SETIAP PERSEMBAHANMU HARUSLAH KAU BUBUHI GARAM
“Dan setiap persembahan kurban sajianmu haruslah kau bubuhi garam, dan janganlah garam perjanjian Allahmu kurang dari kurban sajianmu, dengan semua persembahanmu haruslah kau persembahkan garam”.
SETIAP PERSEMBAHANMU HARUSLAH KAU BUBUHI GARAM
Mariana Berliana Ali
Judul artikel ini adalah ungkapan yang diambil dari Imamat 2 ayat 13 yang berbunyi, “Dan setiap persembahan kurban sajianmu haruslah kau bubuhi garam, dan janganlah garam perjanjian Allahmu kurang dari kurban sajianmu, dengan semua persembahanmu haruslah kau persembahkan garam.” Ayat ini mengandung kata Ibrani minḥāh untuk “kurban sajian” dan melaḥ untuk “garam” yang muncul masing-masing dua dan tiga kali. Artikel ini berusaha menjelaskan unsur-unsur itu dalam konteksnya dan bagaimana kedua unsur tersebut digunakan dalam Perjanjian Baru (PB). Sebagai penutup akan diuraikan pengikut Kristus sebagai kurban dan garam dunia.
Konteks
Di Kitab Imamat, kata minḥāh adalah istilah teknis yang digunakan hanya untuk “kurban sajian”, yaitu persembahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Di luar Kitab Imamat, istilah tersebut dapat merujuk bukan saja ke persembahan biji-bijian, melainkan juga hewan yang dikenal sebagai kurban bakaran. Misalnya, baik kurban sajian Kain dan kurban hewan Habel disebut minḥāh (lih. Kej. 4:4-5). Kurban sajian adalah salah satu dari tiga jenis kurban (kurban bakaran dalam Im. 1 dan kurban keselamatan dalam Im. 3) yang menghasilkan “aroma yang menyenangkan bagi Tuhan” (Im. 1:9, 17; 2:2, 9, 12; 3:5, 16).
Kurban sajian resmi dipersembahkan setelah kurban bakaran setiap hari (Bil. 28). Baik kurban bakaran maupun kurban sajian sering disebut bersama-sama dalam kitab-kitab sejarah (Yos. 22:23, 29; Hak. 13:19, 23; 1 Raj. 8:64; 2 Raj. 16:13, 15). Maka wajarlah jika kurban sajian dalam Im. 2 dijelaskan setelah kurban bakaran dalam Im. 1. Tidak seperti kurban bakaran dan kurban keselamatan, kurban sajian bukanlah kurban binatang. Dalam kurban bakaran seluruh hewan yang dipersembahkan dibakar, sedangkan dalam kurban sajian hanya segenggam yang dibakar dalam api dan selebihnya adalah untuk para imam (lih. Im. 2:3, 10).
Apabila seseorang hendak memberi persembahan berupa kurban sajian kepada Tuhan, persembahannya itu harus berupa tepung terbaik yang dituangi minyak zaitun dan dibubuhkan kemenyan di atasnya (Im. 2:1). Tepung bisa dipersembahkan dalam keadaan mentah atau dimasak. Ada tiga cara untuk memasaknya: dipanggang dalam oven (ay. 4), dimasak di atas wajan dengan sedikit minyak (ay. 5) atau digoreng dalam wajan (ay. 7). Sementara ragi dan madu dilarang (ay. 11; lih. Kel. 23:18; 34:25), garam harus ditambahkan ke dalam kurban sajian (ay. 13). Sebelum kita bahas mengenai tambahan garam yang diharuskan ini, marilah kita memahami dahulu makna dan maksud dari kurban sajian.
Makna dan Maksud minḥāh
Penggunaan non-religius kurban sajian atau minḥāh sering berarti “upeti”, uang yang dibayarkan seorang raja bawahan kepada tuannya sebagai tanda niat baik dan kesetiaannya yang berkelanjutan (Hak. 3:15, 17-18; 2 Sam. 8:6; 1 Raj. 5:1; 10:25; 2 Raj. 17:3 dst.).[1] Persembahan ini mungkin hanya sebagai “hadiah”, meskipun seringkali menunjukkan bahwa pemberi takut kepada orang yang diberi hadiah dan berusaha untuk mengambil hatinya melalui hadiah. Misalnya, Yakub mengirimkan minḥāh kepada saudaranya Esau (Kej. 32:19 dst.) dan kemudian kepada Yusuf, putranya yang menjabat sebagai perdana menteri Mesir (Kej. 43:11, 15, 25-26).
Makna sekuler minḥāh ini tampaknya kemudian dialihkan ke dunia agama. Kurban sajian dipersembahkan sebagai suatu penghormatan dari penyembah yang setia kepada tuan ilahinya. Ketika sebuah perjanjian dibuat, negara-negara taklukkan diharapkan membawa upeti kepada raja besar. Israel juga terikat oleh perjanjian dengan Allah dan karena itu mereka mempunyai tanggung jawab untuk mengungkapkan kesetiaan mereka dengan membawa persembahan gandum.
Berhubung kurban sajian biasanya dipersembahkan bersama dengan kurban lainnya maka dibutuhkan penjelasan untuk menentukan apa maksud sebenarnya ritus itu dipersembahan. Biasanya kurban sajian dipersembahkan bersama kurban bakaran, tetapi kurban sajian juga dapat dipersembahkan secara sendiri pada hari raya panen (lih. Im. 2:14). Menurut Kitab Ulangan bab 26, saat melaksanakan ibadah itu penyembah harus mengakui belas kasihan Tuhan yang telah membawanya ke tanah perjanjian dan harus menyatakan kesetiaannya pada hukum Tuhan yang berkaitan dengan hasil panen pertama. Tuhan “membawa kami ke tempat ini dan memberikan kami negeri ini, suatu negeri yang berlimpah susu dan madu. Sekarang lihatlah, aku telah membawa hasil pertama dari bumi yang telah Kau berikan kepadaku, ya Tuhan” (Ul. 26:9-10). Dalam doanya, si penyembah mengungkapkan makna persembahan hasil pertamanya: ia menyatakan kesetiaannya kepada Tuhan dan persembahannya menjadi penghormatan bagi-Nya. Dengan mempersembahkan sebagian dari hasil panennya kepada Tuhan sebagai ucapan syukur, dia mengakui kebaikan Tuhan kepadanya.
Kurban sajian merupakan hadiah dari penyembah kepada Tuhan dan biasanya diberikan setelah kurban bakaran. Setelah menerima pengampunan dosa melalui kurban bakaran, si penyembah mempersembahkan sebagian dari hasil buminya sebagai kurban sajian kepada Tuhan. Persembahan tersebut dipandang sebagai tindakan dedikasi dan pengudusan diri di hadapan Allah sebagai Juruselamat dan Raja yang menetapkan perjanjian. Kurban sajian itu bukan hanya untuk mengungkapkan rasa terima kasih, tetapi juga kepatuhan dan kesediaan penyembah untuk menaati hukum. Seperti kurban bakaran, kurban sajian adalah kurban yang sering diulang sepanjang hidup penyembah. Kondisi manusia berdosa mengharuskan dia berulang kali mencari pengampunan Ilahi dan memperbarui dedikasi serta sumpah perjanjiannya kepada Tuhan.
