Romo Kodok melawan Romo Rajawali
“ .. di mana posisi saya sebagai seorang Imam Katolik? “
Tanggal 8 Juni, 2022 adalah tiga tahun peringatan tahbisan Imamat saya. Tiga tahun adalah sebuah rentang waktu yang tidak terlalu lama tapi juga tidak terlalu singkat untuk merenungkan makna tahbisan Imamat di tengah dunia yang terus berubah. Belum lama berselang, seorang teman lama saya menulis essay di substack-nya bejudul “Romo Kodok.” Essay teman lama ini membuat saya merenung lebih panjang dan mendalam tentang makna tahbisan imamat saya, khususnya pada tahun ini. Pada intinya teman saya ini menulis bahwa saat ini Gereja Katolik hidup dalam gelombang revolusi sosial dan kultural yang luar biasa, dan Gereja seperti terjepit di tengah – tengah. Di sisi lain, Gereja Katolik juga mengalami kebangkrutan moral karena skandal pelecehan seksual.
Kemunculan Romo Kodok
Di tengah situasi yang tidak menentu ini, para Imam Gereja Katolik seperti kehilangan arah. Teman saya ini membagi para Imam dalam beberapa kategori. Kategori pertama adalah kelompok Imam Spiritualis - Motivator, dimana mana para Romo berlomba – lomba menjadi motivational speaker. Hasilnya adalah umat yang termotivasi mencari untung dan lupa Tuhan. Teologi mereka adalah teologi sukses -- kalau bisa, kaya raya di dunia dan kalau mati masuk surga juga.
Kelompok kedua adalah para Imam spiritualis murni. Para Romo di kelompok ini fokus nya adalah berdoa, bermeditasi, dan mencari kedamaian dalam hening dan menutup diri dari dunia. Hasilnya adalah dunia tenang dan damai untuk diri sendiri dan sejumlah pengikut mereka. Akan tetapi mereka tidak peduli terhadap apa yang terjadi di dunia yang berantakan.
Kelompok ketiga adalah para Imam pelawak, yang strategi utamanya adalah menyisipkan ajaran iman dengan gelak tawa ala Srimulat atau Ketoprak Humor. Yang penting adalah umat tertawa dan senang, dan tidak peduli apakah mereka punya hubungan dengan Tuhan atau sesamanya atau tidak.
Kelompok keempat adalah para Imam ngepop, yang tampil nyentrik dengan ikat kepala dan kain, atau berusaha melakukan hal – hal yang masuk dalam budaya populer, mulai dari angkat besi, panjat tebing, nge-band, dan sebagainya. Hasilnya susah membedakan antara seorang Imam dengan body builder, atau rockstar vocalist ataupun dukun.
Kategori terakhir adalah tipe Imam Katolik yang khusus, yakni mereka yang menjadi politisi tanpa mengaku sebagai politisi. Mereka menjual kredensial imamatnya untuk memajukan kepentingannya sendiri. Dia menjadi sangat partisan – maju tak gentar membela yang bayar atau berjuang sampai titik darah penghabisan membela yang kaya dan berkuasa. Oleh teman saya, kelompok Imam Katolik ini dia sebut sebagai kelompok Romo Kodok, yaitu para Romo yang bernyanyi ketika hujan dan banjir, hanya untuk membuat junjungannya bersinar.
Dalam tahbisan Imamat saya yang ketiga, saya pun merenung – renung apakah saya masuk ke dalam satu kategori yang disebut oleh teman saya itu. Dengan segala kerendahan hati, saya pikir saya belum terjerumus dalam satu kategori mana pun. Saya akan terus berdoa dan memohon doa agar saya jangan terjebak ke dalam satu kelompok manapun.
Pertanyaan yang lebih mendalam adalah kalau saya tidak masuk ke dalam kategori Imam yang disebut oleh teman saya tersebut, di mana posisi saya sebagai seorang Imam Katolik?
Menjadi Romo Rajawali
Belum lama berselang, saya mengunjungi Basilica of St. Mark di kota Venezia. Tour guide yang membimbing kita menjelaskan banyak tentang sejarah Gereja. Satu hal yang menarik adalah dia menunjukkan lambang Rajawali atau Eagle yang terpampang di Basilica dan menjelaskan bahwa Rajawali itu ada lambang dari Yesus Kristus. Saya sendiri baru mendengar pertama kali bahwa Yesus di lambangkan sebagai Rajawali, karena sependek pengetahuan saya, Rajawali itu adalah lambang dari Santo Yohannes Penginjil. Sang tour guide ini menjelaskan bahwa Rajawali adalah lambang dari keselamatan dan kebangkitan Yesus Kristus. Rajawali yang terbang tinggi adalah perlambang bahwa Yesus dengan kebangkitannya ingin mendorong kita umat Katolik untuk terbang tinggi dengan Iman kita, kalau kita membiarkan diri kita dibimbing oleh Roh Kudus.
Salah satu konsep penting dalam Gereja Katolik adalah konsep In Persona Christi, yang bisa diterjemahkan sebagai “dalam diri manusia Kristus.” Konsep ini merujuk pada tseorang Imam yang bertindak dalam diri manusia Kristus. Atau dengan kata lain, seorang Imam seharusnya bertindak dalam kapasistasnya sebagai Manusia Kristus. Konsep ini sejatinya dipakai dalam konteks Sakramen, dimana Imam bertindak melalui penampilan gerak badan dan pengucapan kata – kata dalam upacara Sakramen sebagai Manusia Kristus. Akan tetapi saya pikir, konsep ini bisa dipakai secara umum, khususnya dalam tindakan Imam secara umum.
Jikalau Kristus dilambangkan sebagai Rajawali, maka para Imam Katolik seharusnya juga bertindak ibarat Romo Rajawali yang bisa bertindak dengan grace and strength (rahmat dan kekuatan). Jadi daripada menjadi Romo Kodok, lebih baik para Imam Katolik berusaha menjadi Romo Rajawali. Bagaimana karakter Romo Rajawali ini?
Pertama, Romo Rajawali adalah Imam Katolik yang tidak mencari kehormatan atau tempat yang tinggi, baik itu melalui kekuasaan ataupun kedekatan dengan orang kaya dan berkuasa. Di samping tidak mencari kehormatan, seorang Rajawali juga tidak terikat pada materi, sehingga tidak ada kebutuhan mencari setoran ataupun stipendium. Dalam konteks ini, Romo Rajawali juga harus siap menghadapi penghinaan, kecaman, kritikan ataupun penolakan, termasuk dari umat sendiri. Ketangguhan mental seperti ini diperlukan oleh para Imam Katolik dalam menghadapi kehidupan bergereja yang sudah terancuni oleh mentalitas konsumerisme ataupun orientasi pasar.
Salah satu hal yang saya amati dalam tiga tahun terakhir adalah kecenderungan sejumlah umat untuk mencari kepuasan dalam kehidupan bergereja. Sebagai contoh, Imam pelawak yang disebut oleh teman saya itu sebenarnya muncul karena permintaan pasar. Banyak para Imam yang berlomba – lomba untuk menjadi lucu – lucuan karena para umat juga berlomba – lomba mencari Imam yang hebat melucu atau melawak. Suatu ketika saya menawari untuk mendampingi kelompok Usia Lanjut yang kesepian karena tidak bisa beraktifitas normal di Gereja. Bukannya berterima kasih malah mereka menolak saya mentah – mentah dengan alasan bahwa “Romo Hendri itu orangnya tidak ramah.” Saya pun bertanya kenapa saya dibilang tidak ramah, apakah karena saya tidak menegur umat atau tidak ingat nama mereka. Jawabannya adalah “oh itu karena Romo Hendri selalu serius ketika berkhotbah.” Tentu saja saya hanya bisa miris mendengar kritikan seperti ini; pertama, kritik itu menggunakan logika yang patah karena serius dan tidak ramah adalah dua kata sifat yang berbeda dan bukan sinonim. Kedua, ketika berkotbah, tentu saja saya tidak akan melawak karena khotbah pada misa bukanlah tempatnya untuk melawak melainkan kesempatan untuk merenungkan Sabda Allah.
