan saya untuk menjadi seorang Romo yang kudus. Akan tetapi sekali lagi panggilan untuk menjadi orang Kudus bukan hanya untuk para Romo. Oleh karena itu marilah kita semua agar berdoa untuk satu sama lain, agar diri kita sendiri, teman kita, saudara – saudara, anak masing masing agar bisa menjadi orang Kudus.
Acara Natal Online WKICU - 25 Desember 2020
Mari kita melihat bersama rekaman ‘Acara’ online setelah Misa Natal WKICU…
Tahun ini, 2020, hampir seluruh dunia merasakan yang tidak pernah dialami tahun-tahun sebelumnya, yang berdampak pula di Natal 2020.
Begitu pula dengan Natal WKICU, tidak ada ramah tamah di San Leanders maupun di St. Justin. Tetapi, dengan rahmat Tuhan kita yang selalu bermurah hati, kita dapat menyelenggarakan ‘acara’ online sederhana ini setelah Misa Natal pada tanggal 25 Desember 2020.
Untuk umat yang tidak ‘hadir’ saat acara ini ditayangkan, dapat menikmati rekaman nya. Mudah-mudahan ini menjadi sejarah tak terlupakan untuk kita semua, dan mari kita semua berdoa semoga kita dapat berkumpul kembali sebagai satu komunitas di Natal yang akan datang.
Untuk melihat rekaman acara tersebut, umat bisa klik video di bawah ini atau klik link ini.
Merry Christmas to you all..
It’s still always a great Christmas
even though we can’t celebrate together in our Father’s house.
He always comes to your heart, and mine. Hallelujah !
Kado Natal
Tiap kali dalam masa menjelang Natal, ada sebuah kesadaran yang selalu muncul dalam batinku. Kado apa yang layak kubawa ke hadapan Yesus. Seperti juga malam ini, diam-diam kutanya “Yesus, hadiah apa yang layak kubawa untukmu ?”
Masa menjelang Natal selalu terasa istimewa, ada sebuah kesadaran yang selalu muncul dalam batinku. Kado apa yang bisa kubawa ke hadapan Yesus yang kelahiranNya selalu dirayakan setiap tahun oleh semua bangsa yang hidup di seluruh pelosok dunia ini. Kemudian tanyaku pula, apakah di Natal tahun ini Yesus menemukanku sebagai pribadi yang lebih baik dari tahun kemarin, sudah lebih religiuskah aku sekarang, lebih akrabkah hubunganku dengan Dia. Lagi, apa kira-kira yang Yesus ingin aku perbuat, apa yang harus kuperbaiki, apa saja kekurangan dan kesalahan yang harus kutinggalkan. Hatiku bertanya, bagaimana agar menyenangkan hati Yesus, yang adalah Tuhan. Hatiku bertanya “Yesus, apa yang layak kupersembahkan ?”. Aku tidak berpikir akan menerima kado apa di hari Natal, tetapi kado Natal seperti apa yang bisa kuberikan.
Seperti juga malam ini, diam-diam kutanya “Yesus, hadiah apa yang layak kubawa untukmu ?”.
Yesus, emas aku tak punya,
tabunganku pun engkau tahu tak seberapa.
Dan membantu orang lain, hampir aku tak pernah bisa karena waktuku habis untuk kerja.
Yesus, talentaku tak seberapa,
suaraku tak cukup bagus untuk menyanyi di gereja,
dan memainkan alat musik pun aku tak bisa.
Hening......,
hati ini tak lagi bersuara,
Yesus juga tak berkata-kata.
Oh …. sejurus kemudian aku ingat,...
Dulu sebelum Yesus lahir...
bukankah Allah Bapa ingin jalan jalan diluruskan bagiNya ?.
DiutusNya seorang Yohanes pembaptis yang berseru-seru dengan suaranya yang lantang. Diserukannya pertobatan tanpa henti tanpa bosan ke semua orang. Apa yang diserukan oleh seorang Yohanes Pembaptis, pasti hakikatnya adalah suara Allah Bapa. Seruan Yohanes Pembaptis pasti adalah seruan Roh Kudus. Dan apa yang diserukannya tidak lain dan tidak bukan, adalah pertobatan. Pertobatanlah yang diharapkan Tuhan.
And I can not be an exception, Tuhan mau aku bertobat.
Maka kupusatkan pikiranku kepada arti sebuah pertobatan.
Rasa-rasanya aku sudah sering bertobat lewat sakramen pengakuan dosa. Namun sepertinya, aku selalu mengulangi dosa-dosa yang itu itu saja. Lalu aku selalu menyesali dosa-dosa itu, mengaku dosa, dan berjanji tidak akan berbuat dosa lagi.
Tetapi kemudian aku akan jatuh lagi, dalam dosa dan kesalahan yang itu itu lagi.
Aku lalu menyadarinya, dan mengaku dosa lagi.
Selalu begitu, berulang-ulang seterusnya.
Mungkin di dunia ini bukan hanya aku saja yang mengalami seperti ini.
Tetapi,… “Why ?”. Tanyaku.
Mungkinkah aku struggling dengan imanku akan Kristus Yesus?. Apakah imanku lemah dan aku kurang percaya kepada Tuhan ?.
Bukan, bukan itu. Kita tahu bahwa iman kita akan Tuhan Yesus Kristus adalah iman yang sejati yang tidak akan goyah ‘sepanjang hayat masih di kandung badan’. Jadi, apa yang salah ?, di mana letak masalahnya ?.
Lama ku termenung,...
Dan ternyata.. kuncinya terletak pada hati kita yang tidak pernah betul-betul bertobat. Orang Londo bilang it is because we’ve never met the conditions of full repentance. Kita belum mengalami sebuah pertobatan hati yang mendalam, pertobatan yang sejati, the change of heart.
Apa itu a full repentance?
Repentance dalam bahasa Yunani (Greek) di perjanjian baru berarti ‘to change your mind’, to change the way you think. Kalau selama ini cara hidup saya tertuju untuk memenuhi kebutuhan hidupku dan memuaskan keinginanku sendiri, maka saya ubah. Saya akan hidup untuk memuliakan dan menyenangkan hati Yesus, Juru Selamatku. Ini adalah suatu keputusan, bukan soal emosi. It is a decision, not an emotion.
Jadi bisa saja seseorang memutuskan untuk bertobat tanpa melibatkan atau memperlihatkan perubahan emosinya (baik ke diri sendiri ataupun kepada orang lain). Tetapi pertobatan tidak mungkin terjadi tanpa ada perubahan kehendak (a change of your will).
Dan dalam bahasa Ibrani (Hebrew) di perjanjian lama berarti “to turn around”. Kalau selama ini saya menjauhi & membelakangi Allah, maka sekarang saya membalik arah, wajah dan hidupku 180 derajat kepada Allah yang maha pengasih. Bapa, inilah aku, katakanlah apa yang harus kuperbuat, apapun, dan aku akan melakukannya.
Gabungkanlah kedua arti pertobatan di atas, maka kita akan melihat gambaran yang sempurna akan sebuah pertobatan yang sejati. Iman hanya akan datang lewat pertobatan. Pertobatan membuahkan iman. Alkitab berkata “Bertobatlah dan percaya kepada Injil” kata Yesus dalam Mrk 1:12-15.
Kisah The Prodigal Son (Lukas 15) adalah contoh yang baik akan sebuah pertobatan yang sejati. Ada moment of truth ketika sang anak menyadari semua kesalahannya, menyesal, dan mengambil keputusan untuk kembali ke rumah Bapa. Pertobatan bukanlah perkara emosi, melainkan adalah perkara kehendak hati. Pertobatan bukan lahir dari sebuah emosi atau perasaan, tetapi lahir dari kehendak dan komitmen hati yang sungguh-sungguh mau berubah.
Kalau kita bisa menyentuh hati seseorang dan mengarahkan kehendak bebasnya untuk bertobat, maka pertobatan itu akan mengarah kepada sebuah pertobatan yang permanen, yang sejati. Itulah Full Repentance.
Banyak orang kristen yang ingin sungguh-sungguh berubah dan tidak ingin mengulangi dosa-dosa mereka, tetapi teramat sering niat dan perubahan hati itu tidak permanen, tidak bertahan lama. Misalkan setelah mendengarkan khotbah atau mengikuti acara rohani,.. banyak orang yang akan merasakan dorongan untuk bertobat, merasa iman dan harapannya diteguhkan, merasa diampuni dosanya, diringankan beban hidupnya, dan hubungannya dengan Tuhan diperbaiki. Mereka mendapatkan emotional experience dan merasa wonderful, excited untuk beberapa waktu, entah itu sehari, seminggu, bahkan bertahan sebulan atau lebih. Tetapi pada akhirnya, mereka pelan-pelan mulai kehilangan semuanya itu, mengapa ? karena sesungguhnya kehendak bebas mereka belum tersentuh. Ini persis seperti yang aku alami selama ini; seringkali jatuh dalam dosa-dosa yang sama. Jelas ini bukan a Full Repentance.
Maka seperti the Prodigal Son yang rindu rangkulan dan pengampunan ayahnya; aku juga rindu akan pengampunan dan penerimaan kembali seorang Bapa atas anakNya. Aku rindu untuk mengalami pertobatan hati yang bukan sekedar menentramkan perasaanku saja, tetapi juga mengubah jiwa dan ragaku secara utuh dan sepenuhnya didasarkan akan cinta yang tulus kepada Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Pertobatanku tidak boleh sebatas demi rasa damai & rasa nyaman yang sementara, namun haruslah pertobatan itu permanen dan sungguh pantas menjadi kado Natal terbaik yang bisa kupersembahkan untuk Yesus. Aku ingin lahir baru bagi Yesus, karena bukankah Yesus telah lebih dahulu rela lahir bagiku ?.
Selamat Natal 2020,
Mari dengan rendah hati kita masing-masing mempersembahkan kado Natal yang terbaik untuk Yesus. Semoga pertobatan kita berkenan bagiNya. Amin.
Bay Area, Desember 2020.
Miracle on a Train
But things happen whenever God pleases, either we ask it or not, not according to us, but according to His will.
Dalam perjalanan kereta api dari sebuah kota di Jawa Tengah menuju Jakarta, seorang kakek duduk tenang menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan. Dia tampak begitu menikmati apa yang terlihat lewat jendela kereta; alam pedesaan, silih berganti dengan alam perkotaan, rumah-rumah penduduk dan aktivitas mereka, pepohonan, sawah dan keindahan perbukitan dan gunung-gunung yang tampak di kejauhan. Begitu menyenangkan melihat semuanya itu, membawa rasa takjub dan pelan-pelan memunculkan rasa syukur di dalam hatinya.
Dari tempat dudukku yang berseberangan, berhadap-hadapan dan hanya berjarak dua baris jauhnya, saya bisa melihat kakek itu sepertinya hendak mulai berdoa. Dia memejamkan mata, dan secara perlahan tangannya yang kiri diletakkan di dada, dan tangan kanannya membuat tanda salib: Atas nama Bapa, Putera dan Roh Kudus. Oh dia seorang Katolik, pikirku.
Saya mengalihkan pandangan keluar jendela di sebelah saya,.. memandang alam persawahan yang mulai menguning, terbentang seluas mata memandang.
Tidak terlalu keras, tetapi saya bisa mendengarnya dengan jelas. Suara seorang wanita, katanya: “Bapak berdoa kan bisa diam-diam, tidak perlu bikin tanda salib begitu. Kan ini kereta, orang tidak perlu melihat itu, mengganggu sekali”.
Kakek itu diam, tetapi karena wajahnya sedang menghadap ke seseorang duduk di hadapannya, maka saya mengerti bahwa wanita yang duduk di depannya lah itu, yang tadi bersuara.
Wah bakal ribut ini,..pikirku. Seketika suasana terasa awkward sekali, ..akankah kakek itu balas membela diri? ataukah sang ibu akan berkata-kata protes lagi ?.
Hening,.... Kakek itu tampak menundukkan kepalanya, menutup mata..dia tampak melanjutkan doanya, dan tak lama kemudian dia selesai.
Aku menunggu apa yang akan terjadi, tetapi nothing.
Good,..nothing’s bad happening, pikirku lega. Case closed. Sesederhana itu.
I was wrong.
Tangan kakek itu tampak mengambil sesuatu dari balik jaketnya, saku dalam di bagian dada. Oh my,..what is that? a gun? a knife? his wallet ..?. apakah dia akan menyakiti si ibu ?.
Oh saya hampir tidak mempercayai apa yang saya lihat… begitu familiar, begitu kecil tapi it is really something. Kakek itu hendak berdoa rosario !. Salib rosario itu diciumnya,.. Dia hendak memulai berdoa dengan membuat tanda salib…. Dan di saat itulah terdengar suara sang ibu, kali ini lebih keras dari yang tadi saya dengar, dan nadanya tidak segan-segan lagi.
“Pak !,.. bapak silakan jangan berdoa di sini, semua orang bisa melihat apa yang bapak lakukan, ini tempat umum. Jangan mengganggu semua penumpang di sini, silakan bapak pergi ke tempat lain kalau mau berdoa. Sudah tua dan sudah bau tanah, masih bertingkah seperti orang suci. Bukan sombong ya pak, saya ini juga Katolik, tapi tidak perlu seperti itu”.
Sang kakek saya lihat menutup mulutnya rapat-rapat, tapi saya tau dia kelihatan menahan emosi, karena pandangannya tertuju kepada si ibu itu.
Katanya kemudian, “Maaf ibu,..saya tidak bermaksud mengganggu siapa pun. Saya berdoa di tempat duduk saya sendiri sesuai tiket, dan saya tidak bisa pindah ke tempat duduk orang lain di kereta ini. Justru karena saya sudah tua ini,..saya perlu berdoa lebih banyak lagi untuk lebih dekat dengan Tuhan”.
Si ibu tiba-tiba berdiri sambil satu tangannya diletakkan di pinggang..”Pokoknya saya tidak mau bapak berdoa di depan saya…! Silakan perg....”