Kurban sajian juga berfungsi untuk tujuan praktis: menyediakan bahan makanan pokok bagi para imam. Berhubung para imam dan orang Lewi tidak memiliki tanah sendiri, mereka bergantung sepenuhnya pada niat baik umat. Orang Lewi mengandalkan persepuluhan, tetapi para imam mengandalkan persembahan kurban, khususnya pada persembahan biji-bijian sebab kurban sajian inilah yang paling sering diberikan kepada para imam. Sebaliknya, para imam juga memberikan sebagian dari pendapatan mereka kepada Allah dengan membakar segenggam dari persembahan kurban sajian di atas mezbah sebagai “peringatan” (lih. Im. 2:2, 9, 16).
Mengapa setiap persembahan harus dibubuhi garam?
Dalam Kitab Imamat, kata Ibrani melaḥ untuk “garam” muncul hanya dalam Im. 2:13. Apa yang mengejutkan dalam ayat ini adalah saran untuk “membubuhi garam” bukan hanya dalam kurban sajian, tetapi juga dalam “setiap persembahanmu”, suatu penjelasan yang tidak pernah disebut dalam ritual persembahan yang muncul dalam Imamat bab 1, bab 3 sampai dengan bab 17. Kemungkinan hal ini adalah suatu tambahan yang muncul kemudian, meskipun tidak dapat dipastikan kapan ia diadopsi karena ditemukan juga perintah menabur garam untuk kurban bakaran dalam Yeh. 43:24.
Umumnya penggunaan garam dipandang sebagai lawan dari larangan penggunaan ragi sebab garam mencegah pembusukan, sedangkan ragi memicunya. Namun, hanya sedikit bukti yang mendukung bahwa penjelasan tersebut adalah makna simbolis dari pembubuhan garam yang disebutkan dalam Im. 2:13. Di luar Israel, garam dianggap sebagai bumbu makanan bagi para dewa.[2] Berhubung garam digunakan dalam setiap konsumsi makanan, penggunaannya juga dibutuhkan dalam ibadat yang berkaitan dengan persembahan. Fungsi garam sudah begitu dikenal sehingga tidak butuh penjelasan; saran untuk memberi garam ke setiap kurban juga sudah jelas sehingga ketentuan dasar ini cukup diuraikan sekali saja.[3] Pengiriman garam, antara lain, ke bait suci di Yerusalem semasa pasca-pembuangan tercatat dalam Ezra 6:9 dan 7:22.
Garam juga diasosiasikan dengan perjanjian Allah dalam Im. 2:13, yang menunjukkan bahwa garam digunakan untuk melambangkan perjanjian. Istilah “perjanjian garam” dengan Allah memberi gagasan keramahan dalam makan bersama yang mewajibkan kedua belah pihak untuk setia: di satu sisi, Israel harus mematuhi kewajiban yang terungkap dalam perjanjian; di sisi lain, Allah menjamin pemilihan Israel serta hak-hak mereka dalam perjanjian.[4] Penggunaan garam dalam perjanjian dinilai begitu penting sehingga dalam Bil. 18:19 perjanjian yang dibuat antara Allah dan umat-Nya disebut “perjanjian garam” (berît melaḥ). Melalui ayat tersebut, menjadi jelas bahwa garam ditambahkan bukan hanya dalam kurban sajian, tetapi juga dalam semua kurban.
Di luar konteks ritus kurban, garam juga digunakan sebagai simbol untuk perjanjian yang dicatat dalam 2 Taw. 13:5, “Tuhan, Allah Israel, telah memberikan kuasa kerajaan atas Israel kepada Daud dan anak-anaknya untuk selama-lamanya dengan suatu perjanjian garam (berît melaḥ).” Alasan garam disebut disini tidaklah jelas, sepertinya sudah menjadi suatu tradisi untuk memeteraikan perjanjian dengan garam. Fungsi politis garam juga muncul dalam Ezra 4:14 melalui sepucuk surat protes tentang pembangunan kembali kota dan bait suci di Yerusalem: para penulis surat mengungkapkan hubungan dekat mereka dengan raja Persia, “karena kami makan garam istana ...” menjelaskan bahwa mereka ada dalam aliansi dengan istana atau bergantung pada raja.[5]
Daya pengawetan garam juga sudah diketahui dan bisa menjadi faktor penentu dalam penggunaan metaforisnya sebagai lambang daya tahan. Selain itu, garam memiliki kekuatan pemurnian (bayi yang baru lahir digosok dengan garam: Yeh. 16:4) dan dianggap sebagai sinonim untuk kemurnian dan kekudusan (Kel. 30:35). Walaupun kualitas metaforis garam dalam kehidupan religius dan politik tidak dibahas secara eksplisit, tetapi secara implisit selalu ada.
Kata “garam” yang muncul sebanyak tiga kali dalam Im. 2:13 itu mungkin dimaksudkan untuk menekankan peran dan fungsi garam yang banyak digunakan sepanjang zaman kuno untuk mengawetkan makanan, sehingga ungkapan “perjanjian garam” melambangkan keabadian perjanjian antara Tuhan dan manusia. G. Gesenius menganggap ungkapan tersebut sebagai kiasan untuk ikatan perjanjian yang digunakan oleh penduduk Arab, yang makan garam bersama ketika mereka membuat perjanjian.[6] Dengan memahami “perjanjian garam” sebagai suatu perjanjian yang abadi, tindakan membubuhi garam dalam setiap persembahan dapat menjadi sarana untuk mengingatkan si penyembah akan hubungannya yang abadi dengan Tuhan.
“Kurban” dan “Garam” dalam PB
Istilah minḥāh muncul dalam Septuaginta dengan istilah thusia yang diterjemahkan sebagai “kurban” dalam PB. Seperti dalam PL, istilah “kurban” digunakan secara umum untuk kurban bakaran dan kurban sajian (Mrk. 12:33; Ibr. 5:1; 7:27; 8:3; 9:9; 10:1.5.8.11). Istilah “kurban” juga digunakan untuk Kristus Yesus yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai kurban yang harum bagi Allah (Ef. 5:2) dan yang telah menghapus dosa kita dengan kurban-Nya (Ibr. 9:26; 10:12). Dengan dasar ini, kita semua diundang agar senantiasa mempersembahkan kurban pujian kepada Allah dan tidak lalai berbuat baik dan membagikan apa yang kita miliki sebab kurban persembahan ini berkenan kepada Allah (Ibr. 13:15-16). Seperti orang-orang Israel kuno yang mempersembahkan kurban sajian pagi dan petang (1 Raj. 18:36; 2 Raj. 3:20), demikian juga kita dipanggil untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai kurban yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah (Rm. 12:1). Dengan demikian, kurban mejadi pekerjaan dan pengabdian hidup kita kepada Tuhan.
