Redaksi E-Bulletin Redaksi E-Bulletin

Thanksgiving Wish

Lord, we give thanks for Your infinite love, Your promises that never fail, and Your plans that are always the best for your people.

Tgivingcard.jpg
Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Beautiful Souls

Orang biasa dan tidak sempurna, laki-laki dan perempuan yang disempurnakan oleh Tuhan. Mereka hanya memiliki satu tujuan dalam hidup – menjadi satu dengan Tuhan.

“The difference between the Gospel written and the lives of the Saints is the same as the difference between music written on a page and music played out loud.”

Jiwa-Jiwa yang indah

Hari Raya Semua Orang Kudus adalah hari suci yang khusyuk bagi Gereja Katolik. Ini adalah suatu hari peringatan di mana umat beriman merayakan persekutuan kita dengan orang-orang kudus. Kita dipanggil untuk mengingat dan menghormati saudara-saudari kita di dalam Kristus, saksi-saksi agung Kristus, yang telah pergi sebelum kita dan berada di surga bersama Tuhan. Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan siapakah jiwa-jiwa yang indah ini ?. Atau mengapa kita merayakan hidup mereka? Dan bagaimana kita, insan fana ini, bisa menjadi salah satu di antara mereka?

Bila kita perhatikan, tidak ada yang lebih beragam dari semua lapisan kehidupan, melebihi keragaman latar belakang orang-orang kudus. Pria dan wanita. Tokoh-tokoh Alkitab dan tokoh-tokoh kontemporer. Kaya dan miskin. Bangsawan dan orang buangan. Tua dan muda. Yang kuat dan yang lemah. Cerdas dan buta huruf. Berbudaya dan orang biasa. Karismatik dan lemah lembut. Orang Kristen sejati dan orang yang terlambat bertobat. Yang dikanonisasi oleh Gereja dan banyak lagi orang-orang kudus yang tidak dikenal dan tidak dikenal yang telah berjalan di bumi. Setiap seseorang bertemu dengan Tuhan secara pribadi; masing-masing menawarkan kepada kita wawasan yang berbeda tentang bagaimana mencintai Yesus, bahwa ada banyak cara untuk mengasihi Yesus. Santo Yosef, hamba Tuhan yang rendah hati, yang taat pada perintah Tuhan tanpa pertanyaan untuk melindungi Keluarga Kudus. Santo Fransiskus Assisi, menanggapi panggilan “Francis, Fransiskus, pergi dan perbaiki rumah-Ku yang runtuh,” meninggalkan segalanya untuk mengikuti ajaran Yesus Kristus dan untuk berjalan di jejak-Nya. Santo Ignatius dari Loyola, yang Latihan Pencernaan Spiritualnya telah membawa banyak orang setia dalam menemukan Tuhan. Santa Theresia dari Lisieux, dengan kepolosan dan kesederhanaannya bagai seorang anak kecil, mengungkapkan cintanya untuk Tuhan dengan caranya yang kecil. Bunda Teresa dari Calcutta, yang melihat dan mencintai Yesus dalam setiap orang yang dia layani, terutama yang tertindas dan terbuang.

Keragaman mencerminkan volume. Bahwa setiap orang bisa menjadi suci, atau setidaknya, bertujuan untuk menjadi suci. Terlepas dari keragaman latar belakang, orang-orang kudus tampaknya memiliki satu kesamaan. Orang suci mencintai Tuhan dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatannya, dan mencintai orang lain seperti Tuhan mencintai. Satu pribadi yang mengambil identitas Kristus. Seseorang yang memahami bahwa kekudusan adalah tidak mungkin jika tanpa kasih karunia Tuhan dan tanpa penyerahan diri sepenuhnya dan ketaatan total kepada-Nya. Sama seperti kita, orang-orang kudus memiliki pergumulan, kesalahan, kekurangan, dosa, dan konflik batin mereka. Orang biasa dan tidak sempurna, laki-laki dan perempuan yang disempurnakan oleh Tuhan. Mereka hanya memiliki satu tujuan dalam hidup – menjadi satu dengan Tuhan.

Ketika kita merayakan orang-orang kudus, kita diingatkan bahwa hidup mereka terfokus pada salib: menempatkan Yesus di pusat kehidupan, menjadi satu dengan Tuhan melalui doa - salib vertikal, dan mencintai dan merawat saudara dan saudari kita - salib horizontal. Mereka adalah model untuk kita tiru - karena mereka adalah murid dan pengikut terbesar Yesus.
Di bulan November, kita diingatkan akan identitas kita sebagai satu Tubuh Mistik Kristus. Gereja di bumi bersatu dalam doa dengan gereja di surga. Semua jiwa yang penuh kasih ini mengelilingi kita, menyemangati kita, mendoakan kita, bersyafaat untuk kita, menunggu kita di akhir garis finish. Mereka di surga, dan kita para peziarah di bumi. Bersatu dalam doa, menyembah Tuhan sebagai keluarga dalam Ekaristi. Kita adalah satu dalam Tubuh Kristus. Kita adalah Tubuh Kristus. Tidakkah itu sangat menghibur untuk mengetahui bahwa kita tidak pernah sendirian dalam perjalanan kita?

RS

Kutipan:
St Agustinus: “Perbedaan antara Injil yang ditulis dan kehidupan para Orang Suci adalah sama dengan perbedaan antara musik yang ditulis di halaman dan musik yang dimainkan dengan keras.”

Translated from the original text : “Beautiful Souls”

All Saints’ Day is a solemn holy day of the Catholic Church. It is one of the greatest commemorations, when the faithful celebrate our communion with the saints. We are called to remember and honor our brothers and sisters in Christ, the great witnesses of Christ, who have gone before us and are in heaven with God. But have we ever paused and reflected on who these beautiful souls are? Or why do we celebrate their lives? And how do we, mortal beings, become one?

When we think of the saints, we can’t find more diverse backgrounds from all walks of life. Men and women. Biblical personages and contemporary figures. Wealthy and poor. Aristocrats and outcasts. Old and young. Strong and weak. Intellect and illiterate. Cultured and commoner. Charismatic and meek. Cradle Christians and late converts. The ones canonized by the Church and many more unknown and anonymous saints who have walked the earth. Each one encounters God in a personal way; each offers us a different insight on how to love Jesus, that there are many ways to love Jesus. Saint Joseph, the humble servant of God, who obeys God’s commandments without questions to protect the Holy Family. Saint Francis Assisi, responding to the call “Francis, Francis, go and repair My house which is falling into ruins,” drops everything to follow the teachings of Jesus Christ and to walk in His footsteps. Saint Ignatius of Loyola, whose Spiritual Discernment Exercises have led countless faithful in finding God. Saint Therese of Lisieux, with her innocence and child-like simplicity, expresses her love for God in her little way. Mother Teresa of Calcutta, who sees and loves Jesus in everyone she serves, especially the downtrodden and the outcasts.

The diversity speaks volume. That everyone can be holy, or at least, aim to be holy. Despite the diversity in the background, the saints seem to have one thing in common. A saint loves God with all his/her heart, soul, mind, and strength, and loves others the way God loves. A person who takes on Christ’s identity. One who understands that holiness is not possible without God’s grace and without his/her complete surrender and total obedience to Him. Just like us, the saints have their struggles, faults, flaws, sins, and inner conflicts. The imperfect and ordinary men and women made perfect by God. They have but one purpose in life – to be one with God.

When we celebrate the saints, we are reminded that their lives are focused on the cross: placing Jesus at the center of our lives, being one with God through prayers - the vertical cross, and loving and caring for our brothers and sisters - the horizontal cross. They are our models to imitate because they are the greatest disciples and followers of Jesus. In the month of November, we remember our identity as one Mystical Body of Christ. The church on earth united in prayers with the church in heaven. All these loving souls surrounding us, cheering for us, praying for us, interceding for us, waiting for us at the finished line. They in heaven, and we the pilgrims on earth. United as one in prayers, worshiping God as a family in the Eucharist. We are one in the Body of Christ. We are the Body of Christ. Isn’t it comforting to know that we are never alone in our journey?

RS

Quote:
St Augustine: “The difference between the Gospel written and the lives of the Saints is the same as the difference between music written on a page and music played out loud.”

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

The Elder Brother Of The Prodigal Son - part 2

“Bapa, aku telah berdosa terhadap Surga dan terhadapmu”
God, have mercy on me, a sinner

“Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadapmu. Aku tidak layak lagi disebut anakmu; jadikan aku seperti salah satu pelayanmu "

Tentu saja aku marah, tentu saja aku tidak senang.
Dia hidup seenaknya di negeri asing, dan begitu sudah habis uangnya, ia pulang ke rumah bagaikan seorang pengemis yang kelaparan. Dan bapaku menyambut anaknya yang hilang itu dengan begitu suka cita, hingga menyembelih seekor anak lembu tambun untuk pesta dengan seluruh pekerja.


Sedangkan aku selama ini sudah hidup lurus dan bekerja keras di ladang, melayani bapa dan tidak pernah sekalipun menentang perintahnya. Aku tidak pernah berpesta pora atau mengenal seorangpun pelacur, aku anak sulung, maka aku pantas dihargai atas posisi, semua usaha dan dedikasiku kepada bapa selama ini. Yang jelas, aku jelas lebih baik daripada adikku itu, mengapa justru sekarang bapaku menyambutnya dengan suka cita bahkan memakaikannya jubah, memberinya sandal dan mengenakannya cincin ??. Aku jelas tidak terima semuanya ini, aku tidak akan masuk ke rumah, biarkan mereka berpesta di dalam.

Hari ini makin sore, sudah tiga jam aku di sini, masih duduk di bawah pohon ini, memandang rumah bapa dari jauh. Mereka masih berpesta, musik dan nyanyian riuh rendah masih sesekali terdengar.

Ah, perutku mulai lapar, dan tidak ada makanan atau minuman di sini. Angin pun mulai terasa dingin, dan aku tidak membawa jaket atau selimut. Aku seorang sendiri, sedangkan mereka bergembira di sana.

Sendiri, ya sendiri…
Tiba-tiba aku tersentak, menyadari kesendirian ini..
Mengapa justru aku yang sekarang sendiri ?
Tapi aku masih tak sudi untuk melangkah ke sana, ke rumah bapa.
Maka biarkan aku tetap sendiri, di sini.



Teringat dulu,...ketika aku masih kecil,..kami berdua masih kecil.

Kami sering bermain di dekat sini. Dan di bawah pohon ini, kami selalu menanggalkan sandal kami sebelum memanjatnya. Di atas pohon, kami memetik buahnya yang matang, memakannya, sembari menikmati semilir angin dan menebar pandangan sampai sejauh-jauhnya. Dari atas pohon  ini, bisa terlihat rumah kami di kejauhan, sungai, dan segala sesuatu di kaki perbukitan nun jauh di sana.

Tetapi suatu hari ketika memanjat pohon ini, dia, adikku ini,..tidak banyak berkata. Pandangannya seperti sedang tertambat pada ujung-ujung gunung dan segala sesuatu yang tersimpan di baliknya, segala sesuatu yang tidak tampak. Sesekali ia tampak gelisah tetapi tidak yakin akan apa yang akan dikatakannya “Bang,..apa ya yang ada di balik gunung-gunung itu. Apakah ada ladang-ladang lain seperti ladang milik kita?. Apakah ada rumah-rumah lain dan berapa besar keluarga mereka?...bolehkah kita berkenalan dengan anak-anaknya yang mungkin cantik dan tampan?. Apakah mereka punya anggur dan apakah rasanya sama dengan anggur di rumah kita?. Bang,..aku ingin tahu..”.

Aku cuma diam. Adikku ini ternyata punya banyak pertanyaan dalam hatinya yang tidak bisa aku menjawabnya. Maka aku pun hanya membalas tatapannya tanpa bisa berkata banyak. Mana mungkin aku tau jawaban atas semua pertanyaannya itu. Aku sendiri belum pernah berjalan melampaui puncak-puncak gunung itu untuk tau apa yg ada di baliknya. Yang aku tahu hanya bekerja setiap hari sebaik-baiknya untuk bapaku, supaya ia tidak menilaiku malas dan menjadi marah kepadaku. Aku takut membuat bapaku marah.

Tetapi seperti yang sudah aku pahami, adikku ini bukan seorang yang betah di rumah, ia punya jiwa seorang petualang, dan dia pun tidak akan mudah menyerah selama pertanyaannya belum terjawab. Tiba-tiba katanya: “Bang,..aku ingin pergi melihat dunia di luar sana. Aku tau bapa pasti tidak mengijinkan, tetapi aku tetap akan tetap pergi walaupun dia tidak mengijinkan”.

Hari itu setelah kami turun dari pohon, memakai kembali sandal kami, dan hendak berjalan pulang kembali ke rumah, terasa kaki saya agak sakit dan sama sekali tidak nyaman. Ternyata sandal kami tertukar, aku sedang memakai sandal adikku.


Sandal adikku.
Kupejamkan mataku mengingat saat-saat itu, ketika aku sedang memakai sandal adikku. Segala ketidaknyamanannya, segala kesempitan dan kasar permukaannya, segala kesusahanku untuk melangkahkan kaki.

Coba sekarang aku membayangkan sedang memakai sandal adikku lagi. Membayangkan bagaimana aku berada di posisi dia.. “Be in his shoes”.

Pergi meninggalkan keluarga di masa muda, pergi membawa sebagian harta bapa yang menjadi bagianku. Semangat muda dan keingintahuan yang besar akan dunia lain di ujung sana - telah membuatku berani menentang rencana bapa.
Menganggap harta adalah jaminan hidupku di negeri asing, menggunakannya tidak bijaksana bahkan habis di meja judi dan perempuan-perempuan asing. Menganggap hartaku akan kekal, dan semua orang adalah teman sejati. Menganggap dunia akan tetap baik-baik saja meskipun hidup dalam lingkaran dosa. Tidak perlu berkomunikasi dengan bapa, toh aku sudah dewasa.

Terlalu banyak untuk dikatakan,..yang jelas, semuanya adalah dosa.

Dan ketika masa paceklik tiba, kelaparan dan kemiskinan merajalela, ketika sepeserpun tidak lagi ku punya dan makanan babi pun orang tidak izinkan untuk aku makan, ketika tidak ada lagi teman, ketika yang kurasakan adalah sengsara hidup jauh dari rumah bapa……

Apa yang akan kulakukan?.
Maka aku akan berkata: "Berapa banyak pelayan sewaan ayahku yang punya makanan, dan di sini aku mati kelaparan! Aku akan berangkat dan kembali kepada ayahku dan berkata kepadanya: Ayah, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadapmu. Aku tidak layak lagi disebut anakmu; jadikan aku seperti salah satu pelayanmu" ….

Kini aku akan bangkit,... akan kutanyakan adikku itu. Akan kutanyakan apakah dia juga berkata begitu sebelum memutuskan kembali kepada bapa.

Ternyata dengan membayangkan berada di posisi dia,.. telah membuatku mengerti sedikit tentang kesesakan dan pergumulannya. Memakai sandal yang tertukar telah membuatku mengerti sesuatu. Dan di atas segalanya, adikku telah memilih yang terbaik, yakni bertobat dan berbalik kembali kepada bapa.

Akan kukatakan juga kepadanya,.. bahwa aku tidak lebih baik daripadanya.





Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

The Elder Brother

‘.. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia"‘

The Elder Brother (Of The Prodigal Son)



Saya tidak tahu bagaimana harus memahami perbedaan antara sikap sang Anak Sulung dan sikap sang ayah – dalam kisah the Prodigal Son (Luk 15:11-32).

Karena tidak mudah untuk dipahami, mungkin bukan tanpa alasan bahwa Yesus terlebih dahulu memberikan dua perumpamaan sebelum pada puncaknya memberikan perumpamaan anak yang hilang ini; yakni perumpamaan tentang domba yang hilang dan perumpamaan tentang dirham yang hilang. Lewat dua perumpamaan itu, mungkin Yesus ingin mencontohkan kebahagiaan dan suka cita yang dirasakan sang ayah ketika anak bungsunya kembali; sama seperti kebahagiaan sang gembala yang menemukan kembali seekor dombanya yg tersesat, atau kebahagiaan seorang perempuan yang menemukan kembali dirhamnya yang hilang.

“Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa..”

Ketika sang anak bungsu kembali ke rumah bapanya, sang bapa berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia (ayat 20) dan dengan bersuka cita berkata 'Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali' (ayat 24).

Lain halnya dengan sang anak sulung. Dia tidak serta merta senang dengan kepulangan adiknya, dan sikapnya 180 derajat berbeda dengan sikap bapanya itu. Dia menolak masuk ke rumah, dan katanya 'Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.'


Jadilah saya bertanya-tanya. Apakah semua hal yang dikatakannya itu sungguh adalah sebab penolakannya itu?. Mari kita lihat satu per satu.

Katanya.. 'Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku'.

Sekarang. Seandainya .. sekali lagi seandainya,.. bapanya pernah memberikan seekor kambing kepadanya untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatnya.

Lantas apakah kemudian dia akan menerima adiknya itu?. Apakah sikapnya akan berbeda ?.
I do not think so. Menurut saya dia akan tetap masih menolak kepulangan adiknya meskipun bapa mereka pernah memberikannya seekor kambing untuk bersuka cita.
Jadi jika demikian halnya,.. maka argumennya itu tidak relevan. Alasan itu tidaklah tepat. Lantas apa ?


Katanya lagi.. 'Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.' Ini poin-poin ucapannya itu:

  1. anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa

  2. .. bersama-sama dengan pelacur-pelacur

  3. bapa menyembelih anak lembu tambun untuk dia

Mari kita lihat alasan itu satu per satu
1. anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa.
Seandainya adiknya pulang dengan harta yang berlimpah, lebih banyak daripada yang dulu dibawanya pergi.

Coba kita renungkan… apakah dia lantas akan menerima adiknya itu?.
Kalau ya, berarti dia (si Sulung) adalah seorang yang mata duitan, materialistis, atau memandang harta sebagai ukuran dalam menilai orang lain. Baginya, harta lebih penting daripada kasih sayang persaudaraan; dan ketika adiknya pulang dalam ketiadaan dan kemiskinan, diapun enggan menunjukkan kasih, sekalipun itu adalah adiknya satu-satunya.

Still, menurut saya dia tetap akan menolak kepulangan adiknya itu, meskipun is datang dengan lebih banyak harta. Sehingga, adiknya kehabisan harta bukanlah menjadi alasan yang sesungguhnya. Lantas apa?