Kembali ke mental konsumerisme. Sejumlah umat yang merasa ingin terpuaskan pun akan selalu gampang komplain terhadap Romo, mulai dari liturgi, musik, khotbah, atau pun hal lainnya. Ibaratnya konsumen yang tidak terpuaskan, para umat pun akan kabur atau hengkang ke gereja lain kalau permintaannya tidak terpenuhi atau terlayani. Sementara para Romo pun ketakutan kehilangan umatnya dan berusaha untuk sedapat mungkin memenuhi permintaan umatnya. Ketika saya masih bertugas sebagai diakon, sejumlah umat komplain karena ada seorang Romo Pembantu yang khotbahnya terlalu panjang. Sang Romo Paroki pun langsung menanggapi komplain itu dengan memasang jam di altar, supaya para Romo dan Diakon melihat waktu pas khotbah. Romo Paroki pun segera berbicara kepada umat dan memastikan bahwa komplain mereka telah didengar. Di tengah situasi ber-gereja seperti ini, tentu akan sulit bagi para Romo untuk berkarya karena selalu ada desakan untuk memperhatikan kepuasan umat, entah itu hanya kepuasan sesaat atau pun individualistik. Meski demikian seorang Rajawali harus terus maju tak gentar membela yang benar, dan bukan membela yang bayar.
Kedua, Romo Rajawali juga harus terus belajar dan menambah ilmu sehingga bisa terus “terbang tinggi” ibarat seekor Rajawali. Para Romo harus terus belajar dan menambah ilmu karena situasi kehidupan ber-gereja saat ini diperumit dengan banjirnya arusnya informasi melalui internet dan media sosial, dimana banyak umat yang merasa sudah menguasai punya pengetahuan mumpuni hanya dengan mendengarkan video youtube atau google. Sebagai generasi X, saya dididik untuk belajar dari buku ataupun printed materials. Jadi saya harus ke perpustakaan untuk mencari edisi Latin, Civita Dei, Santo Agustinus. Atau saya harus menabung dulu untuk membeli buku satu set lengkap Summa Theologiae Santo Thomas Aquinas. Untuk mendalami makna Kitab Suci, saya harus membuka Bible commentary dan meneliti maksud pengarang terhadap ayat – ayat tersebut. Sekarang umat Katolik tidak perlu menunggu buku dari Roma atau pun ke perpustakaan di University of Notre Dame. Dengan kemudahan akses informasi dan kecepatan dunia digital, umat Katolik bisa berpikir seperti Santo Thomas Aquinas dari Senin sampai Kamis, kemudian Jumat- Sabtu menjadi Santo Agustinus dan pada hari Minggu menjadi ahli kitab suci. Saat ini umat Katolik bisa menjadi ahli teologi dalam berbagai macam gaya, dalam sembarang aliran dan dengan pendekatan apapun hanya bermodalkan smart phone.
Dalam situasi ini para Romo harus bersaing dengan umat yang merasa pintar. Suatu ketika dalam sebuah misa, saya berkhotbah tentang Kitab Kedua Raja Raja, cerita tentang Naaman yang terkena kusta dan disuruh oleh Nabi Elisah untuk berendam di sungai Jordan. Saya mencoba menjelaskan bahwa setelah dia sembuh, Naaman sang Jenderal dari Kerajaan Aram itu memberikan pernyataan iman tentang keunggulan Tuhan bangsa Israel yang monotheis melawan Polyteisme dari musuh – musuh Israel. Setelah misa, seorang umat menghampiri saya dan langsung mengkritik bahwa Naaman itu dari Syria dan bukan Aram. Kalau saja umat satu ini benar – benar mendalami sejarah kitab suci, dan bukan hanya belajar dari youtube, dia tentu tahu bahwa Aram dan kerajaan Syria itu adalah sama. Saya mencoba menjelaskan dengan sabar, tapi orang ini tidak berhenti dan terus melancarkan kritik baru bahwa khotbah saya tentang monotheisme Israel itu juga salah, karena mereka sebenarnya Israel itu adalah henotheisme. Dengan sabar saya pun menjelaskan bahwa betul ada teori bahwa bangsa Israel pada jaman Musa itu memeluk henoteisme, tapi para ahli kitab suci sendiri masih berdebat tentang kebenaran teori itu. Kisah Nabi Musa itu sekitar abad 13-14 Sebelum Masehi, sementara saya berkhotbah tentang Nabi Elisha yang waktunya adalah sekitar abad ke 8-9 Sebelum Masehi. Ya begitulah realitas hari ini, kita para Romo harus bersaing ilmu dengan umat Katolik 4.0 yang belajar dari google dan youtube.
Menjadi Romo Rajawali adalah sebuah aspirasi; saya sendiri belum berani mengatakan saya sudah menjadi seorang Romo Rajawali. Dalam kurun tiga waktu terakhir, saya masih banyak belajar, dan dalam menulis renungan ini, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa saya lebih baik dari Romo – Romo lain. Saya hanya bisa berdoa dan memohon doa dari banyak pihak agar saya tidak menjadi Romo Kodok dan bisa terbang tinggi menjadi Romo Rajawali.
S. Hendrianto, SJ
Immersed in Prayer
Mathematically speaking, the only logical answer would be when her will is equal to His will, which would only be possible if she completely surrendered her will and submitted to Him.
Immersed in Prayer
She was immersing herself in the hot water in a quiet morning when three generations of females entered the onsen. Even though she tried to keep to herself, she couldn’t help but notice the young girl, her mother, and her grandmother. Two things caught her attention. The young girl’s smooth porcelain skin, the mother’s well-maintained appearance and yet the onset of aging was apparent, and the grandmother’s deep lines and wrinkles. And their dispositions were noticeably different. The young girl was lively and chatty, the mother refined and eloquent, and the grandmother serenely paying attention and occasionally chimed in the conversation.
The three generations made interesting contrasts - the evolving physical, mental, and perhaps intellectual progress was clear to see. No one could stop the deterioration of the physique over time, regardless of what one does. Most would develop mentally and intellectually, as one learns from and goes through education and life experiences. The girl has noticed the evolution in herself. Those were exterior, visible, and observable. Then a thought crossed her mind. How about the invisible, the deeper self? Would there be growth in the interiority as well?
Somehow, she could not put down the thought and started pondering about her faith and prayer. Especially her struggle in understanding free will and God’s will. She was taught that man has free will; and yet “Thy will be done” was also imparted and repeated often in prayers. The peculiar dichotomy.
She remembered praying as a child and adolescent, petitioning for certain favors, such as getting good grades for her exams, requesting presents for her birthdays, wishing for a certain boy to notice her, et cetera. She was praying and expecting that her prayers would be granted. And to increase the odds, she would promise to be good and try to be super nice and helpful to her family and friends. It was always about her will, and she was bargaining and buying grace. It did not occur to her that God has will. The conversation was a one-way street. Her speaking, Him listening.
Slowly she learned that she did not always get what she asked for. And occasionally, she learned to accept when people reminded her that maybe a certain outcome was not God’s will. Such as when her childhood best friend was diagnosed with leukemia. As a mature adult, she prayed hard and prayed for intercessions, and her friend’s leukemia was cured. She was elated. God was good, and He answered her prayer. When cancer recurred six years later, she prayed harder and added Novenas and weekly fasting while reciting “Thy will be done.” Perhaps it was more in the lips than in the heart, for she was devastated when her friend passed on. Even though she could accept that it was God’s will, and it was best for her friend, she could not help but question the contradiction of her will versus His will.