Belum selesai ucapan si ibu,.. anak remaja laki-laki yang sedari awal duduk persis di bangku depan saya tiba-tiba berteriak “Ibu ! jangan larang bapak itu berdoa. Dia orang Kudus !”.
Belum pernah saya melihat pancaran mata seseorang berubah begitu drastisnya. Sang ibu terbelalak matanya, mulutnya menganga, seperti orang bingung dia memandang sang anak, kemudian ganti berpaling ke sang kakek, kemudian ke sang anak, kembali ke sang kakek…..dia seperti orang kebingungan tapi tidak mengucapkan apa pun. Matanya seperti melihat hantu.
Aku juga ikutan bingung. Lho… lho… ternyata sang anak tahu sang kakek berasal dari Kudus ? dan ini amat mengejutkan ibunya?.
Belum sempat aku berpikir mencerna apa yang sedang terjadi,..tiba-tiba sang ibu menangis keras,..jatuh bersimpuh di depan sang kakek sambil menyentuh lututnya. Para penumpang yang lain menoleh dan seolah ingin tahu apa yg telah terjadi, beberapa penumpang berdiri untuk melihat lebih jelas siapa yang menangis. Tangis sang ibu semakin menjadi-jadi,.. Dia sesenggukan, kulihat bahunya berguncang menahan emosi yang begitu meluap.
Sang kakek berusaha menenangkan si ibu,.. “Sudahlah bu, duduklah kembali. Tidak ada yang perlu disesalkan”
Masih terisak-isak dan sapu tangannya menutup mulutnya,.. Dia berkata pelan tapi aku jelas mendengarnya..”bukan,...bukan,......anak.. .. anakku ini .. dia bisu sejak lahir. Tapi hari ini bisa bicara”.
Suara roda besi kereta api saling bersahutan, beradu dengan rel kereta,..tiap gesekannya seperti musik yang indah dalam waktu yang seolah berhenti. Guncangan dan goyangan kereta tak mampu menggerakkan bola mataku, pandanganku terpaku. Hanya terasa begitu banyak angin di tenggorokanku dan terasa dingin,.. tak sadar, entah sudah berapa lama aku menganga.
- - - -
Miracle itu sungguh mengguncang jiwanya, sehingga sang ibu merespon dengan sebuah pertobatan hati, karena kuasa Tuhan terjadi pada anaknya yang sudah 14 tahun bisu, tidak pernah bicara sejak lahir. Kejadian ini membuatnya sungguh percaya kepada Tuhan, dan kekatolikannya berubah 180 derajat sehingga sekarang dia tidak lagi malu mengakui dan mempraktekkan imannya Kristennya di depan umum. “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga.” (Matius 10:32-33). Bapa mengijinkan mujizat ini terjadi untuk membawa sang ibu kepada pertobatan.
Sekarang, tulisan ini bukan tentang si ibu atau anaknya, bukan pula tentang si kakek yang bahkan tidak pernah menginjakkan kakinya di kota Kudus. Melainkan, tentang apakah sebagai orang Katolik, anda dan saya sudah mempraktekkan kekatolikan kita, ataukah sebaliknya kita malu menjalankannya?.
Aku juga percaya kisah ini akan membawa perenungan dan pertobatan, maka aku menuliskannya dengan kesungguhan hati. Nothing is impossible for God. Sometimes we just have to ask, seek, and knock on the door. But things happen whenever God pleases, either we ask it or not, not according to us, but according to His will.
Ingatlah bahwa the greatest miracle from God the Father sudah terjadi 2,000 tahun lalu di Bethlehem. Santa Maria Perawan Tak Bernoda telah dipilih Allah untuk melahirkan Immanuel, Sang Juru Selamat bagi kita umatNya. Merry Christmas.
Bay Area, Dec 2020
(Tulisan ini terinspirasi dari ilustrasi yang disharingkan oleh Uskup Mgr Antonius Budianto Bunjamin, OSC dari keuskupan Bandung, dalam homili misa Natal 2020)
Kasih Tuhan Sepanjang Masa; Kejarlah Keutamaan Dalam Hidup.
Selamat Natal 2020 dan Berkat Tuhan dalam Tahun 2021
(Surat Natal dari om Hok Kan)
Ola Kawan2 dan Keluarga,
Semoga surat ini menjumpai kalian sekeluarga dalam keadaan sehat walafiat.
Tahun 2020 banyak mengandung kejadian yang tidak menyenangkan. Media dan TV memuat kabar bohong dan palsu, yang kadang2 memuakkan. Pernyataan2 dan tingkah laku pembesar sering tidak sepantasnya. Dan ini berlaku dalam pandemi virus dan krisis ekonomi. Ditambah lagi ketegangan dengan China dan Russia, serta banyak daerah rusuh didunia. Menjelang pemilihan umum di Amerika Serikat keadaan menjadi semakin kacau dan demokrasi agak terancam.
Syukurlah Tuhan Maha Pengasih. Segala kegaduhan ini pada akhirnya hanya menghasilkan kekecewaan. Hanyalah satu hal yang penting: hubungan kita dengan Tuhan. Yang lainnya adalah kesiasiaan. Semoga masa Natal membawa kembali ketenangan dan Tahun Baru 2021 menyertai harapan dan perdamaian di dunia.
Segala daya-upaya mengumpulkan harta dunia, pengetahuan dan nama ; malah juga usaha memupuk hubungan baik dan cinta kasih dengen kawan dan keluarga, hanya memberi kepuasan sementara. Semuanya adalah sia- sia belaka.
Dalam beberapa bulan terakhir saya cukup waktu untuk meneropong petualangan saya dan keluarga. Kami keluarga imigran keturunan Tionghoa-Indonesia-Amerika dari tanah Dayak, yang memberanikan diri mengejar impian hidup layak di benua Amerika. Berkat karunia Tuhan keluarga kami selamat sampai sekarang.
Semoga kalian, teman dan keluarga yang terkasih, serta semua yang kalian cintai, juga masih diberi kesempatan untuk menyumbangkan jasa bagi kemuliaan Nama Tuhan.
Selamat Natal 2020 dan Berkat Tuhan dalam Tahun 2021
Dengan salam hangat serta doa dalam Kristus,
Hok Kan, Ayke, Mike, Robert, Raymond,
Stephanie, Sid, Maya, Marissa, Nathaniel dan Grace (dari atas)
Community
“…for this is my body which will be given up for you.” From a routine, to a ritual, to a fascination of something deeper, something I did not appreciate.
by Theo (OMK)
My 28th birthday came and went uneventfully: a mini celebration – cheesecake topped with a single lanky candle, broken happy birthdays, and a photo or two to remember. Everything was the way I preferred it; of course, not counting the looming global pandemic situation that we are in right now. It was a bit special, as it signified that I have spent longer time away from home by then.
I left home for studies abroad in my early teens, having felt a somewhat premature sense of freedom. I learnt how to budget for lunch and games, how to study and interact with adults, to make bigger decisions with even bigger impacts, usually unknown, down the road. People call it being independent; I am far from it. Most of my friends then were either roommates, or fellow compatriots. In the beginning, most were Christian, or at least nominally. Studying abroad exposed us with a plethora of perspectives: some good, some bad, most we have no idea how to discern. Met my first staunch “communist” friend whom I had great time talking politics, nonsense, and Risk to; another self-proclaimed bohemian with a very Sartre-Derrida-esque attitude (he was and still is an amazing Jazz artist); another extremely bright, full-blown atheist, whose mother is one of the more devout, persevering person I have ever met. I was somewhat stuck in the middle, that one odd kid doing his routine, trying to fit in.
As with any young teenager, I wanted to latch onto a community. Obvious first step was with my fellow Indonesians, and then with my fellow Catholics. It was something of a routine: a small group of us went to church 20 minutes away every Sunday, get to see other Indonesians - those from the girls’ school especially, had lunch afterwards and played arcade games. After a short while the group got smaller; some just fell away from the faith, and no parents were there to tell us otherwise. There were occasions when I was drifting, but somehow, I stuck around.
Soon after it was time to move again, even further across the globe. Now I had my own room, in a student housing filled with everyone from everywhere. I wanted to go out of my shell a little bit, explore new extracurriculars, yet I found myself signing up for the university’s Catholic society. At first, I thought of it like a routine, going to church on Sunday, talking a bit with other churchgoers. I noticed how much fewer the attendees were compared to Indonesia especially: mostly older people – white hair, hunched backs, and some were veiled. There were no compatriots with me at that time. Yet, what was a routine had slowly morphed into a ritual. It became a source of stability in a strange land.
Even stranger when I stepped foot into a non-English speaking Mass in the old churches of Europe filled with history and grandeur. I found myself there understanding almost nothing, and yet I felt familiar – as if it was home. Even when words dissolved into a cacophony of noises, melodies, and ringing of the bells, there was stability: “…Das ist mein Leib, der für euch hingegeben wird”; “…detta är min kropp som offras för er.”; “Hoc est enim Corpus meum.”; “…for this is my body which will be given up for you.” From a routine, to a ritual, to a fascination of something deeper, something I did not appreciate.
Eucharist is also called Holy Communion, which in Greek (Κοινωνία) also refers to community – participation. It echoes 1 Corinthians 10:16, where the bread and wine that are blessed enable us to participate in the body and blood of Christ, the paschal sacrifice. Eucharist is at the core of our Faith, and in it there is shared community with one another in Christ Jesus. Such community was something I often take for granted: a given. Yet, it is none other than through God’s grace that I am still tethered to this community.
My younger self went through the motion, trying to break new grounds. I saw self-discovery as a romantic journey into the unknown grounds, to find something distinctive about our own self, or so that was what I thought. University is the marketplace of ideas, and its best-seller involves self-actualization: the me-centeredness, discovery of the real you, and defining your own meaning in life. Look at where those ideas took them: the great progress of the Western society! Equality and liberty! Lifting of human dignity! In retrospect, I understood better about how it was on the ivory tower. There is good in those ideas; if not, from where does the appeal come from? Maybe there is too much good; paraphrasing Chesterton: “modern world is not evil, instead it’s far too good, full of wild and wasted virtues.” Breaking new grounds are great, but sometimes we forget about the foundation.
Here I am now in the US. Somewhere along the way I should be called an adult by now. Sometimes I forgot how incapable I truly am, and in turn forgot about the community I am tethered to. Oftentimes I forgot about such reality, building my castle of dreams, ornate walls, towers, neglecting the base that supports it all. This community in one body of Christ, is the foundation on which we start building up our lives. Chesterton mentioned in Orthodoxy that he wanted to write about: “an English yachtsman who miscalculated his course and discovered England under the impression that it was a new island in the South Seas”. He went further: “he looked like a fool, but his mistake was an enviable one: what could be more delightful than to have in the same few minutes all the fascinating terrors of going abroad combined with all the humane security of coming home again?” I hope that I can always remember, coming home is a good thing.
Refleksi Singkat Satu Tahun Tahbisan Imamat (bagian 4)
Bahwa Yesus adalah seorang sahabat saya yang setia dan Dia terus setia kepada saya meskipun saya pernah cukup lama meninggalkan Dia.
Oleh Romo S. Hendrianto, SJ
Pengantar
Bacaan Injil pada hari Minggu Biasa Ke 32, tanggal 8 November 2020 berisi perumpamaan tentang sepuluh orang gadis yang mengambil pelitanya untuk menyongsong mempelai laki-laki. Pada hari Minggu itu saya bertugas untuk memimpin misa bagi Warga Katolik Indonesia di California Utara. Ketika saya merenungkan bacaan Injil tersebut, ingatan saya pun melayang-layang pada kejadian lima belas tahun yang lalu. Tanpa terasa waktu cepat sekali berlalu; lima belas tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 6 November 2005, saya juga mendengar bacaan Injil yang sama. Bacaan Injil tentang cerita sepuluh orang gadis itu ternyata menjadi awal dari perjalanan saya menjadi seorang Imam Katolik.
Lima belas tahun yang lalu, saya sedang menempuh pendidikan doktoral saya di bidang Ilmu Hukum di University of Washington, Seattle. Saya tiba di Seattle pada tahun 2004 dan tahun pertama saya sebagai mahasiswa doktoral cukup melelahkan secara fisik dan mental, dan konsekuensinya pun saya cukup terisolasi. Memasuki tahun kedua, saya mencoba untuk keluar dari isolasi dan bersosialisasi dengan banyak pihak, diantaranya adalah Mudika Seattle.
Ketika itu Mudika Seattle mengadakan acara retreat dari tanggal 4 sampai 6 November 2005 di Rumah retreat Sambica yang terletak di tepi danau Sammamish, sekitar 20 menit dari Seattle. Rumah retreat itu sendiri dikelola oleh kelompok Kristen Protestan yang tidak masuk dalam dominasi manapun (non-denominational Christian). Saya pun memutuskan ikut retreat tersebut dengan motivasi ingin mengenal lebih dekat teman-teman Mudika Seattle. Sebelumnya pada bulan September saya juga sudah pernah hadir di acara Welcoming Party mereka, akan tetapi saya belum mengenal dekat para anak muda yang aktif di sana.
Singkat cerita retreat itu sendiri menjadi titik balik bagi perjalanan iman saya. Retreat itu dibimbing oleh Romo Benny Phang O.Carm, seorang Romo Carmelite yang ketika itu sedang menyelesaikan Licentiate in Sacred Theology di Catholic University of America di Washington DC. Pada hari kedua retreat, Romo Benny meminta para peserta untuk hening total mulai dari setelah makan siang sampai sekitar jam 5 sore. Saya pun mencoba untuk tidur siang di tengah masa hening tersebut. Akan tetapi saya tidak bisa tidur dan jadilah sayapun merenungkan perjalanan hidup saya. Dalam perenungan itu saya mulai tersadar mengapa selama ini menjauh dari Tuhan. Bahwa di lubuk hati yang mendalam saya merasa tidak ada orang yang mencintai dan peduli dengan saya, termasuk Tuhan. Akan tetapi saya tidak bisa melihat segala nikmat dan syukur yang telah Tuhan berikan kepada saya.