2. ..bersama-sama dengan pelacur-pelacur
Entah bagaimana dia bisa tahu bahwa adiknya bersama-sama dengan pelacur-pelacur sewaktu di negeri asing, tapi anggaplah itu benar.
Pertanyaannya,.. kalau ternyata adiknya tidak hidup demikian, kalau ternyata adiknya hidup ‘benar’ selama di negeri asing. Coba kita renungkan.. apakah dia lantas akan menerima adiknya itu?.
Kalau ya, berarti dia hanya mau menerima adiknya kalau adiknya itu adalah seorang yang 'suci' dan tanpa kesalahan, tidak berkekurangan dan tidak punya kelemahan. Dia tidak memiliki simpati bagi orang yang melukai hati bapa mereka. Baginya, orang lain harus berkualitas lebih baik atau sekurang-kurangnya sama baiknya dengan dia, baru dia bisa menerima. Alih-alih saudaranya itu perlu dibantu oleh karena segala kesulitan dan kepahitan selama hidup di negeri asing, dia malah sebaliknya menolak, dihukum atau mengucilkan adiknya itu. Seolah dialah orang yang paling berhak untuk menghukum dan mengadili.

Tapi still, meskipun adiknya ternyata hidup ‘benar’ di negeri orang, Sang anak sulung akan tetap menolaknya. Jadi ini juga bukan alasan penolakan yang sesungguhnya. Lantas apa?

3. ..bapa menyembelih anak lembu tambun untuk dia
Betulkah dia marah hanya karena bapanya menyembelih seekor anak lembu tambun untuk pesta itu?.
Seandainya,.. tidak ada seekor anak lembu tambun yang disembelih, seandainya tidak ada pesta besar-besaran..
Apakah dia lantas akan mau menerima adiknya itu?.
Tidak juga. Jadi sepertinya alasan itu tidak relevan juga. Ada atau tidaknya seekor anak lembu tambun disembelih (atau kambing, atau ayam dan ternak potong lainnya) rasanya tidak berpengaruh. Sepertinya dia akan tetap menolak kepulangan adiknya itu, dan enggan masuk ke dalam rumah bapanya.

Dari pembahasan di atas, ternyata kata-kata amarah sang anak Sulung tidak mewakili alasan penolakannya atas kepulangan adiknya. Jadi,.. lantas apa sebetulnya yang menjadi dasar, alasan penolakannya atas adiknya sendiri?.

Jawabannya mungkin ada di dasar hati kita masing-masing.
Bila kita kurang bersyukur dan selalu merasa kurang,.. mungkin kita sedang bersikap seperti anak sulung.
Bila kita tidak bisa melawan amarah,.. kita tidak ubahnya sedang berlaku seperti anak sulung.
Bila kita sering diam-diam menghakimi orang lain dan merasa paling benar dan paling suci,.. kita sedang manjadi seperti anak sulung
Dan bila kita sering gagal untuk mengampuni mereka yang bersalah,.. kita pun menjadi seperti anak sulung.
Demikian juga ketika kita mengutamakan harta & posisi sosial di atas nilai-nilai kemanusiaan dan kasih, kita adalah anak sulung itu.

Memahami sikap sang anak Sulung ternyata tidak ubahnya dengan memahami kerohanian saya sendiri, memahami kelemahan, sifat-sifat duniawi, emosi, keterbatasan dan kekurangan saya. Lewat perumpamaan yang Yesus berikan ini, saya berharap bisa belajar untuk menjadi lebih bijaksana dan tidak mudah menghakimi sesama yang kurang beruntung, terutama di saat saya merasa sudah berada di pihak yang benar. Mudah-mudahan kita mau dan mampu untuk melihat segala sesuatu dalam kehidupan ini dengan kacamata sang Bapa, kacamata Kasih, yang tidak bersyarat, the unconditional love.

Newark, 09_22_22

Read More
Puisi dan Karya Redaksi E-Bulletin Puisi dan Karya Redaksi E-Bulletin

Sang Ilahi dan CiptaanNya

Bunga Tulip yang sederhana.. sumber insiprasi


Bunga Tulip yang sederhana … menginspirasi lahirnya sebuah puisi


Sang Ilahi

Indah.. cantik parasmu
Terangkai indah menyatu padu
Tak terlukis mulia karyaMu
Luluhkan hati… lambungkan harapku

Terucap tanpa kata…
Melayang tinggi …
Kubuka mata hati ini
Kusadari betapa keagunganMu
Melampaui langit & bumi

Ah…seandainya Engkau di hadapanku
Kan ku rengkuh & kupegang erat
Hati & daya sepenuhnya untuk Mu
Tak kan kulepas walau sedetikpun

Ampuni hamba Mu..
Dosa sering membelengguku..
Sungguh ku tak layak dihadapan Mu
Hanya KasihMu menguatkanku…

CA 92222

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Tujuh Kedukaan Bunda Maria

Kita dapat belajar dari kesedihan Maria bagaimana menghadapi penderitaan kita sendiri

Tanggal September 15 adalah hari peringatan Santa Perawan Maria Berduka cita.

Tujuh Dukacita:

1.     Dukacita pertama: Nubuat Simeon (Lukas 2:34-35)

Simeon bernubuat dan berkata kepada Maria, bahwa anak Maria, Yesus, telah ditentukan untuk menjatuhkan dan membangkitkan banyak orang di Israel and akan menjadi suatu tanda pembantahan. Pembantahan itu akan menyakitkan Maria seperti suatu pedang yang menembus dirinya.

 2.     Dukacita kedua: Melarikan Yesus ke Mesir (Mat 2:13)

Dalam mimpi, malaikat berpesan kepada Yosef agar melarikan diri bersama Maria dan bayi Yesus dari aniaya raja Herodes. Ini merupakan pedang dukacita bagi Maria yang bingung karena harus mengungsi dengan seorang bayi yang baru dilahirkan. Dimana harus tinggal? Bagaimana dengan kebutuhan sehari-hari?

3.     Dukacita ketiga: Hilangnya Yesus di Bait Allah (Lukas 2:43-45)

Pedang ketiga sesaat Maria dan Yosef kehilangan Yesus setelah mengunjungi bait Allah pada hari perayaan Paskah di Yerusalem. Mencari anaknya selama tiga hari. Membayangkan bagaimana perasaan seorang ibu begitu gelisah dan takut kehilangan putra satu-satunya.

  4.     Dukacita keempat: Perjumpaan dengan Yesus saat menjalani hukuman mati

Sebagai seorang ibu, melihat anaknya yang sakit, betapa rasanya lebih sakit dari yang sakit.  Apalagi melihat anak yang akan dihukum mati. Membayangkan bagaimana sakitnya pedang yang tembus ke dalam jiwa Bunda Maria.

5.     Dukacita kelima: Yesus wafat (Yoh 19:25)

Membayangkan seorang ibu yang melihat Putranya yang tak berdosa dianiaya dengan keji and dihukum mati didepan matanya. Bunda Maria tidak berontak atau mencaci maki; dia menerima. Sepertinya dia tahu bahwa anaknya harus menjalankan penderitaan itu demi menebus dosa-dosa manusia. Segala sengsara Yesus adalah sengsara Maria. Jika ketika Yesus berkata: “Aku haus.” Bunda Maria pun tidak mampu memberikan setetes air.

 6.     Dukacita keenam: Lambung Yesus ditikam dan jenazah-Nya diturunkan dari salib (Mat 27:57-59)

Waktu Yesus disalibkan, semua murid2nya tidak hadir, kecuali Johanes. Bunda Maria mengalami semuanya, melihat anaknya yang ditusuk lambungnya dan  menghembuskan nafas terakhir. Pedang dukacita yang sangat menusuk untuk seorang ibu. Maka, bunda Maria sangat mengerti kesedihan kita semua dan tidak akan meninggalkan kita. Mungkin kita juga seperti murid2 Tuhan Yesus yang meninggalkan Yesus tetapi Yesus tidak akan pernah meninggalkan kita. Bunda Maria selalu membantu kita untuk mendekatkan diri lagi kepada Yesus. Berdoalah kepada Bunda Maria sesaat kita merasa jauh pada Yesus, sesaat hati kita sedih dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

7.     Dukacita ketujuh: Yesus dimakamkan (Yoh 19:40-42)

Ada pepatah: “It is hard to lose a son or a daughter, but it is harder to bury Christ. To be motherless is a tragedy but to be Christless is hell”. 
"Sangatlah susah ketika kehilangan seorang anak, tetapi terlebih susah lagi ketika harus menguburnya. Hidup tanpa seorang ibu adalah sebuah tragedi, tetapi hidup tanpa Kristus bagaikan hidup di neraka"

Source: https://berkat.id/2019/05/16/xvi-tujuh-kedukaan-bunda-maria/

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Technology and Spiritual Food

…both realizing that children and adolescents do not yet have the emotional maturity to deal with it.

Technology and Spiritual Food

It was a quiet dawn in the park when the girl spotted a squirrel up on a tree. The squirrel piqued her interest. Standing on its feet, the squirrel was holding a burger wrapper with its tiny paws and began sniffing the sheet. To her surprise and horror, it started munching the wrapper; the gravy on the sheet must have been so delicious that the squirrel could not resist finishing it in no time - swallowed whole. It was not aware that it was ingesting something harmful.

Her mind wandered to the young family she saw in a restaurant yesterday. The parents were busy looking at their smartphones, and the child, probably six years old, was busy tapping and swiping his iPad with his delicate fingers. Did the young couple know of what the boy was playing? She surely hoped so, for the boy could scarcely take his eyes off the screen.

People of all ages and from all walks of life are increasingly hooked on their smartphones. After all, we do live in a world that is going digital, and the development in digital technology is unstoppable, influencing and changing the way we live and interact. The technology industry’s forerunners have been monitoring and limiting access in their households due to smartphone usage's addictive nature and ease. Steve Jobs did not let his children use an iPad, while Melinda Gates preferred to wait longer before putting a smartphone in her children’s pockets, both realizing that children and adolescents do not yet have the emotional maturity to deal with it.

At the same time, technology development has also given a wide access to Christian treasures, something unimaginable even at the turn of the last decade – if we know how to harvest them. For example, the Bible and classic and contemporary Christian literature are no longer confined to hardcopy; lecture series and talks are also available online. These electronic and audio versions allow us to read and listen anytime and everywhere. What would have been difficult to secure or burned a deep hole in our wallets are now available at our finger tips – many are for free. The audio books and lectures are especially great for those who are hard-pressed for time; one can listen to spiritual reading in the morning walk, during the commute, or while doing chores. All we need is a smartphone and the desire to deepen our faith.

Here are some examples of websites and mobile apps for spiritual nourishment:

  • Resources for faith formation for all ages and interest – children, youth, and adults, from light-hearted cartoons and movies to intense faith formation programs: https://formed.org/

  • Classic Christian literature, including writings from the saints: http://www.ccel.org/

  • Materials on liturgy and prayers: https://stpaulcenter.com/library/liturgy-and-prayer/#prayer-spirituality

  • Mobile Apps Laudate, which can be downloaded for free, contains the Bible, the daily Mass readings, daily prayer and reflection, Liturgy of the Hours, the Rosary prayer, the Stations of the Cross, and even Vatican documents, in multiple languages (including Asian languages).

It has been said that who we are in five years is determined by what we read today. The statement may be an oversimplification, but there is a ring of truth in it: what we read and watch shapes who we become. Many of us pay attention to our diet; perhaps it is time to do so for the nourishment of our soul as well. The digital world is here to stay, and it is up to us to make a responsible choice.

(RS)





(Terjemahan Versi Bahasa Indonesia)

Teknologi dan Makanan Spiritual

Saat itu fajar yang tenang di taman ketika seorang gadis melihat seekor tupai di atas pohon. Tupai menggelitik minatnya. Berdiri di atas kakinya, tupai itu memegang pembungkus burger dengan cakarnya yang kecil dan mulai mengendus-endus lembaran itu. Yang mengejutkan dan terlihat ngeri, dia mulai mengunyah bungkusnya; kuah di atas sprei pasti sangat lezat sehingga tupai tidak tahan untuk tidak menghabiskannya dalam waktu singkat - ditelan utuh. Itu tidak sadar bahwa itu menelan sesuatu yang berbahaya.

Pikiran sang gadis mengembara kepada satu keluarga muda yang dilihatnya di sebuah restoran kemarin. Kedua orang tua sibuk melihat smartphone mereka, dan sang anak itu, mungkin berusia enam tahun, sibuk mengetuk dan menggesekkan iPadnya dengan jari-jarinya yang halus. Apakah pasangan muda itu tahu apa yang sedang dimainkan anak laki-laki itu? Dia pasti berharap begitu, karena bocah itu hampir tidak bisa mengalihkan pandangannya dari layar.

Orang-orang dari segala usia dan dari semua lapisan masyarakat semakin terpikat pada smartphone mereka. Bagaimanapun, kita hidup di dunia yang akan digital, dan perkembangan teknologi digital tak terbendung, mempengaruhi dan mengubah cara kita hidup dan berinteraksi. Pelopor industri teknologi telah memantau dan membatasi akses di rumah mereka karena sifat kecanduan dan kemudahan penggunaan smartphone. Steve Jobs tidak membiarkan anak-anaknya menggunakan iPad, sementara Melinda Gates lebih suka menunggu bertahun-tahun lebih lama sebelum memasukkan smartphone ke saku anak-anaknya, keduanya menyadari bahwa anak-anak dan remaja belum memiliki kedewasaan emosional untuk menghadapinya.

Pada saat yang sama, perkembangan teknologi juga telah memberikan akses yang luas terhadap harta Kristiani, sesuatu yang tidak terbayangkan bahkan pada pergantian dekade terakhir – jika kita tahu cara memanennya. Misalnya, Alkitab dan literatur Kristen klasik dan kontemporer tidak lagi terbatas pada hardcopy; seri kuliah dan pembicaraan juga tersedia secara online. Versi elektronik dan audio ini memungkinkan kita untuk membaca dan mendengarkan kapan saja dan di mana saja. Apa yang akan sulit untuk mengamankan atau membakar lubang yang dalam di dompet kita sekarang tersedia di ujung jari kita – banyak yang gratis. Buku audio dan kuliah sangat bagus untuk mereka yang kesulitan waktu; seseorang dapat mendengarkan bacaan rohani di jalan pagi, selama perjalanan, atau saat melakukan tugas. Yang kita butuhkan hanyalah sebuah smartphone dan keinginan untuk memperdalam iman kita.

Berikut adalah beberapa contoh situs web dan aplikasi seluler untuk makanan rohani:

Sumber daya untuk pembinaan iman untuk segala usia dan minat – anak-anak, remaja, dan dewasa, dari kartun dan film yang ringan hingga program pembinaan iman yang intens: https://formed.org/

Literatur Kristen klasik, termasuk tulisan-tulisan dari orang-orang kudus: http://www.ccel.org/

Materi tentang liturgi dan doa: https://stpaulcenter.com/library/liturgy-and-prayer/#prayer-spirituality

Aplikasi Seluler Laudate, yang dapat diunduh secara gratis, berisi Alkitab, bacaan Misa harian, doa dan refleksi harian, Liturgi Setiap Jam, doa Rosario, Jalan Salib, dan bahkan dokumen Vatikan, dalam berbagai bahasa (termasuk bahasa Asia).

Ada kata-kata bijak bahwa siapa kita dalam lima tahun ditentukan oleh apa yang kita baca hari ini. Pernyataan itu mungkin merupakan penyederhanaan yang berlebihan, tetapi ada kebenaran di dalamnya: apa yang kita baca dan tonton membentuk siapa kita. Banyak dari kita memperhatikan pola makan kita; mungkin sudah waktunya untuk melakukannya bagi makanan jiwa kita juga. Dunia digital akan tetap ada, dan tergantung pada kita untuk membuat pilihan yang bertanggung jawab.

(RS)





Read More
Tulisan Romo Redaksi E-Bulletin Tulisan Romo Redaksi E-Bulletin

Kembalinya Sang Romo Rajawali (bagian 2):

Sakramen Pengakuan Dosa dan Sakramen Ekaristi adalah dua hal utama yang perlu diperhatikan oleh seorang Imam untuk menuju kekudusan secara internal.

Kembalinya Sang Romo Rajawali (bagian 2):

Mencari Kekudusan diantara Surga dan Neraka


Dalam dua tulisan saya yang terdahulu, saya banyak menanggapi tulisan teman lama saya yang berjudul Romo Kodok. Ketika saya menulis tulisan yang pertama tentang Romo Kodok melawan Romo Rajawali, seorang teman lama saya dari SMA memberi tanggapan bahwa ada yang kurang dari tulisan saya yaitu sosok kekudusan seorang Romo. Karena terbatasnya ruang dan juga fokus saya lebih menanggapi argumentasi tentang Romo Kodok, saya belum sempat mengangkat topik kekudusan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, saya ingin mengangkat makna kekudusan dari seorang Romo.


Jalan Tol Menuju Surga atau Neraka

Dalam beberapa kesempatan saya sering mendengar celetukan bahwa menjadi Romo adalah jalan tol menuju surga. Bahkan beberapa tahun yang lalu, saya mendengar ada seorang anak muda yang dengan lantang mengatakan bahwa dia memutuskan menjadi Romo karena itu adalah jalan yang paling mudah untuk masuk surga. Saya pribadi tidak pernah berpikir bahwa menjadi seorang Romo adalah jalan tol menuju surga. Justru sebaliknya bahwa menjadi seorang Romo akan membuat kita lebih mudah masuk neraka.

Sebagai seorang Romo tentu kita dituntut untuk mempunyai standard yang lebih tinggi dibanding umat biasa. Jikalau kita gagal memenuhi standard tersebut tentunya konsekuensi yang harus kita tanggung adalah lebih berat dari pada umat biasa yang gagal memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang Katolik. Pada intinya ada dua macam pola hidup dalam kehidup Gereja: pertama, pola hidup “sempurna” dan pola hidup yang kurang “sempurna.” Jikalau kita melihat cerita Injil, kita tahu bahwa kedua belas murid dipanggil oleh Yesus untuk menjadi rasul dengan mengikuti Dia dan meninggalkan segalanya. Akan tetapi ada banyak pengikut Yesus pada masa itu, yang tidak dipanggil oleh Yesus menjadi para Rasul, dan tugas mereka hanyalah menyediakan rumah buat Yesus dan murid- muridnya, atau menyediakan makanan dan minimum buat Yesus dan murid-muridnya. Jadi para Romo adalah orang yang dipanggil untuk masuk ke dalam pola hidup yang “sempurna” seperti para Rasul, sementara sebagian besar umat dipanggil untuk menjalani pola hidup yang kurang “sempurna” dalam kapasistas mereka, entah sebagai suami, ayah, anak, istri, ibu, kakek ataupun nenek. Meskipun pola hidup mereka kurang “sempurna” tentu saja mereka tetap mendapat tugas untuk menjalani 10 Perintah Allah dan hukum yang utama, yaitu Mencintai Tuhan Allah dan Sesama Manusia. Sementara untuk para Romo, standard mereka tentu lebih tinggi, bukan hanya dituntut untuk menjalani hukum utama dan 10 perintah Allah, tapi mereka juga harus menjunjung nilai – nilai kebajikan surgawi, jikalau gagal ya berarti alamat seorang Romo masuk neraka akan lebih besar daripada orang awam.