How could this paradox ever be resolved? Mathematically speaking, the only logical answer would be when her will is equal to His will, which would only be possible if she completely surrendered her will and submitted to Him. If she totally believed that He knows her better than she knows herself, that He loves her more than she loves herself, that His ways are higher than hers. Ceding control. Willingness to enter the unknown. Complete trust. Complete faith. Like Jesus on the Cross. Was that even possible?
Her thoughts were interrupted by their laughter. The young girl’s gullible chuckle and the grandmother’s gentle laugh. Her eyes were drawn to the grandmother’s wrinkled face. A face that has seen and lived through a bountiful of joys and sorrows. A wise, peaceful soul. Perhaps it is possible. (RS).
*onsen = Japanese hot spring
(Translation in Bahasa Indonesia)
Tenggelam dalam Doa
Seorang wanita membenamkan dirinya di air panas di pagi yang tenang ketika tiga wanita dari tiga generasi berbeda memasuki onsen. Meskipun dia mencoba untuk tidak memperhatikan, dia tidak bisa tidak memperhatikan gadis muda itu, ibunya, dan neneknya. Ada dua hal yang menarik perhatiannya. Kulit porselen halus gadis muda itu, penampilan sang ibu yang terpelihara dengan baik namun permulaan penuaan tampak jelas, dan garis-garis dalam dan kerutan sang nenek. Dan disposisi mereka sangat berbeda. Gadis muda itu lincah dan cerewet, ibunya halus dan fasih berbicara, dan neneknya dengan tenang memperhatikan dan kadang-kadang menimpali dalam percakapan.
Tiga generasi membuat kontras yang menarik - kemajuan fisik, mental, dan mungkin intelektual yang berkembang jelas terlihat. Tidak ada yang bisa menghentikan kerusakan fisik dari waktu ke waktu, terlepas dari apa yang dilakukan. Sebagian besar akan berkembang secara mental dan intelektual, ketika seseorang belajar dari dan melalui pendidikan dan pengalaman hidup. Gadis itu telah memperhatikan evolusi dalam dirinya. Itu adalah eksterior, terlihat, dan dapat diamati. Kemudian sebuah pikiran terlintas di benaknya. Bagaimana dengan yang tak terlihat, diri yang lebih dalam? Akankah ada pertumbuhan dalam interioritas juga?
Entah bagaimana, dia tidak bisa mengesampingkan pikiran itu dan mulai merenungkan tentang iman dan doanya. Terutama perjuangannya dalam memahami kehendak bebas dan kehendak Tuhan. Dia diajari bahwa manusia memiliki kehendak bebas; namun "Jadilah kehendak-Mu" juga disampaikan dan sering diulang dalam doa. Dikotomi yang khas.
Dia ingat berdoa sebagai seorang anak dan remaja, memohon bantuan tertentu, seperti mendapatkan nilai bagus untuk ujiannya, meminta hadiah untuk ulang tahunnya, berharap seorang anak laki-laki memperhatikannya, dan lain-lain. Dia berdoa dan berharap doanya akan dikabulkan. Dan untuk meningkatkan peluang, dia akan berjanji untuk menjadi baik dan berusaha menjadi sangat baik dan membantu keluarga dan teman-temannya. Itu selalu tentang keinginannya, dan dia menawar dan membeli anugerah. Tidak terpikir olehnya bahwa Tuhan memiliki kehendak. Percakapan adalah jalan satu arah. Dia berbicara, Dia mendengarkan.
Perlahan dia belajar bahwa dia tidak selalu mendapatkan apa yang dia minta. Dan terkadang, dia belajar menerima ketika orang mengingatkannya bahwa mungkin hasil tertentu bukanlah kehendak Tuhan. Seperti ketika sahabat masa kecilnya didiagnosis menderita leukemia. Sebagai orang dewasa yang matang, dia berdoa dengan sungguh-sungguh dan berdoa untuk syafaat, dan leukemia temannya disembuhkan. Dia sangat gembira. Tuhan itu baik, dan Dia menjawab doanya. Ketika kanker kambuh enam tahun kemudian, dia berdoa lebih keras dan menambahkan Novenas dan puasa mingguan sambil membaca "Jadilah kehendak-Mu." Mungkin itu lebih di bibir daripada di hati, karena dia hancur ketika temannya meninggal. Meskipun dia bisa menerima bahwa itu adalah kehendak Tuhan, dan itu yang terbaik untuk temannya, dia tidak bisa tidak mempertanyakan kontradiksi antara kehendaknya dengan kehendak-Nya.
Bagaimana paradoks ini bisa diselesaikan? Secara matematis, satu-satunya jawaban logis adalah ketika kehendaknya sama dengan kehendak-Nya, yang hanya mungkin jika dia sepenuhnya menyerahkan kehendaknya dan tunduk kepada-Nya. Jika dia benar-benar percaya bahwa Dia mengenalnya lebih baik daripada dia mengenal dirinya sendiri, bahwa Dia mencintainya lebih dari dia mencintai dirinya sendiri, bahwa jalan-Nya lebih tinggi daripada miliknya. Kontrol penyerahan. Kesediaan untuk memasuki yang tidak diketahui. Kepercayaan penuh. Iman yang lengkap. Seperti Yesus di Kayu Salib. Apakah itu mungkin?
Pikirannya terganggu oleh tawa mereka. Tawa gadis muda yang mudah tertipu dan tawa lembut sang nenek. Matanya tertuju pada wajah nenek yang keriput. Wajah yang telah melihat dan menjalani banyak suka dan duka. Jiwa yang bijaksana dan damai. Mungkin itu mungkin. (RS).
*onsen = pemandian air panas Jepang
Santa Rita dari Cascia
Santa Pelindung akan kasus-kasus yang mustahil, serta pernikahan yang sulit.
St. Rita of Cascia
Patron Saint of Lost and Impossible Causes and Difficult Marriages
Hari Raya: 22 Mei
Pelindung: kasus-kasus yang mustahil, pernikahan yang sulit.
Kelahiran: 1381, Kematian: 1472
Beatifikasi: oleh Paus Urbanus VII pada tahun 1627
Dikanonisasi: oleh Paus Leo XIII pada 24 Mei 1900
Gambar St. Rita
Santa Rita lahir sebagai Margherita Lotti di Roccaporena, Italia pada tahun 1381. Sehari setelah pembaptisannya, Rita dikelilingi oleh segerombolan lebah putih, yang masuk dan keluar dari mulut bayinya tanpa menyakitinya. Alih-alih khawatir, keluarganya percaya bahwa dia ditandai sebagai orang yang berbudi luhur dan berbakti kepada Tuhan.
Pada usia dini, dia memohon kepada orang tuanya untuk mengizinkannya masuk biara tetapi malah diatur untuk menikah dengan pria kejam bernama Paolo Mancini. Rita muda menjadi seorang istri dan ibu pada usia dua belas tahun dan suaminya adalah pria yang pemarah. Dalam kemarahan, ia sering menganiaya Rita secara verbal dan fisik. Dia juga dikenal mengejar wanita lain dan dia memiliki banyak musuh.
Paolo memiliki banyak musuh di Cascia, tetapi pengaruh Rita terhadapnya akhirnya membawanya menjadi pria yang lebih baik. Dia bahkan meninggalkan perseteruan keluarga antara Mancini dan Chiquis. Sayangnya, perseteruan antara keluarga Mancini dan Cascia semakin bergejolak sehingga Paolo dikhianati terbunuh oleh salah seorang sekutunya sendiri.
Setelah kematian suaminya, Rita memberikan pengampunan publik kepada pembunuhnya, tetapi saudara laki-laki Paolo, Bernardo, masih marah dan mendorong kedua putra Rita, Giovanni Antonio dan Paulo Maria, untuk bergabung dalam permusuhan. Di bawah kepemimpinan paman mereka, kedua anak laki-laki Rita menjadi lebih seperti ayah mereka sebelum Rita menikah dengannya, dan mereka ingin membalas pembunuhan ayah mereka.