Kata “garam” muncul sebanyak delapan kali dalam PB. Jika dalam Im. 2:13 garam adalah sesuatu yang dibubuhkan dalam setiap persembahan untuk melambangkan perjanjian abadi dengan Allah, dalam PB garam mewakili para murid yang menerima panggilan dari Yesus untuk menjadi garam dunia (Mat. 5:13). Mereka diminta untuk selalu mempunyai garam dalam diri mereka (Mrk. 9:50) dan tidak menjadi hambar (Luk. 14:34). Sebab, setiap orang akan digarami dengan api (Mrk. 9:49), yaitu ia harus melewati segala macam ujian sehingga apa yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dalam dirinya akan dimurnikan. Api itu sendiri yang akan menguji kualitas pekerjaan setiap orang (1 Kor. 3:13). Pada akhirnya, biarlah perkataanmu selalu penuh kasih, dibubuhi dengan garam, supaya kamu tahu bagaimana seharusnya menjawab setiap orang (Kol. 4:6).
Pengikut Kristus sebagai kurban dan garam
Istilah “kurban” dalam PB tidak hanya digunakan untuk kurban bakaran dan kurban sajian, tetapi juga untuk pribadi Kristus dan juga murid-Nya. Begitu pula dengan kata “garam” yang mewakili murid-murid Yesus sebagai garam dunia. Dapat disimpulkan bahwa kedua kata “kurban” dan “garam” digunakan dalam PB untuk para pengikut Kristus yang diundang untuk memberi dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Sebagai garam dunia, murid Yesus akan memberikan dunia rasa persahabatan dengan Allah dan kesetiaan pada perjanjian-Nya. Nilai-nilai ini tidak akan pernah ketinggalan zaman atau merusak budaya, melainkan meningkatkan karakteristik positif budaya tersebut dan melindunginya dari penyimpangan. Dimana garam persahabatan dengan Allah dan kesetiaan pada perjanjian-Nya pudar, maka kehadiran murid Kristus menjadi semakin dibutuhkan.
Panggilan untuk menjadi garam jarang mendapat pujian atau rasa syukur dari pihak dunia, tetapi murid Yesus tidak mengukur kebaikan tindakannya berdasarkan pendapat dunia, melainkan pada hak istimewanya membawa rekonsiliasi dan hikmat Allah. Walaupun garam diperlukan untuk kebaikan makanan, tetapi setelah makan orang tidak akan berseru, “Oh, betapa baiknya garam itu”! Hal ini selaras dengan gambaran pengikut Kristus yang dijelaskan oleh penulis anonim dalam Surat kepada Diognetus: “Orang Kristen mengasihi semua orang, tetapi mereka menganiayanya. Dihukum karena tidak dipahami, mereka dihukum mati, tetapi dibangkitkan kembali. Mereka hidup dalam kemiskinan, tetapi memperkaya banyak orang; mereka benar-benar melarat, tetapi memiliki segala sesuatu yang berlimpah. Mereka menderita penghinaan, tetapi itulah kemuliaan mereka. Mereka difitnah, tetapi dibenarkan. Memberi berkat adalah jawaban mereka terhadap pelecehan, rasa hormat adalah tanggapan mereka terhadap penghinaan. Untuk kebaikan yang mereka lakukan, mereka menerima hukuman dari para penjahat, tetapi mereka tetap bersukacita seolah-olah menerima hadiah kehidupan”. Sebagai pengikut Kristus, marilah kita mempersembahkan diri setiap hari sebagai kurban dengan hidup sesuai panggilan menjadi garam dunia.
Daftar Pustaka
G. Deiana, Levitico/nuova versione, introduzione e commento di Giovanni Deiana (Milano 2005).
G. J. Wenham, The Book of Leviticus (Grand Rapids, MI 1979).
H. Thomas, Levitikus 1-15 (HTKAT; Freiburg 2014).
H. Eising, “melaḥ”, TDOT V, 78-82.
J. Behm, “θυσία”, TDNT III, 181-182.
Mariana Berliana Ali mengajar Kitab Suci di STF Driyarkara setelah menyelesaikan Licentiat di Pontifical Biblical Institute dan doktoral Teologi Biblis di Universitas Angelicum, Roma.
[1] G. J. Wenham, The Book of Leviticus (Grand Rapids, MI 1979), 67.
[2] Bahkan dalam budaya di luar Alkitab, garam juga digunakan dalam dunia ibadah. Di Assur, para dewa juga terlibat dalam konsumsi garam seperti terungkap dalam doa berikut: “Kamu adalah garam yang dihasilkan di tempat yang murni. Ellil mentakdirkanmu untuk makanan para dewa besar. Tanpamu, tidak ada makan siang yang diselenggarakan di bait suci. Tanpamu, raja, tuan dan pangeran tidak dapat mencium aroma pengorbanan”. Lih. H. Eising, “melaḥ”, TDOT V, 79.
[3] Lih. H. Thomas, Levitikus 1-15 (HTKAT; Freiburg 2014), 210.
[4] Lih. H. Eising, “melaḥ”, 82.
[5] Lih. H. Thomas, Levitikus 1-15, 211.
[6] Lih. G. Deiana, Levitico/nuova versione, introduzione e commento (Milano 2005) 60.
Aging Gracefully
“Aging gracefully is my gratitude to Him for what He has given to me. It is the joy in me today, tomorrow and until I meet Him in Eternity.”
Aging Gracefully
Life unfolds day by day with the moments we treasure whether they are ordinary or extra-ordinary. Chatting heart to heart with hubby and kids, having lunch together, holding hands, or short encounters with beautiful souls have become the best part of my days. The older I get, the more I realize and cherish that. Yet, I ponder about the meaning of life - what my real calling in this life is.
As years go by, I grow more in the knowledge of myself and others. Physically diminishing but spiritually solidifying. Yes, something grow in me!
My eyes have begun to sag, my hair is thinning, my face is getting more wrinkly, my memory isn’t as sharp as it used to be, and I need reading glasses most of the time. Yes, I am getting older. Yikes. Time passes so quickly, and I wonder where the years have gone. It takes courage to face the brevity of life. No one has a clue when the last day will be. So, the present moment is all we have.
A common saying is “aging gracefully”, but what does it mean? How do we do that? Is it just some cliché saying?
Father, grant me awareness if I lack gratitude. Thank you for everything, not only for all the joyful events, but also for the sadness, failure, dryness and dark clouds. They have made me wait patiently for You, to feel Your love and to discover Your presence.
A friend asked me “what’s your new year’s resolution?” Maybe aging gracefully can be my resolution this year, Lord? You and I have to work together. Don’t lead me to age “disgracefully” to become bitter, frustrated, or full of self-pity, and to let those close to us feel guilty for not doing enough for me.
Aging gracefully is for me to always feel Your Presence and not to let the physical appearance stained the inner beauty. Aging gracefully is my gratitude to Him for what He has given to me. It is the joy in me today, tomorrow and until I meet Him in Eternity.
St. Anthony the Abbot (Santo Anthony Kepala Biara)
Anthony berseru, "Tuhan, di mana Engkau saat aku membutuhkanmu?" Tuhan menjawab, "Aku di sini. Aku melihat perjuanganmu. Karena kamu tidak menyerah, aku akan tinggal bersamamu dan melindungimu selamanya."
Hari Santo Anthony dirayakan pada tanggal 17 Januari.