Setelah masa hening selesai, para peserta retreat pun kembali beraktivitas normal. Setelah makan malam, kita kembali berkumpul di aula utama dan masuk dalam renungan malam. Romo Benny Phang menggunakan sesi renungan malam tersebut sebagai ajang pencurahan Roh Kudus. Terus terang saja saya tidak familiar dan sedikit skeptis terhadap pencurahan Roh Kudus. Meski demikian saya tidak menutup diri terhadap acara tersebut. Romo Benny mendoakan setiap peserta retreat, dan ketika sampai pada giliran saya, saya bisa merasakan kekuatan Roh Kudus menyelimuti tubuh seperti gelombang listrik yang masuk ke tubuh. Saya tidak berbicara dalam bahasa roh, cuma ketika itu saya merasakan tubuh bergetar dan saya pun jatuh terbaring di lantai. Yang bisa saya rasakan malam itu adalah Kasih dan Kuasa Tuhan Yesus seperti membasuh diri saya.
Keesokan harinya, saya merasa bangun sebagai seorang manusia baru. Saya melihat dunia begitu indah dengan matahari pagi yang bersinar, burung-burung yang bernyanyi dan udara pagi yang bersih. Karena hari itu adalah hari Minggu maka kami pun mengakhir retreat dengan misa hari Minggu. Bacaan Injil pada hari itu dari Kitab Matius, perumpamaan tentang sepuluh orang gadis. Akan tetapi Romo Benny entah mengapa berkhotbah tentang panggilan untuk menjadi seorang Imam, entah itu Imam Religius ataupun Imam Diocesan dan beliau menghimbau para peserta retreat untuk bisa membuka dirinya terhadap panggilan menjadi Imam.
Terus terang saya berpikir bahwa khotbah tersebut sangat aneh karena tidak ada hubungannya sama sekali dengan bacaan Injil pada hari itu. Saya sama sekali tidak bercita-cita menjadi seorang Imam, meski demikian pesan dari Romo Benny terlanjur lengket di pikiran saya. Setelah retreat selesai dan kita kembali ke Seattle, saya pun mulai aktif bergabung bersama teman-teman Mudika Seattle. Singkat cerita pertemanan saya dengan mereka berlanjut menjadi persahabatan dan mereka banyak membantu pertumbuhan iman saya. Seiring dengan waktu, saya pun mulai pelan-pelan memikirkan panggilan menjadi Imam dan sejumlah teman-teman Mudika Seattle mendukung saya dalam panggilan tersebut.
Empat belas tahun setelah peristiwa retreat di Sambica itu saya ditahbiskan menjadi Imam Katolik. Setelah menerima Sakramen Imamat saya kembali ke Indonesia dan merayakan misa syukur di Jakarta. Karena ketika tinggal di Jakarta dulu saya tidak pernah terdaftar secara resmi di paroki manapun, saya agak kesulitan untuk mencari tempat merayakan misa syukur. Dengan bantuan sejumlah sahabat-sahabat lama dan Serikat Yesus di Indonesia, akhirnya saya memutuskan untuk merayakan misa syukur di Kapel SMA Kanisius. Saya bukan alumnus Kanisius, akan tetapi para Romo Yesuit di Kanisius telah bermurah hati untuk memberi saya kesempatan merayakan misa syukur di Kapel SMA Kanisius.
Pada misa syukur saya di Kapel SMA Kanisius, saya berkesempatan kembali bertemu dengan teman-teman dari Mudika Seattle. Tentu saja situasi kita masing-masing sudah banyak berubah dari pertemuan pertama kita empat belas tahun sebelumnya. Sebagian besar dari mereka sudah berkeluarga dengan anak-anak yang masih kecil. Tentu usia kita semua semakin bertambah, akan tetapi saya akan selalu mengingat dukungan dan doa mereka sehingga saya bisa menjadi seorang Imam Katolik.
Pertemanan atau persahabatan kadang kala adalah misteri, sering kali kita tidak bisa menjelaskan mengapa kita bisa berteman satu sama lain. Saya juga tidak bisa menjelaskan mengapa saya bisa berteman dengan anggota Mudika Seattle. Atau kita bisa mencoba dekat atau berteman dengan sejumlah orang, tetapi belum tentu orang-orang tersebut ingin berteman dengan kita. Pada akhirnya hubungan pertemanan selalu melibatkan kedua belah pihak. Kita bisa mencoba menjadi orang baik ataupun berbuat baik terhadap orang lain, akan tetapi orang tersebut bisa saja menolak kebaikan kita dan menolak menjalin hubungan dengan kita. Untuk itu lah saya berterima kasih terhadap teman-teman dari Mudika Seattle yang sudi berteman dengan orang seperti saya. Saya menduga mereka percaya apa yang dikatakan Yesus, “aku memanggil kamu Sahabat” (Yohanes 15:15) dan oleh karena itu pula mereka juga mencoba meneladani Yesus dengan bersahabat dengan orang seperti saya.
Untuk lebih mendalami perjalanan panggilan saya menjadi Imam, silahkan dibaca teks homili saya pada misa syukur di SMA Kanisius yang terlampir di bawah ini.
Homili pada misa syukur Romo Stefanus Hendrianto, SJ pada tanggal 20 Juli, di Kapel SMA Kanisius, Jakarta.
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam atas kehadiran kalian semua pada misa syukur malam hari ini. Saya sadar bahwa banyak pihak yang hadir pada malam hari ini mengenal saya dengan karakter yang berbeda-beda, karena masing-masing orang hanyalah mengenal saya dalam satu periode dalam kehidupan saya, entah sebagai siswa SMA St. Yosef, mahasiswa Fakultas Hukum UGM, aktivis mahasiswa, ataupun mahasiswa PhD di University of Washington, Seattle.
Akan tetapi, saya berharap kalian semua bisa menilai saya sebagai seorang Imam Jesuit dan bukan berdasarkan satu episode dalam kehidupan saya di masa lalu dimana kalian mengenal saya. Karena pada akhirnya misa malam hari ini bukan mengenai saya tetapi mengenai Yesus Kristus dan GerejaNya.
Dalam bacaan kedua yang kita dengar pada hari ini, Santo Paulus berbicara tentang penderitaan dan harapan. Santo Paulus mengatakan bahwa dia rela menderita karena Kristus ada di antara kita, dan Yesus Kristus adalah harapan akan kemuliaan. Penderitaan dan harapan adalah kosa kata yang tidak asing lagi bagi kita semua. Ketika masih muda dulu, saya juga sering bergelut dengan kedua kosa kata tersebut.
Sebagai seorang idealis, ketika masih muda saya sering bergelut dengan pertanyaan, mengapa begitu banyak penderitaan di muka bumi ini, dan dimanakah kita harus menggantungkan harapan hidup kita. Sebagai seorang pemuda idealis saya juga cukup naif karena saya percaya bahwa penderitaan di muka bumi ini bisa dihapuskan dengan perjuangan kelas, dan kemudian saya pun menjadi seorang demonstran.
Seperti yang saya katakan tadi, ketika itu saya adalah seorang anak muda yang naif karena bahan bacaan saya masih terbatas. Filsuf Yunani Kuno, Plato pernah mengatakan bahwa dalam karyanya the Republic bahwa “ketika seseorang benar-benar belajar, dia akan peduli dengan kesenangan jiwa, khususnya dengan jiwanya sendiri dan dia akan meninggalkan kesenangan yang datang melalui tubuh. " (Plato, Republic, Book VI, 485 e). Akan tetapi, waktu muda dulu saya tidak pernah baca the Republic sehingga saya tidak tahu tentang pentingnya memperhatikan kesenangan jiwa saya sendiri.
Pada tahun 1999, ketika saya sedang sibuk dengan aktivitas politik, saya bertemu dengan seorang teman lama di sebuah pesta perkawinan. Teman saya tersebut mengingatkan saya bahwa para mantan teman seperjuangan saya, para demonstran yang dia temui di kampusnya mempunyai jiwa yang kering. Akan tetapi sebagai seorang demonstran yang keras kepala dan naif, saya tidak mengakui ataupun menyangkal bahwa jiwa saya kering dan tandus.
Ketika saya menjadi seorang aktivis politik, saya percaya bahwa saya telah menemukan jawaban dan arti kehidupan. Akan tetapi saat yang sunyi dalam kehidupan adalah ketika kita berpikir bahwa kita sudah menemukan jawaban, dan jawaban yang kita temukan itu justru membuat kita terhempas. Selama bertahun-tahun saya merasa bahwa akar dari semua masalah ketidakadilan di Indonesia adalah Soeharto. Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 20 Mei 1998, Soeharto turun sebagai presiden. Akan tetapi, tidak ada kebahagiaan ataupun kepuasan, dan justru kemenangan reformasi menghempaskan harapan saya.
Di tahun 2004, saya meninggalkan Indonesia dan memutuskan untuk memulai kehidupan baru di Amerika Serikat. Saya memulai kehidupan baru sebagai mahasiswa program doktoral di University of Washington, School of Law. Ketika saya tiba di Seattle, saya tidak lebih dari seorang pria yang jiwanya terluka. Akan tetapi kondisi jiwa yang terluka ini justru menjadi awal dari perjalanan saya untuk menjadi seorang rohaniawan Katolik.
Ada orang bijak yang mengatakan bahwa luka bisa menjadi guru kita yang paling baik. Hal ini jelas nyata pada kehidupan Santo Ignatius dari Loyola pendiri Serikat Yesus. Dalam pertempuran di Benteng Pamplona, bola Meriam menghantam kaki Ignatius. Selama masa penyembuhannya yang panjang di puri keluarga di Loyola, Ignatius mulai berpikir dan merenungkan kehidupan Yesus dan para orang kudus seperti Santo Dominikus dan Santo Fransiskus. Dia pun berpikir kalau sekiranya Dominikus dan Fransiskus bisa berbuat banyak untuk Kerajaan Allah, seharusnya saya juga bisa berbuat hal yang sama. Pertobatan Ignatius mulai dari Loyola, akan tetapi ketika berada di Manresa, khususnya di tepi sungai Cardoner, Ignatius mendapat kejelasan tentang kehendak Tuhan buat dirinya. Di tepi sungai Cardoner, Ignatius menerima rahmat Tuhan untuk melihat ke belakang tentang perbuatan-perbuatan dia di masa lalu, yang mana dia ingin mencapai kemuliaan manusiawi dengan menjadi seorang serdadu. Akan tetapi sekarang dia bisa melihat bahwa dia bisa menggantikan keinginan-keinginan duniawi itu menjadi keinginan untuk bekerja demi kemuliaan Tuhan.
Jikalau Ignatius mempunyai Manerssa and Cardoner experience, Seattle adalah merupakan tempat dimana bagi saya untuk merenungkan kembali makna kehidupan dan menemukan jalan baru. Lebih tepatnya, di tepi danau Sambica di Washington bagian timur, saya menerima rahmat Tuhan yang menyadarkan saya akan perbuatan-perbuatan saya di masa lalu.
Ketika itu saya ikut retreat bersama teman-teman Mudika Seattle. Akan tetapi retreat tersebut justru membuka mata hati dan pikiran saya tentang sosok Yesus. Bahwa Yesus adalah seorang sahabat saya yang setia dan Dia terus setia kepada saya meskipun saya pernah cukup lama meninggalkan Dia. Setelah retreat itu, saya pun mulai merasa terpanggil untuk menjadi lebih dekat mengenal Yesus dan bersahabat dengan Yesus.
Singkat cerita, perjalanan saya untuk menjadi seorang Imam Yesuit, bermula dari persahabatan. Pertama persahabatan saya dengan teman-teman Mudika Seattle. Mereka banyak membantu saya untuk menjadi lebih dekat dengan Yesus dan menghayati lebih dalam Iman Katolik. Kedua, dan yang lebih penting, adalah persahabatan dengan Yesus sendiri. Dengan mengenal Yesus lebih dekat, saya pun merasa terpanggil untuk mengikuti Yesus lebih dekat dengan menjadi seorang Imam Yesuit.
Ketika saya mulai merenungkan kehidupan religius, Paus Benediktus XVI mengeluarkan surat ensiklik nya yang menurut saya the greatest encyclical letter ever yaitu Spe Salvi (kita diselamatkan dalam pengharapan). Membaca Spe Salvi saya tersadar bahwa isu ketidakadilan di muka bumi ini ujung-ujungnya adalah persoalan tentang harapan dan keselamatan. Dimanakah kita semua menggantungkan harapan akan keselamatan kita.
Yang menarik bagi saya dari surat itu adalah bahwa Paus mengatakan bahwa contoh yang paling menarik dari sosok yang ingin memperjuangkan keadilan di atas bumi adalah Karl Marx. Marx berusaha membangun kerajaan surga di atas bumi dengan jalan revolusionernya. Akan tetapi, menurut Paus Benediktus, kesalahan utama dari Marx adalah, “dia dengan gampang berpikir bahwa dihancurkannya kelas penguasa…sebuah Yerusalem yang baru akan terbentuk.”
Paus Benediktus mendeskripsikan kesalahan fundamental Marx dengan sebuah argumen bahwa, Marx lupa bahwa manusia akan selalu menjadi manusia. Marx berpikir bahwa ketika sistem ekonomi sudah diperbaiki, maka semuanya pasti beres. Akan tetapi Marx lupa bahwa manusia bukan sekedar produk dari kondisi ekonomi dan tidak mungkin bagi kita menyelamatkan manusia dengan menciptakan situasi ekonomi yang lebih baik.
Dalam suratnya, Paus mengatakan bahwa respon terbaik bagi kita sebagai orang Kristiani terhadap ketidakadilan di dunia adalah menerima kondisi manusia yang tidak sempurna. Dengan kata lain kita harus menerima kenyataan bahwa penderitaan dan ketidakadilan adalah bagian dari hakikat kita sebagai manusia. Kita bisa berusaha sekuat mungkin untuk melawan ketidakadilan dan penderitaan, akan tetapi kita tidak bisa menghilangkan ketidakadilan dan penderitaan dari muka bumi ini karena kita tidak mempunyai kekuatan untuk itu. Hanya Tuhan lah yang bisa mengakhiri penderitaan, yaitu Tuhan yang turun ke bumi dan menjadi manusia dan ikut menderita sebagai seorang manusia dan mati di kayu salib, hanya Dia lah yang bisa mengakhiri penderitaan di dunia ini.
