Suka Cita Romo Fransiskus Assisi Santoso, SVD

Photo: Yoshiko Santoso

Siang itu saya meluncur menuju South San Francisco untuk bertemu dengan Romo pemiliki nama lengkap Fransiskus Assisi Santoso, SVD.

Google maps saya atur ke alamat 315 Walnut Avenue, South San Francisco, CA 94080 untuk membawas saya ke arah All Souls Church, tempat Romo Fransiskus Assisi Santoso, SVD bertugas sebagai Parochial Vicar di sana.

Hari itu, Senin tanggal 14 Juli saya berencana ingin bertemu dengan Romo Frans, panggilan akrab sang Romo. Saya tidak membuat janji temu sebelumnya dengan Romo Frans karena hari itu saya mesti mengantar Romo Plinio ke bandara San Francisco untuk kembali pulang ke East Timor. Saya tidak yakin apakah setelah dari bandara masih punya kesempatan bertemu dengan Romo Frans. Saya berharap cukup beruntung hari itu bisa sekalian bertemu beliau….”Sambil menyelam minum air,” pikir saya.

Setelah menurunkan Romo Plinio di depan gate keberangkatan dan mengucapkan salam perpisahan, saya kembali masuk ke dalam mobil yang saya parkir di pinggir. Di areal tempat menurunkan penumpang itu saya menghubungi Romo Frans melalui telpon genggam. Telpon saya tidak diangkat, dan kemudian saya meninggalkan pesan melalui whatsApp. Tak berapa lama kemudian –sebelum saya diusir petugas bandara karena berhenti terlalu lama– lampu telpon genggam menyala. Terbaca pesan, “ Hi Agem, tadi kamu telpon saya sedang misa. Jam berapa akan datang?”

Mendapat jawaban itu karuan hati saya senang. Tak menyia-nyiakan kesempatan, secepat kilat jari-jari tangan mengetik pesan

“ Apakah saya bisa menemui Romo di parish tempat Romo bertugas?”

“Bisa sekali. Kapan mau ke sini? Saya ada janji dengan suster Imelda jam 1 siang,” jawab Romo melalui pesan – Waaaah… kebetulan sekali. Sudah lama saya juga ingin bertemu dengan suster Imelda – kata saya dalam hati.

Dengan sigap segera saya telpon Romo, tidak lagi ketak-ketik lewat whatsApp. Saya bukan generasi milenial, apalagi gen z yang mahir menggunakan jari-jari mereka untuk bicara.

“Saya segera meluncur Romo. Kita berangkat sama-sama saja ke tempat suster Imelda dengan mobil saya,” jawab saya dengan semangat.

Dalam perjalanan yang lancar dan cuaca cerah melewati free way 101 pikiran saya menerawang – Pagi hari tadi saya mengantar seorang Romo untuk kembali pulang, dan siang harinya menemui seorang Romo yang baru datang. Sungguh penuh rahasia hidup ini. Perpisahan dan pertemuan, bagai matahari dan bulan di siang dan malamnya. Keduanya abadi, hanya kita saja yang fana –

Saya mulai memasuki areal Walnut Avenue. Di antara jejeran rumah dan jalanan yang lebar serta asri terlihat jelas bangunan All Souls Catholic Church. Sebuah bangunan gereja berbentuk bulat berwarna beige yang mengambil posisi di bagian hook, tepat di ujung jalan tampak terlihat besar dan megah. Bangunan utama gereja yang berbentuk bulat dengan banyak ornament kaca mozaic yang tersusun dalam bentuk empat buah lingkaran di bagian atasnya itu memiliki badan bangunan yang memanjang. Tepat di depan gereja terdapat lokasi parkir berbayar dengan mesin-mesin pembayaran parkir yang berjejer di sepanjang trotoar. Di seberang antara gereja dan areal parkir terdapat taman tempat bermain bagi anak-anak. Di samping kiri bangunan itu ada kantor administrasi gereja yang menyatu dengan rectory, tempat tinggal para Romo yang bertugas di sana. Kemudian ada lapangan basket cukup luas yang terletak agak di belakang bersebelahan dengan sekolah, All Souls Catholic School. Lapangan basket itu bisa menjadi area parkir gratis bagi umat yang ingin misa ke gereja pada hari Sabtu atau Minggu karena sekolah libur. Lokasi paroki All Souls yang sangat strategis di area downtown South San Francisco itu bersebelahan dengan areal pertokoan dan tempat makan sepanjang jalan Grand Avenue.

Photo Dokumentasi: All Souls Church

Romo Fransiskus menyambut dengan ramah ketika saya sampai dan mempersilakan masuk menunggu di ruang tamu. Setelah menanti beberapa saat, Romo Frans muncul. Kami sempat makan siang dulu sebelum berangkat ke tempat suster Imelda. Kami mampir di sebuah rumah makan Vietnamese, Ben Tre yang jaraknya hanya selangkahan kaki saja dari paroki tempat Romo bertugas. Sambil makan kami ngobrol santai dan saya sempat menjelaskan sedikit tentang komunitas WKICU dan umatnya sebagai bahan perkenalan awal. Romo yang fasih berbahasa Spanish ini mengaku dirinya suka berterus terang apa adanya. Tidak suka dengan sesuatu yang bikin jlimet, sesuatu yang dibesar-besarkan dan omong dibelakang.