Seorang Romo juga akan lebih gampang masuk ke neraka kalau dia entah sengaja atau tidak menyesatkan umat, entah itu dengan ajaran sesat ataupun perbuatan – perbuatan yang menimbulkan skandal. Sebagai contoh, seorang Romo yang dengan alasan pastoral menyingkirkan ajaran Gereja tentang moralitas dan seksualitas. Seorang Romo seperti ini tentu harus menanggung perbuatan, tindakan dan ucapannya dengan konsekuensi yang lebih berat.

Lupakan dulu hal – hal besar yang berkaitan dengan doktrin, dalam hal kecil saja para Romo dituntut untuk mempunyai standard yang lebih tinggi. Belum lama berselang saya mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan dalam perjalanan menggunakan pesawat. Ketika sampai di counter ticket untuk check-in, saya dikabari bahwa tiket pesawat overbooked dan karena saya check in agak telat, sekitar satu setengah jam sebelum pesawat berangkat, maka saya tidak kebagian tempat lagi. Saya langsung marah dan beraksi dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh maskapai penerbangan ini adalah penipuan terhadap konsumen karena mereka menjual tiket diluar kapasitas tempat duduk dan kemudian penumpang seperti saya di korbankan, hanya dengan alasan telat check in, meski saya tiba satu setengah jam sebelum pesawat berangkat. Akhirnya saya pun berkata karena tindakan maskapai ini adalah penipuan, dan mereka bisa digugat oleh konsumen. Sang pegawai maskapai penerbangan itu pun langsung bereaksi dengan mengatakan bahwa, “tidak sepantasnya kata – kata seperti itu keluar dari seorang Romo.” Karena saya memakai pakaian klerus tentu saja mereka tahu saya seorang Romo dan saya pun langsung di hakimi karena mengungkapkan kemarahan saya. Meski demikian, saya pun terhenyak atas kata – kata sang pegawai Maskapai penerbangan itu. Jujur saya mengakui bahwa apa yang dia ucapkan ada benarnya; kata – kata yang keluar dari mulut saya adalah kata – kata seorang lawyer dan bukan seorang Romo. Sebagai seorang Romo saya dituntut untuk selalu rendah hati, terlepas dari perlakuan yang saya terima dari siapapun itu, entah perlakukan semena- mena ataupun tidak manusiawi. Sebagai seorang Romo saya haruslah seperti Yesus yang rendah hati meskipun dituduh sebagai seorang kriminal dan dihina sampai mati di kayu salib.


Kekudusan dari dalam

Tidak mudah untuk mencari ukuran kekudusan bagi seorang Imam, tapi paling tidak ada dua hal dasar yang bisa menjadi patokan. Kedua hal mendasar ini merupakan faktor internal yang berasal dari kehidupan seorang Imam. Ketika saya masih belajar theologi, seorang Imam Jesuit yang menjadi professor saya pernah mengatakan bahwa untuk menjadi seorang Bapa Pengakuan yang baik, seorang Imam juga harus sering mengaku dosa. Pertama jelas bahwa kita para Romo juga adalah para pendosa, dan kedua, dengan sering mengaku dosa kita juga menjadi bisa merasakan rahmat Tuhan dari pengalaman mengaku dosa sehingga kita bisa membantu umat yang mengaku dosa ke kita. Ditambah lagi tentu adalah suatu hal yang munafik kalau seorang Imam sering mendengar pengakuan dosa tapi dia sendiri jarang mengaku dosa. Saya tidak berani mengatakan bahwa saya sudah sampai pada tahap kekudusan seperti yang disampaikan Professor saya, dan saya juga jujur mengakui bahwa saya belum sampat pada tahap mengaku dosa setiap minggu. Tapi saya berusaha mencoba untuk secara regular dan sering mengaku dosa karena saya menyadari saya juga adalah seorang pendosa.

Faktor kedua adalah perayaan Ekaristi oleh para Imam. Pater Theodore Hesburgh, CSC, mantan President University of Notre Dame, di Indiana dalam biografinya menceritakan bahwa dalam hidupnya dia setiap hari selalu merayakan misa baik secara umum bersama orang banyak maupun secara individual. Sampai akhir hayatnya Pater Hesburg tidak pernah absen merayakan misa setiap hari. Jadi beliau bukan duduk atau berpartisipasi secara pasif dalam misa, melaikan setiap hari merayakan misa atau paling tidak konselebrasi. Saya pikir Pater Herseburgh adalah seorang teladan dalam hal ini, terlepas dari segala kekurangan beliau, dia adalah contoh bagaimana seorang Imam menempatkan Ekaristi dalam kehidupan pribadinya. Apa yang dilakukan oleh Pater Hesrburgh adalah suatu hal yang coba saya contoh dan semoga saya bisa seperti beliau bisa merayakan Ekaristi kudus setiap hari sampai akhir hayat saya.

Tentu masih banyak hal lain bisa masuk dalam kategori kekudusan seorang Imam, tapi paling tidak kedua hal diatas, yaitu Sakramen Pengakuan Dosa dan Sakramen Ekaristi adalah dua hal utama yang perlu diperhatikan oleh seorang Imam untuk menuju kekudusan secara internal.


Kekudusan dari luar

Faktor eksternal yang mempengaruhi kekudusan seorang Romo adalah umat sendiri. Umat yang kudus juga akan menghasilkan Imam yang kudus. Seperti yang saya jelaskan sebelummya bahwa ukuran yang dipakai untuk mengukur seorang Romo adalah standard yang lebih tinggi. Setelah seorang Imam meninggal, dan dia harus menghadapi penghakiman terakhir, dia tidak hanya harus bertanggung jawab terhadap jiwa dia sendiri, tapi juga terhadap jiwa – jiwa orang yang dipercayakan kepada nya. Seorang Imam juga harus bertanggung jawab terhadap jiwa – jiwa umatnya. Berdasarkan pola pikir ini kita bisa melihat bahwa seorang Imam yang menyesatkan umatnya, adalah alamat masuk ke neraka. Mungkin ada segelintir Imam yang sengaja menyesatkan umatnya, tapi pengamatan saya ada juga sejumlah Imam yang berpikir bahwa dia ingin memuaskan keinginan umatnya, sehingga membiarkan saja umatnya berbuat seenak perutnya dan pada akhirnya sang Imam tidak sadar bahwa dial ah yang ketiban pulang bertanggung jawab terhadap keselamatan umat yang dia biarkan untuk berbuat apa saja.

Ambil sebagai contoh kewajiban ke Gereja pada Misa Hari Raya Khusus, semisal Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga. Tahun ini Misa Peringatan Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga jatuh pada hari Senin. Umat pun mencari berbagai alasan tidak bisa ke Gereja, dan celakanya Gereja juga menurunkan standard, entah dengan memindahkan itu ke hari Minggu ataupun bahkan memutuskan bahwa hari itu tidak wajib ke Gereja. Tentu pemikirannya adalah tidak ingin membuat umat menjadi repot, jadi Gereja pun mencoba meringankan beban umat. Meski para Uskup dan Imam mempunyai niat baik, tapi hasilnya belum tentu baik, karena umat pun merasa senang - senang saja dibebaskan oleh Gereja dari kewajiban.

Betul pada akhirnya yang mengambil keputusan adalah Para Uskup dan Imam, akan tetapi umat juga punya saham dalam masalah ini. Kalau saja umat Katolik berani bersikap lebih militant dan tidak mencari jalar pintas atau mau gampangnya saja, dan mereka berani berkorban untuk memenuhi kewajiban dalam kehidupan bergereja, tentu hal ini juga berpengaruh pada para Uskup dan Imam yang tidak berusaha meringakan beban umat dengan pikiran agar umat senang.

Ketika saya masih berstatus sebagai Transitional Deacon, saya bertugas di sebuah gereja di Amerika Bagian Timur. Waktu itu sekitar bulan November dan hujan sore – sore menguyur kota dimana saya tinggal. Ketika itu sudah masuk musim gugur dan sudah mulai dingin, meski tidak dingin – dingin amat dan tidak ada badai salju. Ketika itu saya bertugas di misa Sabtu sore jam 5.30. Umat yang datang tidak banyak, dan sejumlah umat menghampiri saya dan berkata, “Homili singkat saja hari ini, yang datang Cuma 5 orang, homili nya 5 menit cukup, kalau satu orang satu menit homili sudah cukup.” Tentu saja mereka setengah bercanda kepada saya, akan tetapi candaan ini juga menunjukkan sikap mereka yang ingin misa cepat selesai dan bisa langsung pergi.

Dari pengalaman singkat saya sebagai seorang Imam, saya sering mendengar komplain dari sejumah umat yang saya layani bahwa mereka, “mengapa kok Romo sering membuat umat susah dengan peraturan ini dan itu.” Tentu akan lebih gampang memberikan dispensasi atau membiarkan umat berjalan sendiri sesuai dengan keinginan mereka, tanpa terikat aturan yang menurut mereka merepotkan atau membuat hidup mereka menjadi susah. Akan tetapi pada akhirnya yang harus bertanggung jawab terhadap keputusan itu adalah saya sendiri sebagai seorang Romo, bukan hanya pertanggung jawaban di dunia, tapi juga pertanggujawaban di akhirat nanti.

Kembali dalam contoh kasus peringatan Hari Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga pada tahun ini, sebagai seorang Imam kita juga kerepotan. Di Amerika Serikat, Konferensi Uskup Amerika Serikat sudah memutuskan bahwa kalau Hari Peringatan tersebut jatuh pada hari Senin atau Sabtu, umat dibebaskan dari kewajiban pergi ke Gereja. Mau tidak mau kita para Imam harus mengumukan itu ke umat. Tapi disisi lain, tentu hal seperti ini menurukan standard kekudusan, baik kepada umat ataupun para Imam sendiri. Para umat mungkin bergembira karena mereka tidak wajib ke Gereja pada hari itu, akan tetapi kami para Imamlah yang nantinya harus mempertanggung jawabkan kegembiraan itu di kehidupan selanjutnya.


Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

One Blesses Six

“Pernahkah kita menyadari bahwa hari Minggu juga berarti hari awal pekan, hari pembuka, hari yang menguatkan iman, pengharapan dan cinta kita kepada Tuhan, sembari memohon tuntunan Roh Kudus untuk pekan yang baru?”

Mungkin banyak di antara kita yang selama ini memandang & memanfaatkan hari Minggu sebagai hari akhir pekan, karena memang dalam bahasa Inggris hari Minggu termasuk satu dari dua hari weekend, sedangkan terjemahan weekend itu sendiri adalah akhir pekan.
Siapa yang tidak suka hari Minggu ? No one. Semua orang suka weekend, dan selalu menyambut weekend dengan senang hati karena pada umumnya weekend adalah waktu istirahat & refreshing setelah bekerja sepanjang pekan dari hari Senin sampai Jum’at (atau bahkan Sabtu). Selain untuk refreshing, hari Minggu kemudian diisi dengan ibadah di gereja, mengucap syukur akan segala berkat & penyertaan Tuhan di sepanjang pekan yang telah berlalu.
Tidak ada yang salah dengan semuanya itu.

Tetapi apakah sesimple itu?. Pernahkah kita menyadari bahwa hari Minggu juga berarti hari awal pekan, hari pembuka, hari yang menguatkan iman, pengharapan dan cinta kita kepada Tuhan, sembari memohon tuntunan Roh Kudus untuk pekan yang baru ?.

Ibarat sebuah mobil perlu diisi bahan bakar, atau electric car perlu di-charged dulu sebelum drivernya melakukan perjalanan jauh, rohani kita juga perlu diisi dengan firman-firman Tuhan yang dibacakan dalam misa, oleh ibadat sabda dan yang terpenting yakni Ekaristi. Jadi hari Minggu adalah hari di mana kita memohon berkat Tuhan (dalam misa) untuk hari-hari di sepanjang pekan yang baru. Dan berkat hari Minggu menyertai hari Senin sampai Sabtu.; One blesses Six.

Dengan demikian setiap hari di sepanjang pekan yang baru, telah dinaungi oleh berkat yang kita terima di misa Ekaristi hari Minggu yang mendahului pekan itu. Berkat itu sungguh memampukan kita menjalani hari-2 Senin sampai Sabtu. Itu menenangkan, sehingga dalam hari-2 weekdays berikutnya tidak perlu lagi kita merasa was-was atau khawatir berlebihan, sebab semua kekhawatiran telah kita sampaikan kepada Tuhan; dan semua harapan telah kita serahkan ke hadirat Tuhan pula.

Memulai satu pekan dengan berkat di hari Minggu, selaras dengan rutinitas para rohaniwan seperti para romo dan suster.
Para biarawan dan biarawati memulai hari mereka dengan sesi doa di pagi hari, mungkin satu jam atau bahkan lebih. Mereka tahu untuk memberikan waktu terbaik untuk Tuhan, yakni di awal hari, sebelum melakukan semua rutinitas lainnya.
Tentu saja di misa hari Minggu kita juga kemudian mengucap syukur untuk hari-2 di minggu yang baru berlalu.

Mari kita memohon & menjadikan berkat dalam misa Ekaristi hari Minggu sebagai kekuatan rohani untuk menjalani weekdays kita. Semoga kita selalu haus & terpanggil untuk menerima berkat itu - bagaikan rusa mendamba air - sehingga jiwa kita bisa berkata ‘AMIN’, bahwa hadir di misa mingguan & menerima Ekaristi kudus adalah suatu berkat yang selalu urgent dan mandatory, bukan sesuatu yang optional & bisa ditawar-tawar.

Semoga.

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Martha dan Maria

"Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."

(Luk 10:38-42) Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah kampung. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya.
Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."
Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."

"Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."

Bacaan Injil beberapa minggu yang lalu - yakni tentang Martha dan Maria - masih sangat melekat dalam ingatan saya. Bukan hanya karena tidaklah mudah untuk 100% membenarkan Maria atau 100% menyalahkan Martha, tetapi mungkin karena kita masing-masing juga memiliki gabungan sifat, sikap, dan keadaan yang serupa dari kedua pribadi tokoh itu.

Di satu sisi kita ingin selalu dekat dengan Yesus, merasakan keintiman rohani yang memang menyenangkan hati Yesus dan menguatkan hidup rohani kita. Dengan kata lain, mendengarkan firman tuhan.
Tetapi di lain sisi kita sering terperangkap dalam lingkaran dan rutinitas yang mau tidak mau harus dijalankan, sebab jika tidak maka kita akan mengalami kesulitan setidaknya secara finansial. Bagaimana bisa membayar tagihan bulanan, cicilan, dan begitu banyaknya kebutuhan - jika tidak sibuk bekerja dan bekerja ?.

Ini menarik, sebab Yesus dalam bacaan Injil tidak pernah melarang atau menyalahkan Martha karena telah bekerja dan bersusah payah ‘mempersiapkan segalanya’ dan melayani Yesus. Anehnya, Yesus juga tidak memuji atau berterima kasih atas segala pelayanannya itu. Pun, Yesus tidak menyalahkan Maria.

Ada seorang teman yang berpendapat bahwa jika Martha tidak ‘komplain’ ke Yesus, maka semuanya akan baik-baik saja dan Yesus pun akan diam saja.

I don’t think so. Sebab kalaupun Martha tidak sampai ‘komplain’ ke Yesus,..apakah itu berarti Yesus tidak akan pernah tahu apa yang dia rasakan?. (Martha merasakan ketidakadilan - sebab dia seorang saja yang ‘bekerja’ sementara saudaranya duduk-duduk saja mendengarkan Yesus). Sebab sebagai anak Allah, tentu saja Yesus akan tahu juga meskipun Martha tidak komplain bicara.

Jika demikian, Martha harus bagaimana? Bicara komplain salah, tetapi diam dan komplain dalam hati juga salahkah ?.

Sekali lagi, Yesus tidak pernah menyalahkan Martha oleh karena pelayanannya itu. Pelayanannya itu sudah pasti menyenangkan dan berkenan bagi Yesus. Tidak ada yang salah dalam melayani Yesus, sebab itu juga adalah bentuk cinta dan hormat dari seorang Martha kepada gurunya dan tamunya.
Begitu juga Maria, yang dalam perwujudan cinta dan hormatnya kepada guru dan tamu mereka, memilih duduk tenang mendengarkan Yesus.

Terus, apa yang salah jika demikian halnya?.
Salahnya, adalah Martha komplain.
Dan tidak peduli apakah komplain itu diucapkan atau tidak (sebab Tuhan tahu segalanya yang terucap ataupun tidak ).

Salahnya, adalah Martha komplain karena membandingkan apa yang dia lakukan dan apa yang Maria lakukan.
Karena dia membandingkan cara dia melayani Yesus dengan cara Maria ‘melayani’ Yesus.
Karena dia merasa apa yg dilakukanya lebih penting (sehingga Maria sampai kudu / harus ikut membantunya).
Karena kemudian timbul ketidaksukaan dan iri.
Karena dia berpikir Maria lebih ‘enak’, dan dirinya merasa lebih susah. (Renungan: apakah sesungguhnya dalam pelayanan itu susah???)
Maka patutlah Yesus mengingatkannya "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara”. Ini termasuk perkara membanding-bandingkan pelayanannya dengan bentuk pelayanan orang lain sesamanya.

Lebih parahnya lagi, Martha mengusulkan agar Maria meninggalkan posisinya dan menggantikannya dengan melakukan tugas seperti yang dia (Martha) lakukan. Ini sama saja artinya dengan meinggalkan kedekatan dan hubungan yang baik dengan Yesus. Ini sangat salah. Maka dari itu Yesus selanjutnya berkata : “…tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."
Saat Yesus datang, hanya satu saja yang perlu: bersama dengan Yesus, mendengarkan Dia, atau berkomunikasi dengan Dia. Dalam kehidupan sehari-hari tanpa kehadiran yesus - mungkin saja Maria sama sibuknya dengan Martha, bekerja sama rajinnya. Tetapi ketika Yesus hadir ! Ya Ketika Yesus datang, ketika Yesus menyapa: ketika Yesus mengetuk pintu: hanya satu saja yang terbaik: mendengarkan suaraNya, firmanNya. Ingat lagu “When you hear His voice today, harden not your heart..”.
Maria memilih itu. Dan itu dikatakan Yesus sebagai “bagian yang terbaik”.