Rita berusaha menghentikan mereka, tetapi kedua putranya bertekad untuk membalas dendam kematian ayah mereka. Rita berdoa kepada Tuhan, meminta Tuhan untuk mengambil anak-anaknya sebelum mereka kehilangan jiwa mereka oleh karena dosa besar pembunuhan. Satu tahun kemudian, doanya terkabul ketika kedua putranya terkena disentri dan meninggal.
Setelah kematian putra-putranya, Rita berusaha memasuki biara Santa Maria Magdalena di Cascia, tetapi dia tidak diizinkan untuk bergabung. Meskipun karakter dan kesalehan Rita diakui, hubungan suaminya dengan perseteruan keluarga sangat ditakuti.
Ketika Rita bersikeras, biara memberitahunya bahwa dia bisa bergabung jika dia bisa menemukan cara untuk memperbaiki luka antara Chiquis dan Mancini. Setelah meminta Yohanes Pembaptis, Agustinus dari Hippo, dan Nicholas dari Tolentino untuk membantunya dalam tugasnya, dia berusaha untuk mengakhiri perseteruan. Wabah pes telah menyebar ke seluruh Italia pada waktu itu, dan ketika Bernardo Mancini terinfeksi, dia akhirnya menghapus perseteruan dengan keluarga Chiqui.
Setelah konflik diselesaikan, Rita diizinkan masuk biara pada usia tiga puluh enam tahun. Dikatakan bahwa dia diangkut ke biara Santo Magdalena melalui pengangkatan pada malam hari oleh tiga santo pelindung yang dia undang.
Selama di biara, Rita menjalankan tugasnya dengan setia dan sering menerima sakramen. Rita memiliki pengabdian yang besar pada Sengsara Kristus, dan suatu hari, ketika dia berusia enam puluh tahun, dia bertanya, "Tolong biarkan aku menderita sepertimu, Juru Selamat Ilahi."
Setelah permintaannya, luka muncul di dahinya, seolah-olah duri dari mahkota Kristus telah menusuknya. Itu meninggalkan luka yang dalam, yang tidak sembuh-sembuh, dan itu menyebabkan dia menderita sampai hari dia meninggal.
Dikatakan bahwa saat dia mendekati akhir hidupnya, Rita terbaring di tempat tidur karena TBC. Saat itulah dia meminta seorang sepupu yang datang berkunjung untuk mengambil mawar dari taman di rumah lamanya. Karena saat itu bulan Januari, sepupunya tidak berharap akan menemukan bunga mawar, tetapi ternyata memang ada satu bunga mawar yang sedang mekar, yang kemudian dibawa kembali ke Rita di biara.
Dia meninggal empat bulan kemudian, pada 22 Mei 1457.
Setelah kematiannya, dia dimakamkan di basilika Cascia, dan kemudian ditemukan tidak rusak. Tubuhnya dapat ditemukan hari ini di kuil Saint Rita di Cascia.
Rita dibeatifikasi oleh Paus Urbanus VIII pada 1627 dan dikanonisasi oleh Paus Leo XII pada 24 Mei 1900.
Saint Rita sering digambarkan dalam kebiasaan hitam, yang secara historis tidak akurat karena seragam biarawati di Biara Saint Magdalena adalah warna krem atau cokelat. Dia juga sering ditampilkan memegang duri, Salib besar, atau daun palem dengan tiga duri untuk mewakili suami dan dua putranya. Dalam beberapa gambar, Saint Rita terlihat memiliki luka di dahinya, memegang bunga mawar, atau dikelilingi lebah.
Doa untuk Santa kasus-kasus Mustahil
O St. Rita yang luar biasa, pembuat mukjizat, dari tempat kudus-Mu di Cascia, di mana dalam segala keindahanmu engkau tidur dalam damai, di mana relikmu menghembuskan nafas surga, arahkan mata belas kasihmu kepadaku yang menderita dan menangis!
Engkau melihat hatiku yang malang yang berdarah dikelilingi oleh duri-duri. Engkau melihat, O Orang Suci yang terkasih, bahwa mataku tidak memiliki air mata lagi untuk ditumpahkan, begitu banyak aku menangis! Lelah dan putus asa seperti saya, saya merasakan doa yang sangat sekarat di bibir saya.
Haruskah saya putus asa dalam krisis hidup saya ini? O datang, St. Rita, datanglah untuk membantu saya dan membantu saya. Bukankah engkau disebut Orang Suci dari Kemustahilan, Pembela mereka yang putus asa? Maka hormatilah nama-Mu, berikan untukku dari Allah perkenanan yang aku minta.
[Di sini minta bantuan yang ingin Anda dapatkan.]
Semua orang memuji keagungan-Mu, semua orang menceritakan mujizat paling menakjubkan yang dilakukan melalui-Mu, haruskah aku sendiri kecewa karena Engkau tidak mendengarku? Ah tidak! Berdoalah kemudian doakan aku kepada Tuhanmu Yesus yang manis agar Dia tergerak untuk kasihan dengan masalahku dan agar, melaluimu, O St. Rita yang baik, aku dapat memperoleh apa yang sangat diinginkan hatiku.
Diterjemahkan dari https://www.catholic.org/saints/saint.php?saint_id=205
On Mother's Day....
Happy Mother’s Day to all mothers in the World.
God bless you and always be with you..
Dear Mother Mary,
Thank you for always be present in my life and be a faithful mediator between your humble/sinful daughter and your almighty son, our savior and Lord, Jesus Christ.
To my mother,
Thank you for your unconditional love regardless of all of my shortcomings. As I grow older, I feel closer to you as we have become more like friends who often exchange ideas, vent out our frustrations, etc. which I appreciate and treasure! I love you always!
Your daughter!
Notes on Mother’s Day
Words can’t express enough our gratitude for our mothers.
Yet we still try, here are some…
Mother Mary,
Thank you for showing me how to have a heart full of love and humility. Please pray for us, especially all the mothers.
•••••••
Bunda Maria, Engkaulah Bunda spiritual kami.
Doakanlah, dan dengarkanlah doa semua mothers di dunia, terutama mereka yang sedang mengandung, agar tetap menjaga anak dalam kandungan mereka sampai lahir dengan sempurna. Seperti engkau sendiri telah memberikan teladan yang terbaik.
Terima kasih dan syukur atas segala kasih dan penyertaanMu dalam hidup kami dan hidup semua orang yang terdekat dengan kami.
Terpujilah Engkau di antara wanita dan terpujilah Buah TubuhMu Yesus. Amin.
•••••••
Kepada ibuku,
Ibu, maafkan aku, anakmu yang tidak bisa mencintaimu sedalam kamu mencintai aku.
Kepada bunda Maria,
Bunda Suci, ijinkan aku meminjam hati sucimu, agar aku memiliki kerendahan hati, kesabaran, kelembutan dan ketabahanmu, dalam ketaatan dan kesetiaan kepada Allah Bapa di Surga.
Cinta Yesus Kepada Kita Semua
Memasuki masa Paskah di tahun 2022 ini, marilah kita bersama-sama merenungkan apakah makna cinta Yesus kepada kita semua dengan menyimak rekaman Latihan Rohani/ Ignatian Spiritual Exercise sesi ke-7 (terakhir) yang di bimbing oleh Romo Mutiara Andalas, SJ berikut ini.
Happy Easter 2022
He is Risen..!
We were buried therefore with him by baptism into death, so that as Christ was raised from the dead by the glory of the Father, we too might walk in newness of life
Cobaan selama Prapaskah 2022
Janganlah pernah meragukan rencana-Nya! Selalu percaya lah kepada-Nya karena Dia selalu menyediakan segalanya dan tidak pernah membiarkan siapa pun melewati cobaan sendirian karena Dia selalu bersama kita semua! Amen !