Ketika orang tuanya meninggal, Anthony baru berusia sekitar delapan belas atau dua puluh tahun. Dia mewarisi tiga ratus hektar tanah mereka dan tanggung jawab untuk seorang adik perempuan. Suatu hari di gereja, dia mendengar bacaan Matius 19:21: "Jika kamu ingin menjadi sempurna, pergilah, jual hartamu, dan berikan uangnya kepada orang miskin, dan kamu akan memiliki harta di surga; maka ikutlah Aku." Tidak puas untuk duduk diam dan merenungkan dan merenungkan kata-kata Yesus dia berjalan keluar pintu gereja segera dan memberikan semua harta miliknya kecuali apa yang dia dan saudara perempuannya butuhkan untuk hidup.
Mendengar Matius 6:34, "Jadi jangan khawatir tentang hari esok, karena besok akan membawa kekhawatirannya sendiri. Masalah hari ini sudah cukup untuk hari ini," dia memberikan segalanya, menitipkan saudara perempuannya ke biara, dan pergi ke luar desa. untuk menjalani kehidupan berdoa, puasa, dan kerja kasar. Tidak cukup hanya mendengarkan kata-kata, dia harus menjadi apa yang Yesus katakan.
Setiap kali dia mendengar tentang orang suci, dia akan melakukan perjalanan untuk melihat orang itu. Tapi dia tidak mencari kata-kata bijak, dia mencari untuk menjadi. Jadi jika dia mengagumi keteguhan seseorang dalam doa atau kesopanan atau kesabaran, dia akan menirunya. Kemudian dia akan kembali ke rumah.
Anthony melanjutkan dengan memberi tahu para filsuf Yunani bahwa argumen mereka tidak akan pernah sekuat iman. Dia menunjukkan bahwa semua retorika, semua argumen, tidak peduli seberapa kompleks, seberapa kuat, diciptakan oleh manusia. Tapi iman diciptakan oleh Tuhan. Jika mereka ingin mengikuti cita-cita terbesar, mereka harus mengikuti keyakinan mereka.
Anthony tahu betapa sulitnya ini. Sepanjang hidupnya ia berdebat dan benar-benar bergulat dengan iblis. Godaan pertamanya untuk meninggalkan kehidupan pertapaannya adalah argumen yang akan sulit kami tolak -- kecemasan tentang saudara perempuannya, kerinduan akan kerabatnya, pemikiran tentang bagaimana dia dapat menggunakan hartanya untuk tujuan yang baik, keinginan akan kekuasaan dan uang. Ketika Anthony mampu melawannya, iblis kemudian mencoba sanjungan, memberi tahu Anthony betapa kuatnya Anthony untuk mengalahkannya. Antonius mengandalkan nama Yesus untuk membebaskan dirinya dari iblis. Itu bukan yang terakhir kalinya. Suatu kali, pertarungannya dengan iblis membuatnya dipukuli, teman-temannya mengira dia sudah mati dan membawanya ke gereja. Anthony sulit menerima ini. Setelah satu perjuangan yang sulit, dia melihat seberkas cahaya muncul di makam yang dia tinggali. Mengetahui bahwa itu adalah Tuhan, Anthony berseru, "Di mana kamu saat aku membutuhkanmu?" Tuhan menjawab, "Aku di sini. Aku melihat perjuanganmu. Karena kamu tidak menyerah, aku akan tinggal bersamamu dan melindungimu selamanya."
Dengan jaminan dan persetujuan dari Tuhan semacam itu, banyak orang akan menetap, puas dengan tempat mereka berada. Tetapi reaksi Anthony adalah bangkit dan mencari tantangan berikutnya -- pindah ke padang gurun.
Antonius selalu mengatakan kepada orang-orang yang datang mengunjunginya bahwa kunci kehidupan pertapaan adalah ketekunan, bukan untuk berpikir dengan bangga, "Kami telah menjalani kehidupan pertapaan untuk waktu yang lama" tetapi memperlakukan setiap hari seolah-olah itu adalah awal. Bagi banyak orang, ketekunan berarti tidak menyerah, bertahan di sana. Tetapi bagi Anthony, ketekunan berarti bangun setiap hari dengan semangat yang sama seperti hari pertama. Tidaklah cukup bahwa dia telah menyerahkan semua hartanya suatu hari nanti. Apa yang akan dia lakukan keesokan harinya?
Begitu dia selamat di dekat kota, dia pindah ke makam sedikit lebih jauh. Setelah itu dia pindah ke padang pasir. Tidak ada yang pernah menerjang gurun sebelumnya. Dia tinggal disegel di sebuah ruangan selama dua puluh tahun, sementara teman-temannya menyediakan roti. Orang-orang datang untuk berbicara dengannya, untuk disembuhkan olehnya, tetapi dia menolak untuk keluar. Akhirnya mereka mendobrak pintu. Anthony muncul, tidak marah, tapi tenang. Beberapa yang berbicara dengannya disembuhkan secara fisik, banyak yang dihibur oleh kata-katanya, dan yang lain tetap tinggal untuk belajar darinya. Mereka yang tetap tinggal membentuk apa yang kita anggap sebagai komunitas monastik pertama, meskipun tidak seperti yang kita pikirkan tentang kehidupan religius saat ini. Semua biarawan hidup terpisah, berkumpul hanya untuk beribadah dan mendengar Anthony berbicara.
Tapi setelah beberapa saat, terlalu banyak orang yang datang untuk mencari Anthony. Dia menjadi takut bahwa dia akan menjadi terlalu sombong atau orang-orang akan menyembah dia alih-alih Tuhan. Jadi dia pergi di tengah malam, berpikir untuk pergi ke bagian lain dari Mesir di mana dia tidak dikenal. Kemudian dia mendengar suara yang memberitahunya bahwa satu-satunya cara untuk menyendiri adalah pergi ke padang pasir. Dia menemukan beberapa Saracen yang membawanya jauh ke padang pasir ke oasis gunung. Mereka memberinya makan sampai teman-temannya menemukannya lagi.
Anthony meninggal ketika dia berusia seratus lima tahun. Kehidupan yang menyendiri, berpuasa, dan bekerja kasar dalam pelayanan Tuhan telah membuatnya menjadi pria yang sehat dan kuat sampai akhir hayatnya. Dan dia tidak pernah berhenti menantang dirinya sendiri untuk melangkah lebih jauh dalam imannya.
Sumber: https://www.catholic.org/saints
Santa Agnes - Perawan dan martir
Setiap kali seorang pria ingin menikahi Agnes, dia akan selalu berkata, "Yesus Kristus adalah satu-satunya Mempelaiku."
St. Agnes dari Roma lahir pada tahun 291 M dan dibesarkan dalam keluarga Kristen. Agnes sangat cantik dan berasal dari keluarga kaya. Tangannya dalam pernikahan sangat didambakan banyak pria, dan dia memiliki banyak pria berpangkat tinggi yang mengejarnya. Namun, Agnes berjanji kepada Tuhan untuk tidak pernah menodai kesuciannya. Kasihnya kepada Tuhan sangat besar dan dia membenci dosa bahkan lebih dari kematian!
Santa Pelindung Anak-anak Maria
Setiap kali seorang pria ingin menikahi Agnes, dia akan selalu berkata, "Yesus Kristus adalah satu-satunya Mempelaiku."