Coba saja kalau dalam pelayanannya itu, Martha selalu bersuka hati, penuh syukur dan bahkan bernyanyi-nyanyi. Pasti tidak kuatir & susah.
Dan coba dalam keseharian dan pelayanan kita, kita selalu mengucap syukur.
Maka Martha dan kita tidak akan komplain, tidak akan saling membandingkan utk mencari yang terbaik. Sebab sesungguhnya semuanya baik dan berkenan bagi Tuhan, semuanya dipanggil untuk melayani Tuhan Yesus dengan kemampuan, rahmat dan talenta yang berbeda beda. Panggilan Maria, Martha, dan kita masing-2: berbeda-beda bentuknya walaupun satu tujuannya: melayani & menyenangkan Tuhan.
Ada orang yang terpanggil untuk melakukan pelayanan aktif, dan ada juga yang terpanggil untuk karya kontemplatif. Keduanya sama-sama eksis dan saling melengkapi, tidak untuk saling meniadakan.

Sekarang tinggallah satu tantangan lagi utk kita: kapan dan seberapa sering kita mengundang Yesus datang ?. Dan di saat-saat doa bersama Yesus itu, seperti seorang Maria, maukah anda meninggalkan semua hal lain, tenang dan khidmat mendengarkan suaraNya yang halus berbicara dalam lubuk hati terdalam ?. Mencari tahu apa yang Yesus harapkan darimu, dan menceritakan apa yang engkau butuh dari Yesus. Adakah saat yang lebih baik, lebih penting, dan lebih indah dari itu?.

Newark, 17 August 2022.

(English translation)

The Bible reading a few weeks ago - about Martha and Mary - is still very much in my memory. Not only because it's not easy to 100% justify Maria or 100% blame Martha, but maybe because each of us also has a combination of similar traits, attitudes, and circumstances from the two personalities.

On the one hand, we want to always be close to Jesus, to feel spiritual intimacy which really pleases Jesus and strengthens our spiritual life. In other words, listening to God's word. But on the other hand we are often trapped in a circle and routines that we inevitably have to carry out, because otherwise we will likely experience difficulties, at least financially. How can you pay your monthly bills, installments, and so many necessities - if you're not busy working and working?.

This is interesting, because Jesus in the Gospel reading never forbids or blames Martha for having worked and gone to great lengths to 'prepare everything' and serve Jesus. Surprisingly, Jesus also did not praise or thank her for all of his ministry. Nor, Jesus blame Mary.

There is a friend of mine who thinks that if Martha does not verbally 'complain' to Jesus, then everything will be fine and Jesus will be just silent.

I don't think so. Because even if Martha doesn't verbally 'complain' to Jesus, does that mean Jesus will never know how she feels? (Martha feels injustice - because she is the only one who 'works' while her sister sits around listening to Jesus). Because as the Son of the Father, of course Jesus would know too, even though Martha didn't say.

If so, what should Martha do? Verbally complaining is wrong, but being silent and complaining in your heart is also wrong?

Again, Jesus never blamed Martha for her service. Her ministry was certainly pleasing and pleasing to Jesus. There is nothing wrong in serving Jesus, because that too is a form of love and respect from a Martha to her teacher and guest. Likewise, Mary, who in the expression of her love and respect for their teachers and guest, chose to sit quietly listening to Jesus.

So, what's wrong if that's the case?. The fault is, that Martha complained. Because she compared the way she served Jesus with the way Mary 'served' Jesus. Because she felt what she was doing was more important part (so that Mary had to help her). Because then hatred and envy arose. Because she felt Maria took an easy part, while hers she found it as more difficult. (Reflection: is it really difficult in ministry ???)
So Jesus should remind her "Martha, Martha, you are worried and troubled with many things". That is, it is a matter of comparing her ministry with other people's ministry.

Worse, Martha suggested that Mary need to leave her position and asked her to do and be same as (Martha) herself. This is the same as suggesting to taking away the good & intimate relationship with Jesus. This is very wrong. That is why then Jesus continues “…but only one thing is necessary: ​​Mary has chosen the best part, which will not be taken away from her.”
When Jesus comes, only one thing is necessary: ​​to be with him wholeheartedly, to listen to Him, or to communicate with Him. In daily life without Jesus presence - maybe Mary is just as busy as Martha, working just as diligently. But when Jesus is present! Yes When Jesus comes around, when Jesus greets, when Jesus knocks on the door: only one thing is best: to listen to His voice, His word. Remember the song "When you hear His voice today, harden not your heart.." Mary chose that. And Jesus said it was "the best part".

Imagine if in her service, Martha is always happy, full of gratitude and even sings. Definitely not worried & difficult. And imagine if in our daily life and service, we always give thanks to the Lord. So Martha and we will not complain, nor will we compare each other to claim to be the best. Because actually everything is good and pleasing to God, all of them are called to serve the Lord Jesus with different abilities, graces and talents. The call of Mary, Martha, and each of us: are different forms although there is only one goal: to serve & please God.
There are people who are called to do active ministries, while others are called to contemplative works. Both exist and are complementary to each other, not to cancel each other out.

Now there is only one more challenge for us: when and how often do we invite Jesus to come?. And in those prayerful moments with Jesus, like a Mary, will you leave everything else behind, quietly listening to His soft voice speak in your deepest heart? To find out what Jesus expects from you, and you tell Jesus what you need from him. Is there a better, more important, and more beautiful moment than that ?

Newark, August 17, 2022.




Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Reparation, Restoration, and Elevation

Ada tiga penyangkalan dan sebelumnya tiga kali pernyataan kasih.
Apakah semua ini sebuah kebetulan belaka? Tentu saja tidak, semuanya telah diantisipasi oleh Yesus.

Perbaikan, Pemulihan, dan Pengangkatan

Dalam kisah sengsara Tuhan kita Yesus Kristus, diceritakan bagaimana Simon Petrus telah menyangkal Yesus sampai tiga kali, sebelum kemudian terdengar kokok ayam jantan yang menyadarkan sekaligus mengingatkannya kembali akan perkataan Yesus bahwa hal itu akan terjadi. (Mat 26:34)

Terjadinya penyangkalan itu terasa begitu menyentak hati dan menimbulkan sesal yang mendalam dalam diri Petrus, seorang murid yang begitu dekat dan dikasihi oleh Yesus. Seolah adalah sebuah kesalahan dan dosa yang begitu serius, berat, dan tidak terampuni. Seolah adalah sebuah akhir yang menyakitkan dari hubungan baik dan kedekatan yang terjalin begitu berarti dari seorang murid dengan sang guru yang dikasihinya. Seolah adalah sebuah kenyataan yang tidak perlu terjadi.
Ya,.. saya pun awalnya berpikir itu tidak perlu terjadi.

Tetapi saya pun beriman bahwa bagi Tuhan, tidak ada sesuatu pun yang sia-sia, termasuk peristiwa itu. Maka jadilah saya bertanya-tanya dan merenungkan dalam hati, mengapa Tuhan membiarkan penyangkalan itu terjadi. Terlebih lagi, apa yang Tuhan kehendaki dari peristiwa itu.

Dalam Mat 26:31-35 kita membaca bagaimana Simon Petrus dengan yakinnya berkata bahwa dia sesekali tidak akan pernah menyangkal Yesus meskipun dia harus mati bersamaNya. Bahwa meskipun iman semua orang lain goyah, imannya kepada Yesus tidak akan tergoyahkan. Sebuah pernyataan iman yang mungkin (bagi kita) terdengar begitu membesarkan hati, tetapi mungkin Yesus tidak ingin Petrus menonjolkan diri, merasa lebih hebat dan lebih kuat imannya daripada murid-murid yang lain ataupun orang lain. Yesus tidak ingin Petrus memiliki kesombongan rohani, Yesus tidak ingin Petrus menjadi lupa diri bahwa kemampuan manusia mempertahankan iman (seperti itu) hanya mungkin jika Roh Kudus bekerja bersamanya. Bukan keinginan dan kemampuan manusiawi semata.

Maka penyangkalan itu terjadi membawa makna akan perlunya penyertaan Roh Kudus dalam hidup pengikut Kristus, teristimewa dalam menghadapi masalah-masalah yang terasa berat. Itu terjadi agar kita, pengikut Kristus, selalu mengikutsertakan bahkan mengandalkan Roh Kudus. Penyangkalan itu terjadi sebagai pengingat abadi bahwa kita tidak sempurna, sang batu karang tidaklah sempurna, dan gereja tidaklah sempurna. Kesadaran yang membuahkan kerendahan hati untuk selalu mau bangkit dan memperbaiki diri agar tidak terjadi lagi penyangkalan-penyangkalan yang lain.

Dan penyangkalan itu sendiri ternyata bukanlah akhir buruk hubungan Petrus dengan gurunya. Petrus menyadari dan menyesali kesalahannya dan bertobat. Di sinilah terjadinya perbaikan (“reparation”) oleh kuasa Roh Kudus. Roh Kudus memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh diri Simon Petrus.

Tidak hanya berhenti pada penyesalan dan tobat, tetapi Simon Petrus juga bangkit, bersekutu dan membangun umat gereja pertama yang hakikatnya adalah gereja yang didirikan Tuhan Yesus sendiri. Di sinilah terjadinya pemulihan (“restoration”) oleh kuasa Roh Kudus.
Dan lihatlah bahwa Yesus memenuhi janjinya bahwa gereja yang didirikanNya akan bertahan sampai akhir jaman, sebagaimana tertulis dalam Mat 28: 20 “Dan ajarilah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir jaman”). Amanat Suci ini adalah bukti bahwa Yesus mengangkat (“elevate”) martabat & peran Simon Petrus untuk melanjutkan karya keselamatan Yesus bagi semua orang yang percaya.

Bila kita bandingkan, semuanya ini sangat bertolak belakang dengan tragisnya nasib Yudas Iskariot yang justru malah mengakhiri hidupnya setelah juga berdosa terhadap Kristus (menjual, menyerahkan Yesus kepada pemuka agama dan ahli taurat). Ini sekali lagi menunjukkan bahwa tanpa rahmat dan penyertaan Roh Kudus yang menggiring kepada pertobatan hati, manusia tidak akan beroleh kekuatan dan keselamatan.

Kalau kita mau jujur, seperti Petrus - kita pun seringkali menyangkal Kristus dalam hidup sehari-hari. Dalam banyak hal, entah karena kepentingan pribadi atau alasan cari aman, kita menolak menjalankan atau menunjukkan iman kekatolikan kita terutama bila sedang bersama orang lain. Semakin jarang atau bahkan hanpir tidak pernah lagi kita melihat orang membuat tanda salib di luar gereja Katolik sendiri. Selain menyangkal Yesus, kita pun menyangkal orang-orang yang terdekat dengan kita, meskipun kita tidak pernah benar-benar menginginkan hal itu terjadi. Sama seperti Simon Petrus yang tidak pernah ingin menyangkal gurunya.
Kita bisa mensyukuri “reparation, restoration, dan elevation” yang dialami oleh Simon Petrus, dan kita pun bisa memohon agar rahmat itu terjadi juga pada kita, terutama saat kita terjatuh melawan godaan dan cobaan hidup.


Bila di awal tulisan kita seolah melihat penyangkalan Petrus sebagai sebuah kesalahan dan dosa yang begitu serius, berat, dan tidak terampuni; tampaknya sekarang itu bisa jadi statement yang keliru. Mengapa?. Karena ternyata sebelum Petrus menyangkal Yesus tiga kali, telah sebanyak tiga kali pula Simon Petrus menyatakan kasih dan cintanya kepada Tuhan Yesus. Dalam Yoh:21:15-17 Yesus bertanya kepada Petrus: Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?. Dan Tiap kali, Simon menjawab “Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau”.

Inilah pernyataan cinta kasih yang keluar dari hati yang terdalam dari seorang Simon Petrus, yang setelah Yesus mendengarnya kemudian berkenan memberikan amanat suci “Gembalakanlah domba-dombaku”. Kita melihat sekarang, bahwa ada tiga kali penyangkalan dan ada tiga kali pernyataan kasih. Simon Petrus menyangkal tiga kali tetapi tidak sebelum dia menyatakan kasihnya yang begitu tulus dan besar kepada Yesus gurunya.

Setiap penyangkalan itu telah disangkal pula oleh setiap pernyataan kasih dan amanat suci.
Apakah semua ini sebuah kebetulan belaka? Tentu saja tidak. Artinya Yesus telah mempersiapkan & mengantisipasi segala sesuatunya. Yesus tidak ingin Simon Petrus menjadi goyah imannya oleh karena penyangkalan itu. Terlebih pernyataan kasih telah didengar oleh Yesus dari Petrus sendiri, dan amanat suci (“Gembalakanlah domba-dombaku”) telah diberikan kepadanya.

Sungguh Kasih lebih besar daripada segalanya, dan mengalahkan segalanya. Sebab Allah sendiri adalah kasih. Semoga kita selalu mengutamakan kasih itu terhadap Tuhan dan sesama, sehingga seperti Petrus yang penyangkalannya diampuni serta mengalami “reparation, restoration, and elevation”, kitapun dimampukan oleh Roh Kudus untuk bangkit dalam setiap kejatuhan iman kita.

Amin.

Sumber: Terinspirasi dari Homili Misa Minggu 1 Mei 2022


English Translation

Reparation, Restoration, and Elevation.

In the story of the passion of our Lord Jesus Christ, it is told how Simon Peter had denied Jesus three times, before he heard the crowing of a rooster awakening and reminding him of Jesus' words that this would happen. (Mt 26:34)

The occurrence of this denial felt so heartbreaking and caused deep regret in Peter, a disciple who was so close and loved by Jesus. As if it is a serious and unforgiveable mistake and sin. As if it is a painful ending of the good relationship and the closeness that is so meaningful between a disciple and the teacher he loves. As if it is a fact that does not need to happen. Yes, at first, I don't think that needs to happen either.

But I also have faith that for God nothing is in vain, including that event. So I wondered and pondered in my heart, why God allowed this denial to happen. What's more, what God wants from that event.

In Matthew 26:31-35 we read how Simon Peter confidently said that he would never deny Jesus sometimes even if he had to die with Him. That even though if everyone else's faith was shaken, his faith in Jesus would not. A statement of faith that may (to us) sound so encouraging, but perhaps Jesus did not want Peter to stand out, feel greater and stronger in his faith than the other disciples or anyone else. Jesus didn't want Peter to have spiritual pride, Jesus didn't want Peter to forget that the human ability to maintain such faith is only possible with the permission of the Father. Not mere human desires and abilities.

So that denial takes place to mean the need for the inclusion of the Holy Spirit in the lives of Christ's followers, especially in dealing with difficult problems. It happens so that we, followers of Christ, always include and even rely on the Holy Spirit. The denial comes as a perpetual reminder that we are imperfect, the ‘Rock’ is not perfect, and the church is no different. Awareness that produces humility to always want to get up and improve yourself so that other denials don't happen again.

And the denial itself turned out to be not a bad end to Peter's relationship with his teacher. Peter realized and regretted his mistake and repented. This is where the repair ("reparation") by the power of the Holy Spirit. The Holy Spirit corrected what was wrong with Simon Peter.

Not only did he stop at repentance and repentance, but Simon Peter also rose, fellowshiped and built the first church people, which is essentially the church that the Lord Jesus himself founded. This is where the restoration ("restoration") by the power of the Holy Spirit.

And see that Jesus fulfilled his promise that the church he built would endure to the end of time, as it is written in Matthew 28:20 “And teach them to do all things that I have commanded you. And behold, I am with you always, even to the end of the age." This Holy Commission is proof that Jesus entrusted and raised ("elevate") the dignity of Simon Peter to continue the work of Jesus' salvation for all who believe.

If we compare, all of this is in stark contrast to the tragic fate of Judas Iscariot who actually ended his life after also sinning against Christ (selling, handing Jesus over to religious leaders and scribes). This once again shows that without the grace and inclusion of the Holy Spirit which leads to conversion of the heart, humans will not have the necessary strength and salvation.

If we are being honest, like Peter - we often deny Christ in our daily lives. In many cases, whether for personal reasons or for safety reasons, we refuse to practice or demonstrate our catholic faith especially in our interactions with other people. Rarely or almost never again do we see people making the sign of the cross outside the Catholic church itself.

In addition to denying Jesus, we also deny those closest to us, although we never want that to happen. Just as Simon Peter never meant to deny his teacher.

We can be grateful for the “reparation, restoration, and elevation” that was experienced by Simon Peter, and we can also ask for that grace to happen to us, especially when we fall against the temptations and trials of life.

When at the beginning of the writing we seem to see Peter's denial as a mistake and a sin that is so serious and unforgivable; now it seems that it could be a false statement.

Why?. Because apparently before Peter denied Jesus three times, something much important had proceeded where Simon Peter had expressed his love and affection for the Lord Jesus three times. In John:21:15-17 Jesus asked Peter: Simon, son of John, do you love me? And each time, Simon answered "Lord, you know that I love you". This is a very significant confession and proclamation. This is a statement of love that comes from the deepest heart of a Simon Peter, who after Jesus heard it then deigned to give the sacred message "Feed my sheep".

We see now, that there are three times of denial and three times of expression of love.

Simon Peter denied three times but not before he expressed his sincere and great love for his teacher Jesus. Every denial has been refuted by every declaration of love and sacred commission.

Is all this a mere coincidence? Of course not.

This means that Father and Jesus have prepared everything. The declaration of love that has been heard by Jesus, and the sacred commission (“Feed my sheep”) that has been given - are so fundamental, so that Peter’s faith did not have to shaken because of the denials. Here, we see how God loves his people and Jesus’ salvation mission (through Holy Spirit) continues.

Truly Love is greater than all, and conquers all, because God Himself is love. May we always put love for God and others first, so that like Peter, whose denial was forgiven and experienced “reparation, restoration, and elevation”, we too are enabled by the Holy Spirit to rise in every fall of our faith.

Amen.

(Writing inspired from the Sunday Mass Homily May 1st, 2022)

Read More
Redaksi E-Bulletin Redaksi E-Bulletin

Keluarga WKICU Summer BBQ 2022

Summer BBQ bersama keluarga WKICU

Minggu kemarin, 13 Agustus 2022 WKICU mengadakan acara kumpul bersama setelah lebih dari dua tahun pandemic Covid melanda yang menghentikan segala kegiatan kumpul-kumpul. Untuk pertama kali, akhirnya pengurus berhasil menyelenggarakan acara temu kangen dan pesta bersama dalam acara WKICU Summer Barbeque di Central Park Lake Elizabeth, Fremont.