Dalam masa masa Pra-Paskah tahun ini, tepatnya pada tanggal 17 Maret 2022 yang baru lalu, saya menerima sebuah tuntutan pengadilan atas sebuah insiden yang terjadi di bulan Oktober 2018. Dalam tuntutan itu, yang dituduhkan kepada saya adalah melakukan perampokan, membobol masuk, dan melanggar kontrak leasing. Tetapi saya berkeyakinan bahwa dari semua tuduhan itu, satu-satunya kesalahan yang telah saya lakukan adalah pelanggaran kontrak. Itupun dikarenakan sang pemilik rumah telah melanggar perjanjian sewa terlebih dahulu dengan membatasi akses saya ke tempat itu dengan tidak memberikan semua kunci kepada saya. Hal itu menyebabkan saya tidak dapat mengakses barang-barang pribadi dan area umum saya. Itu terjadi tiga kali dalam dua bulan saya tinggal di kediaman itu. Selain itu, saya berulang kali dituduh mencuri dan dimarahi oleh pemiliknya. Semua itu membuat saya mengalami kekhawatiran dan stress yang terus-menerus, sehingga saya akhirnya mencari seorang penasihat hukum. Atas nasihat pengacara hukum, saya memutuskan untuk pindah dari kediaman itu demi kesejahteraan dan kesehatan mental saya. Sejak itu saya tidak pernah kembali ke kediaman sejak itu.
Setelah menerima gugatan itu, saya terus berdoa meminta bimbingan Tuhan serta lewat sang pengacara. Pengacara saya meyakinkan saya bahwa tuduhan perampokan dan melanggar dan memasukkan klaim telah melewati masa pembatasan tiga tahun. Satu-satunya klaim yang layak adalah pelanggaran kontrak; namun karena karena faktor perilaku mengerikan sang pemilik property, ada argumen yang harus dibuat.
Saya akan diadili di tengah Pekan Suci pada 12 April, yakni 2 hari sebelum Kamis Agung. Saya menganggapnya sebagai tanda berkat karena hampir sejajar dengan awal penderitaan Tuhan Yesus; saya merasa seperti memikul salib bersama-Nya. Sebelum hari pengadilan, saya diberi doa pembebasan oleh salah satu tante saya yang menyatakan, "Darah Yesus Kristus yang Mahakudus, selamatkan saya (kita) dan seluruh dunia." Saya disarankan oleh tante saya untuk membaca ini terus menerus serta berdoa Salam Maria. Saya mengikuti nasihatnya dalam hati dan berdoa Rosario selain melakukan doa hening 20 menit setiap hari. Saya juga berdoa doa perlindungan Malaikat Agung St. Michael, berdoa doa tindakan pentahbisan kepada roh kudus, berdoa Novena penyerahan diri pada kehendak Tuhan oleh Pastor Don Dolindo Ruotolo, dan berdoa doa untuk tujuh karunia roh kudus. Saya juga berdoa kepada malaikat penjaga saya, kepada keluarga suci, dan kepada santa-santa baptis/konfirmasi saya, St. Stephanie dan St. Agnes.
Pada hari pengadilan, saya terus membaca Salam Maria dan doa pembebasan dalam perjalanan ke gedung pengadilan dan di dalam gedung pengadilan. Sungguh, saya dapat mengatakan bahwa saya benar-benar merasakan kehadiran Tuhan Yesus, Bunda Maria, dan semua Malaikat Agung di ruang sidang karena saya sangat tenang dan damai. Saya dimampukan menjawab semua pertanyaan hakim dengan tenang dan hormat. Sementara, orang yang menggugat saya tampak marah, tidak teratur, dan sangat emosional. Selain itu, dia tidak dapat memberikan bukti kuat kepada hakim ketika ditanya.
Hakim menyatakan bahwa kasus tersebut sedang diajukan; penghakiman dan semua bukti akan dikirimkan melalui surat dalam satu atau dua minggu. Meskipun penghakiman belum disampaikan, saya merasa damai dan berserah penuh kepada Tuhan karena Dia adalah hakim tertinggi, satu-satunya yang mengetahui kebenaran. Saya percaya ini dengan sepenuh hati! Amen Amen Amen!!!
Sebagai penutup, saya menyadari betapa diberkatinya saya memiliki keluarga, teman, dan teman-teman kerja yang terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu yang mendukung saya selama masa sulit ini. Tuhan benar-benar telah memberkati saya dengan menempatkan mereka semua dalam hidup saya. Janganlah pernah meragukan rencana-Nya! Selalu percaya lah kepada-Nya karena Dia selalu menyediakan segalanya dan tidak pernah membiarkan siapa pun melewati cobaan sendirian karena Dia selalu bersama kita semua! Amen!
Who is Your King ?
Siapakah rajamu, yang kepadaNya engkau rela menyerahkan nyawamu ?
If I was never born,.. what difference(s) it would be to the World ?.
Ketika kita bertanya kepada diri sendiri: Apa tujuan hidupku terlahir di dunia ini?
Kemungkinan besar kita akan sulit menjawabnya.
Namun ketika pertanyaannya dibalik menjadi: “Kalau saya tidak pernah terlahir di duni ini, apa ada bedanya bagi dunia ?.” Otomatis kita berpikir lebih keras lagi untuk mencari jawaban-jawabannya. Karena kegagalan untuk menjawabnya berarti adalah kegagalan untuk memberikan justifikasi atas keberadaan kita. Dan tidak seorangpun ingin bila kebearadannya di dunia tidak berarti apa-2.
Saat menuliskan ini, invasi Rusia ke Ukraina telah memasuki hari ke sepuluh, dan ratusan korban jiwa telah berjatuhan dari kedua belah pihak. Sebagian besar korban dari pihak Rusia adalah para tentara, karena memang pihak tentara Rusia diperintahkan pemimpin negaranya untuk memasuki wilayah negara Ukraina. Jatuhnya korban para tentara ini (meskipun dalam sebuah perang itu adalah sebuah keniscayaan dan sebuah konsekuensi wajar), tetap saja membuat saya berpikir: 'Ah, sungguh kasihan, sungguh sangat disayangkan, nyawa hilang dalam perang melawan sesama manusia'.
Mengapa disayangkan? Bukankah mereka adalah tentara? Bukankah memang tugas tentara adalah tunduk kepada perintah pemimpin negara, berperang membela dan mempertahankan negara ?.
Iya betul, memang para tentara harus taat kepada pemimpinnya (raja, presiden, panglima tentara) dan tidak boleh menolak perintah, disuruh apapun harus turut perintah, disuruh perang ya perang, disuruh latihan ya latihan. Tetapi bagaimana dengan nyawa-nyawa mereka itu, Apakah kerelaan MEREKA menyerahkan nyawanya untuk berperang, sungguh-sungguh adalah tujuan yang paling penting, mengalahkan pentingnya semua tujuan hidup lain di dunia ini?.
Saya tidak bisa menerka jawabannya. Saya terdiam, lama.
Apakah kalau mati dalam perang akan masuk Sorga ?.
Kalau tidak masuk Sorga, lantas mengapa bersedia menjadi tentara dan membunuh sesama ?.
Pertanyaan-pertanyaan ini terasa begitu mendasar dan penting untuk dijawab. Sebab jika semua tentara telah menyerahkan nyawanya atas nama ketaatan kepada pemimpin (dunia), yang tidak menjamin keselamatan kekal, bagaimana mereka menempatkan ketaatan mereka kepada Tuhan, yang sungguh menjanjikan keselamatan kekal ?.
Ataukah semua tentara tidak percaya akan adanya keselamatan kekal ?. Ataukah sebaliknya mereka percaya bahwa berperang (dan membunuh pihak musuh) akan menghantarkan jiwa mereka kepada keselamatan kekal?.