Kurang lebih setengah jam selesai makan siang, kami langsung jalan menuju St. Catherine Of Siena Parish, Burlingame untuk menyambangi suster Imelda yang bertugas di sana.

Dari obrolan dengan Romo Frans sewaktu makan siang tadi, saya menyimpulkan kalau Romo Frans ini orangnya simple dan gak neko-neko. Tawa lepas dan penuh ekspresi sewaktu bicara jelas menunjukkan keterbukaan dan keramahannya. Senyum dan sapa selalu dilakoni setiap berjumpa dengan siapapun. Seperti ketika kami keluar dari rectory menuju parkiran, beliau selalu menyapa umat yang keluar ataupun mengarah ke dalam gereja dengan sapaan dalam bahasa Inggris dan Spanish.

“Saya ingin orang langsung bicara ke saya jika ada persoalan. Jika saya salah, yah saya akan minta maaf dan merubahnya tetapi jika saya benar, yah sebaiknya orang itupun mendengar dan merubah sikapnya.” Beliau menjelaskan dengan serius di sela-sela obrolan santai di ruang tamu St. Catherine Of Siena Parish tempat suster Imelda bertugas.

Romo Fransiskus Santoso adalah anak lelaki satu-satunya dari tiga bersaudara. Beliau berasal dari Semarang dan lahir di daerah Lumajang, Jawa Tengah. Dengan tekad dan perjuangan yang sangat luar biasa, di usia 25 tahun beliau sudah pergi merantau ke Amerika dan mendarat di New York. Dari situlah perjalanan hidup mengarahkan beliau pada panggilannya menjadi seorang Romo.

Selang satu minggu kemudian Youngky, Yoshiko, Ingrid, Irwan, Ratna dan saya menjadwalkan pertemuan kembali dengan Romo. Kali ini kita mengundang Romo untuk makan malam di rumah makan salah satu umat WKICU, Lime Tree, milik Aming. Sambil ngobrol dan saling mengenal lebih dekat kami bersantap hidangan nikmat nan meriah makanan Indonesia yang dimasak khusus oleh Aming. Di rumah makan itu, mulai obrolan serius sampai tak serius tertuang semua di sana. Hangat dan penuh canda. Kami semua hanyut dalam nikmat makanan dan keakraban yang terjalin.

Photo: Yoshiko/Aming

Photo: anonymous

Romo Frans mengungkapkan rasa senangnya dapat berjumpa dengan umat WKICU. Beliau mengatakan bahwa ingin dapat berkenalan lebih dekat dan bisa bertemu secara langsung dengan umat, bahkan bersedia menyambangi sampai ke rumah.

Romo Frans yang mengantongi surat tugas selama 3 tahun bertugas di paroki All Souls ini selalu heboh dan begitu antusias jika berhadapan dengan siapa saja. Gaya dan suaranya yang khas membuat siapapun di dekatnya merasa tidak akan terjebak dalam suasana canggung saat bicara.

“Kapan-kapan saya mampir ke rumah kamu yah Aming? Loh, saya kok mengundang diri sendiri?“ Jawab Romo sambil tertawa lebar.

Malam itu setelah dinner di tempat Aming, kami mengantar Romo kembali pulang dan diajak mampir berkeliling melihat-lihat paroki hingga masuk ke dalam gereja. Kami ber-enam disuruh berdoa bersama di sana dan selanjutnya – masih di dalam gereja – kami mendengarkan cerita dan wejangan dari Romo.

Photo: YoYo (Youngky dan Yoshiko)

“Kita ini harus bisa menyiapkan waktu untuk Tuhan. Setiap hari harus bisa. Kalau perlu pasang alarm untuk mengingatkan. Satu hari itu 24 jam, masak kalian tidak punya waktu barang 10-15 menit saja untuk berdoa? Saya tidak percaya kalian tidak ada waktu.” Jelas Romo dalam wejangannya.

“Ketika alarmmu berbunyi, tinggalkan semua. Kamu harus stop segala kegiatan, dan duduk diam dalam doa. Bicara dengan Tuhan,” sambungnya lagi.

“Kalau kita dekat dengan Tuhan Yesus, pasti kita akan menerima suka cita besar. Tidak ada lagi khawatir, takut dan merasa tertekan. Wajah kita akan terlihat cerah ceria. Seperti wajah saya toh?” Jelasnya sambil tersenyum lebar.

Kami semua ikut tertawa lebar dan meng-amini perkataan Romo. Malam itu Romo mendoakan kami satu-persatu. Selesai mendoakan, beliau menyuruh kami berdoa di salah satu patung Yesus yang terletak di sisi kiri altar. Ada rasa hangat menyusup di hati. Rasa damai dan rasa dekat dengan Tuhan ketika itu.

Malam sudah menunjukkan pukul 11. Hari semakin beranjak larut dan kami harus segera pulang. Kenangan pertemuan pertama dengan Romo Fransiskus telah melekat di hati kami. Tidak hanya melekat di hati, tetapi juga begitu menyejukkan…..seperti berkat dan doa yang kami terima sebelum kami pulang.

Photo: YoYo (Youngky dan Yoshiko)

*****

Photo Dokumentasi: Society Of The Divine Word

Silakan mengikuti kisah Romo Fransiskus Santoso, SVD yang sangat inspiratif melalui tautan cerita yang ditulis dalam jurnal Society Of The Divine Word ini:

https://www.divineword.org/news/feature/fransiskus-santoso/





Next
Next

Youngky Hermanto