Mulanya para pengurus, dalam rapat yang dipimpin Hans Mayo selaku ketua WKICU sangsi bahwa akan ada banyak umat yang hadir. “ 50-70 orang saja yang hadir sudah bagus. Kita lihat saja nanti...,” begitu pikir beberapa pengurus.

Prasangka meleset jauh! Beberapa hari sebelum hari H, data rsvp terakhir dari umat yang sudah mendaftar berjumlah 106.

“Wah, kita hanya pesan makanan untuk 125 orang. Cukup apa nggak yah? Apa mau nambah lagi?” tanya Margaret Lin yang mengurusi acara dan pemesanan makanan.

“Gak usah nambah, udah mepet waktunya. Di sana banyak bebek, siapin charcoal dan panggangan aja. Kalau kurang kita bisa panggang bebek,” kata salah satu panitia berseloroh.

Kita memang tidak bisa percaya dengan hasil rsvp karena seperti kebiasaan umat WKICU (sudah berlaku sejak dulu kala), rsvp tidak bisa menjadi patokan. Yang datang bisa lebih banyak atau bahkan bisa saja malah lebih sedikit, karena tiba-tiba yang sudah rsvp bisa batal tanpa pemberitahuan, atau ada saja yang datang berbondong-bondong tanpa rsvp. Tetapi tidak menjadi masalah karena panitia telah mengantisipasi hal itu.

Puji Tuhan, acara summer barbeque yang di mulai jam 11 pagi sampai 3 sore hari itu dihadiri banyak umat. Sungguh di luar dugaan. Yang datang bukan saja dari kalangan muda dan para tante, bahkan beberapa anak kecil terlihat ber-sliweran di Lions 2 Picnic Area yang telah kita booking beberapa bulan sebelumnya itu. Panitia dan hadirin tumpah ruah dalam keriaan.

Makanan? Gak usah khawatir –– 500 tusuk sate ayam lengkap dengan sambel kacang dan bumbu kecapnya, ber-tray-tray gado-gado berikut kerupuk emping dan kerupuk udangnya, serta mie goreng Jawa buatan Aming, Lime Tree, ditambah Sambel Tempe Penyet Kemangi dan Martabak Telor bikinan Ruthy ketua wilayah San Francisco, sosis daging, tahu goreng, kue pepe, dan buah-buahan kiriman para tante yang baik hati sepertinya sudah cukup untuk memberi makan 5000 orang.


Masing-masing ketua wilayah kebagian tugas. Kawil San Francisco, Ruthy bawa air minum, Kawil Santa Clara, Edwin bawa buah-buahan, dan Kawil Union City, Wiwit kebagian masak nasi. Eric Januar mendapat wewenang langsung dari ketua WKICU untuk berkoordinasi dengan Orang Muda Katolik (OMK) mengambil alih acara. Mathew dan Gabriel, kakak beradik putra dari pasangan Wiwit Handayani dan Andrew Yap dengan sigap mengemas acara game. Mereka bergotong royong bersama anggota OMK lain seperti Cashley, Alyssa, Sisca dan teman-temannya.

Lomba lempar balon air, makan kerupuk dan tarik tambang menjadi lebih meriah di tangan mereka. Para pemenang lomba juga ikut senang karena mendapat hadiah gift card.

Irwan Sie, Iwan Murtanu, Paulus, Budiman, Arie Tjandra dan beberapa volunteer lain membantu membakar sate dan sosis. Eliza, Wiwit, Thia, Linda, Mega, Caecilia Sumasta dan Irene Sukiman dengan senyum manis sibuk menyendoki makanan untuk semua yang hadir.

Dengan berkat doa pembuka dari romo Stephanus Hendrianto, SJ yang jauh-jauh datang dari Roma untuk liburan di Bay Area, acara summer barbeque itu menjadi penuh kesan. Para tante yang hadir sangat penuh sukacita karena dapat saling temu kangen, anak-anak muda dapat lebih akrab bersenda gurau, dan para Om tersenyum senang sambil bercanda ria. Acara di akhiri dengan berbagi sate ayam dan makanan berlebih yang telah dimasukkan dalam container yang telah panitia siapkan.

Terima kasih Margaret Lin yang sudah mengatur acara piknik kita. Terima kasih Aming, Lime Tree atas makanan nikmat dan kebaikan hatimu memberi lebih, dan terima kasih Lili yang telah membawa makanan itu dari San Francisco, juga terima kasih kepada OMK dan semua panitia yang telah bekerja keras sehingga terlaksana acara temu kangen yang indah ini.

Berikut pesan whatsapp dari para tante tercinta yang kami terima setelah acara:

“Saya sangat bersyukur kepada Tuhan yg telah memberkati kami dengan menggerakkan hati panitya penyelenggara picnic WKICU kemaren utk melayani anggota WKICU. Pagi saya berdoa mohon Tuhan melindungi dan memberkati semua anggota panitya dan semua yg akan hadir nanti. Saya sangat senang dan terberkati bisa hadir, terima kasih juga kepada semua anggota panitya yg saya lihat begitu semangat dan bekerja keras. Terima kasih kepada Lianny yg telah bersedia menjemput dan menghantar pulang saya. Terima kasih kepada mereka yg telah menyediakan, membawa makanan-makanan yg serba enak. Dan saya gembira sekali bertemu dgn teman-teman yg sudah lama tidak bisa ketemu. Malam saya berdoa memanjatkan puji syukur kepada Tuhan atas kasih karunia ini. Mohon Tuhan memberkati semua panitya dan keluarganya”. ~ Tante Bertha Wulandari

“Kepada Seluruh team WKICU yang telah mengurus/mengorganisir acara piknik WKICU kemarin di St Elizabeth Park di Fremont dengan meriah dan sukses kami mengucapkan banyak2 terima kasih. Acara ini memberikan kami kesempatan bertemu, beramah tamah dan melepas kerinduan dengan sesama teman WKICU yang sudah lama kita dambakan. Terima kasih juga untuk makanan, minuman dan camilan yang tersedia serba berkelebihan. Thanks again for all the hard work, the fun and the delicious food we all had. May God bless you and us all”. ~ Tante Maria

“Big Thank You so much…… Picnicking Well Done….Semua Enjoy this picnic and have a great time…….Awesome!”. ~ Tante Swan Oey

Read More
Redaksi E-Bulletin Redaksi E-Bulletin

Loving Mary

Dia hanya percaya Tuhan. Bagi Maria, kehendak Tuhan adalah kehendaknya.

Maria Yang Penuh Cinta

Gadis itu sedang makan malam dengan mantan rekannya – dua penganut Buddha dan dua Agnostik – ketika percakapan beralih tentang kekatolikan dan denominasi Kristen lainnya. Dia ingin tahu apakah teman-temannya mengetahui perbedaan antara denominasi, dan terkejut dengan tanggapan mereka: “Katolik menyembah Bunda, sementara orang Kristen menyembah Putra. Sang Ibu seperti Guan Yin, dewi Buddha.” Dia tidak bisa menahan senyum ketika teman Buddhisnya menambahkan bahwa putrinya yang berusia delapan tahun suka memandangi patung Mary di gereja dekat sekolahnya, mengagumi senyum lembut dan gaun indah Mary.

Malam itu teman-temannya menjadi mengerti bahwa orang Katolik juga orang Kristen yang menyembah Yesus Kristus dan bukan ibu-Nya, bahwa mereka memuliakan dan menghormati Bunda Maria; dan bukan, Maria bukanlah seorang dewi meskipun dia adalah ibu dari Tuhan kita. Malam itu, dia merenungkan mengapa umat Katolik sangat mencintai Bunda Maria, yang telah mengilhami tak terhitung banyaknya seni, himne dan aria, dan doa renungan selama dua ribu tahun.

Maria benar-benar diberkati dan suci. Dia adalah satu-satunya manusia yang disapa oleh malaikat Gabriel sebagai manusia yang sangat disayangi, dipilih oleh Bapa untuk menjadi ibu dari Putra, yang kepadanya Roh Kudus turun, yang dinaungi oleh kuasa Yang Mahatinggi (Luk. 1:26-35).

Dia adalah "Perempuan" dalam kitab pertama dan terakhir dari Kitab Suci: orang yang keturunannya akan memukul kepala ular (Kej 3:15) dan berpakaian dan dimahkotai dengan matahari, bulan, dan dua belas bintang (Wahyu 12:1 ). Dia adalah “Perempuan” yang Yesus sapa ketika Dia melakukan mukjizat pertama-Nya di Kana (Yoh 2:4) dan dalam tindakan terakhir-Nya memberikan ibu tercinta-Nya kepada murid-Nya yang terkasih – dan selanjutnya, kepada semua orang Kristen – di Golgota (Yoh 19 :26).

Sungguh, Maria berharga di mata Tuhan. Dia adalah yang terpilih, contoh sempurna tentang bagaimana hubungan seorang anak Tuhan dengan Penciptanya:

Maria menanggapi Tuhan dengan murah hati. “Saya adalah hamba Tuhan; terjadilah padaku menurut perkataanmu” (Luk 1:38). Meskipun dia tidak tahu bagaimana Inkarnasi akan mungkin atau jalan yang dikehendaki darinya, dia mengatakan ya dengan sepenuh hati - ya yang dia tahu bisa mengorbankan nyawanya. Dia hanya percaya Tuhan. Bagi Maria, kehendak Tuhan adalah kehendaknya.

“I am the handmaid of the Lord; let it be done to me according to your word” (Lk 1:38)

Maria bersukacita dan memuji Tuhan. Magnificat adalah salah satu doa terindah dalam Kitab Suci. Maria dengan rendah hati menyebut dirinya hamba yang hina dan memuliakan Tuhan atas berkat yang diterimanya – Yang Mahakuasa yang telah melakukan hal-hal besar baginya (Luk 1:46-55).

Maria merenung dalam hatinya. Ketika dihadapkan pada sesuatu yang tidak dapat dia pahami, Maria dengan tenang merenungkannya dalam hati. Dia dengan rendah hati menerima bahwa dia mungkin tidak memahami peristiwa-peritiwa yang terjadi dalam hidupnya, karena hanya iman dan waktu yang akan mengungkapkan misteri pekerjaan Tuhan.

Petisinya kepada Putranya sederhana: “Mereka tidak punya anggur.” Nasihatnya kepada para pelayan sama sederhananya: "Lakukan apa pun yang Dia perintahkan kepadamu" (Yoh 2:3,5). Dia mengajar kita untuk menjadi lemah lembut dalam doa kita dengan permohonan tanpa hiasan – doa seorang pemungut cukai dan bukan dari orang Farisi – dan untuk mendengarkan dan menuruti apa pun yang Tuhan perintahkan untuk kita lakukan, tanpa meragukan atau mempertanyakan Dia, karena Dia sungguh tahu apa kita butuh.

Hidupnya berpusat pada Putranya. Oh, betapa seorang Kristen akan memberikan apa saja hanya untuk memiliki satu hari bersama Yesus! Satu perjumpaan dengan-Nya secara radikal mengubah hidup seseorang – wanita Samaria, pria buta, pemungut cukai, penderita kusta, dan banyak lagi. Tiga tahun hidup bersama Yesus mengubah para Rasul sehingga mereka rela memberikan hidup mereka bagi-Nya. Apa lagi Maria yang bersama Yesus sepanjang hidup-Nya, dari rahimnya sampai kubur? Sukacita yang luar biasa, hari-hari biasa, kesedihan yang mendalam, hati yang gembira dan patah, dia memiliki semuanya. Hidupnya hanya untuk Dia.

Maria menunjukkan kepada kita bagaimana hidup bersama dan mencintai Tuhan. Betapa beruntungnya kita bisa memanggil dia sebagai Ibu kita! Saat kita merayakan Hari Raya Santa Perawan Maria DIangkat Ke Sorga (yang jatuh tanggal 15 Agustus ini), marilah kita mengingat dan menghormati Bunda jiwa kita. Semoga dia terus melakukan perjalanan bersama kita, menghibur dan mendoakan kita, membimbing dan mengajar kita, memegang tangan kita dan membawa kita kepada Putranya, Yesus Kristus. Karena dia adalah ibu Tuhan kita. Dan dia adalah ibu kita juga. (RS)



Original Article


Loving Mary

The girl was having dinner with her ex-colleagues – two Buddhists and two Agnostics – when the conversation turned to Catholicism and other Christian denominations. She was curious whether her friends knew the difference between the denominations and was taken aback by their responses: “Catholics worship the Mother, while Christians worship the Son. The Mother is like Guan Yin, the Buddhist goddess.” She couldn’t help but grin when her Buddhist friend added that her eight-year-old daughter loves gazing at Mary’s statue at the church near her school, admiring Mary’s gentle smile and beautiful dress.

That evening her friends learned that Catholics are also Christians who worship Jesus Christ and not His mother, that they venerate and honor Mother Mary; and no, Mary is not a goddess even though she is the mother of our God. That night, she pondered why Catholics love Mother Mary dearly, one who has inspired countless arts, hymns and arias, and devotional prayers for two thousand years.

Mary is truly blessed and holy. She is the only human whom the angel Gabriel greets as the highly-favored one, chosen by the Father to be the mother of the Son, to whom the Holy Spirit comes upon, one who was overshadowed by the power of the Most High (Lk 1:26-35).

She is the “Woman” in the first and last books of the Scriptures: the one whose offspring will strike the serpent’s head (Gen 3:15) and clothed and crowned with the sun, the moon, and twelve stars (Rev 12:1). She is the “Woman” Jesus addresses when He performs His first miracle in Cana (Jn 2:4) and in His final act of gifting His beloved mother to His beloved disciple – and by extension, to all Christians – in Golgotha (Jn 19:26).

Indeed, Mary is precious in God’s eyes. She is the chosen one, the perfect exemplar of how a child of God relates to her Creator:

Mary responds to God generously. “I am the handmaid of the Lord; let it be done to me according to your word” (Lk 1:38). Even though she knows not how the Incarnation is made possible nor the path she is asked to take, she says yes wholeheartedly – a yes that she knows could cost her life. She simply trusts God. To Mary, God’s will is her will.

Mary rejoices and praises the Lord. The Magnificat is one of the most beautiful prayers in the Scriptures. Mary humbly calls herself the lowly servant and glorifies the Lord for the blessings she receives – the Mighty One who has done great things for her (Lk 1:46-55).

Mary ponders in her heart. When faced with something she cannot comprehend, Mary quietly reflects and ponders in her heart. She humbly accepts that she may not grasp the unfolding events in her life, as only faith and time will reveal the mystery of God’s work.

Her petition to her Son is simple: “They have no wine.” Her advice to the servants is equally simple: “Do whatever He tells you” (Jn 2:3,5). She is teaching us to be meek in our prayer with unadorned supplication – the prayer of the tax collector and not of the Pharisee – and to listen and be compliant with whatever God tells us to do, without doubting or questioning Him, for He knows what we need.

Her life is centered on her Son. Oh, what a Christian would give just to have one day with Jesus! A single encounter with Him radically changes a person’s life – the Samaritan woman, the blind man, the tax collector, the leper, and many more. Three years living with Jesus transforms the Apostles that they willingly give their lives for Him. What more of Mary who is with Jesus throughout His life, from her womb to the tomb? The overwhelming joy, the mundane days, the intense sorrow, the joyful and broken heart, she has it all. Her life is for Him alone.

Mary shows us how to live with and to love God. How fortunate we are to claim her as our Mother! As we celebrate the Solemnity of the Assumption, let us remember and honor the Mother of our soul. May she continue to journey with us, to console and pray for us, to guide and teach us, holding our hands and bringing us to her Son, Jesus Christ. For she is our Lord’s mother. And she is our mother also. (RS)

Read More
Tulisan Romo Redaksi E-Bulletin Tulisan Romo Redaksi E-Bulletin

Kembalinya Sang Romo Rajawali (Bagian I)

“..dalam tulisan ini saya akan fokus pada masalah sejauh mana peran seorang Imam Katolik di tengah situasi sosial politik yang tengah berubah cepat saat ini.”

Kembalinya Sang Romo Rajawali (Bagian I):

Diantara Romo Penyanyi dan Romo Akar Rumput

S. Hendrianto, SJ

Dalam tulisan saya yang berjudul Romo Rajawali melawan Romo Kodok, saya mencoba menulis renungan singkat atas tahbisan Imamat saya yang ketiga, dalam konteks menanggapi tulisan teman lama saya yang berjudul Romo Kodok. Tentu saja saya tidak bisa membahas banyak hal dalam renungan singkat itu. Seperti yang saya duga, tulisan itu mendapat sejumlah tanggapan, khususnya pada sejumlah missing point yang belum sempat saya angkat dalam renungan singkat saya. Dalam kesempatan ini saya mencoba merenungkan sejumlah hal yang belum sempat saya angkat dalam tulisan saya yang pertama. Akan tetapi sekali lagi saya menyadari ada sejumlah keterbatasan ruang untuk membahas banyak hal tentang tantangan Imam Katolik saat ini, oleh karena itu dalam tulisan ini saya akan fokus pada masalah sejauh mana peran seorang Imam Katolik di tengah situasi sosial politik yang tengah berubah cepat saat ini. 

Teman lama saya dalam tulisannya yang berjudul Romo Kodok mengangkat satu hal penting yang belum sempat saya bahas. Teman saya ini mengatakan bahwa saat ini yang dibutuhkan adalah seorang Romo – Romo yang bekerja dari akar rumput. Imam Katolik yang berjuang untuk keadilan dalam menjalankan imannya dan perannya sebagai Imam. 

Teman saya ini menuliskan argumentasi nya berdasarkan pengamatan dia bahwa saat ini Gereja Katolik mengalami arus “progresisme dari atas” dimana Paus Fransiskus dan petinggi Gereja mencoba membawa Gereja ke dalam arus progresif namun hanya sebatas khotbah dari para klerus dan gagal menginspirasi gerakan besar untuk  perubahan. Dengan kata lain, Gereja Katolik di bawah Paus Fransiskus menjadi sangat progresif di tingkat hirarki namun menjadi kehilangan arah di tingkat akar rumput. Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah para Romo yang  mampu bekerja di akar rumput untuk membimbing refleksi di tingkat komunitas  dan menggali makna ajaran progresif ini untuk beraksi sebagaimana metode teologi pembebasan. 