Jika sungguh sebuah ketaatan adalah kunci mencapai keselamatan kekal, bagaimana kalau Tuhan, sebagai raja kita, memerintahkan kita untuk berperang melawan dosa?. Tidakkah perintah itu adalah jauh lebih penting daripada semua peperangan fisik di dunia?.
Jika ya, akahkah kita rela menyerahkan nyawa demi perintah Tuhan itu? Apakah kita rela mati seperti para tentara yang rela mati mematuhi perintah pemimpin negaranya ?.
Masa Prapaskah adalah masa yang baik untuk memperbaiki diri dan berperang melawan dosa. Dan semoga kita mau melihat kembali apa arti dan tujuan keberadaan kita di dunia ini. Siapakah raja sejati bagi kita, dan apakah kita sudah taat dan rela mati untuk Sang Raja, seperti ketaatan para tentara yang telah rela mati di medan perang.
Sebab Yesus telah menunjukkan kerelaanNya sampai mati di kayu salib, demi ketaatanNya kepada perintah Bapa. Dan dengan menyerahkan nyawaNya, sungguh Dia telah memperoleh kembali hidupNya.
Newark, CA March 5, 2022
Mempuasakan Dan Memberi Makan
"Serigala mana yang akan menang?" Cherokee tua itu menjawab, "Yang kamu beri makan."
Prapaskah ada pada kita. Sebagian dari kita mungkin sudah merenungkan amalan puasa, doa, dan sedekah mana yang ingin kita jalankan tahun ini. Banyak yang akan mengulangi pantangan yang sudah dikenal. Yang lain ingin menjelajah ke sesuatu yang baru, dan yang beberapa lagi tidak yakin harus mulai dari mana. Cerita rakyat asli Amerika ini mungkin menawarkan kita beberapa ide untuk direnungkan:
Cherokee tua sedang mengajar cucunya tentang kehidupan. "Perkelahian sedang terjadi di dalam diriku," katanya kepada anak laki-laki itu. “Ini adalah pertarungan yang mengerikan, dan itu adalah antara dua serigala. Yang satu jahat – dia adalah kemarahan, iri hati, kesedihan, penyesalan, keserakahan, kesombongan, mengasihani diri sendiri, rasa bersalah, dendam, rendah diri, kebohongan, kebanggaan palsu, superioritas, dan ego.” Dia melanjutkan, “Yang lain baik – dia adalah sukacita, kedamaian, cinta, harapan, ketenangan, kerendahan hati, kebaikan, kebajikan, empati, kemurahan hati, kebenaran, kasih sayang, dan iman. Pertarungan yang sama terjadi di dalam diri Anda – dan di dalam diri setiap orang juga.” Sang cucu memikirkannya sebentar dan kemudian bertanya kepada kakeknya, "Serigala mana yang akan menang?" Cherokee tua itu menjawab, "Yang kamu beri makan."
Ada kekayaan dan kebijaksanaan yang mendalam dalam cerita ini. Kita mengenali diri kita sebagai kakek dan cucu: kisah dua serigala adalah kisah kita, terlepas dari siapa kita, di mana kita tinggal, dan berapa usia kita. Terlahir sebagai anak Tuhan yang diberkati, kita masing-masing secara bertahap kehilangan kepolosan kita ke dunia, yang memikat dan meninabobokan kita dengan pesona, godaan, dan gangguannya, serta melalui ketidaktahuan, ketidaktaatan, dan luka yang ditimbulkan oleh diri kita sendiri dan orang lain.
Memang, pertarungan antara orang suci dan orang berdosa di dalam adalah pergumulan tanpa akhir; itu adalah interaksi “Jekyll dan Hyde” dalam diri kita. Tidak ada orang yang benar-benar suci atau benar-benar orang berdosa, dan tidak ada yang luput dari perjuangan ini. Semua orang kudus bergumul dengan kelemahan mereka masing-masing – duri dalam daging yang dimaksud oleh St. Paulus – yang membuat mereka tetap rendah hati. Demikian pula, seorang pembunuh yang mengerikan mungkin memiliki kelemahan, betapapun remehnya itu.
Kita cantik dan hancur, diberkati dan terluka, satu dengan banyak kebajikan dan banyak keburukan. Kisah ini mengingatkan kita bahwa bagian yang kita makan – baik atau jahat – menentukan siapa diri kita dan akan menjadi apa kita nantinya. Itu logis, sesuatu yang secara intuitif kita ketahui tetapi sering kita lupakan. Banyak dari kita yang sadar akan makanan yang kita pilih. Kita berolahraga secara teratur untuk menjaga tubuh kita tetap bugar dan untuk memastikan bahwa arteri dan vena jantung fisik kita tetap sehat dan tidak tersumbat. Namun kita sering mengabaikan perhatian yang sama untuk merawat hati rohani kita.
St. Paulus telah memberi kita ide-ide berharga untuk puasa dan makanan rohani kita: “Tetapi sekarang kamu harus menyingkirkan semua hal seperti itu – kemarahan, murka, kedengkian, fitnah, dan kata-kata kasar dari mulutmu. Jangan membohongi satu sama lain… kenakan kasih sayang, kebaikan, kerendahan hati, kelembutan, dan kesabaran. Bersabarlah satu sama lain, saling memaafkan… Di atas segalanya, kenakan dirimu dengan cinta. Biarlah damai sejahtera Kristus memerintah di dalam hatimu. Dan bersyukurlah… Dan apapun yang kamu lakukan, dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah segala sesuatu dalam nama Tuhan Yesus sambil mengucap syukur kepada Allah Bapa melalui Dia” (lih. Kol 3:8-17). Ayat-ayat ini berfungsi sebagai pengingat latihan spiritual yang kita dipanggil untuk lakukan.
Kebajikan tidak pernah diperoleh dalam semalam, dan kejahatan tidak pernah hilang untuk selamanya. Tukang kebun yang berpengalaman mengatakan bahwa dibutuhkan banyak musim untuk benih tumbuh dan menghasilkan buah. Benih membutuhkan tanah yang baik, perawatan yang penuh perhatian, matahari, dan air untuk menghasilkan buah yang baik. Sama pentingnya, gulma dan hama harus sering disingkirkan.
Bagi umat Kristiani, Prapaskah adalah masa di mana kita berlatih untuk waspada terhadap perbuatan dan pikiran kita, memperkuat kebajikan dan melemahkan keburukan. Serigala yang kita beri makan akan menang. Kelaparan si jahat melucuti kekuasaannya atas kita dan memungkinkan yang baik untuk berkembang - mengosongkan diri untuk memberi ruang bagi Yang Ilahi. Apa satu hal penting yang Tuhan undang untuk kita puasa dan makan di masa Prapaskah ini?
Di Gurun
Orang Kristen dipanggil untuk merayakan Prapaskah dengan doa, puasa, dan sedekah. Bukan suatu kebetulan bahwa pembacaan Injil untuk hari Minggu pertama Prapaskah dimulai dengan padang gurun; lagi pula, Prapaskah empat puluh hari adalah perayaan empat puluh hari Yesus di padang gurun.
Kitab Suci dipenuhi dengan kisah-kisah transformasional di padang gurun. Perjanjian Lama menceritakan kisah-kisah tentang umat pilihan Tuhan yang dibawa ke padang gurun, di mana mereka menjalani pemurnian dan belajar untuk percaya pada pemeliharaan Ilahi. Gurun adalah tempat peralihan, di mana umat Allah meninggalkan diri mereka yang lama dan berubah sebelum memasuki tanah perjanjian.