Menurut legenda, para pemuda yang ditolaknya menjadi sangat marah dan terhina oleh pengabdiannya kepada Tuhan dan kemurniannya sehingga mereka mulai menyerahkan namanya kepada pihak berwenang sebagai pengikut Kristen.
Dalam satu kejadian, Procop, putra Gubernur, menjadi sangat marah ketika dia menolaknya. Dia mencoba memenangkannya untuk istrinya dengan hadiah dan janji yang kaya, tetapi gadis muda yang cantik itu terus berkata, "Saya sudah dijanjikan kepada Tuhan Semesta Alam. Dia lebih indah dari matahari dan bintang-bintang, dan Dia telah mengatakan Dia tidak akan pernah meninggalkanku!"
Dalam kemarahan besar, Procop menuduhnya sebagai seorang Kristen dan membawanya ke ayahnya, Gubernur. Gubernur menjanjikan Agnes hadiah yang luar biasa jika dia mau menyangkal Tuhan, tetapi Agnes menolak. Dia mencoba mengubah pikirannya dengan mengikatnya, tetapi wajahnya yang cantik bersinar dengan sukacita.
Selanjutnya dia mengirimnya ke tempat dosa, tetapi seorang Malaikat melindunginya. Akhirnya, dia dihukum mati. Bahkan orang-orang kafir menangis melihat gadis yang begitu muda dan cantik akan mati. Meski demikian, Agnes tak kalah bahagia layaknya pengantin di hari pernikahannya. Dia tidak memperhatikan mereka yang memohon padanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri. "Saya akan menyinggung Pasangan saya," katanya, "jika saya mencoba menyenangkan Anda. Dia memilih saya terlebih dahulu dan Dia akan memiliki saya!" Kemudian dia berdoa dan menundukkan kepalanya untuk menerima pukulan maut dari pedang.
Catatan lain tentang kehidupan Agnes membuat Prefek Sempronius bertanggung jawab atas kemartirannya. Dikatakan dia mengutuk gadis muda itu untuk diarak di jalan-jalan dengan telanjang. Beberapa versi legenda menyebutkan bahwa rambut Agnes langsung tumbuh menutupi seluruh tubuhnya dan semua pria yang mencoba memperkosa gadis cantik itu langsung dibutakan.
Cerita selanjutnya menjelaskan bahwa pria lain memimpin persidangan Agnes setelah Sempronius minta diri. Pria baru itu memvonis Agnes dengan hukuman mati. Awalnya, Agnes diikat ke sebuah tiang, tapi entah kayunya tidak mau terbakar atau apinya menjauh darinya. Hal ini mendorong seorang petugas untuk menghunus pedangnya dan memenggal kepala gadis itu. Diyakini bahwa darahnya, yang mengalir ke stadion, direndam dengan kain oleh orang-orang Kristen.
Dia meninggal sebagai martir perawan pada usia 12 atau 13 pada 21 Januari 304.
Agnes dimakamkan di samping Via Nomentana di Roma. Tulang-tulangnya saat ini disimpan di bawah altar tinggi di gereja Sant'Angese fuori le mura di Roma, yang dibangun di atas katakombe yang menampung makamnya. Tengkoraknya diawetkan di gereja Sant'Agnese di Agone di Piazza Navona Roma.
Pada tahun 1858, Pastor Caspar Rehrl, seorang misionaris Austria mendirikan Kongregasi Suster St. Agnes.
St Agnes secara luas dikenal sebagai santo pelindung gadis-gadis muda. Dia juga santo pelindung kesucian, korban pemerkosaan dan Anak-Anak Maria. Dia sering diwakili dengan anak domba, simbol kepolosan perawan, dan cabang palem, seperti martir lainnya. Dia ditampilkan sebagai seorang gadis muda berjubah memegang cabang pohon palem dengan domba baik di kakinya atau di lengannya.
Hari rayanya dirayakan pada tanggal 21 Januari. Pada hari rayanya, merupakan kebiasaan untuk membawa dua ekor domba untuk diberkati oleh paus. Pada Kamis Putih, bulu domba dilepas dan ditenun menjadi pallium yang diberikan paus kepada seorang uskup agung yang baru ditahbiskan sebagai tanda kekuasaan dan persatuannya dengan paus.
Tuhan yang mahakuasa dan kekal, Engkau memilih yang lemah di dunia ini untuk mengacaukan yang kuat. Saat kami merayakan ulang tahun kemartiran St.Agnes, semoga kami seperti dia tetap teguh dalam iman.
Amin.
Sumber: https://www.catholic.org/saints
Seorang Waria dan Seorang Pendeta
“Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku”
Seorang waria bertanya kepada seorang pendeta yang baru dikenalnya: “Bapak pendeta, kalau suatu saat nanti saya meninggal, apakah saya akan masuk Sorga?”.
Di usianya yang sudah di atas 60 tahun, sang waria memang tidak muda lagi. Bahkan karena di tahun-tahun terakhir ini sering sakit-sakitan, dia tidak lagi bisa bekerja di salonnya – satu-satunya profesi, sumber penghasilan dan ketrampilan yang dia miliki.
Dia kini tidak memiliki siapa-siapa. Kedua orang tuanya sudah lama tiada, sementara semua saudaranya tidak lagi dekat dengannya sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, sejak mereka tahu bahwa ia bukan seorang laki-laki sejati. Mereka menjaga jarak dan bahkan ada yang secara terang-terangan menolak dia sebagai saudara. Istilah kasarnya, dia seorang yang sudah lama terbuang dari keluarganya.
Menjadi seorang waria sebetulnya bukan keinginannya, dia merasa jiwa dan pribadinya seperti terperangkap dalam tubuh lawan jenis, dan itu sangatlah membingungkan pada awalnya. Bukan hanya keluarganya saja yang menolaknya, bahkan semua masyarakat sekitarnya seolah mencibir dan menjauhi. Dia kini sendiri, dan memang selalu sendiri.
Sang pendeta tampak tidak yakin bagaimana harus menjawabnya. Ia juga tidak yakin ada ayat Alkitab yang secara tegas dan bijaksana bisa memberi jawaban akan pertanyaan yang begitu penting. Maka sejurus sang pendeta terdiam, berpikir keras dan cemas. Ia harus bisa memberikan jawaban, sebab jika tidak, itu akan memberikan konotasi buruk akan jabatannya sebagai seorang pendeta.
Katanya: “Ada harga yang harus kamu bayar, sanggupkah kamu?”
Sang waria membalas “Apa harga yang harus kubayar ?”
“Rumah kamu, salon kamu, uang kamu, bahkan usia kamu”.
Sang waria menjulurkan tangannya sebagai ajakan berjabatan tangan kepada sang pendeta yang langsung menyambutnya. “Iya saya mau pak pendeta, saya relakan semuanya”.
Sejak itu rumah sang waria menjadi 'gereja' di tengah tengah perkampungan kota itu. Setiap minggu sang pendeta melayani umat di situ, yang 100% umatnya adalah para waria ataupun teman-teman mereka. Sebuah rumah sangat sederhana yang dijadikan 'gereja' di pinggir sebuah kali perkotaan, beberapa bagiannya hanya ditutupi terpal plastik, dan umat duduk di kursi plastik yang terkesan murah dan sederhana pula. Khotbah pendeta tidak pernah lama, hanya 10 sampai 15 menit, dan sisa waktu kebaktian banyak diisi dengan lagu-lagu pujian dan lagu rohani, yang bahkan banyak yang bernada dangdut karena memang mereka suka dan terhibur dengan cara seperti itu.