Pada akhirnya perjuangan untuk mencapai ketidakadilan harus berujung kepada pemahaman bahwa Keadilan yang paling sempurna adalah Tuhan sendiri. Tuhan adalah keadilan dan Dia lah yang menciptakan keadilan. Jadi pengharapan kita sebagai orang Katolik adalah bahwa kita menggantungkan harapan pada Tuhan yang bisa menciptakan keadilan. Pengharapan kita sebagai umat Katolik adalah kita berharap bisa bertahan dalam menerima penderitaan dan menunggu dengan penuh harapan akan janji kebangkitan badan dan kemenangan Kritus akan maut.
Setelah membaca surat ensiklik Spe Salvi tersebut, saya pun memutuskan untuk membanting dan membuang masa lalu saya sebagai seorang aktivis politik dan memutuskan untuk menjadi seorang Imam Yesuit. Apakah dengan menjadi seorang Imam Yesuit, saya hanya akan menjadi seorang rohianawan yang besikap pasif yang berdoa dan nrimo saja. Jawaban atas pertanyaan itu bisa kita temukan dalam bacaan Injil hari ini.
Injil hari ini sering salah ditafsirkan sebagai keberpihakan Yesus terhadap spiritualitas yang kontemplatif yang dilambangkan oleh Maria, sementara Martha disalahkan karena terlalu aktif, jadi dengan kata lain model spiritualitas yang aktif cukup bermasalah. Akan tetapi, jikalau kita cermati Injil pada hari ini, Yesus mengatakan bahwa Maria telah memilih bagian yang terbaik. Yesus menggunakan kata yang terbaik untuk menunjukkan bahwa bagian yang dipilih oleh Martha juga baik. Jadi apa yang dilakukan oleh Martha bukanlah hal yang buruk ataupun jelek.
Pada intinya Yesus ingin mengingatkan bahwa pada akhirnya kehidupan kita yang aktif dalam karya Tuhan akan berakhir dengan kematian kita secara fisik. Ketika kita meninggal, tentu saja tubuh kita tidak bisa lagi memberi makan kepada orang-orang yang kelaparan atau pun membantu orang-orang miskin. Martha cepat menangkap pelajaran dari Yesus, karena dia tahu dan mengerti bahwa kehidupan kita yang aktif di dunia ini akan berakhir. Buktinya adalah kejadian ketika saudara laki-lakinya, Lazarus meninggal dunia. Di Injil Yohanes bab 11, Martha berkata kepada Yesus bahwa dia percaya bahwa saudaranya Lazarus akan bangkit pada akhir zaman. Kemudian Yesus berkata: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?" Martha pun menjawab, "Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia." Dengan kata lain Martha mengerti bahwa akan tiba saatnya ketika kehidupan aktif duniawi akan diambil dari kita semua. Martha percaya akan kehidupan kekal yang merupakan bagian utama dari iman Kristiani.
Di Injil hari ini kita mendengar bahwa Martha bergulat antara keinginan untuk bersikap aktif dan bersikap pasif. Hal yang sama juga terjadi pada Santo Ignatius dari Loyola. Ketika dia berada di Manresa, Ignatius berpikir bahwa cara terbaik untuk melayani Tuhan adalah dengan cara-cara yang kontemplatif, mulai dari doa sampai mati raga.
Akan tetapi ketika Ignatius mulai kuliah di University of Paris, Ignatius mendapat inspirasi dari Santo Thomas Aquinas yang menjadi dasar teologis dan intelektual bagi dia untuk menggunakan cara-cara yang lebih aktif untuk memuliakan nama Tuhan, dan pada saat yang sama, dia meninggalkan cara-cara mati raga nya yang berlebihan di Manresa.
Ignatius yang lebih matang dan dewasa mulai membangun sebuah sistem baru di Serikat Yesus yang mencoba menggabungkan kedua sistem yang kontemplatif dan aktif. Santo Ignatius percaya bahwa semuanya tergantung pada rahmat Tuhan, akan tetapi kita juga harus menggunakan segala kemampuan, tenaga dan pikiran untuk bekerja sama dengan Yesus.
Dalam karyanya Pilgrim’s Progress, John Bunyan menceritakan tentang seseorang yang mencoba membersihkan lantai yang kotor berdebu. Akan tetapi setiap kali dia mencoba menyapu, debu di ruangan tersebut terbang ke udara dan kemudian kembali lagi ke lantai. Setelah dia memerciki air di atas lantai yang berdebu, orang tersebut bisa menyapu lantai dengan lebih gampang. Disini kita bisa melihat bahwa sapu bisa melambangkan kerja-kerja aktif kita di dunia untuk kerajaan Allah, akan tetapi percikan air, yang melambangkan rahmat Tuhan, juga diperlukan untuk membantu sapu mencapai tujuan akhirnya.
Analogi antara sapu dan air ini merupakan contoh bahwa kita bekerja sama dengan Tuhan untuk membangun Kerajaan Allah. Kita harus menggunakan segala kemampuan kita untuk membangun perdamaian dan keadilan di dunia ini. Meski demikian, kita juga membutuhkan rahmat Tuhan untuk mencapai tujuan kita mewujudkan perdamaian dan keadilan di muka bumi ini.
Saya baru saja memulai perjalanan saya sebagai seorang Imam Yesuit. Oleh karena itu saya meminta tolong doa kalian semua agar saya bisa menjadi Imam Yesuit yang rendah hati dan penuh pengharapan. Saya ingin menjadi seorang Imam Yesuit yang penuh pengharapan karena saya ingin membantu memberikan harapan kepada orang banyak di tengah penderitaan mereka.
Akan tetapi, sebagai seorang Imam Yesuit, saya sadar bahwa ada keterbatasan bagi kita umat manusia karena usia, kemampuan fisik dan pikiran, dan akan tiba saatnya ketika harus menyadari bahwa misi kita di dunia ini tidak selesai. Oleh karena, seperti yang dikatakan oleh Santo Ignatius, “Hanya rahmat dan cintaMu padaku yang ku mohon menjadi milikku.”
Tuhan memberkati kalian semua.
Pendatang Baru
Memilih bangku paling depan di gereja
Seperti biasanya, setiap hari Minggu pagi orang-orang datang ke gereja dan langsung memilih tempat duduk di bangku bagian belakang. Demikian juga dengan pagi ini, kecuali seorang pendatang baru yang langsung menuju ke bangku paling depan.
Setelah kebaktian, Pendeta memberi salam kepada pendatang baru ini sambil bertanya mengapa ia duduk di bangku paling depan. "Saya seorang sopir bus," jawabnya, "dan saya datang untuk belajar dari anda bagaimana caranya membuat orang-orang berebut duduk di bangku yang paling belakang."
Monika Fuun dan Secuil Kenangan
Perjuangan dan dedikasinya menunjukkan komitmen akan cinta dan rasa syukur kepada Tuhan yang hanya dapat beliau lakukan lewat WKICU.
Ditulis oleh Agem Rahardjo
(Mengenang satu tahun meninggalnya Tante Monik)
** Bahan tulisan oleh Imman Chiang.
Sinar matahari siang itu menyengat cukup panas membakar kulit kering yang lupa dibaluri sunblock. Saya menyingkir dan masuk ke dalam tenda sesekali untuk berteduh sebentar di bawah kain terpalnya yang melebar panjang. Ada hembusan angin dingin yang menusuk ketika bersembunyi dari sorotan tajam sang mentari. Saya berada di cosmopolitan gathering place, Union Square di pusat kota San Francisco saat itu. Kalau ingatan saya tidak salah, waktu itu sekitar pertengahan bulan September tahun 2012. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) menyelenggarakan acara Indonesia Day----- peringatan rutin tahunan perayaan Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia yang sebenarnya jatuh pada tanggal 17 Agustus, dan bagi kita di Indonesia peringatan itu cukup diucap tujuh belasan.
Saya membantu Konsulat Jendral Republik Indonesia menunggui stand mereka. Sebuah tenda yang tersedia sebagai pusat informasi dan promosi mengenai Indonesia berdiri di sudut deretan akhir di antara tenda-tenda yang menjual makanan dan jajanan khas Indonesia. Di dalam tenda itu, di atas meja ber-taplak kain batik berjejer brocure dan leaflet yang memperkenalkan dan menampilkan pariwisata serta keragaman budaya. Ada juga buku-buku karya sastra Indonesia baik asli maupun terjemahan yang diapit hiasan payung Bali dan beberapa patung wayang. Stand yang saya tunggui hanya sedikit menarik pengunjung yang datang. Mengherankan sekaligus juga menyedihkan. Panggung besar di sisi tengah lapangan tempat menyajikan acara utama seperti tari-tarian dan bermacam kebudayaan Indonesia punya nasib baik. Suara gamelan, tari-tarian dan nyanyian lagu-lagu Batak serta permainan alat musik Kolintang yang keluar dari pengeras suara berhasil menarik banyak pengunjung.
Matahari mulai meninggi, orang yang datang bertambah semakin banyak. Mereka berserakan disetiap sudut lapangan berebut tempat dengan sinar matahari yang cepat menyebar memenuhi tempat bernama Union Square itu. Dari dalam tenda saya melihat sebagian besar lainnya tampak berjubel dengan semangat 45 bagai pejuang-pejuang kemerdekaan yang tak kenal menyerah mengular antri di tenda-tenda makanan dan jajanan khas Indonesia di pinggir lapangan berharap tidak kehabisan Nasi Padang, Lontong Sayur ataupun Es Cendol. Beberapa yang telah mendapat makanan asyik menyantap sambil menyaksikan sisa pertunjukkan yang tidak sempat diperhatikan sewaktu mengantri tadi…. sebagian lain yang telah memborong berbungkus-bungkus langsung pulang karena takut makanan dan jajanan itu basi atau rusak karena terlalu lama di kantong plastik dalam cuaca panas.
Ingatan mengenai acara itu masih menggantung di kepala, tetapi ada satu hal yang tetap melekat resap di hati yang mendorong saya menyelesaikan tulisan ini. Secuil kenangan yang menyadarkan banyak hal….secuil saja, karena sebiji sesawi juga mampu memindah gunung.
Tengah hari menjelang sore, seorang wanita tiba-tiba saja masuk ke dalam tenda dengan senyum ramah agak malu-malu. Mata yang terbuka lebar menyapa tepat ketika saya selesai menghabiskan kotak nasi makan siang pembagian dari panitia. Saya membalas sapaan ramahnya. Saya mengenal beliau di gereja Union City. Wanita itu bernama Monika Fuun atau yang akrab kita panggil Tante Monik. Kalau boleh saya menyuruh ingatan kembali ke masa itu, rasa-rasanya beliau adalah umat wkicu pertama yang berbicara hati ke hati, penuh kehangatan dan keakraban kepada saya.
Obrolan di antara kami terjadi. Beliau tinggal seorang diri di downtown San Francisco. “Saya sih cuma tinggal jalan kaki aja sampe.” Begitu katanya menjawab pertanyaan saya soal tempat tinggalnya. Mendengar jawaban itu, saya yang belum genap dua tahun berada di Amerika dan belum juga berhasil mendapat pekerjaan segera menduga bahwa Tante Monik ini pasti bekerja di tempat yang sangat baik dan bergaji besar karena jika tidak, mana mungkin akan sanggup membayar tempat tinggal yang jaraknya hanya tinggal selangkahan kaki saja dari Union Square?
Monika Fuun berasal dari Maluku. Dilahirkan 13 Desember 1956 di desa Sofianin kepulauan Tanimbar, tepatnya di sebuah pulau kecil bernama Fordate yang terletak di sebelah tenggara kepulauan Maluku. Desa kelahirannya terpencil sekali hingga saya kesulitan mencari keterangan mengenai daerah itu meskipun dibantu oleh tuan Google. Sebagai anak tukang kayu pasangan Theodorus Fuun dan Wilhelmina Bungaa, beliau telah terdidik hidup keras dan menjadi kuat. Sejak lulus SMP telah sangat terampil dan cekatan membantu ayahnya.
Saat umur 19 tahun pindah ke Jakarta bersama ketiga saudaranya dan kemudian diboyong ke kota Bogor bekerja di sebuah rumah makan. Hijrahnya ke Bogor inilah yang kemudian merubah perjalanan hidup Monika Fuun hingga akhir hayatnya. Sejak rumah makan tempatnya bekerja tutup setelah pemiliknya meninggal dunia, beliau mendapat pekerjaan baru di sebuah Apotik (toko obat) yang berlokasi di kota yang sama, hingga akhirnya tahun 1995 diajak ke Amerika oleh salah satu anak pemilik Apotik tersebut untuk membantunya mengurus keluarga dan merawat anak-anak mereka. Lama setelah bekerja membantu keluarga ini beliau memutuskan untuk mencari pengalaman baru. Dengan bantuan seorang teman akhirnya beliau berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah hotel/penginapan khusus yang merawat orang-orang tua yang terletak di tengah kota San Francisco. Dan atas kebaikan pemilik perusahaan tersebut beliau diijinkan menempati salah satu kamar di sana.
Dari cerita dan obrolan kami di dalam tenda sepanjang siang hingga sore itu menjadikan saya paham mengenai apa yang dikerjakan selama kedatangannya di Amerika. Dengan status keimigrasian yang tidak jelas, keterbatasan bahasa dan pendidikan yang menurut beliau sama sekali tidak dapat diandalkan untuk mendapat pekerjaan dan hidup layak telah membuatnya lebih kuat dan tahan banting. Keyakinan diri dan penyerahan jalan hidupnya kepada Tuhan telah membawanya pada sebuah keajaiban akan berkat berkelimpahan dari Allah yang memampukannya melewati segala rintangan dan mendapatkan apa yang menurut beliau sudah lebih dari cukup. Berkat dari harapan sederhana yang beliau inginkan untuk menjalani kehidupan seorang diri di Amerika sudah diterima. “Tuhan itu baik sekali. Semua yang saya minta dalam doa selalu dikasih, Saya mau terima kasih sama Tuhan. Pengen melayani dan selalu kasih waktu untuk Dia,” jelasnya ketika saya tanyakan mengapa sering terlihat di gereja Union City sementara beliau tinggal di San Francisco.