Padang gurun juga menandai permulaan Injil: Yesus, yang dibaptis di sungai Yordan dan dikukuhkan sebagai Putra Terkasih, segera didorong oleh Roh keluar ke padang gurun. Urgensinya jelas; pengaturan, tidak salah lagi. Yesus menanggapi undangan itu dengan menyendiri di padang gurun, melepaskan diri dari dunia untuk menyendiri dengan Bapa-Nya. Puasa daging dan makan jiwa selama empat puluh hari mempersiapkan dan mengubahnya, dan godaan Setan tidak menguasainya. Dia tidak membawa apa-apa selain kepercayaan dan ketersediaannya yang lengkap, tidak disibukkan dengan apa pun kecuali Bapa.
Kita juga diundang oleh Roh untuk memasuki padang gurun kehidupan kita sehari-hari; kita dipanggil untuk memperhatikan banyak gangguan yang memenuhi hidup kita. Yesus mengajarkan kepada kita apa itu. Dia mengungkapkan godaannya di padang gurun untuk kita pelajari dari: Kepemilikan, Kekuasaan, dan Kebanggaan.
"Tiga P" - harta benda, kekuatan yang kita pegang atas orang lain, dan kebanggaan dalam bentuk dan bentuknya yang halus - telah berfungsi sebagai perlindungan dan keamanan kita dan sering terjalin secara mendalam ke dalam identitas dan keberadaan kita. Kami menghadapi perangkap ini setiap hari. Mereka telah menjadi bagian integral dan penting dari hidup kita, sedemikian rupa sehingga kita bahkan mungkin tidak menyadari keterikatan kita dengan mereka. Bahkan jika kita menyadari keterikatan, kita merasa sulit untuk melepaskannya.
Melepaskan "tiga P" (material Possessions, the Power we hold over others, and Pride) tidak pernah mudah. Ini membutuhkan perubahan mendasar – sebuah metanoia – perubahan hati sepenuhnya terhadap Tuhan. Memang, transformasi dari keterpusatan pada saya menjadi keterpusatan pada Tuhan tidak datang secara alami. Dibutuhkan waktu dan disiplin, yang mengharuskan kita perlahan-lahan menyingkirkan apa yang menahan kita untuk bergerak menuju Tuhan. Melalui latihan rohani Prapaskah, Gereja mengingatkan kita akan pentingnya asketisme (pertapaan) untuk mencapai transformasi ini. Pertapaan bagi jiwa sama halnya dengan olahraga bagi tubuh, dan puasa adalah pemangkasan, pelonggaran ikatan yang tidak perlu.
Apa undangan agar kita pangkas? Ketika kita mulai mengamati, memeriksa, dan membuat daftar apa yang mengisi waktu luang kita dan hal-hal yang melekat pada kita, kita akan segera menemukan banyak pilihan untuk dipertimbangkan. Beberapa mungkin lebih sederhana dan lebih nyata, seperti tidak minum kopi, daging, berbelanja, membatasi paparan kita pada perangkat elektronik dan media sosial, atau hasrat tidak sehat lainnya. Beberapa mungkin lebih sulit, seperti dengan tulus menyapa dan menghabiskan waktu bersama seseorang yang lebih kita hindari, melepaskan kemarahan kita terhadap individu tertentu yang telah mengecewakan kita, atau berdoa dan memberkati seseorang yang telah menyakiti kita.
Mungkin kita bisa memulainya dengan mengamalkan asketisme baru Prapaskah ini: sesuatu yang wajar, yakni tidak terlalu mudah sehingga tidak ada otot-otot rohani yang terbentuk, namun tidak terlalu sulit agar tidak patah semangat. Idola mini mana pun yang kita pilih untuk dilepaskan akan membebaskan pikiran dan waktu kita untuk berdoa dan berkontemplasi. Bahkan jika kita goyah dan jatuh, kita dapat yakin bahwa tidak ada yang lebih menyenangkan Tuhan selain keinginan tulus kita untuk meniru dan berjalan bersama-Nya di padang gurun kita sendiri.
Gurun tandus, yang menawarkan kesunyian, kesunyian, dan kehampaan kepada para pengunjungnya, adalah tempat yang sunyi di mana seseorang bertemu dengan Kristus secara mendalam: “Karena itu, sekarang Aku akan membujuknya dan membawanya ke padang gurun, dan berbicara dengan lembut kepadanya” (Hos 2:14 ). Kerinduan yang begitu mendalam bagi kita, Dia yang menunggu kita dengan penuh semangat dan sabar. Biarkan Dia membebaskan kita dari belenggu dunia dan mengisi ruang kosong dengan kelembutan-Nya, dan hati kita melompat kegirangan dengan isyarat-Nya, "Ayo, cintaku, datang ..."
(Rosina Simon)
Able Not to Sin
Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Secara kebetulan saya membaca sebuah teori yang sangat menarik, yang mengatakan bahwa ada tiga tipe manusia, yakni yang tercipta:
Not able to sin (tidak bisa berdosa)
Not able not to sin (tidak bisa luput dari dosa)
Able not to sin (mampu menolak dosa).
Siapa sajakah mereka, dan termasuk tipe yang manakah kita ?.
Allah menciptakan Adam dan Hawa serupa dengan Allah sendiri yang adalah sempurna. Ketika hidup di Taman Firdaus, mereka hidup bahagia bersama Allah bapa, dan tidak pernah sekalipun terlintas dalam benak dan hati mereka untuk melawan kehendak dan perintah Allah yang maha kasih. Mereka diciptakan untuk hidup bahagia selamanya bersama Allah Bapa, sehingga mereka tercipta untuk tidak bisa berbuat dosa (not able to sin).
Namun kemudian setan datang menggoda dan mengelabui mereka sehingga mereka “jatuh” ke dalam dosa asal.
Setelah itu, setiap manusia yang hidup di dunia ini tidak lagi terlahir suci. Manusia mewarisi dosa asal itu, sehingga meskipun manusia berusaha sekuat tenaga untuk hidup suci, tetap saja mereka memiliki dosa. Sungguh, setiap manusia yang terlahir di dunia ini tidak bisa untuk tidak berdosa (not able not to sin).
Menurut iman Katolik, hanya ada satu pengecualian akan hal ini, yakni Bunda Maria, ibu Yesus. Bunda Maria adalah perawan suci yang dikandung tanpa dosa, the Immaculate, yang dipilih, “dipersiapkan” dan dipantaskan Allah untuk mengandung Putera Allah sendiri yang adalah suci dan kudus.
Bagi kita yang telah mengenal dan percaya akan Kristus Yesus sebagai Sang Juru Selamat, kita adalah ciptaan baru. Dalam 2 Kor 5:17
“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.”
Allah menjanjikan kehidupan kekal, dan menuntun kita kepada pembaptisan dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus.
Yesus telah berkata ”Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati (Yoh 11:25)”.
Dalam Kristus, hidup kita dimampukan untuk menjadi sempurna. (Matius 5:48) “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”
Dalam tuntunan Roh Kudus, kita menjadi manusia yang “able not to sin', manusia yang mampu menolak dosa.
We are able not to sin. Maka mari kita selalu menolak dan menjauhi dosa. Masa Prapaskah ini adalah the acceptable time - masa yang baik untuk memperbaiki hidup kita lewat doa, puasa, dan amal kasih (Pray, Fast, and Charity). Mari kita memberikan diri hidup dalam tuntunan Roh Kudus dan menyerahkah hidup kita sepenuhnya kepada Kristus. Semoga, setelah hidup di dunia ini berakhir, kita akan bangkit bersama Kristus, dan hidup dalam keabadian Sorga, bersama para malaikat dan orang kudus, memuji dan memuliakan Allah Bapa yang maha mulia, kini dan sepanjang segala masa.
Selamat menjalani masa prapaskah dengan hati yang selalu dipenuhi cinta kasih kepada Allah dan sesama. Amin.
The Purpose of Life - Tujuan Hidup
“Tuhan menciptakan aku, supaya aku mengenalNya, mencintaiNya, dan melayaniNya di dunia ini dan bahagia bersamaNya selamanya di Sorga”
Pernahkah anda bertanya : “Apakah sebetulnya tujuan hidup ini ?”