Namun di tengah-tengah kesederhanaan dan kemiskinan seperti itu,..firman Tuhan dibacakan, hadir dan memasuki relung hati mereka. Mereka yang terbuang dan tersingkirkan oleh keluarga, teman, bahkan oleh orang-orang yang belum pernah mengenal mereka sekalipun.
Dan jika mereka selalu merasakan suka cita dan terhibur dalam persekutuan seperti itu, bukan tidak mungkin itu adalah peran Roh Kudus yang bekerja. Roh Kudus yang sama dan juga hadir di banyak gereja-gereja yang besar, terlihat megah dan bersih.
Dan sang pendeta yang selalu setia melayani, adalah anak Tuhan yang menjadi saksi Kristus. Dia punya banyak pilihan tempat melayani, namun dia memilih melayani mereka yang tersisih, tersingkirkan dan ditolak masyarakat.
Dalam Injil Matius 19:16 Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: "Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?". Jawab Yesus: "Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah."
Ayat 20: Kata orang muda itu kepada-Nya: "Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?" Kata Yesus kepadanya: "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmudan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku."
Bila hari ini anda - dan bukan sang waria - bertanya apakah anda akan masuk Sorga.
Apakah anda sudah tahu apa jawabannya ?.
Sang waria merelakan segala miliknya bahkan hidupnya sendiri bagi kemuliaan Tuhan.
Apakah kita bisa berbuat yang sama?.
Dalam luka-luka masa lalu dan ketakberdayaannya, sang waria sadar betapa harta Surgawi adalah harta dan permata yang sesungguhnya, tujuan hidupnya, dan jawaban atas segala kerinduan hatinya.
Sudahkah kita sampai pada kesadaran seperti ini?
Sang waria menyadari segala dosa dan kelemahannya, namun percaya akan kasih Tuhan yang begitu besar dan tak terhingga. Dia sadar bahwa betapapun kelamnya masa lalunya, pengampunan Tuhan selalu lebih besar.
Dia sadar bahwa memiliki atau sebaliknya menyerahkan betapapun banyaknya harta duniawi tidaklah dapat “membeli” keselamatan kekal; perbuatan baik pun tidak. Namun hanya anugerah kasih dan rahmat Tuhan saja yang sungguh dapat menyelamatkan.
Sadarkah kita?.
Seperti sang pendeta, mampukah kita menyalurkan kasih dan firman Allah kepada mereka orang-orang kecil dan tersingkirkan?. Sebab “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku” (Mat 25:40)
Ditulis berdasarkan kisah nyata yang dituturkan oleh pendeta YK di Surabaya. Year 2021
Nilai Luhur Seksualitas
Adakah (tindakan seksual) Yang Diperbolehkan Di Luar Pernikahan ?
Tidak ada !.
Tuhan telah merancang tindakan seksual untuk secara eksklusif hanya terjadi dalam pernikahan.
Prinsip moralnya adalah: setiap penggunaan kemampuan seksual secara sengaja di luar pernikahan adalah salah besar. Oleh karena itu, setiap aktivitas seksual yang dilakukan di luar ikatan perkawinan dilarang, dan merupakan dosa berat, sejauh bahwa anda tahu itu adalah salah dan tidak menolaknya.
Jadi bersadarkan prinsip moral ini, hal-hal berikut adalah dosa dan terlarang: perzinahan, inses, tindakan homoseksual, onani, dan pencabulan. Secara jelas prinsip ini melarang setiap jenis aktivitas genital di luar pernikahan, baik yang dilakukan sendiri atau dengan orang lain.
Bagaimana dengan ciuman atau sentuhan yang penuh gairah?.
Mari kita terapkan kembali prinsip: “setiap penggunaan yang disengaja dari kemampuan seksual di luar pernikahan adalah tidak bermoral.” Ini termasuk dengan sengaja membangkitkan gairah seksual pada diri sendiri atau pasangan.
Jelas, jika Anda berpegangan tangan atau memberikan ciuman selamat malam yang tidak tulus dan secara tidak sengaja membangkitkan gairah seksual, anda tidak bersalah atas dosa.
Tetapi jika anda dengan sengaja menuruti gairah itu, atau jika anda mencium dan menyentuh dengan maksud untuk membangkitkan gairah, anda bersalah.
Beberapa ekspresi kasih sayang hampir pasti bisa membangkitkan gairah seksual. Maka semua itu harus dihindari sampai saatnya dapat digunakan secara sah dalam ikatan pernikahan.
Pandangan Gereja atas Homoseksualitas
“Gereja berusaha untuk memungkinkan setiap orang untuk menghayati panggilan universal menuju kekudusan. Orang-orang dengan kecenderungan homoseksual harus menerima setiap bentuk bantuan dan dorongan untuk menerima panggilan ini secara pribadi dan sepenuhnya. Ini sudah pasti akan membutuhkan banyak perjuangan dan pengendalian diri, sebab mengikuti Yesus selalu berarti mengikuti jalan Salib. Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat menjadi sumber penting bagi penghiburan dan pertolongan di jalan ini."
Tentang Penyimpangan Homoseksualitas
Homoseksualitas diartikan sebagai hubungan antara laki-laki atau antara perempuan yang mengalami ketertarikan seksual eksklusif kepada orang-orang dari jenis kelamin yang sama. Hubungan ini muncul dalam berbagai bentuk selama berabad-abad dan dalam budaya yang berbeda-beda pula. Asal-usul psikologisnya sebagian besar tetap tidak dapat dijelaskan.
Berdasarkan Kitab Suci, yang menyajikan tindakan homoseksual sebagai tindakan kebejatan berat (lih. Kejadian 19:1-29; Roma 1:24-27; 1 Korintus 6:10; 1 Timotius 1:10), tradisi suci selalu menyatakan bahwa “Tindakan homoseksual secara intrinsik adalah menyimpang dan merusak.” Hubungan semacam itu melawan hukum alam. Mereka menutup kemungkinan hadirnya karunia kehidupan dalam tindakan seksual yang seharusnya. Mereka bukan hasil dari ketertarikan seksual yang saling melengkapi dan alami. Dalam kondisi apapun hubungan semacam ini tidak dapat disetujui ataupun dibenarkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah pria dan wanita dengan kecenderungan homoseksual yang mendalam tidaklah sedikit. Bukan pilihan mereka memiliki kondisi homoseksual; sebab bagi kebanyakan dari mereka, kondisi itu adalah sebuah cobaan hidup dan kesengsaraan.
Namun mereka harus diterima dengan hormat, kasih sayang, dan kepekaan. Setiap tanda dan tindakan diskriminasi yang tidak adil terhadap mereka harus dihindari. Orang-orang ini dipanggil untuk memenuhi kehendak Tuhan dalam hidup mereka dan, jika mereka adalah orang Kristen, untuk menyatukan kesulitan yang mungkin mereka hadapi (karena kondisi mereka itu) dalam pengorbanan Salib Tuhan di kayu salib.