Lebih lanjut teman saya ini mengatakan bahwa dia tidak banyak mendengar para Romo yang bekerja di tingkat akar rumput. Dalam kesemptan yang berbeda teman saya ini bahkan mengatkan bahwa saat ini realitasnya para Romo di tingkat Paroki kalau bekhotbah hanya bernyanyi saja. Jadi jangankan berkohtbah untuk pemikiran – pemikiran progresif seperti yang diajarkan Paus Fransiskus, khotbah mereka hanya lah berisi kutipan  lagu – lagu Rohani saja. Terus terang saja saya tidak punya data persis tentang para Romo penyanyi ini; ketika saya masih tinggal di Indonesia hampir 20 tahun yang lalu, saya mencermati memang sudah ada tren para Romo suka bernyanyi ketika berkhotbah.  Dengan munculnya tik tok, selama beberapa tahun terakhir, saya melihat semakin banyak para Romo yang suka bernyanyi ketika khotbah.  

 

Melihat-Memikir-Mengerjakan

Sang teman lama saya ini kemudian mengusulkan agar para Romo bisa mulai dengan mengajak anak – anak muda mudi Katolik untuk melihat secara langsung kehidupan, mulai dengan metode live in, entah di desa – desa atau perkampungan kumuh di perkotaan. Apa yang diusulkan oleh teman lama saya ini mungkin ada benarnya dalam konteks 25 tahun yang lalu ketika kami masih sama – sama berjuang di jalanan untuk melawan Rezim Orde Baru. Akan tetapi saya pikir dunia sudah berubah dan perlu ada adaptasi metode. Sebelum sampai ke sana, saya ingin merenungkan sedikit usulan teman saya tersebut untuk live in dalam konteks abad 21. 

Pembacaan saya adalah teman lama ini tumbuh besar dalam konteks metode yang dikenal dengan nama See-Judge-Act (Melihat – Memikir – Mengerjakan). Metode Melihat – Memikir - Mengerjakan ini adalah tiga langkah proses yang mewakili praxis-oriented methodology yang dikembangkan setelah Konsili Vatikan II dan khususnya dipakai oleh Konferensi Para Uskup di Amerika Latin (The Latin American Bishops Conferences - CELAM) sejak akhir tahun 1960-an di Medellin, Colombia. Tentu saja metode ini tidak bisa dipisahkan oleh teologi pembebasan tumbuh dari kawasan Amerika Latin. Pada intinya dengan menggunakan See-Judge-Act, umat diajak  untuk melihat realitas sosial, kemudian memikirkankan realitas sosial itu dalam konteks ajaran Sosial Gereja, dan kemudian mengerjakan sesuatu untuk mempromosikan keadilan dan memperbaiki situasi orang – orang yang mereka layani. 

Dalam situasi Amerika Latin tahun 1960-1980an ataupun Indonesia di awal 90-an, mungkin metode See-Judge-Act ini tepat diterapkan, khususnya untuk menghadapi situasi kemiskinan dan penindasan yang akut di bawah rezim otoriter di Amerika Latin ataupun rezim Orde Baru di bawah Soeharto. Pada intinya ketika itu yang penting adalah massa bisa bergerak, dan metode ini cukup efektif untuk mengangkat kesadaran anak – anak muda dan mendorong mereka terlibat dalam aksi – aksi gerakan melawan penindasan. Akan tetapi di tengah situasi dunia yang sudah berubah saat ini, saya pikir metode itu sudah banyak mengalami keterbatasan. 

Pola penindasan di abad 21 ini sudah berbeda dengan pola penindasan rezim militer baik di Amerika Latin atapun Indonesia pada tahun 1980an. Persoalan mendasar masih sama, tapi ruang keterbukaan dan banjirnya arus informasi membuat gambar penindasan menjadi lebih kabur. Dalam situasi seperti ini, yang terjadi adalah ketika para anak muda di ajak live-in, mereka terkadang sulit untuk melihat realitas yang sesungguhnya. Atau terkadang mereka menjadi seperti turis dari kota yang masuk kampung kumuh. Setelah selesai dari live- in, amarah mereka bangkit melihat penindasan dan kemudian mulai mengecam segalanya, mulai dari kapitalisme sampai perusahaan besar. Mereka pun berkeinginan untuk merampas semua harta para kapitalis dan dibagikan kepada orang miskin. Setelah melihat wajah penindasan, dan marah, akhirnya mereka pun memutuskan melakukan tindakan – tindakan tanpa perhitungan matang demi membela keadilan. Hal seperti ini terjadi pada musim panas tahun 2020, ketika banyak para Uskup, Romo, dan orang Katolik di Amerika Serikat yang ikut – ikutan aksi menentang kerusuhan rasial di Amerika Serikat tanpa tahu sebenarnya apa yang terjadi. Semua pihak berlomba – lomba mengeluarkan statement ataupun mengangkat spanduk tanpa berpikir panjang tentang situasi rasialisme yang cukup kompleks di Amerika Serikat. Jadilah akhirnya mereka See the blurry vision (melihat hal yang kabur), Judge Everyone (mengecam semua pihak) and Act ridiculously (mengerjakan sesuatu yang menggelikan).

Mencari Metode Baru   

Seorang rekan Romo Yesuit dari Filipina mengatakan bahwa metode See-Judge-Act sudah ketinggalan jaman dan harus diganti dengan metode baru yang dia namakan DARE (Data-Analysis-Reflection-Engagement).  Jadi menurut Romo ini, seorang Imam Katolik harus pertama – tama berpegang pada data; jadi sebelum bekhobtah, hendaknya seorang Romo mempunyai data akurat tentang informasi yang ingin beliau sampaikan kepada umatnya. Saya pikir data ini tentu penting di tengah arus informasi yang kencang saat ini, karena para umat sendiri begitu gampang termakan oleh data – data yang beredar di internet tanpa ada niat atau usaha untuk memverifikasi kebenaran data terebut. 

Berdasarkan data yang dia miliki, seorang Romo harus bisa mengajak umatnya untuk bisa melakukan analisis tentang persoalan yang sebenarnya sedang terjadi di tengah masyarakat. Ini sebenarnya adalah pesoalan krusial dan tidak mudah dilakukan, karena dibutuhkan pengetahuan sosial yang mumpuni untuk melakukan analisis sosial yang mendalam. Persoalannya sebagian besar Imam Katolik tidak dididik untuk melakukan analisa sosial yang mendalam ketika mereka berada di Seminari ataupun dalam proses pendidikan mereka menjadi Imam.  

Jikalau para Romo bisa melakukan analisis sosial yang mendalam, tahap berikutnya mereka harus membimbing umat melakukan refleksi terhadap hasil analisis dalam konteks ajaran Sosial Gereja dan setelah itu mereka baru akan masuk ke tahap berikunya yaitu engagement. Persoalannya ketika masuk ke dalam tahap terakhir yaitu engagement, ini juga bukan sesuatu yang gampang. Pertama dalam konteks Indonesia, kosa kata engagement sendiri sulit di cari pandanan katanya. Mungkin bisa diterjemahkan sebagai “keterlibatan” akan tetapi saya berpendapat kata “keterlibatan” sendiri kurang pas. Kedua, ketika kita berbicara engagement, juga perlu diperjelas, engagement yang mana yang hendak dipromosikan para Romo dalam kehidupan berGereja; political engagement, social engagement, moral engagement atau civil engagement

Persoalan lain adalah survey membuktikan bahwa level of political engagement di Indonesia cukup rendah di banding negara – negara Demokratis lainnya. Hal yang sama juga melanda umat Katolik Indonesia, baik di dalam negeri atapun di luar negeri. Jadi di tengah situasi seperti ini sangat sulit untuk mengajak umat bisa terlibat dalam kegiatan politik. Jangankan untuk keterlibatan politik, untuk level keterlibatan sosial di tingkat Paroki saja susahnya minta ampun untuk membuat umat bisa terlibat. 

Keterlibatan Politik atau Seks

Saya saat ini tidak sedang mencari metode baru ataupun berusaha menemukan metode baru. Akan tetapi saya mencoba merenungkan tantangan para Imam Katolik dalam konteks yang lebih sederhana, yaitu dengan pertanyaan apakah tugas seorang Romo adalah mendorong umatnya untuk terlibat secara politik atau lebih banyak melakukan kegiatan seksual – dalam konteks prokreasi. Saya pikir ada analogi yang bisa dipakai diantara keterlibatan politik dan kegiatan seksual di antara suami isteri. Hubungan seksual antara suami isteri dalam konteks Gereja Katolik adalah bertujuan untuk melahirkan keturunan. Sementara dalam konteks politik, sejumlah orang harus terlibat aktif dalam politik jikalau ingin melihat mekanisme politik yang sehat. 

Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh Gereja Katolik saat ini adalah tingkat penurunan jumlah anak dari keluarga Katolik. Hal ini mempunyai imbas yang cukup luas, mulai dari berkurangnya murid – murid di Sekolah Katolik, sehingga banyak yang gulung tikar sampai turunnya jumlah anak muda yang masuk Seminari, yang ujung – ujungnya adalah berkurangnya jumlah Imam. 

Ada sejumlah hal yang menjadi penyebab berkurangnya jumlah anak dalam Gereja Katolik. Sebab pertama adalah para perempuan muda Katolik sudah termakan propaganda bahwa karir adalah sesuatu yang penting buat mereka. Jadilah para Wanita muda Katolik berlomba – lomba untuk mengejar karier dan mencoba menempuh pendidikan tinggi. Berdasarkan pengalaman singkat saya sebagai Romo, saya mengamati tren bahwa banyak para Wanita Katolik yang baru memutuskan menikah setelah mereka berumur pertengahan 30-an. Kemudian setelah menikah, sebagian besar dari mereka kesulitan untuk hamil. Sementara untuk para Wanita Katolik yang bisa hamil, kecenderungan mereka pun hanyalah untuk mempunyai satu atau dua anak saja, karena mereka tidak ingin meninggalkan karier mereka. Ataupun mereka tidak ingin menjadi stay-home mom. 

Jadi menurut saya, yang paling minim bisa dilakukan oleh Imam Katolik adalah menekankan dalam khotbah mereka, khususnya kepada Wanita Katolik, tidak betul bahwa karier adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan. Dan janganlah para Wanita Katolik menunda – nunda perkawinan ataupun kehamilan. Yang terpenting juga lah jangan takut untuk menjadi seorang Ibu. Kepada para pria Katolik, pesan utama para Romo adalah, janganlah menunda – nunda lebih lama masa pacaran segeralah ajak kawin tunangannmu dan hamili dia. Jangan berhenti dan puas dengan satu atau dua anak saja, teruslah beranak pinak (bersambung ke bagian kedua). 

Read More
Apa dan Siapa WKICU admin Apa dan Siapa WKICU admin

Pelayan Penabur Kasih (Bagian 1)

“Apakah kamu tidak berminat untuk lebih serius membantu dan melayani gereja dengan menjadi deacon?” tanya mereka.

Ditulis oleh Agem

Hampir dua bulan yang lalu, saya ditahbiskan menjadi Deacon di Cathedral of Saint Mary of the Assumption di San Francisco. Perjalanan panjang ini berawal sekitar 6 tahun lalu. Pada suatu pertemuan di sebuah acara ulang tahun salah satu umat WKICU, Romo Effendi Kusuma Sunur S.J. dan Deacon Oey Hock Chuan menghampiri dan bertanya kepada saya: 

 “Apakah kamu tidak berminat untuk lebih serius membantu dan melayani gereja dengan menjadi deacon?” tanya mereka.

Perbincangan tentang itu berlangsung hanya sekitar 30 menit, tetapi dari pertemuan itu mampu memberikan kekuatan yang menggerakkan saya. Dua hari setelah itu saya mulai mencari informasi mengenai pendaftaran menjadi calon deacon. Proses ke arah itu cukup lama, karena ternyata pendaftaran sudah ditutup untuk tahun itu.  Satu tahun kemudian saya mencoba mendaftar kembali, dan akhirnya Keuskupan Agung San Francisco mengijinkan saya untuk mulai mengikuti pendidikan deacon.  

Tidak bisa dipungkiri, peran besar Romo Effendi dalam merekrut saya, tapi Deacon Hock Chuanlah yang benar-benar menginspirasi saya.  

Pada saat pendidikan deacon, Deacon Hock Chuan bekerja di tiga perusahaan. Beliau adalah suami dari Tante Swan Oey dan ayah dari James Oey. 

Deacon Hock Chuan memasuki sekolah deacon dengan tidak mudah karena sudah melewati batas usia yang ditetapkan, tapi Uskup John Cummings (Uskup Oakland pada waktu itu) memberikan dispensasi. Dengan semangat yang luar biasa, beliau menyelesaikan pendidikan deacon itu dan ditahbiskan pada tahun 2000.  Hebat kan?!

 Mengenang cerita beliau, Deacon Hock Chuan baru dibaptis menjadi Katolik itu pada usia 42 tahun dan lalu terpanggil menjadi deacon pada usia yang tidak muda juga. Perjalanan rohani beliau ini seperti pepatah: tidak peduli kapan anda memulai, tetapi yang lebih penting adalah di mana anda mengakhirinya. 

Suami yang baik, ayah yang bijaksana, pekerja keras dan pelayan gereja yang setia. Inilah jejak Deacon Hock Chuan yang ingin saya ikuti.   

Foto kami yang diambil oleh Irwan Sie pada hari pentahbisan saya. Deacon Hock Chuan yang sudah pensiun dari kegiatan aktif membantu gereja dan saya yang baru saja memulai tugas itu. Tante Swan memberi tema foto ini: The Young and The Restless

Tulisan di atas adalah kiriman dari Iwan Soegiharto yang kami terima sebelum merampungkan tulisan ini. Kami pikir sangat bagus jika tulisan beliau sendiri menjadi pembuka. Tulisan ini memberikan arti, pesan dan makna yang mendalam sebagai awal tulisan.

—-000—-

Iwan Soegiharto, lahir di Malang, Jawa Timur pada tanggal 6 Februari 1969.  Anak nomor sembilan dari sepuluh saudara pasangan Robertus Soekamto dan Theresia Halimah ini adalah anak lelaki paling kecil. Dan sebagai anak laki paling kecil, meski bukan anak bontot Iwan merasa sangat beruntung karena disayang oleh orangtua dan saudara-saudaranya.

Iwan bersama lima kakak lelaki dan empat saudara perempuannya tidak dibesarkan secara khusus Katolik, tapi lebih pada perpaduan budaya Tionghoa, Kalimantan dan Jawa. Kedua orangtuanya mengurus dan merawat anak-anaknya dengan sangat baik, penuh kasih sayang. Meski memiliki keyakinan sendiri, orangtua Iwan tetap memasukkan anak-anaknya ke sekolah Katolik. Dari situlah iman Katolik tumbuh dan merengkuh seluruh keluarganya. 

“Kakak pertamaku yang mengenalkan ajaran Katolik di keluarga. Ayah dan Ibuku adalah orang terakhir yang dibaptis setelah anak-anaknya. Aku itu lahir dari keluarga yang gak kenal agama,” kenang Iwan.

Adapun Stephanus Supriyadi Wiratno, kakak sulung di keluarga yang membuat Iwan kecil mau dibaptis sewaktu masih kelas enam SD. Kakak pertamanya ini sudah duluan menjadi Katolik dan hari-harinya sangat sibuk dengan kegiatan gereja. Pengaruh iman dari kakaknya mampu membuat seluruh keluarga, termasuk orangtuanya menjadi Katolik. Yang menarik adalah, dari enam orang anak laki-laki di keluarga, hanya Iwan-lah yang rupanya pernah berpikiran untuk menjadi romo. Diakuinya, sejak dibaptis keinginan menjadi biarawan itu semakin membesar hingga saat kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP), Iwan pernah mengutarakan niatnya kepada sang Ibu untuk masuk sekolah seminari dan ingin menjadi seorang romo. 

Mendengar itu, sang Ibu yang saat itu belum menjadi Katolik tak mampu menahan tawa, memandangnya penuh kasih dan berkata, “Kamu baru putus sama pacarmu yah? Jangan karena putus pacar langsung mau jadi romo. Kamu lihat itu kakakmu, gonta-ganti pacar. Putus cari lagi, putus cari lagi….” jawab sang Ibu dengan tawa berderai.

“Waktu itu salah satu kakakku memang bagai Arjuna mencari cinta. Pacarnya buanyak dan gonta-ganti,” jelas Iwan sambil tertawa ngakak. 

“Saatnya salah dan gak tepat aja waktu aku bilang itu. Sejak itu keinginan menjadi romo kandas. Gak pernah ada lagi. Hahahaha…,” sambungnya sambil geleng-geleng kepala. 


Sebagai anak bontot nomor dua, Iwan merasa sangat beruntung karena begitu mendapat perhatian dan dukungan penuh dari kakak-kakaknya. Kuliahnya di San Francisco State University hingga berhasil meraih gelar di bidang business tak lepas dari usaha patungan kakak-kakaknya itu.  

“Semua kakakku banyak membantu baik dalam biaya sekolah maupun doa yang tidak pernah putus,” jelasnya.

Sebelum menginjakkan kaki dan melanjutkan sekolah di Amerika, Iwan telah lulus dari Universitas Brawijaya fakultas Ekonomi.  Sempat bekerja di Asuransi Wahana Tata mengurusi klaim sambil merawat sang Ibu yang sedang sakit. Iwan tetap bertahan dan tidak berpikir untuk pergi jauh demi menunggui dan merawat sang Ibu, hingga beliau meninggal dunia tahun 1995 di sebuah rumah sakit di Jakarta. 

Sepeninggalan sang Ibu, Iwan merasa tidak ada lagi alasan untuk tetap tinggal di Indonesia, maka ketika kakak-kakaknya menawarkan untuk melanjutkan sekolah di Amerika, tanpa pikir panjang dia setuju. Di sinilah awal perjalanan hidup menuntunnya hingga ber-transformasi menjadi seorang deacon .

—-000—-

Berikut adalah wawancara santai Ebulletin dengan Iwan Soegiharto:


Ebulletin: Bisa cerita bagaimana awalnya terlibat di WKICU?

“Aku datang ke California tahun 1995 setelah Ibu meninggal. Aku ke sini menyusul kakakku nomor delapan yang sudah lebih dulu sekolah di sini,” terang Iwan membuka perbincangan.

“Dari dialah aku kenal WKICU. Kakakku itu pernah mendapat telpon dari salah seorang tante, kalau gak salah dari tante Swan Oey mengenai adanya kelompok Katolik Indonesia. Waktu itu di San Francisco ada perkumpulan doa Rosario di rumahnya tante Louis. Aku dan kakakku datang dan bertemu para tante dan om di situ. Tidak ada anak mudanya. Sejarah awal perkenalanku dengan WKICU dimulai lewat para om dan tante.”