Monika Fuun selalu hadir di tiga wilayah misa WKICU setiap bulan, San Francisco, Santa Clara dan Union City. Bahkan beliau masih menyempatkan diri hadir di misa Minggu keempat bersama KKI Sacramento…..belum lagi beliau selalu muncul dengan semangat tinggi di beberapa undangan acara doa Rosario, Persekutuan Doa, dan kegiatan religius lain tanpa perduli jarak yang membentang menghadang. Perjuangan dan dedikasinya menunjukkan komitmen akan cinta dan rasa syukur kepada Tuhan yang hanya dapat beliau lakukan lewat WKICU. Niat adalah api yang membakar, dan perjuangan sebagai perwujudannya. Beliau mengajarkan kepada saya dan juga kepada kita bagaimana seharusnya melayani Tuhan sekaligus mencintai komunitas ini. Mungkin saya terbiasa bersembunyi dibalik alasan-alasan ketidak mampuan, tidak ada waktu, dan sifat terbiasa dilayani hingga niat yang seharusnya ada di dalam diri terkubur dalam-dalam, tinggal tunggu waktu sampai akhirnya mengikis cinta….
Di tenda berukuran kurang lebih 8 x 10 feet itu saya asyik mendengarkan rangkaian rasa syukur yang meluncur tanpa hambatan dari mulutnya. Tanpa beban kisah demi kisah terus mengalir. Saya tidak melihat ada rasa sombong dan sikap merasa hebat. Tertangkap semua tutur cerita dan ujaran kata yang keluar dari mulutnya penuh ketulusan. Takjub atas segala penyertaan Tuhan dan terjawabnya semua doa-doa serta harapan. Harapan dalam ujud permohonan yang begitu sederhana untuk hanya bisa diberi tempat tinggal dan berteduh, mendapatkan makan, diberi waktu luang untuk melayani, dan kemampuan menyimpan sedikit uang lebih sekedar membantu keluarga di kampungnya. Dengan wajah serius sambil menatap ke luar tenda sempat terucap keinginannya membantu menyekolahkan seorang keponakannya. Keinginan dari keterbatasan dan kesederhanaannya yang menyentuh hati. Suara gamelan yang dimainkan oleh para bule dari tengah panggung menambah suasana perbincangan kami. Ada nuansa magis tercipta yang mengingatkan ujaran; Ketulusan datang dari dasar hati yang paling dalam…..jika hati seumpama lautan dalam, ketulusan bersemayam di dasar sana. Kita harus sanggup dan mau turun menyelam ke bawah dan terus ke bawah, merendahkan diri dan hati kita serendah-rendahnya agar dapat menyentuh, merasakan dan sampai ke sana. Jangan biarkan tubuh, ego dan kesombongan mengangkatmu kembali ke atas.
Tante Monik orang yang selalu mencari Tuhan dan berusaha dekat denganNya. Dengan segala keterbatasan, beliau telah menyentuh lini setiap sudut ruang hati kita. Rasa gerah dan tidak senang akan sikapnya yang sering kita salah artikan mampu merubah suasana hati menjadi rasa nyaman, tenang dan aman ketika bekerja dan berada di sekitarnya. Seperti apa yang pernah dirasakan oleh Imman, keponakannya yang tinggal di LA, “Personally, growing up in Bogor with her I always felt safe when she is around for she is strong and brave and very protective of us as children at that time. And I know she loved us her nephew, she always remember to called each of us on our birthdays and even on our wedding anniversary. So very thoughtful of her.”
Monika Fuun telah pergi meninggalkan kita semua dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dua hari sebelum beliau meninggal dunia, saya mendapat sms dan pesan wa dari beberapa umat yang bertanya tentang keberadaannya. Beliau yang tidak pernah absen dari acara-acara religius tiba-tiba menghilang tanpa pesan. Tak ada sms atau whatsapp yang terkirim darinya. Handphone yang tak pernah lepas dari tangannya juga diam seribu bahasa tanpa pernah menjawab panggilan. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya dimana rutinitas kesehariannya adalah memberi perhatian melalui kiriman doa dan renungan lewat pesan whatsapp. Menelpon saya dan beberapa teman lain untuk minta bersama-sama mendoakan kesembuhan salah seorang umat atau seseorang yang dekat dengannya. Mengingatkan akan ulang tahun dan tahbisan para Romo, juga selalu menawarkan diri untuk membantu acara-acara WKICU tanpa kita minta.
Tengah malam di bulan November tahun 2019 usaha pencarian berhenti setelah mendapat kabar beliau ditemukan tergeletak di dalam kamarnya dalam keadan sudah meninggal dunia. Kabar itu menyengat kesadaran tentang betapa tipis dan dekatnya sebuah kematian pada diri kita. Dimensi ruang antara hidup dan mati bagai sebuah jaring internet yang tak terlihat namun mampu memindah partikel pesan ketempat yang jauhnya ribuan, bahkan jutaan kilometer dengan tertekannya tombol send sekejapan saja. We are a messenger, saya pernah dengar ungkapan itu. Hidup membawa pesan yang akan kita goreskan ….jika nanti pada gilirannya tombol send kita itu tertekan, pesan apakah yang sudah dan akan kita tulis agar tersurat di layar kehidupan?
Saya termenung di sudut rumah sambil menatap sebuah meja kecil yang sengaja tersedia khusus untuk menaruh sebuah box berisi urn----tempat berbentuk kendi yang di dalamnya bersemayam abu kremasi Tante Monik. Di luar rumah suasana muram dan sepi. Hanya suara kicau burung dan angin bertiup lamban yang tak mampu menggerakkan daun-daun di pepohonan sekedar melambai pelan untuk mengucap salam perpisahan. Saya nyalakan dua batang lilin kecil di samping kanan-kiri sebuah photo. Photo almarhumah yang sedang tersenyum bahagia berdiri persis di depan box berisi urn itu. Ada seuntai Rosario berwarna biru kesayangan beliau yang selalu menemaninya setiap saat masuk ke dalam doa, baik di rumah ataupun di dalam kendaraan umum yang menjadi alat transportasinya setiap hari. Salib Yesus dan patung Bunda Maria mengapit abu jenazahnya dengan rapih.
”Suatu hari nanti saya pasti nginep di rumah kamu,” katanya saat menolak halus tawaran saya untuk menginap. Masih teringat jelas kedatangan beliau bersama romo-romo tamu yang dihantarnya ke rumah saya menginap satu hingga dua malam dalam program “romo tamu” WKICU sebagai usaha membantu memimpin misa karena ketiadaan romo. Sungguh tak mengira kamu memenuhi janji itu setelah menjadi abu. Tak juga menyangka bahwa usaha kamu yang tak kenal lelah mengajak umat datang ke misa San Francisco akhirnya menjadi nyata. Lebih dari 200 orang telah berbondong ikut misa, meski itu untuk menghadiri misa pemakamanmu. Misa pemakaman yang megah dan indah di St. Ignatius Church, San Francisco telah Tuhan Yesus sediakan menghantar kepergianmu ke rumah Bapa.
Sabtu pagi hari kedua, keponakan beliau datang menjemput abu jenazahnya. Pertemuan hangat dengan sang keponakan (Imman dan istrinya) mengalirkan cerita dan kenangan baik tentang seorang tante yang sangat dicintai oleh keluarga dan saudara-saudaranya. Terlontar kabar hari itu bahwa harapan yang pernah beliau katakan di dalam tenda telah terlaksana. Suri, keponakan perempuannya di Indonesia telah berhasil disekolahkannya hingga bangku kuliah. Imman dan istrinya pamit pulang tak lama berselang dan mengatakan akan mampir dahulu menikmati pemandangan sepanjang pantai Monterey sebelum perjalanan kembali menuju Los Angeles. “Istri saya ingin jalan-jalan kesana.” Kata Imman. Bagai tersengat listrik mendengar itu saya berujar dalam hati, “Oh Tante…..indah betul cara Tuhan membalas ketulusan dan kesederhanaan cintamu.” Betapa Tante Monik sangat menyukai indahnya pantai Monterey hingga selalu menyarankan saya untuk membawa para romo yang menginap di rumah untuk pelesir ke sana. “Saya suka sekali ke Monterey. Pemandangan pantainya sungguh indah. Nggak pernah bosen saya!” Katanya menjelaskan ketika saya tanya mengapa harus selalu pergi ke sana?…………sudah menjadi abu-pun kamu masih diberi kesempatan menikmati pantai kecintaanmu.
Menyadari apa yang barusan saja terjadi, ketika melihat mobil keponakannya itu menghilang di tikungan jalan saya tergesa masuk rumah. Meraih handphone di atas meja. Teringat pesan terakhirnya yang terkirim satu minggu sebelum beliau meninggal yang isinya pesanan gado-gado dan telur balado untuk acara rekoleksi para suster Putri Carmel. Jempol ini dengan cepat mengetik kata, “Terima kasih tante! Saya akan pastikan tidak ada yang mengganti menu pilihan ini.” Jempol menekan tombol send…..Terkirim! Entah siapa yang membaca pesan balasan itu di hp-nya. Saya hanya ingin menambah terwujudnya satu keinginan beliau, dari sekian banyak permintaan dan keinginannya yang secara ajaib telah terpenuhi.
Sambil merapihkan kembali meja kecil, lilin, Salib Yesus dan patung Bunda Maria bekas tempat meletakkan box berisi urn tadi pikiran saya terbang mengembara. Ada rasa damai nan membahagiakan ketika membayangkan Tante Monik sedang bergandengan tangan berjalan di sepanjang pantai Monterey bersama sosok tubuh seseorang yang dibalut cahaya benderang. Mereka berjalan mesra beriringan, sesekali terlihat menari lincah….deburan ombak mengiringi lamat-lamat sebuah lagu riang yang terbawa angin pantai,
Maumere da gale kota Ende
Pepin gisong gasong
Le'le Luk Ele Rebin Ha
La Le Le Luk Si La Sol
Mi Fa Mi Fa Sol Le'le Tiding Fa Fa
Rebing Mude Mi
Do Do Do Do Mi Do Mi Do Gemu Fa Mi Re
Ele le ... Ele le...
Putar ke kiri e...
Nona manis putarlah ke kiri
ke kiri ke kiri ke kiri
dan ke kiri ke kiri ke kiri
ke kiri manis ee...
Sekarang kanan e...
Nona manis putarlah ke kanan
ke kanan ke kanan ke kanan ke kanan
dan ke kanan ke kanan ke kanan
ke kanan manis ee..
A Half-Full Glass of Life
Jadi biarlah kapal ini tenggelam bila harus tenggelam, dengan segala kail dan jalanya
Biarlah guncangan badai menceburkan ku ke dinginnya danau
Selama Yesus ada di dalam perahuku, tentramlah jiwaku
Pandemi belum berakhir, kebakaran hutan mengikuti, polusi udara dan evakuasi.
Ekonomi jalan di tempat, resesi menghantui
Kontak sosial jadi minimum, kesepian menjadi-jadi
Bagaimana juga emosi ini, kekuatiran menjadi warnanya, dan ketakutan begitu nyata.
Hari esokku bagaimana, kesuksesanku jadi tanda tanya. Rasa amanku terusik dan kian sirna.
Aku bertanya, di manakah Engkau Tuhan.
Kuraih cangkir kopiku. Yang selalu setia menemani setiap pagi, tiada henti. Ya, setia.
Seperti Mentari yang tidak pernah terlambat
Sehari pun tiada pernah dia tak datang, sejak aku lahir.
Sinarnya menerangi agar jalanku tak jatuh.
Hangatnya begitu sempurna bagaimana jadinya bila tanpa hadirnya.
Adakah yang lebih setia dari cangkir kopiku?
Adakah?.
Ya ada.. ! Dia yang mencipta, Dia Sang Pencipta.
Oh bunga bakung merenunglah
Sepanjang hidup ternyata oh baik-baik saja
Separoh jalan hidup ini oh pernahkah engkau berkekurangan?.
Jadi mengapakah kau dan aku tambahkan lagi beban di pundak, semua kekuatiran yang dunia tawarkan.
Besok akan baik-baik saja seperti kemarin dan hari ini
Kesuksesan dan rasa aman tiada lagi penting selama aku berjalan bersamamu Yesus.
Aku pilih menjadi ‘happy’, aku pilih menjadi berani dan besar hati.
Hanya rahmat dan kasihMu padaku,
yang kumohon menjadi milikku.
Bukankah limitation semata menggiring kerinduan untuk menghargai sesamaku lebih lagi?
Membawa hadirku dan hadir mereka menjadi syukur akan karuniaNya
memberi bukti dan aplikasi turutkah kami akan jalanNya
berlomba dengan waktu, sebelum hari berganti malam.
Tiadalah perlu hidup berlebih, memimpi apa yang aku tak harus punya
Apa itu resesi? Hidup ini penuh berkat, seperti kemarin dan hari ini
Buktinya gelas hidup ini telah setengah penuh terisi
In fact terlalu cukup untuk berbagi
Terlalu banyak untuk janda miskin dengan dua sen persembahannya.
Adalah mimpi di atas mimpi oh semua yatim piatu dan korban perang yang makanpun tak selalu .
Padahal aku sesungguhnyalah tiada lebih berharga dari mereka
Apa yang membuatku ?.
Jadi biarlah kapal ini tenggelam bila harus tenggelam, dengan segala kail dan jalanya
Biarlah guncangan badai menceburkan ku ke dinginnya danau
Selama Yesus ada di dalam perahuku, tentramlah jiwaku
BerkatNya cukup untuk hari ini dan esok, hidup dan matiku untuk Kristus dan bersama Dia.
We can even walk on this stormy water, and for that you may ask Peter.
Ya dan amin, semua akan baik-baik saja ketika kita percaya.
CA, Fall 2020
Nasihat Pendeta
Resep pandai bergaul
Seorang pemuda yang akan berangkat ke ladang misi (tugas mengemban misi agama) pamit pada Pendetanya.