Orang-orang yang homoseksual (pun) dipanggil untuk kesucian. Berdasarkan pengendalian diri yang mengajari mereka kebebasan batin, kadang-kadang dengan dukungan persahabatan yang tidak memihak, dengan doa dan rahmat sakramental, mereka dapat dan harus secara bertahap dan tegas mendekati kesempurnaan sebagai seorang Kristen.
Sumber: Catechism of the Catholic Church (CCC) section 2352, 2357-2359, section 2390
(Congregation for the Doctrine of the Faith, Persona humana, 8)
USCCB, Ministry to Persons with a Homosexual Inclination (2006), p.13
Dari Katekismus Gereja Katolik, 1994
Listening to the Lord's Words - (a New Year's resolution)
May all holy Angels and Saints help me with this resolution and may the Holy Spirit helps me to bear the fruit from this resolution
In 2021, The Lord - thru his angel - sent me a book, which guides and teaches the readers how to communicate with Jesus and or answer His calling. It helps the readers to understand and seeing themselves from Jesus's perspective, thru a short and simple daily reading.
I promised myself to read it all the way in year 2022, including the scripture' chapters and verses behind the teaching. May all holy Angels and Saints help me with this resolution and may the Holy Spirit helps me to bear the fruit from this resolution.
-Metanoia-
Resolusi tahun 2022
Hanya dengan rahmat-Nya saja lah, saya berharap untuk mencapai resolusi ini di satu tahun mendatang.
Selama tahun 2021, saya merasa dunia seakan berputar lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya. Mungkin karena pengaruh pandemi COVID-19, atau mungkin juga karena faktor-faktor lain yang membuat saya merasa seperti ini.
Namun, saya pun merasa bahwa saya lebih bebas dari beban-beban hidup yang saya telah rasakan sekian lama nya. Ini semua karena kasih Tuhan Yesus, sang juru penyelamat kita yang luar biasa. Dengan kuasa penyembuhanNya melalui salah satu keluarga saya, banyak luka batin yang telah terlepas. Puji Tuhan!
Menjelang tahun 2022 ini, saya ingin meneruskan perjalanan iman saya untuk tidak saja semakin dekat dengan Tuhan Yesus dan Bunda Maria; tetapi juga untuk lebih berbaik hati dan lembut terhadap diriku sendiri.
Hanya dengan rahmat-Nya saja lah, saya berharap untuk mencapai resolusi ini di satu tahun mendatang. Amin!
Selamat Hari Natal 2021 & Tahun Baru 2022 !!!
Own Uniqueness (New Year Resolution)
“…. mengenal kelebihan dan kelemahan diri sendiri dan belajar tidak merasa kekurangan atau berlebihan, dengan kata lain “embrace my own uniqueness”.
Setiap tahun, saya mempunyai resolusi yang sama, yaitu selalu memperbaiki diri lebih baik dari tahun yang lalu. Contohnya seperti jangan berpikiran negatif, makan lebih sehat dan lainnya.
Tapi untuk tahun 2022 ini, hati saya terketuk untuk lebih mengenal diri sendiri, mengenal kelebihan dan kelemahan diri sendiri dan belajar tidak merasa kekurangan atau berlebihan, dengan kata lain “embrace my own uniqueness”.
Tuhan menciptakan setiap manusia dengan pribadi yang unik dan menurut gambar dan rupaNya. Kita diciptakan dengan kemampuan, kelemahan, bakat and sifat masing-masing. Saya diciptakan menurut rencanaNya dan tugas saya adalah untuk lebih mengapresiasi & mensyukuri segala yang telah diberikanNya. Selamat Tahun Baru!
A New Perspective - (Sebuah Resolusi Tahun Baru)
Aku harus tahu bahwa melakukan kesalahan dan dosa-dosa meskipun kecil dan kelihatan sepele - tidaklah bisa dibilang oke-oke saja.
Tahun lalu saya bertekad ingin hidup sehat di tahun 2021, lebih banyak berolahraga dan hanya makan makanan yang sehat. Dan yang terutama, saya ingin selalu mampu mematuhi firman Tuhan dan selalu bersikap baik terhadap orang lain.
Sekarang untuk tahun baru 2022, saya berharap agar terhindar selalu dari segala sakit penyakit, dan menghindari konsumsi makanan yang tidak sehat. Menjauhi segala dosa, dan 'memperlakukan' orang lain layaknya sebagaimana saya ingin diperlakukan.
Sekilas keduanya mungkin terdengar sama, hanya cara mengatakannya yang berbeda.
Tapi jika benar sama saja, apa perlunya mengatakannya secara berbeda ?.
Saya mencari jawabannya. Dan berbekal dari keyakinan bahwa apa yang terucap adalah keluar dari hati, maka saya membiarkan suara hati menguraikan apa yang menjadi resolusiku untuk tahun yang baru ini, dan untuk juga fokus pada cara pencapaiannya.
Sebagai contoh, cara untuk menjaga kesehatan adalah dengan mengetahui jenis makanan yang tidak sehat (meskipun terlihat enak dan memang enak). Mengkonsumsinya, tidaklah oke-oke saja.
Aku harus tahu bahwa melakukan kesalahan dan dosa-dosa meskipun kecil dan kelihatan sepele - tidaklah bisa dibilang oke-oke saja.
Mementingkan hal duniawi dan tidak seutuhnya bertumpu akan kasih Tuhan, tidaklah oke saja.
Kurang memberi perhatian kepada orang tua dan saudara, bukanlah sesuatu yang oke.
Dan menghakimi orang lain dalam hati dan pikiran, meski tak ada yang tahu, itu pun tidaklah oke-oke saja.
Mendiamkan orang lain dan selalu ingat kesalahan mereka, itu tidaklah oke-oke saja.
Mengambil sesuatu yang bukan hak saya dan tidak ada yang tahu, itu sangat tidak oke.
Tidak bermurah hati kepada mereka yang berkekurangan dan berhak, itu jauh dari oke.
Dan iri, menginginkan milik orang lain dalam hati,...sangatlah tidak oke.
Saya harus tahu dan sadar dari sekarang, mumpung belum terlambat, bahwa semua itu tidaklah oke-oke saja.
Semoga Tuhan selalu mengajariku untuk senantiasa bergantung dan bertumpu hanya pada kasihNya saja. Hanya berkat dan kasih sayangmu, Ya Tuhan, cukuplah itu bagiku.
Dan arahkanlah mata hatiku, untuk memandang harta duniawi yang tak seberapa ini, sebagai alat semata, bukan sebagai jaminan hidupku. Karena jaminan hidupku adalah kasih dan rahmatMu saja.
Ingatkanlah aku jangan mencari kenikmatan badani dan duniawi, melainkan yang rohani dan Surgawi.
Agar aku terhindar dari keinginan akan rumah sesamaku, atau istrinya, atau apapun yang dipunyainya.
Dan ajarilah aku untuk selalu berkata benar dan suci, meskipun itu pahit dan dibenci.
Semoga dengan menghindari segala sesuatu yang tidak baik, aku akan manjadi pribadi yang lebih baik.
Begitupun dengan mengikis segala egoisme, perlahan namun pasti semoga aku bisa menjadi pribadi yang lebih bijaksana.
Happy New Year 2022.