Ebulletin: Pertemuan doa Rosario di San Francisco itu menjadi awal?

“Ya itu, para tante dan om dari situ akhirnya mengajak aku untuk ikut misa. Misa WKICU waktu itu di San Francisco. Pengaturan kerjanya gak seperti sekarang, waktu itu gak jelas karena belum ada ketua wilayah, jadi yang mengurusi wilayah juga gak jelas sementara umat yang misa di gereja St Stephen cukup banyak. WKICU belum membagi misa menjadi tiga wilayah. Kayaknya setelah San Francisco, baru ada misa di Union City dan setelah itu Santa Clara yang terakhir.” jelasnya.

“Waktu itu selain para om dan tante, banyak anggota yang sudah tua-tua juga di sana. Aku masih bujangan, masih punya banyak tenaga, jadi aku hanya ingin membantu mereka. Aku kasihan, gak sampai hati kalau diam dan gak ngapa-ngapain. Pertama kali misa itu aku langsung dimintain tolong mengurus sakristi karena orang yang biasa mengurus akan kembali ke Indonesia. Aku di-training sama dia, tetapi yah itu, setelah dia pulang ke Indonesia akhirnya malah gak cuma urus sakristi dan altar…. juga buka gereja, photo copy teks misa, urus konsumsi, ambil makanan, sampe bersihin hall dan kamar mandi setelah selesai acara ramah tamah. Waktu itu ambil makanan dari ci Wenny dan bawa ke gereja,” sambungnya.

“Aku juga jadi seksi penjemputan, maksudnya supir antar jemput orang-orang tua yang gak bisa ke gereja, termasuk antar jemput orang-orang Indonesia yang baru datang dan mau ikut misa – coba kamu tanya ko Tony dan ci Wilsa, dulu aku sempat antar jemput mereka dan ketiga anaknya waktu baru datang dari Indonesia. Setiap misa aku datang paling dulu dan pulang paling belakangan karena masih harus bersih-bersih dan mengantar kembali orang-orang yang aku jemput. Semuanya nyaris aku kerjakan sendiri. Kadang satu dua orang ikut membantu. Aku sampai gak sempat ikut misa, jadi aku misa dulu hari Sabtunya,” tambahnya lagi. 


Ebulletin: Kepedulian dan pelayanan yang sungguh luar biasa, meskipun terkesan semua karena kasihan dengan para tante dan om-om?

“Mulanya memang mungkin dari kasihan dulu. Aku kasihan dengan (almarhumah) tante Eva, aku kasihan dengan om Lucas dan tante Martha dan aku kasihan dengan umat yang sudah tua-tua itu…Tuhan bisa menyentuh kita dari perasaan kasihan itu tadi, dan akhirnya terpupuk menjadi rasa belas kasih. Belas kasih akan mewujudkan tindakan yang dapat menjadi kepanjangan tangan Tuhan,” jawabnya serius.

“Bicara soal kasihan, dalam tugasku membantu WKICU, suatu ketika aku dipanggil suster Mary Catherine Boudreau. Suster Cathy ini adalah suster bule yang membantu WKICU mengurus RCIA. Waktu itu beliau dibantu Evy, istrinya Aming (Lime Tree). Suster Cathy ini pernah bekerja 13 tahun di Indonesia. Beliau minta tolong aku untuk mengajar salah satu topik RCIA. Aku iya-kan permintaan itu. Lagi-lagi karena aku kasihan sebab beliau sudah tua. Hahaha…,” lanjutnya.

“Suster Cathy akhirnya pensiun dan pindah ke New Jersey. Karyanya dilanjutkan oleh Evy Pranoto dan Maya Desiana. Setelah itu, aku menggantikan mereka.” katanya menambahkan.


Ebulletin: Loh, kakakmu yang memperkenalkan malah kabur. Gak ikut bantu?

“Dia balik ke Indonesia gak lama setelah aku datang. Boss tempat dia bekerja dulu menelponnya untuk kembali kerja. Kalau gak salah dia malah belum menyelesaikan gelar Masternya dan baru menyelesaikannya di Australia setahun kemudian.”


Ebulletin: Memang kadang berkah dan musibah bisa datang bersamaan. Bergabungnya kamu di WKICU itu berkah sekaligus musibah buat kamu yah?

“Hahaha…. aku gak melihatnya begitu kok. Aku hanya bersyukur atas berkat dan rejeki yang telah aku terima selama aku di sini. Kebutuhanku sudah tercukupi dari Senin sampai Sabtu. Aku memang niat untuk menyediakan hari Minggu khusus untuk Tuhan. Sabtu aku agak longgar jadi sempat misa dulu di paroki-ku, St. Cecilia. Besoknya aku datang lagi ke gereja St. Stephen untuk membantu dan melayani WKICU. Kalau cuma ikut misa, yah belum melayani Tuhan namanya…”

“Sejak terlibat di WKICU, satu-dua tahun setelah datang ke San Francisco (tahun 1996-1997), aku merasakan dituntun oleh Tuhan. Seperti ada kekuatan yang selalu menggerakkan aku untuk terus melayani. Waktu itu Om Hok Chuan (sebelum menjadi deacon) yang menjadi ketua WKICU.

Romo Hartono Budi, S.J. adalah romo yang aku kenal pertama sebagai pembimbing WKICU. Selama belajar di Berkeley, Romo Hartono lebih suka kita jemput karena dengan demikian ada kesempatan berkomunikasi lebih banyak. Kalau misa di Union City, aku jemput beliau dan kita banyak berbagi cerita,” kenangnya.

“Untuk Union City aku masih bisa jemput romo Hartono, tetapi untuk San Francisco sudah gak kepegang. Untungnya Om Haribowo dan om-om yang lain bersedia bergantian antar jemput beliau dari Berkeley ke SF.”

“Oh Yah, aku dulu juga pernah menjadi wakil ketua Mudika ketika Betti (Magoolaghan) menjadi ketuanya, dan di situlah aku ketemu istriku, Lily,” tambahnya


Ebulletin: Ada suka duka yang bisa diceritakan?

“Dulu mobilku itu mobil bekas yang umurnya sudah 10 tahunan. AC-nya rusak, gak nyala. Kalau aku mengantar jemput umat, mengantar Romo, om-om dan tante pas waktu musim panas, apalagi pas sedang kena macet, para penumpang di dalam mobilku itu pada kayak ikan mas kepanasan. Ngap-ngap…. ha ha ha,” tawa Iwan membahana.


Ebulletin: Kesal dan capek hati dong ngerjain kerjaan sebanyak itu?

“Rasa kesal dan capek hati itu wajar menurut aku, tetapi aku selalu ingat niat awal yaitu untuk melayani Tuhan. Aku hanya ingin memastikan semua berjalan lancar dan umat bisa ikut misa, karena dengan begitu aku telah membantu mempersiapkan segala sesuatu untuk kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita.”


Ebulletin: Melayani Tuhan dengan setia dan semangat seperti kamu ini bisa menjadi inspirasi. Seperti inspirasi yang kamu dapat dari sosok deacon Hok Chuan. Bisa berikan “pencerahan” untuk umat kita yang masih ogah dan sulit sekali jika diminta membantu melayani WKICU? 

“Jangan takut, jangan malas dan jangan ragu untuk melayani Tuhan. Gak cuma di WKICU, di gereja kamu atau di mana aja. Pegang satu niat bahwa ini hanya untuk Tuhan. Jika memang bantuan atau layanan yang kita lakukan adalah untuk Tuhan, pasti kita akan dibantu olehNya,” jawabnya.

“Jadikan ini pribadi, antara kita dengan Tuhan. Seperti kalau kita doa…berdoa itu berdialog dengan Tuhan. Tetapi, untuk kita lebih dekat dan mengenal Tuhan secara pribadi tentu tidak hanya cukup dengan dialog, tetapi juga harus berjalan bersama Dia. Berbuat sesuatu dalam pelayanan itu seperti berjalan bersama Dia. Maka bilang “ya” dulu kalau diminta untuk melayani Tuhan, jangan pikir soal untung rugi, jangan pikir nanti gak ada waktu, nanti repot, gak bisa, gak ngerti dan macem-macem. Seperti apa yang aku alami selama melayani. Aku gak berpikiran terlalu ruwet. Aku jalanin aja… Ketika aku menjawab “ya”, aku yakin Tuhan akan memberikan banyak bantuan. Aku merasakan dan mengalami itu soalnya.”

“Waktu menerima saran romo Effendi dan deacon Hok Chuan menjadi deacon, juga begitu. Aku cari informasi dan daftar dulu aja, soal kendala dan apakah akan jadi deacon atau tidak, gak aku pikirin. Jadi deacon itu bukan hal gampang loh, pendidikannya 5 tahun. Disamping keluarga yang masih menjadi tanggungjawabku, aku dan istriku harus kerja fulltime. Aku gak yakin bisa menjalankan semua itu tanpa bantuan Tuhan. Selama proses itu aku merasakan sangat banyak sekali bantuan dan berkah yang aku terima. Semua jalan sepertinya dibuka oleh Tuhan,” jelas Iwan dengan wajah penuh syukur.

---000---


Pengalaman dan pelayanan se-abreg Iwan Soegiharto dalam kisahnya ini menunjukkan penyerahan diri yang utuh kepada kehendak Allah. Iwan menyerahkan hati sepenuhnya kepada Allah untuk dibentuk. Hati yang penuh belas kasih, seperti katanya; “Mampu menjadi kepanjangan tangan Tuhan.”

Bagi kita, Deacon Hok Chuan yang begitu menginspirasi Iwan Soegiharto hingga tergerak hatinya untuk bersedia melanjutkan pelayanan sebagai deacon adalah dua orang luar biasa dan baik hati. Semua perjalanan pelayanan mereka mengajarkan kita makna kesetiaan dan cinta yang tak kenal lelah melayani dalam keadaan dan suasana apapun. 

Deacon Oey Hok Chuan dan Deacon Iwan Soegiharto, secara nyata telah menjadi pengikat tali persahabatan dan tali semangat persaudaraan di dalam komunitas kita. WKICU sebagai gereja kecil tempat berkumpulnya umat menjadi lebih kuat, utuh dan bertumbuh dalam iman karena pernyataan yang di-materai-kan mereka ketika menjawab panggilan menjadi deacon. Allah sendiri yang telah memilih dan memberi pelindung serta pelayan bagi Warga Katolik Indonesia California Utara dari antara kita.



Iklan artikel:

______Tunggu artikel wawancara bagian ke II. Wawancara nanti akan penuh dengan hal dan seluk-beluk mengenai panggilan beliau menjadi deacon. Bagaimana sih menjadi deacon? Apa sih tugas deacon? Suka-dukanya apa sih? Ada gajinya gak? Dan masih banyak lagi informasi yang bisa kamu dapat ….. Kalau kalian penasaran, tunggu artikel wawancara bagian II kami dengan deacon Iwan Soegiharto. __________ 

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

"Terganggu"

Tanpa bola meriam, dunia akan kehilangan satu orang suci lagi untuk membimbing kita, kita juga tidak akan memiliki Gereja St Ignatius atau Jesuit. Bola meriam itu merupakan gangguan, dan bagaimana St. Ignatius menghadapinya mengubah hidupnya dan jutaan orang lainnya.

Tidak dapat disangkal bahwa kita hidup di dunia yang sibuk. Tuntutan hidup yang tiada henti – keluarga, pekerjaan, perawatan diri, dan banyak lagi – seolah berlomba untuk mendapatkan perhatian kita, sedemikian rupa sehingga kita selalu terburu-buru dan hampir tidak punya waktu untuk sekedar bernafas dan memperhatikan arah hidup kita. Waktu berlalu, kalender berlari menuju akhir tahun, dan kita kemudian bertanya-tanya ke mana perginya hari-hari itu. Kita – para Martha yang khawatir dan terganggu – disibukkan dengan obrolan, gangguan, dan kesenangan dunia, semua hal yang kita pikir kita tidak akan bisa hidup tanpanya.

Kemudian tragedi demi tragedi terjadi: meninggalnya orang yang dicintai, penyakit kritis, pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan besar dengan pasangan atau teman - memaksa kita untuk melepaskan keasyikan dan komitmen penting kita. Tiba-tiba hidup kita berubah, dan kita dikejutkan dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan eksistensial, “Mengapa ini terjadi pada saya? Mengapa saya? Bagaimana sekarang? Apa arti dan tujuan hidup saya? Apakah ada kehidupan yang lebih dari semuanya ini?”

Ini adalah pertanyaan yang biasanya tidak kita tanyakan ketika semuanya berjalan dengan baik. Namun, masa-masa perjuangan dan keputusasaan sesungguhnya sering menandai awal dari babak baru dalam hidup kita. Ini adalah undangan untuk meninjau kembali hidup kita, ketika kita mulai mempertanyakan keberadaan kita dan mencari sesuatu yang berarti.


St. Ignatius dari Loyola adalah contoh klasik. Dalam peperangan, dia terkena bola meriam, melukai satu kaki dan mematahkan yang lain. Bola meriam itu sungguh telah mengganggu kehidupannya yang penuh warna di istana dengan permainan pedang dan para dayang istana. Dalam masa pemulihan, ia menghabiskan berbulan-bulan menganggur, sebagian besar dalam rasa sakit dan kebosanan, yang memberinya waktu yang signifikan dalam keheningan dan kesendirian untuk membaca dan merenungkan tentang hidupnya, kehidupan Kristus, dan orang-orang kudus. Dia mulai memperhatikan gerakan batinnya – sesuatu yang tidak akan bisa dia lakukan jika dia tetap sibuk dengan urusan duniawinya. Dia mulai menyaring bahwa pikiran dan keinginan ini membawa penghiburan atau kesedihan. Cederanya memungkinkan dia untuk melihat Tuhan bekerja dalam dirinya dan hidupnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk memilih Kristus daripada kehidupan yang dia jalani sebelumnya.

Dalam masa pemulihan, ia menghabiskan berbulan-bulan menganggur, sebagian besar dalam rasa sakit dan kebosanan, yang memberinya waktu yang signifikan dalam keheningan dan kesendirian untuk membaca dan merenungkan tentang hidupnya, kehidupan Kristus, dan orang-orang kudus.


Kisah kita mungkin tidak sedramatis pertobatan St Ignatius, tetapi kita dapat yakin bahwa Tuhan selalu menjangkau kita setiap saat. Tuhan menyela hidup kita karena suatu alasan, dan kita perlu memperhatikannya. Interupsinya menunjukkan kepada kita apa yang membuat kita tertawan. Hanya kemanusiaan kitalah yang membuat kita lumpuh. Namun, kerentanan kita memungkinkan Dia untuk melakukan terobosan. Ini membuka kita pada kemungkinan yang belum pernah kita pertimbangkan sebelumnya dan potensi yang ditawarkan masa depan kita.

Ketika sebuah bola meriam mengenai St Ignatius, hal terakhir yang bisa dia bayangkan adalah jalan yang pada akhirnya akan menuntunnya untuk menulis Latihan Rohani Ignatius dan mendirikan Serikat Yesus. Tanpa bola meriam, dunia akan kehilangan satu orang suci lagi untuk membimbing kita, kita juga tidak akan memiliki Gereja St Ignatius atau Jesuit. Bola meriam itu merupakan gangguan, dan bagaimana St. Ignatius menghadapinya mengubah hidupnya dan jutaan orang lainnya.


Apa bola meriam kita? Dan bagaimana kita menanggapinya? Jika kita benar-benar percaya bahwa Tuhan akan menjaga kita, bukankah masuk akal jika kita akan melihat dan mengikuti bisikan Roh dengan setia, meskipun kita tidak tahu apa yang ada di depan? Mari kita berdoa kepada Tuhan agar Dia mengungkapkan kepada kita apa yang telah menawan kita begitu lama. Dan agar Dia memberi kita penglihatan untuk mengenali gangguan-Nya dan keberanian untuk keluar dari kurungan kita dan menuju kebebasan.
(RS)

— Peringatan Santo Ignatius jatuh pada tanggal 31 Juli —

Sumber: Terjemahan dari tulisan Rosina Simon berjudul “Interrupted”

Read More
Redaksi E-Bulletin Redaksi E-Bulletin

Romo Kodok melawan Romo Rajawali 

“ .. di mana posisi saya sebagai seorang Imam Katolik? “


Tanggal 8 Juni, 2022 adalah tiga tahun peringatan tahbisan Imamat saya. Tiga tahun adalah sebuah rentang waktu yang tidak terlalu lama tapi juga tidak terlalu singkat untuk merenungkan makna tahbisan Imamat di tengah dunia yang terus berubah. Belum lama berselang, seorang teman lama saya menulis essay di substack-nya bejudul “Romo Kodok.” Essay teman lama ini membuat saya merenung lebih panjang dan mendalam tentang makna tahbisan imamat saya, khususnya pada tahun ini. Pada intinya teman saya ini menulis bahwa saat ini Gereja Katolik hidup dalam gelombang revolusi sosial dan kultural yang luar biasa, dan Gereja seperti terjepit di tengah – tengah. Di sisi lain, Gereja Katolik juga mengalami kebangkrutan moral karena skandal pelecehan seksual. 


Kemunculan Romo Kodok 

Di tengah situasi yang tidak menentu ini, para Imam Gereja Katolik seperti kehilangan arah. Teman saya ini membagi para Imam dalam beberapa kategori. Kategori pertama adalah kelompok Imam Spiritualis - Motivator, dimana mana para Romo berlomba – lomba menjadi motivational speaker. Hasilnya adalah umat yang termotivasi mencari untung dan lupa Tuhan. Teologi mereka adalah teologi sukses -- kalau bisa, kaya raya di dunia dan kalau mati masuk surga juga. 

Kelompok kedua adalah para Imam spiritualis murni. Para Romo di kelompok ini fokus nya adalah berdoa, bermeditasi, dan mencari kedamaian dalam hening dan menutup diri dari dunia. Hasilnya adalah dunia tenang dan damai untuk diri sendiri dan sejumlah pengikut mereka. Akan tetapi mereka tidak peduli terhadap apa yang terjadi di dunia yang berantakan. 

Kelompok ketiga adalah para Imam pelawak, yang strategi utamanya adalah menyisipkan ajaran iman dengan gelak tawa ala Srimulat atau Ketoprak Humor. Yang penting adalah umat tertawa dan senang, dan tidak peduli apakah mereka punya hubungan dengan Tuhan atau sesamanya atau tidak. 