"Pa, minta doa. Besok saya akan pergi ke ladang misi," katanya.
"Pergilah, Nak. Hati-hatilah di negeri orang, kau harus pandai bergaul, supaya banyak menenangkan jiwa."
"Bagaimana resepnya, Pa?"
"Ya, jika kau bertemu dengan tukang tahu, bicaralah soal tahu. Jika bertemu dengan tukang lontong, bicaralah soal lontong, dan jika bertemu dengan tukang sayur, bicaralah soal sayur."
"Bagaimana, jika bertemu dengan ketiganya, Bapa?"
"Ya, bicara saja soal gado-gado, Nak.."
God's Wings...
Time waits for no one. Treasure every moment you have.
After a forest fire in Yellowstone National Park, forest rangers began their trek up a mountain to assess the inferno's damage. One ranger found a bird literally petrified in ashes, perched statuesquely on the ground at the base of a tree. Somewhat sickened by the eerie sight, he knocked over the bird with a stick. When he gently struck it, three tiny chicks scurried from under their dead mother's wings. The loving mother, keenly aware of impending disaster, had carried her offspring to the base of the tree and had gathered them under her wings, instinctively knowing that the toxic smoke would rise.
She could have flown to safety but had refused to abandon her babies. Then the blaze had arrived and the heat had scorched her small body, the mother had remained steadfast...because she had been willing to die, so those under the cover of her wings would live.
'He will cover you with His feathers, and under His wings you will find refuge.' (Psalm 91:4)
Time waits for no one. Treasure every moment you have.
You will treasure it even more when you can share it with someone special. To realize the value of a friend...lose one.
Certain things catch your eye, but pursue only those that capture your heart.
(Bahan tulisan dikumpulkan oleh Hanafi Daud dari beberapa sumber)
Pasukan Allah
Ada waktunya untuk bertugas
Setelah Kebaktian usai, ada seorang Pendeta yang selalu berdiri di depan pintu keluar untuk menyalami seluruh umat yang hadir. Pendeta ini menyalami teman saya dan menariknya ke sudut gereja untuk berbicara dengannya.
Pendeta ini berkata :
”Anda perlu bergabung dengan 'pasukan Allah', nak!"
Teman saya menjawab :
" Saya sudah bergabung dengan 'pasukan Allah', Pak."
Pendeta itu kemudian bertanya, "Tapi mengapa saya hanya melihatmu pada hari Natal dan Paskah saja?"
Teman saya itu kemudian berbisik, "Saya termasuk dalam agen rahasia!"
Surat Cinta Rm. Macarius Maharsono, S.J
Doa kesembuhan kita lambungkan bersama. Allah akan selalu menjaga dan melindungi anak yang dikasihi dengan rencana terbaikNya.
Bahan tulisan oleh Hanafi Daud.
Kita mendengar kabar mengenai seorang romo yang pernah membaktikan diri melayani WKICU tahun 2002. Beliau adalah romo Macarius Maharsono, S.J. Beliau dikabarkan mengalami kecelakaan jatuh di kamar mandi beberapa minggu lalu, dan saat ini sedang menjalani operasi karena pendarahan di otak dan dirawat di ICU Rumah Sakit Panti Rapih, Jogjakarta. Doa kesembuhan kita lambungkan bersama. Allah akan selalu menjaga dan melindungi anak yang dikasihi dengan rencana terbaikNya.
Pengabdiannya yang hanya 8 bulan begitu memiliki kesan yang sangat mendalam bagi umat WKICU kala itu. Wajahnya yang kalem dengan senyum ramah yang selalu mengembang seperti meletupkan aura tersendiri sehingga umat merasa dekat dengan beliau.
Mungkin banyak anggota WKICU sekarang tidak tahu dan tidak kenal romo Maharsono, atau mungkin juga lupa. Di bawah ini ada sebuah surat yang ditulis sangat indah oleh beliau ketika beliau pamit karena harus menghentikan pelayanannya di WKICU dan melanjutkan pelayanan di Thailand. Ibu-ibu anggota Golden Girls WKICU mengatakan bahwa romo Maharsono ini mirip dengan salah satu bintang film seri California Highway Patrol/CHIP, Eric Estrada. (lihat foto).
Silakan Anda membaca surat perpisahan beliau kepada WKICU ini. Sebuah ungkapan rasa yang sangat menyentuh. Ungkapan rasa terima kasih dari hati tulus nan sederhana yang merasakan jalinan cinta umatnya dengan penyerahan total kepada Allah yang dirindukannya. Semoga rahmat kesembuhan beliau terima dengan segera, dan berkat kesehatan serta kebahagiaan menyertai beliau dalam pengabdian dan pelayanan kepada umat yang dicintainya.
————————ooo0ooo—————————
Surat diambil dari berita WKICU Juni 2002
Rembulan menggantung di jendela kamar. Itulah sambutan mesra kedatangan saya di Berkeley tahun lalu bulan Agustus. Hari berikutnya, Minggu pertama, saya merayakan ekaristi di komunitas WKICU.
Saya ingat, saya masuk tanpa pamit permisi. Terlambat lagi! Maaf ya. Oleh karena itu, supaya tidak terlalu kurang ajar, setelah 8 bulan merasakan kegembiraan dan kepahitan umat Katolik Indonesia di Bay Area, ijinkan saya pamit. Pamit dengan rasa haru dan penuh syukur terima kasih.
Hari-hari saya di Berkeley dan Bay Area penuh rahmat. Studi yang saya dalami terasa makin lama makin menarik. Makin lama makin terasa, betapa saya masih jauh dari mengenal Allah yang kita sembah bersama. Ya, Allah sungguh tak terpahami dengan budi akal. Allah hanya bisa kita rasakan dan alami hanya karena kasih KaruniaNya saja. Saya merasakannya secara berlimpah-limpah. Allah memang bagai laut tanpa tepi. Dan itulah sebabnya saya menjadi agak tidak berani bicara mengenai Allah. Biarlah Allah sendiri yang mewahyukan diri.
Saya mengalami betapa saya takut berdoa dengan banyak kata. Biasanya makin banyak kata, makin besar dan makin licin jalan menuju ke diri sendiri. Saya merasai kematian kata. Biarlah Tuhan yang berbicara, bukan saya yang merangkai selaksa kata. Tetapi saya juga mengakui betapa pada umumnya manusia kesulitan untuk doa diam dan mendengarkan. Orang masih mudah mengira bahwa dengan banyak kata bisa mengalahkan hati Allah. Makin banyak kata, makin licinlah jalannya. Bisa terpeleset dan memakai “doa” sebagai kendaraan penguasaan atas orang lain dan Allah. Wah! Doa diam dan mendengarkan memang memerlukan kerendahan hati luar biasa.
Delapan bulan di Bay Area bagai hidup dalam dua garba bunda pengasih. Cinta dan kehangatan komunitas Katolik Indonesia bagai air dingin penyejuk jiwa. Terima kasih. Terima kasih. Saya mohon maaf kalau kadang tiba-tiba menghilang dari arena. Bukan lari, marah atau ngambek. Saya tahu diri. Cinta mesra “umat” bisa menggoda seperti dibuai dalam ayunan kedamaian para pangeran besar. Dan itu tidak cocok untuk saya.
Saya sangat menghargai cinta yang tulus ini. Tetapi saya harus pergi. Masih panjang jalan pelayanan saya. Maka dengan sadar dan penuh syukur, Bay Area menjadi oasis yang menyejukkan. Sesudah dikuatkan dengan banyak berkah di sini, saya harus melanjutkan perjalanan pelayanan yang tidak mudah itu. Oasis memang surga bagi pengelana. Tetapi pengelana sejati tidak menetap di Oasis.
Gereja komunitas Katolik Indonesia di Bay Area memang unik. Sejarah tidak meluruhkan serat-serat ke-Indonesiaan umat. Meski Amerika bergerak dalam pikirannya sendiri, WKICU menari dalam tenunan banyak benang kultur: Amerika, Indonesia, Cina, Jawa, Jakarta, dan lain-lain. Dalam rajut-rajut budaya yang punya sejarah yang panjang dan berakar dalam itulah, kita sekarang memasuki wilayah refleksi mengenai peranan imam dalam jemaat. Dan yang luarbiasa (syukur alhamdulilah) Tuhan memberi diakon sebagai “penatua” bagi jemaat yang bergerak ini.
Kalau ada imam yang pastur, barangkali itu hanya kebetulan. Kebetulan ada yang sedang tugas belajar di Bay Area. Dan itu malah baik. Biarlah pastur itu menjadi orang-orang “kebetulan” saja. Kebetulan singgah di oasis penuh kasih ini. Terimalah mereka dan cintailah mereka secara bijaksana. Terlalu menuntut atau terlalu memanjakan barangkali adalah ketidak-bijaksanaan pula.
Saya mohon pamit. Saya meninggalkan Berkeley dan Bay Area dengan penuh rasa syukur dan terima kasih. Ada relung-relung karya lain yang akan saya masuki bersama kaum tanpa suara. Kalau ada yang mau belajar diam dan mendengarkan, saya akan mendapat lebih banyak teman lagi.
Tak ada gading yang tak retak. Begitulah pepatah Melayu kuno. Saya sadar sesadar-sadarnya, bisa saja saya pernah mengecewakan atau membuat orang tidak senang. Mohon maaf. Bagai tapak-tapak kaki di pasir pantai dihapus oleh ombak, biarlah kebaikan hati anda menghapus kesalahan-kesalahan saya.
Refleksi Singkat Satu Tahun Tahbisan Imamat (bagian 3)
Saya bisa melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam hidup saya dan saya tidak melihat alasan lain untuk memuji, menghormati dan mengabdi kepada Yesus dengan menjadi seorang Imam.
Oleh: Romo S. Hendrianto, SJ
Apakah ada yang lebih dahsyat dari doa seorang Ibu? Sungguh doa seorang ibu itu adalah sebuah keajaiban dan bahkan ada yang berkata bahwa doa seorang Ibu bisa menembus langit. Dalam renungan saya yang terdahulu saya juga sudah menceritakan doa ibu dapat merubah takdir yang tidak di sangka-sangka. Pengalaman pribadi saya menunjukkan bahwa doa ibu telah menghantarkan saya menjadi seorang Romo. Meskipun ibu saya tidak pernah punya niat agar anaknya menjadi Romo, dia terus berdoa kepada Bunda Maria agar menunjukkan jalan yang benar kepada anaknya, sehingga akhirnya Bunda Maria-pun menuntun saya menjadi seorang Romo.
Akan tetapi, dalam pengamatan saya, banyak juga para ibu yang berdoa hanya untuk sesuatu yang menurut dia terbaik buat anak-anak mereka. Dengan kata lain mereka tidak berdoa agar Tuhan memberikan yang terbaik menurut kehendak Tuhan. Para ibu banyak juga yang berdoa hanya untuk kepentingan dan kesuksesan duniawi semata bagi anak-anak mereka, mulai dari harta, karir, kekayaan dan prestasi yang cemerlang. Mungkin perlu dilakukan survey untuk menilai berapa banyak para Ibu yang berdoa untuk keselamatan jiwa-jiwa anak mereka atau agar anak-anak mereka menjadi orang Kudus.
Santa Monica adalah teladan bagi para Ibu untuk bisa berdoa agar anak-anak mereka menjadi orang Kudus. Santa Monica sendiri adalah seorang Ibu yang menderita cukup panjang. Secara pribadi dia menderita karena ketergantungan pada alkohol. Akan tetapi niat beliau yang kuat untuk berhenti minum alkohol menjadi fondasi untuk bisa bertahan dalam penderitaan dan masa-masa sulit dengan keluarganya. Di atas segalanya Santa Monica mengerti bahwa menjadi pengikut Yesus berarti kita harus memikul salib dan menderita seperti Yesus. Pemahamannya yang mendalam tentang penderitaan Yesus dan Salib terwujud dalam kata-katanya menjelang ajalnya kepada putranya Santo Augustinus, “Makamkan aku di manapun juga sesuai dengan keinginanmu, jangan sampai pemakamanku menjadi masalah buatmu. Aku hanya meminta satu hal bahwa agar kamu selalu mengingatku di altar Tuhan di manapun kamu berada.”
Santa Monica mengucapkan pernyataan di atas karena dia tahu bahwa anaknya Santo Agustinus telah dipilih oleh Tuhan untuk berkarya dalam namaNya, lebih tepatnya Yesus telah memilih Augustinus untuk menjadi seorang Imam dan Uskup. Sama halnya dengan sang Ibu, Santo Augustinus sendiri sadar bahwa identitas ganda seorang Imam dan Kurban dalam perayaan Ekaristi. Dalam karyanya yang berjudul De Trinitate (Tri Tunggal MahaKudus), menjelaskan bahwa Misa adalah kurban kudus, di mana Kristus menjadi Imam dan sekaligus Kurban. Santo Agustinus menulis, “Apa yang bisa kita berikan dan terima, dengan mengurbankan diri kita sendiri, sehingga kita menjadi seorang Imam?” Santo Augustinus juga menekankan bahwa makna kurban kudus dalam Misa tidak bisa dipisahkan dari pengorbanan Kristus untuk manusia. Dalam khotbahnya kepada orang-orang yang baru dibaptis pada Malam Paskah, Augustinus berkata, “Setelah konsekrasi dari Kurban Kudus oleh Tuhan, Dia menginginkan kita juga menjadi kurban, sebuah fakta yang jelas bahwa ketika Kurban Kudus pertama kali ditetapkan pada perjamuan malam terakhir, dan oleh karena kurban tersebut adalah jati diri kita yang utama, maka setelah upacara pengurbanan selesai, kita pun mendoakan doa Bapa Kami” (Sermon 227).
Dalam renungan singkat saya pada bagian pertama, saya sudah menjelaskan tentang peran Bunda Maria sebagai seorang Ibu yang berpengaruh besar terhadap perjalanan Imamat saya. Sementara dalam tulisan bagian kedua, saya lebih menceritakan peran ibu biologis yang mendoakan saya tanpa sadar untuk menjadi seorang Romo. Dan karena ibu saya meminta doa kepada Bunda Maria, maka semuapun menjadi klop karena Bunda Maria langsung menunjukkan jalan kepada saya untuk menjadi seorang Romo.