Dalam Katekismus lama ada pertanyaan, “Mengapa Tuhan menciptakanmu?”
Jawabannya: “Tuhan menciptakan aku, supaya aku mengenalNya, mencintaiNya, dan melayaniNya di dunia ini dan bahagia bersamaNya selamanya di Sorga.”
Di sini lah, dalam hanya 18 kata ini, adalah rangkuman seluruh alasan keberadaan kita di dunia.
Yesus bahkan menjawab pertanyaan itu dengan lebih singkat lagi: “Aku datang supaya kamu memiliki hidup dan memilikinya lebih berkelimpahan” (Yohanes 10:10)
Rencana Tuhan untuk Anda sederhana.
Bapa yang maha pengasih ingin memberimu semua hal yang baik - terutama kehidupan kekal. Yesus rela mati di kayu salib untuk menyelamatkan kita semua dari dosa dan keterpisahan kekal dari Allah yang disebabkan oleh dosa (KGK 599-623).
Ketika Dia menyelamatkan kita, Dia menjadikan kita bagian dari Tubuh-Nya, yaitu Gereja (1 Kor.12:27-30). Dengan demikian kita menjadi bersatu dengan Dia dan dengan orang-orang Kristen di manapun (di bumi, di surga, di api penyucian).
Source: Catholic Answer booklet
Mengapa Orang Katolik menyembah patung ? (Sebuah pertanyaan yang keliru).
Dalam Keluaran 20:4-5, Tuhan melarang pembuatan patung untuk tujuan disembah, tetapi Tuhan sama sekali tidak melarang pembuatan patung.
Mengapa Orang Katolik menyembah patung ? Ada banyak patung di gereja Katolik !.
Anda mungkin belum pernah ditanyai seseorang secara langsung seperti seperti itu.
Tapi bila anda seperti saya dan banyak orang Katolik lain yang pernah mengalaminya, pertanyaan ini sontak terdengar seperti sebuah tuudingan yang tidak bersahabat dan mengusik rasa damai dalam hati.
Mari kita simak akan hal ini, agar kita bisa memberikan jawaban yang benar - sekaligus membuktikan bahwa pemahaman dan tudingan mereka tidaklah tepat.
Dasar yang paling mungkin dipakai oleh orang yang bertanya tentang ini, adalah ayat 4 dan 5 kitab Keluaran bab 20 yang bunyinya adalah seperti ini: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.
Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku.”
Katolik tentu tidak menyembah patung, atau apapun hasil buatan manusia. Gereja Katolik mengajarkan bahwa hanya Tuhan yang harus disembah. Menyembah apa pun yang diciptakan adalah sebuah dosa serius penyembahan berhala. Dalam Keluaran 20:4-5, Tuhan melarang pembuatan patung untuk tujuan disembah, tetapi Tuhan sama sekali tidak melarang pembuatan patung.
Dalam Keluaran 25:18-19, Tuhan memerintahkan Musa untuk membuat patung malaikat (Kerubim). Dalam Bilangan 21:8, Tuhan menyuruh Musa membuat ular tembaga (seraph), yang harus dibuat oleh orang Israel untuk dilihat agar mereka bisa disembuhkan. Orang-orang Yahudi juga menggunakan banyak patung ukiran di Bait Suci, termasuk kerub, lembu, singa, pohon palem, dan bunga (1 Raja-raja 6 dan 7).
Umat Katolik menggunakan patung dan gambar lain untuk mengingat orang-orang suci yang mereka wakili: Yesus, para malaikat, dan orang-orang kudus. Untuk alasan yang sama, orang Protestan juga menggunakan adegan kelahiran Natal untuk menggambarkan orang suci yang sama: Yesus, para malaikat, dan orang-orang kudus. Bedanya hanya saja, umat Katolik menggunakan patung dan gambar dalam sepanjang tahun dalam rangkaian kebaktian mereka.
Penolakan terhadap patung dan gambar lainnya dalam kehidupan kebaktian Gereja adalah bid'ah yang dikenal sebagai "ikonoklasme". Ini pertama kali terlihat dalam agama Kristen pada abad kedelapan ketika Kaisar jahat Leo Isauria, yang dipengaruhi oleh agama baru Islam (didirikan pada 622 M), mulai menyerang penggunaan patung dan ikon di Gereja. Dalam Konsili Nicea Kedua pada tahun 787 M, Gereja mengutuk bid’ah ini. Ikonoklasme itu kemudian tidak pernah muncul kembali dalam agama Kristen, sampai pada masa terjadinya Reformasi (sekitar th 1520).
Sekarang kita tahu dan siap memberikan jawaban atas pertanyaan (yg didasarkan pandangan yg keliru) di atas.
Dan semoga semakin banyak orang yang menjadi tahu dan mengerti akan ajaran dan tradisi gereja kita yang satu, kudus, katolik, dan apostolik.
Source: San Juan Catholic Seminars
Devotion to the Drops of Blood Lost by our Lord Jesus Christ
Kepada semua umat beriman yang akan mendaraskan selama 3 tahun, setiap hari, 2 "Bapa Kami", 2 "Salam Maria" dan 2 "Kemuliaan", untuk menghormati tetesan Darah yang hilang, saya akan…
Devotion to the Drops of Blood Lost by our Lord Jesus Christ on His Way to Calvary
St. Elizabeth, Queen of Hungary, with St. Matilda and St. Bridget, wishing to know something of the Passion of Jesus Christ, offered fervent and special prayers, upon which Our Lord revealed to them:
To all the faithful who shall recite for 3 years, each day, 2 "Our Fathers", 2 "Hail Marys" and 2 "Glory Bes", in honor of the drops of Blood I lost, I will concede the following 5 graces:
1st The plenary indulgence and remittance of your sins.
2nd You will be free from the pains of Purgatory.
3rd If you should die before completing the said 3 years, for you it will be the same as if you had completed them.
4th It will be upon your death the same as if you had shed all your blood for the Holy Faith.
5th I will descend from Heaven to take your soul and that of your relatives, until the fourth generation.
Blessed by His Holiness Pope Leo XIII in Rome, April 5, 1890.
Please keep this prayer card with others that you say daily to remind you to recite these prayers. Please record the date you started:
____/____/____
Mo Day Year
Devosi kepada Tetesan Darah Tuhan kita Yesus Kristus Dalam Perjalanan-Nya ke Kalvari
St. Elizabeth, Ratu Hongaria, bersama St. Matilda dan St. Bridget, ingin mendalami tentang Sengsara Tuhan Yesus Kristus, mempersembahkan doa yang sungguh-sungguh dan khusus, yang kemudian dijawab Tuhan kita dengan pernyataan kepada mereka:
Kepada semua umat beriman yang akan mendaraskan selama 3 tahun, setiap hari, 2 "Bapa Kami", 2 "Salam Maria" dan 2 "Kemuliaan", untuk menghormati tetesan Darah yang hilang, saya akan mengakui 5 rahmat berikut:
1. Indulgensi penuh dan penghapusan dosa-dosa Anda.
2. Anda akan bebas dari penderitaan Api Penyucian.
3. Jika Anda mati sebelum menyelesaikan 3 tahun tersebut, bagi Anda itu akan sama dengan jika Anda telah menyelesaikannya.
4. Ini akan menjadi kematian Anda sama seperti jika Anda telah menumpahkan semua darah Anda untuk Iman Suci.
5. Aku akan turun dari Surga untuk mengambil jiwamu dan keluargamu, sampai generasi keempat.
Diberkati oleh Yang Mulia Paus Leo XIII di Roma, 5 April 1890.
Harap simpan kartu doa ini dengan orang lain yang Anda ucapkan setiap hari untuk mengingatkan Anda agar membaca doa-doa ini.
Harap catat tanggal Anda mulai:
__/____/____
Hari Mo Tahun