Kelompok keempat adalah para Imam ngepop, yang tampil nyentrik dengan ikat kepala dan kain, atau berusaha melakukan hal – hal yang masuk dalam budaya populer, mulai dari angkat besi, panjat tebing, nge-band, dan sebagainya.  Hasilnya susah membedakan antara seorang Imam dengan body builder, atau rockstar vocalist ataupun dukun. 

Kategori terakhir adalah tipe Imam Katolik yang khusus, yakni mereka yang menjadi politisi tanpa mengaku sebagai politisi. Mereka menjual kredensial imamatnya untuk memajukan kepentingannya sendiri. Dia menjadi sangat partisan – maju tak gentar membela yang bayar atau berjuang sampai titik darah penghabisan membela yang kaya dan berkuasa. Oleh teman saya, kelompok Imam Katolik ini dia sebut sebagai kelompok Romo Kodok, yaitu para Romo yang bernyanyi ketika hujan dan banjir, hanya untuk membuat junjungannya bersinar.

Dalam tahbisan Imamat saya yang ketiga, saya pun merenung – renung apakah saya masuk ke dalam satu kategori yang disebut oleh teman saya itu. Dengan segala kerendahan hati, saya pikir saya belum terjerumus dalam satu kategori mana pun. Saya akan terus berdoa dan memohon doa agar saya jangan terjebak ke dalam satu kelompok manapun. 

Pertanyaan yang lebih mendalam adalah kalau saya tidak masuk ke dalam kategori Imam yang disebut oleh teman saya tersebut, di mana posisi saya sebagai seorang Imam Katolik? 


Menjadi Romo Rajawali

Belum lama berselang, saya mengunjungi Basilica of St. Mark di kota Venezia. Tour guide yang membimbing kita menjelaskan banyak tentang sejarah Gereja. Satu hal yang menarik adalah dia menunjukkan lambang Rajawali atau Eagle yang terpampang di Basilica dan menjelaskan bahwa Rajawali itu ada lambang dari Yesus Kristus. Saya sendiri baru mendengar pertama kali bahwa Yesus di lambangkan sebagai Rajawali, karena sependek pengetahuan saya, Rajawali itu adalah lambang dari Santo Yohannes Penginjil. Sang tour guide ini menjelaskan bahwa Rajawali adalah lambang dari keselamatan dan kebangkitan Yesus Kristus. Rajawali yang terbang tinggi adalah perlambang bahwa Yesus dengan kebangkitannya ingin mendorong kita  umat Katolik untuk terbang tinggi dengan Iman kita, kalau kita membiarkan diri kita dibimbing oleh Roh Kudus. 

Salah satu konsep penting dalam Gereja Katolik adalah konsep In Persona Christi, yang bisa diterjemahkan sebagai “dalam diri manusia Kristus.” Konsep ini merujuk pada tseorang Imam yang bertindak dalam diri manusia Kristus. Atau dengan kata lain, seorang Imam seharusnya bertindak dalam kapasistasnya sebagai Manusia Kristus. Konsep ini sejatinya dipakai dalam konteks Sakramen, dimana Imam bertindak melalui penampilan gerak badan dan pengucapan kata – kata dalam upacara Sakramen sebagai Manusia Kristus. Akan tetapi saya pikir, konsep ini bisa dipakai secara umum, khususnya dalam tindakan Imam secara umum. 


Jikalau Kristus dilambangkan sebagai Rajawali, maka para Imam Katolik seharusnya juga bertindak ibarat Romo Rajawali yang bisa bertindak dengan grace and strength (rahmat dan kekuatan). Jadi daripada menjadi Romo Kodok, lebih baik para Imam Katolik berusaha menjadi Romo Rajawali. Bagaimana karakter Romo Rajawali ini? 

Pertama, Romo Rajawali adalah Imam Katolik yang tidak mencari kehormatan atau tempat yang tinggi, baik itu melalui kekuasaan ataupun kedekatan dengan orang kaya dan berkuasa. Di samping tidak mencari kehormatan, seorang Rajawali juga tidak terikat pada materi, sehingga tidak ada kebutuhan mencari setoran ataupun stipendium. Dalam konteks ini, Romo Rajawali juga harus siap menghadapi penghinaan, kecaman, kritikan ataupun penolakan, termasuk dari umat sendiri. Ketangguhan mental seperti ini diperlukan oleh para Imam Katolik dalam menghadapi kehidupan bergereja yang sudah terancuni oleh mentalitas konsumerisme ataupun orientasi pasar. 

Salah satu hal yang saya amati dalam tiga tahun terakhir adalah kecenderungan sejumlah umat untuk mencari kepuasan dalam  kehidupan bergereja. Sebagai contoh, Imam pelawak yang disebut oleh teman saya itu sebenarnya muncul karena permintaan pasar. Banyak para Imam yang berlomba – lomba untuk menjadi lucu – lucuan karena para umat juga berlomba – lomba mencari Imam yang hebat melucu atau melawak. Suatu ketika saya menawari untuk mendampingi kelompok Usia Lanjut yang kesepian karena tidak bisa beraktifitas normal di Gereja. Bukannya berterima kasih malah mereka menolak saya mentah – mentah dengan alasan bahwa “Romo Hendri itu orangnya tidak ramah.” Saya pun bertanya kenapa saya dibilang tidak ramah, apakah karena saya tidak menegur umat atau tidak ingat nama mereka. Jawabannya adalah “oh itu karena Romo Hendri selalu serius ketika berkhotbah.” Tentu saja saya hanya bisa miris mendengar kritikan seperti ini; pertama, kritik itu menggunakan logika yang patah karena serius dan tidak ramah adalah dua kata sifat yang berbeda dan bukan sinonim. Kedua, ketika berkotbah, tentu saja saya tidak akan melawak karena khotbah pada misa bukanlah tempatnya untuk melawak melainkan kesempatan untuk merenungkan Sabda Allah. 

Kembali ke mental konsumerisme. Sejumlah umat yang merasa ingin terpuaskan pun akan selalu gampang komplain terhadap Romo, mulai dari liturgi, musik, khotbah, atau pun hal lainnya. Ibaratnya konsumen yang tidak terpuaskan, para umat pun akan kabur atau hengkang ke gereja lain kalau permintaannya tidak terpenuhi atau terlayani. Sementara para Romo pun ketakutan kehilangan umatnya dan berusaha untuk sedapat mungkin memenuhi permintaan umatnya. Ketika saya masih bertugas sebagai diakon, sejumlah umat komplain karena ada seorang Romo Pembantu yang khotbahnya terlalu panjang. Sang Romo Paroki pun langsung menanggapi komplain itu dengan memasang jam di altar, supaya para Romo dan Diakon melihat waktu pas khotbah. Romo Paroki pun segera berbicara kepada umat dan memastikan bahwa komplain mereka telah didengar. Di tengah situasi ber-gereja seperti ini, tentu akan sulit bagi para Romo untuk berkarya karena selalu ada desakan untuk memperhatikan kepuasan umat, entah itu hanya kepuasan sesaat atau pun individualistik. Meski demikian seorang Rajawali harus terus maju tak gentar membela yang benar, dan bukan membela yang bayar. 

Kedua, Romo Rajawali juga harus terus belajar dan menambah ilmu sehingga bisa terus “terbang tinggi” ibarat seekor Rajawali. Para Romo harus terus belajar dan menambah ilmu karena situasi kehidupan ber-gereja saat ini diperumit dengan banjirnya arusnya informasi melalui internet dan media sosial, dimana banyak umat yang merasa sudah menguasai punya pengetahuan mumpuni hanya dengan mendengarkan video youtube atau google. Sebagai generasi X, saya dididik untuk belajar dari buku ataupun printed materials. Jadi saya harus ke perpustakaan untuk mencari edisi Latin, Civita Dei, Santo Agustinus. Atau saya harus menabung dulu untuk membeli buku satu set lengkap Summa Theologiae Santo Thomas Aquinas. Untuk mendalami makna Kitab Suci, saya harus membuka Bible commentary dan meneliti maksud pengarang terhadap ayat – ayat tersebut. Sekarang umat Katolik tidak perlu menunggu buku dari Roma atau pun ke perpustakaan di University of Notre Dame. Dengan kemudahan akses informasi dan kecepatan dunia digital, umat Katolik bisa berpikir seperti Santo Thomas Aquinas dari Senin sampai Kamis, kemudian Jumat- Sabtu menjadi Santo Agustinus dan pada hari Minggu menjadi ahli kitab suci. Saat ini umat Katolik bisa menjadi ahli teologi dalam berbagai macam gaya, dalam sembarang aliran dan dengan pendekatan apapun hanya bermodalkan smart phone. 

Dalam situasi ini para Romo harus bersaing dengan umat yang merasa pintar. Suatu ketika dalam sebuah misa, saya berkhotbah tentang Kitab Kedua Raja Raja, cerita tentang Naaman yang terkena kusta dan disuruh oleh Nabi Elisah untuk berendam di sungai Jordan. Saya mencoba menjelaskan bahwa setelah dia sembuh, Naaman sang Jenderal dari Kerajaan Aram itu memberikan pernyataan iman tentang keunggulan Tuhan bangsa Israel yang monotheis melawan Polyteisme dari musuh – musuh Israel. Setelah misa, seorang umat menghampiri saya dan langsung mengkritik bahwa Naaman itu dari Syria dan bukan Aram. Kalau saja umat satu ini benar – benar mendalami sejarah kitab suci, dan bukan hanya belajar dari youtube, dia tentu tahu bahwa Aram dan kerajaan Syria itu adalah sama. Saya mencoba menjelaskan dengan sabar, tapi orang ini tidak berhenti dan terus melancarkan kritik baru bahwa khotbah saya tentang monotheisme Israel itu juga salah, karena mereka sebenarnya Israel itu adalah henotheisme. Dengan sabar saya pun menjelaskan bahwa betul ada teori bahwa bangsa Israel pada jaman Musa itu memeluk henoteisme, tapi para ahli kitab suci sendiri masih berdebat tentang kebenaran teori itu. Kisah Nabi Musa itu sekitar abad 13-14 Sebelum Masehi, sementara saya berkhotbah tentang Nabi Elisha yang waktunya adalah sekitar abad ke 8-9 Sebelum Masehi. Ya begitulah realitas hari ini, kita para Romo harus bersaing ilmu dengan umat Katolik 4.0 yang belajar dari google dan youtube. 

Menjadi Romo Rajawali adalah sebuah aspirasi; saya sendiri belum berani mengatakan saya sudah menjadi seorang Romo Rajawali. Dalam kurun tiga waktu terakhir, saya masih banyak belajar, dan dalam menulis renungan ini, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa saya lebih baik dari Romo – Romo lain. Saya hanya bisa berdoa dan memohon doa dari banyak pihak agar saya tidak menjadi Romo Kodok dan bisa terbang tinggi menjadi Romo Rajawali. 



S. Hendrianto, SJ

Read More
Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin Artikel & Renungan Redaksi E-Bulletin

Immersed in Prayer

Mathematically speaking, the only logical answer would be when her will is equal to His will, which would only be possible if she completely surrendered her will and submitted to Him.

Immersed in Prayer

She was immersing herself in the hot water in a quiet morning when three generations of females entered the onsen. Even though she tried to keep to herself, she couldn’t help but notice the young girl, her mother, and her grandmother. Two things caught her attention. The young girl’s smooth porcelain skin, the mother’s well-maintained appearance and yet the onset of aging was apparent, and the grandmother’s deep lines and wrinkles. And their dispositions were noticeably different. The young girl was lively and chatty, the mother refined and eloquent, and the grandmother serenely paying attention and occasionally chimed in the conversation. 

The three generations made interesting contrasts - the evolving physical, mental, and perhaps intellectual progress was clear to see. No one could stop the deterioration of the physique over time, regardless of what one does. Most would develop mentally and intellectually, as one learns from and goes through education and life experiences. The girl has noticed the evolution in herself. Those were exterior, visible, and observable. Then a thought crossed her mind. How about the invisible, the deeper self? Would there be growth in the interiority as well? 

Somehow, she could not put down the thought and started pondering about her faith and prayer. Especially her struggle in understanding free will and God’s will. She was taught that man has free will; and yet “Thy will be done” was also imparted and repeated often in prayers. The peculiar dichotomy. 

She remembered praying as a child and adolescent, petitioning for certain favors, such as getting good grades for her exams, requesting presents for her birthdays, wishing for a certain boy to notice her, et cetera. She was praying and expecting that her prayers would be granted. And to increase the odds, she would promise to be good and try to be super nice and helpful to her family and friends. It was always about her will, and she was bargaining and buying grace. It did not occur to her that God has will. The conversation was a one-way street. Her speaking, Him listening.

Slowly she learned that she did not always get what she asked for. And occasionally, she learned to accept when people reminded her that maybe a certain outcome was not God’s will. Such as when her childhood best friend was diagnosed with leukemia. As a mature adult, she prayed hard and prayed for intercessions, and her friend’s leukemia was cured. She was elated. God was good, and He answered her prayer. When cancer recurred six years later, she prayed harder and added Novenas and weekly fasting while reciting “Thy will be done.” Perhaps it was more in the lips than in the heart, for she was devastated when her friend passed on. Even though she could accept that it was God’s will, and it was best for her friend, she could not help but question the contradiction of her will versus His will.

How could this paradox ever be resolved? Mathematically speaking, the only logical answer would be when her will is equal to His will, which would only be possible if she completely surrendered her will and submitted to Him. If she totally believed that He knows her better than she knows herself, that He loves her more than she loves herself, that His ways are higher than hers. Ceding control. Willingness to enter the unknown. Complete trust. Complete faith. Like Jesus on the Cross. Was that even possible? 

Her thoughts were interrupted by their laughter. The young girl’s gullible chuckle and the grandmother’s gentle laugh. Her eyes were drawn to the grandmother’s wrinkled face. A face that has seen and lived through a bountiful of joys and sorrows. A wise, peaceful soul. Perhaps it is possible. (RS).    

*onsen = Japanese hot spring    

(Translation in Bahasa Indonesia)

Tenggelam dalam Doa

Seorang wanita membenamkan dirinya di air panas di pagi yang tenang ketika tiga wanita dari tiga generasi berbeda memasuki onsen. Meskipun dia mencoba untuk tidak memperhatikan, dia tidak bisa tidak memperhatikan gadis muda itu, ibunya, dan neneknya. Ada dua hal yang menarik perhatiannya. Kulit porselen halus gadis muda itu, penampilan sang ibu yang terpelihara dengan baik namun permulaan penuaan tampak jelas, dan garis-garis dalam dan kerutan sang nenek. Dan disposisi mereka sangat berbeda. Gadis muda itu lincah dan cerewet, ibunya halus dan fasih berbicara, dan neneknya dengan tenang memperhatikan dan kadang-kadang menimpali dalam percakapan.

Tiga generasi membuat kontras yang menarik - kemajuan fisik, mental, dan mungkin intelektual yang berkembang jelas terlihat. Tidak ada yang bisa menghentikan kerusakan fisik dari waktu ke waktu, terlepas dari apa yang dilakukan. Sebagian besar akan berkembang secara mental dan intelektual, ketika seseorang belajar dari dan melalui pendidikan dan pengalaman hidup. Gadis itu telah memperhatikan evolusi dalam dirinya. Itu adalah eksterior, terlihat, dan dapat diamati. Kemudian sebuah pikiran terlintas di benaknya. Bagaimana dengan yang tak terlihat, diri yang lebih dalam? Akankah ada pertumbuhan dalam interioritas juga?

Entah bagaimana, dia tidak bisa mengesampingkan pikiran itu dan mulai merenungkan tentang iman dan doanya. Terutama perjuangannya dalam memahami kehendak bebas dan kehendak Tuhan. Dia diajari bahwa manusia memiliki kehendak bebas; namun "Jadilah kehendak-Mu" juga disampaikan dan sering diulang dalam doa. Dikotomi yang khas.

Dia ingat berdoa sebagai seorang anak dan remaja, memohon bantuan tertentu, seperti mendapatkan nilai bagus untuk ujiannya, meminta hadiah untuk ulang tahunnya, berharap seorang anak laki-laki memperhatikannya, dan lain-lain. Dia berdoa dan berharap doanya akan dikabulkan. Dan untuk meningkatkan peluang, dia akan berjanji untuk menjadi baik dan berusaha menjadi sangat baik dan membantu keluarga dan teman-temannya. Itu selalu tentang keinginannya, dan dia menawar dan membeli anugerah. Tidak terpikir olehnya bahwa Tuhan memiliki kehendak. Percakapan adalah jalan satu arah. Dia berbicara, Dia mendengarkan.

Perlahan dia belajar bahwa dia tidak selalu mendapatkan apa yang dia minta. Dan terkadang, dia belajar menerima ketika orang mengingatkannya bahwa mungkin hasil tertentu bukanlah kehendak Tuhan. Seperti ketika sahabat masa kecilnya didiagnosis menderita leukemia. Sebagai orang dewasa yang matang, dia berdoa dengan sungguh-sungguh dan berdoa untuk syafaat, dan leukemia temannya disembuhkan. Dia sangat gembira. Tuhan itu baik, dan Dia menjawab doanya. Ketika kanker kambuh enam tahun kemudian, dia berdoa lebih keras dan menambahkan Novenas dan puasa mingguan sambil membaca "Jadilah kehendak-Mu." Mungkin itu lebih di bibir daripada di hati, karena dia hancur ketika temannya meninggal. Meskipun dia bisa menerima bahwa itu adalah kehendak Tuhan, dan itu yang terbaik untuk temannya, dia tidak bisa tidak mempertanyakan kontradiksi antara kehendaknya dengan kehendak-Nya.

Bagaimana paradoks ini bisa diselesaikan? Secara matematis, satu-satunya jawaban logis adalah ketika kehendaknya sama dengan kehendak-Nya, yang hanya mungkin jika dia sepenuhnya menyerahkan kehendaknya dan tunduk kepada-Nya. Jika dia benar-benar percaya bahwa Dia mengenalnya lebih baik daripada dia mengenal dirinya sendiri, bahwa Dia mencintainya lebih dari dia mencintai dirinya sendiri, bahwa jalan-Nya lebih tinggi daripada miliknya. Kontrol penyerahan. Kesediaan untuk memasuki yang tidak diketahui. Kepercayaan penuh. Iman yang lengkap. Seperti Yesus di Kayu Salib. Apakah itu mungkin?

Pikirannya terganggu oleh tawa mereka. Tawa gadis muda yang mudah tertipu dan tawa lembut sang nenek. Matanya tertuju pada wajah nenek yang keriput. Wajah yang telah melihat dan menjalani banyak suka dan duka. Jiwa yang bijaksana dan damai. Mungkin itu mungkin. (RS).

*onsen = pemandian air panas Jepang

Read More