Ketika merenungkan kembali satu tahun tahbisan Imamat saya, khususnya hubungan Santa Monica dengan Santo Augustinus, saya jadi teringat akan sosok seorang “ibu” yang juga ikut berjasa dalam menghantarkan saya menjadi seorang Romo yaitu “ibu persusuan” saya. Istilah Almamater populer di kalangan akademik untuk menyebut perguruan tinggi atau sekolah tempat seseorang menyelesaikan suatu jenjang pendidikan. Akan tetapi banyak orang yang tidak tahu arti sesungguhnya dari istilah tersebut. Secara harafiah, istilah alma mater dalam Bahasa Latin bermakna “ibu persusuan.” Istilah ini digunakan berdasarkan kebiasaan orang Yunani Kuno dalam mengirim anak- anaknya untuk mengenyam pendidikan, dengan menyerahkan atau menitipkan anak-anak mereka kepada seseorang yang dianggap bijaksana. Di tempat orang bijak itulah, anak-anak dapat belajar atau berlatih untuk melakukan segala hal sebagai bekal untuk menjalani kehidupan orang dewasa. Tempat pendidikan ini disebut alma mater yang bisa juga berarti “ibu pengasuh” atau “ibu yang memberikan ilmu.”
Fakta yang menarik adalah setelah kejatuhan kerajaan Romawi, istilah alma mater mulai masuk ke dalam kosa kata liturgi Gereja Katolik dan Gereja pun menggunakan istilah ini untuk merujuk Bunda Maria. “Alma Redemptoris Mater” (Ibu Sang Penyelamat) adalah antifon yang cukup popular pada abad ke 11 dan didedikasikan kepada Bunda Maria.
Setelah ditahbiskan sebagai seorang Imam pada bulan Juni 2019, saya kembali ke tempat saya pernah bersekolah dan mempersembahkan misa syukur pada hari pertama tahun ajaran baru, tanggal 15 Juli, 2019. Ketika mempersembahkan misa syukur di SMA Katolik Santo Yosef dan SMP Theresia, Pangkalpinang, saya merasakan suasana hati yang berbeda sekali dengan pengalaman sehari sebelumnya ketika mempersembahkan misa syukur di Paroki tempat saya dibaptis. Dalam renungan terdahulu (bagian 2) saya telah mengutip penyair asal Inggris Hilaire Belloc “…setiap kali aku mengingat masa kecilku dan setiap kali aku merasa senang pulang ke rumah. Tapi aku tidak pernah menemukan kebahagiaan terakhir” (each time I have remembered my boyhood and each time I have been glad to come home. But I never found it to be a final gladness). Akan tetapi ketika mempersembahkan misa syukur di alma mater saya, saya merasa benar-benar pulang ke rumah dan menemukan “kebahagian terakhir.”
Tanpa saya sadari, SMA Katolik Santo Yosef dan SMP Theresia Pangkalpinang telah berjasa besar sebagai alma mater yang ikut menumbuhkan panggilan imamat saya. Saya bukanlah murid yang saleh dan suka berdoa; saya tidak pernah ikut Legio Maria atau pesekutuan doa, ataupun kelompok rosario di sekolah. Bahkan dalam beberapa hal saya juga sering berbuat onar di sekolah. Saya juga bukanlah seorang putra altar waktu di sekolah dulu. Selama hidup, baru sekali saya jadi putra altar waktu Ulang Tahun SMA tahun 1990, itupun karena putra altar yang seharusnya bertugas berhalangan. Jadilah detik-detik terakhir saya diminta jadi putra altar. Bisa dipastikan tidak ada guru-guru yang pernah membayangkan seorang murid seperti saya bisa menjadi seorang Rohaniawan Katolik.
Meski demikian, guru-guru di SMP dan SMA cukup luhur untuk mendidik saya menjadi seorang terbuka dan percaya kepada penyelenggaraan Ilahi. Pendidikan di bangku sekolah menengah juga cukup mumpuni untuk mempersiapkan saya lebih terbuka dan mendalami pengetahuan filsafat, politik, hukum dan teologi, sehingga saya pun terus mencari makna kehidupan.
Melihat ke belakang, sewaktu SMA dulu banyak guru-guru saya yang lulusan IKIP Sanatha Dharma, jadi secara tidak langsung saya juga sering mendengar tentang Serikat Yesus melalui mereka. Kemudian waktu di SMA, suatu hari guru agama saya pernah menceritakan kisah tayangan film di bioskop lokal berjudul ‘The Mission’ yang dibintangi oleh Robert De Niro dan Jeremy Irons. Film tersebut bercerita tentang perjuangan para Romo Jesuit di Paraguay. Setelah menonton film itu saya cukup terkesan akan komitmen para Romo Jesuit dalam menyebarkan injil kepada kelompok Indian Guarani yang tinggal di perbatasan Paraguay dan Uruguay, bahkan sampai mereka rela memberikan nyawanya demi kehidupan Gereja. Jadi sedikit banyak para guru-guru saya ikut menanamkan bibit panggilan untuk masuk Serikat Yesus.
Akan tetapi, pada akhirnya rahmat Tuhanlah yang menggerakan saya untuk menjadi seorang Romo, dan kemudian saya pun merespon rahmat Tuhan tersebut dengan memenuhi panggilanNya. Melihat pengalaman saya sejak masih duduk di bangku sekolah menengah, saya bisa melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam hidup saya dan saya tidak melihat alasan lain untuk memuji, menghormati dan mengabdi kepada Yesus dengan menjadi seorang Imam.
Untuk lebih mendalami suasana batin saya ketika kembali ke alma mater, silakan dibaca teks homily dibawah ini.
Homili pada misa syukur Romo Stefanus Hendrianto, SJ pada tanggal 15 Juli, SMAK St. Yosef and SMP St. Theresia Pangkalpinang.
Teman-teman yang terkasih dalam Kristus, izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya Romo Stefanus Hendrianto, SJ; saya adalah lulusan Angkatan 1992 SMA Santo Yosef dan Angkatan 1989 SMP Santa Theresia. Bisa dipastikan bahwa sebagian besar dari kalian belum lahir ketika saya lulus dari bangku SMP dan SMA. Mungkin sebagian guru – guru kalian juga masih duduk di bangku SD waktu saya bersekolah dulu.
Adalah sebuah kehormatan besar bagi saya hari ini bisa mempersembahkan misa syukur di depan murid-murid SMP Santa Theresia dan SMA Santo Yosef, khususnya pada hari pertama pembukaan tahun ajaran baru. Kemarin saya sudah sempat berkeliling Gedung baru SMA Santo Yosef dan juga SMP Theresia. Pak Frans (kepala sekolah SMA) dengan senang hati memberikan tour kepada saya untuk melihat fasilitas sekolah. Saya harus mengakui bahwa sudah banyak kemajuan secara fisik baik untuk SMP maupun SMA dibanding ketika jaman saya sekolah 30 tahun yang lalu. Akan tetapi setelah berkeliling cukup lama, saya tidak melihat dua obyek yang penting, pertama saya tidak melihat ada patung Santo Yosef dan kedua saya juga tidak melihat ada patung Santa Theresia Kanak-Kanak Yesus. Dua patung pelindung sekolah yang saya pikir bisa dengan gampang ditemukan di kompleks sekolahan.
Setelah tidak melihat kedua patung tersebut, saya juga tidak melihat patung saya. Mengapa harus ada patung saya? Jawabannya karena saya juga akan menjadi orang Kudus. Kalian mungkin menduga saya adalah orang yang narsistik, akan tetapi menjadi orang kudus itu bukan hanya panggilan bagi seorang romo seperti saya, melainkan panggilan bagi semua orang termasuk kalian sebagai pelajar. Izinkan saya mengulangi pelajaran agama Katolik yang mendasar, bahwa kita sebagai orang Katolik percaya akan kehidupan setelah mati. Bagi orang yang meninggal dalam dosa berat tanpa bertobat dan menolak rahmat Tuhan, mereka akan masuk ke neraka. Sementara bagi orang yang meninggal dalam rahmat Tuhan dan persahabatan dengan Tuhan akan hidup selamanya bersama Yesus di surga. Orang-orang ini kemudian disebut orang-orang Kudus. Oleh karena itu saya yakin kalian semua juga pasti ingin masuk surga dan menjadi orang-orang Kudus.
Berbicara tentang orang kudus, hari ini kita merayakan pesta seorang Santo, yaitu Santo Bonaventura. Saya pikir sangat pas sekali bagi SMA Santo Yosef dan SMP Theresia memulai tahun ajaran baru pada hari peringatan Santo Bonaventura, yang merupakan seorang uskup, kardinal, dan doktor gereja. Santo Bonaventura hidup pada abad ke 13 dan dia telah menyumbangkan banyak pemikiran-pemikiran besar bagi Gereja Katolik. Santo Bonaventura adalah pemimpin Ordo Fransiskan dan dia memberi dukungan kepada kehadiran para Romo Fransiskan di universitas dan mendirikan biara khusus di dalam universitas kota karena menurutnya, belajar merupakan kunci dari sikap apostolik biarawan dan juga membuat mereka dapat berkhotbah dan memberikan pengarahan spiritual kepada masyarakat.
Salah satu pemikiran Santo Bonaventura yang relevan untuk kita semua, khususnya kalian para murid adalah teori tentang perilaku manusia. Santo Bonaventura membedakan antara tiga macam perilaku manusia (human behavior). Pertama adalah perilaku bawaan (Innate Habit atau habitus innatus), yang kita dapatkan secara lahiriah, dan kita mempelajari perilaku ini dari usia yang sangat dini dan sangat mudah untuk dipelajari. Contohnya, seorang anak kecil akan cepat belajar untuk mempertahankan barang miliknya dan jikalau barang tersebut diambil oleh anak yang lain, dia akan berusaha merebut kembali.
Kedua, ada perilaku yang muncul karena kehendak pribadi kita yang bebas (acquired habit – habitus acquistus). Ketika seorang anak sudah tumbuh dewasa, dia pun mempunyai keinginan-keinginan dalam hidup, mulai dari menyantap makanan tertentu, ice cream, chocolate atau pola hidup tertentu, seperti pesta, dansa-dansi dan sebagainya.
Yang terakhir adalah perilaku manusia yang ditanamkan oleh Tuhan (infused habit – habitus infusus), khususnya melalui perantaraan Roh Kudus. Perilaku manusia yang berhubungan dengan iman, harapan, dan kasih adalah perilaku yang ditanamkan oleh Tuhan dan semua perilaku ini ditanamkan Tuhan bersama-sama dengan rahmatNya.
Apa hubungannya tiga model perilaku manusia tersebut dengan kehidupan kita? Sering kali dalam kehidupan ini, kita dikuasai oleh nafsu dan keinginan yang kuat, sehingga kita tidak bisa keluar dari kungkungan hawa nafsu tersebut tanpa bantuan dari rahmat Tuhan. Jikalau tubuh kita yang sakit, terkadang tubuh kita bisa menyembuhkan diri sendiri. Akan tetapi, jikalau kita berdosa, kita tidak bisa menyembuhkan luka dalam jiwa-jiwa kita dengan kekuatan sendiri, karena jiwa kita membutuhkan suntikan dari kasih Tuhan yang menyembuhkan.
Saya pikir teori Santo Bonaventura tentang perilaku manusia masih cukup relevan untuk kehidupan kalian sebagai siswa sekolah di abad ke -21 ini. Ketika saya seusia kalian 30 tahun yang lalu, tantangan dan godaan yang saya hadapi tidaklah sehebat yang kalian alami. Saat ini kalian telah hidup di era digital, yang mana godaan dan tantangan di dunia digital sangat luar biasa, mulai dari pornografi, gossip, ataupun informasi yang tidak benar. Media sosial telah membuat kita menjadi monster karena kita bisa dengan gampang menyerang karakter orang atau bahkan membunuh karakter orang.
Dunia digital juga menawarkan godaan bagi kalian untuk serba instant sehingga banyak anak-anak muda yang tidak bisa tekun belajar lagi. Dunia digital menawarkan informasi yang serba cepat, sehingga kalian cenderung ingin copy and paste, tanpa ada lagi keinginan untuk membaca lebih dalam ataupun melakukan penelitian terhadap sebuah subyek. Pada intinya, dunia digital telah memupuk keinginan kita untuk selalu ambil jalan pintas.
Bagaimana kita mengatasi semua masalah tersebut. Kita tentu bisa berusaha mengurangi ketergantungan kita terhadap internet ataupun media sosial. Kita tentu saja bisa berkeinginan untuk mengubah diri ataupun berikrar untuk melawan semua yang berbau godaan di dunia digital. Akan tetapi kita tidak bisa melepaskan diri dari rasa lekat yang tidak sehat itu dengan kemampuan kita sendiri. Semua rasa lekat itu hanya bisa diatasi dengan doa dan rahmat Tuhan
Di injil hari ini Yesus mengatakan bahwa “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Melalui pernyataan ini Yesus ingin mengingatkan kita yang sering mengandalkan kekuatan sendiri, dengan cara meninggikan diri kita sendiri. Tapi kita lupa akan keterbatasan kemampuan kita, sehingga Tuhan pasti akan selalu mengingatkan kita dengan merendahkan kita.
Apakah Yesus berlaku semena-mena dengan merendahkan kita. Yesus tentu tidak bisa disalahkan di sini karena tanpa Yesus berbuat apa-apapun, kita pasti akan direndahkan entah itu karena keterbatasan kemampuan fisik, pikiran, ataupun rohani. Oleh karena itu Yesus mengingatkan kita untuk merendahkan diri dan bergantung kepada rahmat Tuhan sehingga kita akan ditinggikan. Meski demikian bukan berarti kita bersikap pasif atau pasrah saja. Kita tentu harus berusaha sekuat tenaga karena pikiran, dan kemampuan fisik kita juga adalah anugrah Tuhan, akan tetapi kita sadar bahwa pada akhirnya semua usaha kita tidak akan berhasil tanpa rahmat Tuhan.