St. John the Cross: “God speaks in the Night”
Through his life, writing and teaching, St. John the Cross repeatedly declared that God’s Love is meant for all mankind and our life is a continuous love story with God who inviting us for a deeper Union with Him.
(Summarized & Rewritten by Yanli S. Guerzon)
Feast Day: December 14.
Poet, Monk and Saint
Origin:
St. John the Cross was born as Juan de Yepes y Álvarez in 1542, in the city of Fontiveros, Spain. He was born on June 24 which is the feast day of Saint John of the Baptist. The city of Fontiveros is about 30 miles from the city of Avila.
St. John’s father - Gonzalo de Yepes - is from an affluent family of rich silk merchants. Gonzalo left his family’s wealth to marry Catalina Alvarez, a poor weaver beneath his social class.
Shortly after their marriage, Spain was experiencing a calamity where the country was attacked by the plague of locusts. Spain as a country went to bankruptcy, leaving starving farmers and villagers to poverty. Therefore, John and his two brothers - Francisco and Luis - were born into poverty. His father’s death was followed by Luis who died from malnutrition. His mother tried to ask help from his father’s family but she was dismissed cruelly by her in-laws.
Religious Life:
John learned his basic education of reading and writing through vocational school for the orphans. During his adolescence years, he left the orphanage school and went to live in the Hospital of the Conception where he devoted his times to the victims of the plague and venereal diseases. Afterwards, as an exchange of his nursing services, he was allowed to attend the local Jesuit college. John who was naturally intelligent studied Latin, Greek, rhetoric, Spanish classics and religion. Instead of choosing to be promoted as the hospital Chaplain, he chosen to be growing in love for solitude. As a result, he then decided to enter the religious Order of Carmelite. He took the religious name of Fray Juan De Santo Matía. He was sent by the Carmelites order to study at the University of Salamanca, the finest European university at the time.
Friendship with St. Teresa of Avila:
Toward the end of his religious study, he almost decided to entering the Carthusian monastery where he thought he can practiced his life of solitude. When he finally became ordained into a Carmelite priest and did his first Mass in Medina del Campo, he met Teresa of Avila.
Attempting to leads her nuns back to the original rules of the order, community life, fasting, silence, poverty, and prayer, Teresa founded a renewed monasteries for the Order Carmelite of Discalced (OCD). Discalced means “without shoes” or “barefoot”. To balance their daily living, Teresa incorporated period of recreation into the rule so that the nuns have more time to pray, talk, work and rest.
When Teresa of Avila met John, she knew she has founded a leader to started the OCD community for men who in search of solitude living. While John considered Teresa as his mentor for she is 27 years of his senior, Teresa recognized John as her spiritual director. Finally accompanied by another friar, John started the new discalced men community at Duruelo, outskirts of Avila. He took a new religious name as Juan de la Cruz, or John the Cross in English. The rest was history. More and more young men started joining John in his new reformed Carmelite order.
Transfiguration in Toledo:
The reformed that was originally supported by some leaders in the Carmelite Order became a source of disagreement and anger amongst some of the friars. The devil works through the human’s jealousy and created tension among the Carmelites. After a brief meeting, they decided and condemned the reform movement; thus, John was identified as a rebel within the Carmelites.
John was then arrested by his own Carmelite brothers and was imprisoned in Toledo at the height of cold winter on December 2, 1577. He was flogged, starved and told to forsake his rebellious commitment and to return to the old style of primitive living rules of the Carmelite.
God speaks to John in the nights, he was transfigured in Toledo. The endurance of nine months of sufferings transformed John into his dark nights. Then, at his stark of emptiness, images flowed from the depths of his soul. He poured all of these into his poetic masterpiece, “The Dark Night of the Soul”, and “The Spiritual Canticle.” He encountered God’s separation and yet His Divine Love from a distance. Through God’s mercy and John’s perseverance, he was able to escape and hid in one of the OCD nuns convent in Toledo. The poems he wrote during his imprisonment became the Spanish Poet masterpiece. John of the Cross was truly a mystic, poet, theologian and a master of spiritual direction.
John the Cross Spirituality
The followings are the central themes of John teachings:
“On Fire with Love”, passion for God’s Love. A willingness response to overwhelming the presence of Divine love in our life.
“Compassion for the Poor & the Sick”, his earlier service in hospital for caring for the poor and sick people has made him a person with compassionate heart Christlike.
“Sensitivity to Spiritual needs”, John felt that people were best served through a gentle direction that drew everyone to love God.
“Detachment”, in order to love God’s completely, ones need to detach his or her life from all earthly things. This purification will leads the dark night of the senses and eventually the dark night of the soul.
“ Humility”, being humble is the key of all spiritual enrichment.
“Trust in God”, the need of trusting God’s Providence completely.
“Love of Solitude”, Being in solitude will nourish one’s spiritual strength and intimacy with God.
“Devotion to Mary”, Marian Consecration is a need for getting into eternal life.
John the Cross lived a full life, and finally at the age of 49, he died on December 14, 1591 in Ubeda. He was declared as a saint in 1726 and later on, St. John the Cross was proclaimed as a Doctor of the Church by Pope Pius XI. Through his life, writing and teaching, St. John the Cross repeatedly declared that God’s Love is meant for all mankind and our life is a continuous love story with God who inviting us for a deeper Union with Him.
Senior Citizen
‘Innocence until proven guilty..’
As a senior citizen was driving down the motorway, his car phone rang.
Answering, he heard his wife’s voice urgently warning him. “ Victor, I just heard on the news that there is a car going the wrong way on 1-25. Please be careful.”
“ Hell,” said Victor, “It’s not just one car. It’s hundred of them!”
Steadfast Love
In every year this month we celebrate Thanksgiving Day. Let us express our gratitude and thankfulness for all the goodness of God, and sounding it in our deepest heart as we walk our daily lives through.
“Grateful and Thankful”
“You have given all to me”
What to thank for this Thanksgiving? Hhhmmmm……. A lot!
In Suscipe prayer from St Ignatius; “You have given all to me”….. this is what I thank for, daily.
A highlight for this year: God knows what I lack, ‘communicating with Him heart to heart’.
Therefore, He sends me a little book thru His ‘Angel’ to help me to practice.
And thru WKICU Ignatian Spiritual Exercise with romo Mahar, in one of his meditation guidance is to present ourselves to Jesus, our God. Let Him do the talking and examination . It’s the other way around what I always do in prayers. What a huge impact!
I am grateful and thankful!
Thank you WKICU community !
-Metanoia-
My Thankful Heart
This thanksgiving,
I am thankful for the health that God has given me and my family.
Also thankful for everyone that has sacrificed their time helping WKICU as a community.
May God always give His abundant grace
for them and their family
Amen.
HM-
For Thy is The Kingdom and The Power and The Glory
A blind man granted his sight ..
And a leper cured, as you touched
A crippled walk, as you set him free
And a sinner pardoned, unpunished she
O Lord thank you
For letting me see and pardon me
Holding my hands and walk with Thee
Be our light day and night
Shine in our hearts, shine through the darkness.
O Lord thank you for your eternal blessings
For me to wake up every morning and my eyes see
For every breaths I take and know I am free
Teach me how to bend my heart and knees
For Thy is the Kingdom, the Power and the Glory.