Hari ini adalah hari pertama kalian memulai tahun ajaran baru. Salah satu pertanyaan yang harusnya hadir di benak kalian semua pada hari pertama sekolah ini adalah, “Apa yang aku cari dalam hari pertama di sekolah?” Saya menduga salah satu jawaban kalian atas pertanyaan itu adalah pertemanan atau friendship.
Kalian semua pasti ingin mencari teman baru atau merajut hubungan pertemanan selama bersekolah. Akan tetapi hubungan pertemanan adalah hubungan yang cukup rumit. Sebagai seorang romo dan juga orang yang telah hidup lebih lama, saya ingin berpesan kepada kalian untuk mencari teman yang ingin berbuat terbaik buat diri kalian masing masing. Carilah teman-teman yang ingin membantu kamu tumbuh berkembang dan menjadi orang yang lebih baik. Tentu saja kalian bebas untuk memilih berteman ataupun bergabung dengan teman-teman yang pecundang. Jikalau itu pilihan kalian, ingatlah bahwa kalian juga harus siap menanggung konsekuensinya bahwa suatu hari nanti para pecundang tersebut akan menggiring kalian atau membawa kalian ke dalam jurang kejatuhan.
Yang lebih penting adalah carilah teman-teman yang bisa membantu kalian menjadi orang kudus, ataupun kalian juga bisa menjadi orang kudus buat teman-teman kalian. Hal ini mungkin terkesan sangat berat untuk dijalani oleh anak-anak SMP ataupun SMA. Akan tetapi, saya pikir hal ini bukan tidak mungkin dilakukan oleh kalian semua. Tiga puluh tahun yang lalu, saya mempunyai pengalaman dengan seorang teman yang menjadi orang kudus buat saya.
Ketika duduk di bangku SMA dulu, saya sering berbuat onar dengan cara saya sendiri. Suatu hari seorang teman perempuan saya yang kebetulan nama baptisnya adalah Katarina dari Siena minta waktu berbicara dengan saya. Santa Katarina dari Siena terkenal sebagai seorang Santa yang berani menghadap Paus dan meminta Paus untuk bertobat dan kembali ke Roma dari pelariannya di Avignon. Jadi bukan sebuah kebetulan teman saya ini juga mewarisi karisma yang sama dari Santa pelindungnya. Singkat cerita kita duduk bersama dan teman ini berkata kepada saya, “Hendri, saya tahu mengapa kamu sering membuat ulah di sekolah, jawabannya adalah karena kamu bukan murid yang berprestasi.” Terus terang saja ketika itu saya marah dan sekaligus terhina juga oleh ucapan teman saya tadi. Tapi kata-katanya justru mencambuk untuk menunjukkan saya bisa berprestasi dan melakukan introspeksi diri. Teman tersebut berani mengingatkan saya dan menjalankan peran sebagai orang Kudus karena dia ingin saya menjadi orang yang lebih baik. Oleh karena itu carilah teman yang seperti itu ataupun kalian bisa bersikap seperti teman saya tersebut.
Akhir kata, saya mengucapkan selamat menempuh tahun ajaran baru buat kalian semua. Marilah kita saling mendoakan agar kita semua bisa menjadi orang kudus buat sesama kita. Panggilan untuk menjadi orang kudus bukanlah suatu hal maksimal yang harus kita capai melainkan hal itu adalah hal minimal yang harus kita capai sebagai pengikut Kristus. Tuhan memberkati kalian semua.
Membantu dan Dibantu
Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai, Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.
Apakah ada orang dalam kehidupan Tanpa persoalan Tanpa penderitaan Tanpa kesakitan Tanpa kekurangan Tanpa perjuangan
Karena akibat adanya dosa Adam dan Hawa
Manusia pertama yang diciptakan Tuhan di dunia
Manusia perlu bersusah payah mencari rezeki dan makanan
Mengalami kesakitan saat melahirkan keturunan
Juga akhirnya harus mengalami kematian
Dimana sebagai Kristiani yang memiliki kasih, iman dan harapan
Percaya akan mendapat keselamatan dan kebangkitan
Dalam kondisi epidemi saat ini.
Makin banyak yang ditangisi
Makin banyak yang menangisi
Makin banyak yang mengalami masalah ekonomi
Dan makin banyak negara yang mulai menghadapi resesi
Karena semuanya semakin dibatasi
Sampai akses keluar masuk negara bisa dikunci
Semua berusaha melindungi diri sendiri
Jangan sampai banyak orang yang tidak dapat bernafas lagi
Begitu banyak orang semakin berada
Tapi banyak juga yang tambah menderita
Kapan orang bisa merasa sudah memiliki cukup harta
Bagi keluarga dan keturunannya
Dengan segala ambisi, ego dan cita-cita
Meski sudah lama belajar dan bekerja
Usaha kerasnya masih terasa belum cukup saja
Apalagi ada pertimbangan butuh banyak dana
Jika nanti sakit atau sudah tua
Jika sudah tidak bisa lagi bekerja
Berharap akan panjang usianya di dunia
Apakah banyak harta bisa membawa bahagia
Jadi kapan saat memberi derma dan untuk siapa?
Bagaimana kalau kita terlahir hidup sederhana sekali
Biaya sekolah susah, tidak bisa sekolah tinggi
Kerja berat, tidak seberapa penghasilan gaji
Persaingan usaha di sana sini
Keluarga besar perlu dibiayai
Apa arti kehidupan masih bisa lebih dimaknai
Untuk bisa diisi lebih lama lagi
Apabila tanggung jawab sudah menanti
Tapi belum juga bisa terpenuhi
Kalau bisa mencari jalan keluar untuk menghindari
Apalagi memikirkan untuk berbagi
Paling tidak, berilah bantuan dalam doa dan belajar mengerti
Supaya orang bisa memperoleh kedamaian hati
Karena Tuhan baik dan selalu mengasihi
Semoga kita semua selalu diberkati
1 Korintus 10:13
Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai, Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.
Matius 5:2-12
Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah (‘poor in spirit’), karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Lukas 6:20
Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah
1 Timotius 6: 17-19
Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaanNya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya.
Katekismus Gereja Katolik No.1723
Kebahagiaan yang dijanjikan menuntut keputusan-keputusan moral yang penting dari kita. Ia mengundang kita, membersihkan hati kita dari nafsu yang jahat dan berusaha supaya mencintai Allah di atas segala-galanya. Ia mengajarkan kepada kita: kebahagiaan sejati tidak terletak dalam kekayaan dan kemakmuran, tidak dalam ketenaran dan kekuasaan, juga tidak dalam karya manusia - bagaimanapun juga nilainya seperti ilmu pengetahuan, teknik dan kesenian - dan juga tidak dalam salah satu makhluk, tetapi hanya di dalam Allah, sumber segala yang baik dan segala cinta kasih.
LL - 7/18/2020
Iman dan Kasih di Atas Sebuah Pulau
Untuk semua yang kita tahu, berkat-berkat kita bukanlah buah dari doa-doa kita sendiri, tetapi buah dari doa-doa orang lain untuk kita.
Sebuah kapal pesiar karam saat terjadi badai di laut, dan hanya dua orang pria di atasnya yang mampu berenang ke pulau terdekat yang kecil dan tandus seperti gurun. Kedua orang yang selamat itu, yang tidak tahu harus berbuat apa lagi, setuju bahwa mereka tidak punya jalan keluar selain hanya berdoa kepada Tuhan. Namun, untuk mengetahui doa siapa yang lebih kuat, mereka sepakat untuk membagi wilayah di antara mereka dan tetap tinggal di sisi pulau yang berlawanan.
Hal pertama yang mereka doakan adalah makanan. Keesokan paginya, pria pertama melihat ada sebuah pohon penuh dengan buah-buahan di sisi tanahnya dan dia langsung memakan buahnya. Sedangkan sebidang tanah milik pria lain tetap tandus, tak ada apa-apa. Setelah seminggu, pria pertama merasakan kesepian dan dia memutuskan berdoa untuk meminta seorang istri. Keesokan harinya, kapal lain karam, dan satu-satunya yang selamat adalah seorang wanita yang berenang ke sisi daratannya. Sementara, di sisi lain pulau, tidak terjadi apa-apa.
Lalu kemudian pria pertama tadi melanjutkan berdoa untuk sebuah rumah, pakaian, dan juga lebih banyak makanan. Dan keesokan harinya, seperti sulap, semua ini diberikan kepadanya. Namun sungguh berbeda dengan apa yang terjadi di sisi pulau bagian lain, keadaan masih sama….pria kedua tidak mempunyai apa-apa.
Berikutnya pria pertama yang permintaanya selalu terkabul ini berdoa untuk mendapatkan sebuah kapal, agar dia dan istrinya dapat pergi meninggalkan pulau itu. Dan kemudian di pagi hari tertambat sebuah kapal berlabuh di sisi pulau bagiannya. Pria itu naik kapal bersama istrinya dan memutuskan untuk meninggalkan pria kedua di pulau itu. Dia menganggap pria kedua itu tidak layak untuk menerima berkat Tuhan, karena tidak ada doanya yang terkabul. Pada saat kapal hendak berangkat, terdengar suara menggelegar dari atas langit, "Mengapa kau meninggalkan teman kamu di pulau itu?"
Dengan ketakutan pria pertama itu menjawab lirih, “Berkat-berkat aku adalah milikku sendiri, karena akulah yang mendoakan semua berkat itu.” Kemudian ia melanjutkan . "Dan doa-doa orang itu tidak terjawab, karena itu dia tidak pantas mendapatkan apa pun."
"Kamu salah!" Suara itu terdengar lebih keras. "Dia hanya memiliki satu doa, dan Aku telah menjawabnya. Dan jika bukan karena doa orang itu, kamu tidak akan menerima satu pun berkat daripada Ku."
"Apa yang dia doakan sehingga aku harus mengajaknya ikut serta bersama ku?" Kata pria itu.
"Dia berdoa agar semua doamu terkabul."
Untuk semua yang kita tahu dan renungkan, berkat-berkat kita bukanlah buah dari doa-doa kita sendiri, tetapi buah dari doa-doa orang lain untuk kita.
Iwan S. (Artikel ini diambil dari berbagai sumber dan diterjemahkan oleh Team E-Bulletin)
'Forgiveness Wanted'
Kita semua membutuhkan pengampunan, dan kita semua harus belajar bagaimana cara mengampuni.
Cerita ini mengisahkan tentang seorang ayah dan putranya yang tinggal di Spanyol. Selama bertahun-tahun, hubungan mereka menjadi tegang. Daftar rasa sakit hati bertambah panjang sehingga akhirnya putranya memutuskan kabur dari rumah. Sang ayah mencari putranya, tetapi setelah berbulan-bulan berusaha mencari, dia gagal menemukannya. Sang ayah melakukan upaya terakhir, karena sudah merasa putus asa, dengan memasang iklan di koran lokal di Madrid. Dalam iklan tersebut, tertulis:
“Paco sayang, tolong temui aku di depan kantor penerbit koran ini pada siang hari. Semuanya telah dimaafkan. Aku mencintaimu - Ayahmu."
Keesokan siangnya, di depan kantor penerbit surat kabar itu, delapan ratus orang bernama Paco muncul.
Kita semua membutuhkan pengampunan, dan kita semua harus belajar bagaimana cara mengampuni.
Iwan S. (Artikel ini diambil dari berbagai sumber dan diterjemahkan oleh Team E-Bulletin)
Penyelamatan Yang Salah
Aku adalah malaikat pelindung yang menjagamu
Seorang pemuda berjalan tergesa-gesa setelah mendapat telpon dari istrinya yang bawel dan suka marah-marah. Suara teriakan sang istri yang menyuruhnya segera pulang dari kantor karena hari sudah malam terdengar memekakkan telinga, padahal sebentar lagi pekerjaan kantor itu akan selesai. Dengan rasa takut istrinya akan bertambah marah pemuda itu segera angkat kaki pulang dengan setengah berlari menuju parkiran mobil yang terletak di gedung seberang kantornya. Tiba-tiba ada suara berseru sebelum pemuda itu menyeberang jalan, “Berhenti! Jangan kau lanjutkan…!'“.
Mendengar seruan itu sontak si pemuda kaget dan menghentikan langkahnya. Sedetik kemudian meluncur sebuah mobil dengan sangat kencang lewat persis di depan jalan yang ingin dia lewati. Pemuda tadi kaget dan juga bersyukur ada orang yang mengingatkan dia untuk berhenti. Pemuda itu celingukan kanan-kiri mencari tahu siapa yang berseru tadi, tetapi tidak ada siapapun di sana. Kosong….
Pemuda itu kemudian menyeberang dan melanjutkan jalan menuju mobil. Masih dengan pertanyaan besar dan rasa heran sang pemuda menghidupkan mesin mobilnya menuju rumah. Dalam perjalanan pulang, sebelum mobil pemuda ini melewati sebuah jembatan kecil, seruan yang sama kembali terdengar, “Berhenti! Jangan kau lanjutkan….!”
Dalam keadaan kaget tetapi percaya dengan pengalaman akan kejadian pertama tadi, sang pemuda dengan cepat menginjak rem dan membanting stirnya ke pinggiran jalan. Sedetik kemudian sebuah pohon besar tiba-tiba tumbang menimpa jembatan dan membuat setengah badan jembatan itu rusak parah. Kembali pria muda itu bersyukur karena telah diselamatkan oleh suara itu.
Akhirnya dengan berani dan rasa penasaran pemuda itu keluar dari mobil dan berteriak lantang, “Siapakah kamu?” sambil melihat sekeliling dan juga memeriksa di dalam mobil. “Anda telah dua kali menyelamatkan saya…” sambungnya lagi dengan suara pelan.
Tak lama kemudian sebuah suara lembut berseru, “Aku adalah malaikat pelindung yang menjagamu…” kata suara itu.
Paras wajah pemuda itu seketika berubah “Oh yah..?! Di mana kamu waktu aku memutuskan untuk menikahi istriku?!” Kata pemuda tadi dengan marah.
